Pov Hanum.
Namaku Hanum Humaira, kata ibuku dulu namaku diambil dari bahasa Persia yang artinya wanita lembut dan mulia yang berwarna merah jambu, namun ternyata kini nasipku tak seindah namaku, karena kenyataannya setelah menikah aku hanya seharga uang 500 ribu dimata suamiku.
Dulu sebagai calon istri awalnya aku tidak ingin memberatkan calon suamiku ketika dia ingin menyuntingku, aku sengaja meminta Mahar hanya dengan nilai uang lima ratus ribu rupiah saja, karena memang aku lihat keadaan ekonominya saat itu tidak terlalu bagus, sedangkan keluargaku sudah mendesaknya untuk segera menikahiku.
Dan aku juga pernah mendengarkan kajian dari salah satu Ustad, bahwa seorang wanita yang baik itu tidak akan menyusahkan calon suaminya dalam urusan mahar, sebagaimana Rasullah bersabda "Sebaik-baik wanita adalah yang murah maharnya."(HR.Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim&Baihaqi).
Namun kini, seolah nilai mahar itu yang selalu menjadi bahan ejekan untuk diriku, bahkan aku dipandang begitu murah oleh keluarga mertuaku. Dan akhirnya mereka memperlakukan aku seolah aku ini adalah Babu gratisan yang bisa diperintah sesuka hatinya tanpa harus dibayar dalam bentuk apapun.
Bahkan disuatu hari disaat keuangan suamiku sedang benar-benar terpuruk, aku sempat mendengar pembahasan gila dari suamiku ingin menjualku dengan seorang GERMO, demi setumpuk uang yang telah dijanjikan.
Aku begitu terluka saat mendengarnya, namun aku masih mencoba bersabar karena sampai saat ini hal itu tidak terjadi. Sempat ingin menggugat cerai dirinya, namun aku urungkan, karena Mamaku sering bilang, setiap rumah tangga itu pasti ada cobaannya, karena untuk naik kelas kita harus diuji, jika mampu kita akan lulus namun jika tidak kita pasti akan tinggal kelas atau bahkan terpuruk dibawah sana.
"Bang?"
"Aku sedang tidak berselera untuk menyentuhmu, keluar sana!"
Padahal aku baru menyentuh ujung kakinya saja, bukan niatan untuk meminta nafkah batin darinya, aku hanya ingin melayaninya saja sebagai seorang istri yang baik.
"Aku hanya ingin memijatmu Bang, kamu pasti capek kan setelah pulang kerja?"
Kata Pak Ustad, suami akan betah dirumah jika kita memberikan pelayanan semaksimal mungkin sebagai istri, bahkan sesekali bermanja-manja ria, agar hubungan semakin mesra, namun mungkin itu tidak berlaku pada rumah tanggaku yang baru terjalin selama dua tahun ini.
"Jadi kamu tahu kalau kerjaku itu capek? Makanya jangan boros jadi istri, kamu itu tidak menghasilkan apapun disini, jadi jangan menghabiskan uangku!"
Dia berkata seperti itu seolah memberikan nafkah untukku berjuta-juta dalam sebulan, padahal dia hanya menjatah uang belanja tiga ratus ribu rupiah setiap bulan, itu maknanya aku harus pandai-pandai mengatur pengeluaran dalam sehari sebesar sepuluh ribu rupiah agar uang belanja itu bisa cukup untuk sebulan.
"Atau Abang mau aku ikut bekerja dan membantu keuangan keluarga kita?" Tanyaku yang sebenarnya hanya ingin memberikan solusi.
"Kamu bisa apa? Kamu cuma lulusan SMK dan umurmu sudah berapa? Lagipula wajah dan tubuhmu tidak terurus begitu, mana ada yang mau menerima kamu kerja."
Bagaimana aku mau mengurus diri, setiap hari aku seperti Babu yang kerjaannya hanya masak seadanya, bersih-bersih rumah sendiri juga rumah mertuaku yang hanya selang satu meter itu, kalau ada waktu longgar aku berkebun sayur-sayuran dibelakang rumah agar bisa menghemat uang belanja darinya, dan itu pun masih dia protes.
Andai aku diberikan uang yang lebih untuk membeli skincare dan baju yang layak pakai dan ngetren saat ini, sudah pasti aku bisa menyaingi istri-istri sosialita diluar sana, sedangkan saat ini aku hanya memakai baju-bajuku jaman masih gadis dulu, itu pun sudah banyak yang sobek dibagian ketiak dan leher, tapi masih selalu aku pakai, bahkan hanya saat hari raya saja aku memakai baju bagus yaitu gamis lamaku yang sengaja hanya aku pakai dua kali dalam setahun, yaitu saat hari raya Idul fitri dan hari raya Qurban saja, untuk sholat Ied di lapangan terdekat dari rumah.
"Lalu aku harus bagaimana agar bisa membantu keuangan keluarga kita Bang?"
"Kamu sungguh ingin membantu?" Akhir-akhir ini tatapannya selalu saja terlihat bengis, seolah aku ini benar-benar tidak berharga sebagai seorang istri karena tidak bisa menghasilkan apapun baginya.
"Asal tidak menghancurkan harga diriku sebagai seorang istri Bang." Aku kembali mengingat tawar menawarnya dengan orang yang disebut Germo saat itu.
"Ckk, berapa sih hargamu, cuma lima ratus ribu rupiah doang aja berlagak kamu!"
Lagi-lagi, mahar sebesar lima ratus ribu itu kembali dia pergunakan untuk menghinaku, andai aku tahu akan begini jadinya, akan aku minta mahar sebesar-besarnya dulu, persetan dia mau jual Gunung atau Lautan sekalipun, namun semua sudah terlanjur, nasi telah jadi bubur, aku tidak punya mesin pemutar waktu milik Doraemon yang bisa membawaku ke masa lalu.
"Hanum!"
Suara lengkingan itu setiap harinya entah berapa kali aku bisa mendengarnya.
"Fuh!"
Aku kembali melapangkan dadaku, melebarkan kesabaranku seluas-luas yang aku mampu.
"Hei, ibuku memanggilmu, kenapa kamu malah menghela nafas seperti itu, tidak sopan kamu!" Teriak Suamiku yang langsung berkacak pinggang dan mulai memarahiku.
Seorang pria memang masih berkewajiban untuk terus berbakti kepada orang tuanya, walaupun ia telah menikah dan punya keluarga sendiri. Namun apa pantas dia mengorbankan istrinya untuk menjadi Babu dari Ibunya?
Aku tahu tugasku sebagai anak menantu, jika hanya membantu bersih-bersih dan masak itu hal yang wajar, tapi jika harus mengelap sepatunya, memijitnya setiap hari, mengambilkan makanan, menyuapinya juga, mencuci semua pakaian kotor miliknya luar dalam, sedangkan dia masih sehat walafiat untuk melakukannya sendiri, apa itu hal yang wajar?
Dan yang lebih membuatku kesal dia selalu mengatur rumah tanggaku dan ikut campur dengan segalanya, sehingga aku seolah tidak berguna dalam hal apapun dimata mereka.
"Iya Bu." Akhirnya aku melembutkan suaraku dan mendekat kepadanya, bagaimanapun juga aku dibesarkan oleh orang tua yang beretika, jadi aku ingin menghormatinya, walau dadaku sering terasa sesak karenanya.
"Bersihkan toilet milik Ibu, kenapa bisa bau sekali!"
Begitulah setiap harinya, hanya bisa memerintah saja kerjaannya.
"Harusnya setelah dipergunakan Ibu bersihkan, jadi tidak sampai bau seperti itu." Ucapku tanpa sadar.
"Kamu berani mengaturku? Mau jadi anak durhaka kamu, hah? pantas saja kamu belum juga dikarunia momongan padahal sudah menikah selama dua tahun, itu karena ulahmu yang sering membantah perintah orang tua, dasar wanita mandul, tidak berguna sama sekali."
Dan perkataan yang satu ini adalah yang paling menyakiti hati dan perasaanku.
Apakah belum punya anak itu hanya faktor dari seorang istri yang kandungannya tidak subur saja? sedangkan kesuburan itu berlaku juga untuk seorang suami, tapi sampai saat ini suamiku itu tidak pernah mau untuk diajak konsultasi ke Rumah Sakit.
Bahkan walau suami dan istri sama-sama subur sekalipun, belum tentu langsung dikaruniai seorang anak jika memang belum rezekinya, tapi kenapa hanya aku, aku dan aku saja yang selalu disalahkan.
"Sudah sana cepat bersihkan, jangan banyak bacot kamu!" Suamiku langsung kembali membentakku.
"Tapi Bang, aku hanya--"
"Diam kamu! cepat kerjakan sana, dasar istri tak tahu diuntung kamu!"
Jika moodnya sedang memburuk seperti itu, pasti hanya cacian dan hinaan yang akan keluar dari mulutnya yang dulu sangat manis saat merayuku.
Hanya air mata yang bisa menjadi saksi betapa pilunya hatiku dalam menjalani kehidupan sehari-hari setelah aku masuk dalam dunia pernikahan.
Banyak wanita yang baik agamanya, kini melenceng sebab menikah dengan lelaki yang tidak istiqomah. Dan banyak wanita yang buruk agamanya, kini ia menjadi wanita yang shalihah setelah menikah dengan lelaki yang shalih.
Hidayah dan taufiq mutlak milik Allah, namun bagaimana cara kita mendapatkan taufiq dan hidayah itu tidak terjadi begitu saja kecuali dengan sebab.
Dan salah satu wasilah sebuah pernikahan adalah untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah, jika teman duduk disekolahmu saja bisa berpengaruh besar kepadamu, apalagi pasangan hidup? tentu saja pengaruhnya akan lebih besar lagi.
***
Hai pembaca setiaku, Author yang tak seberapa ini akhirnya muncul lagi setelah lama bersemedi, dengan karya baru.
Semoga kalian suka dan berkenan membaca, ambil hikmahnya, buang buruknya dan jangan lupa bahagia.
Jangan lupa tekan tombol favoritnya ya, biar dapat notif update terbaru dari Author, selamat membaca😊
Alasan kenapa zaman sekarang lebih banyak janda daripada zaman dulu?
Karena zaman sekarang semakin banyak laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Nikah cuma modal Ijab Qobul doang dan lupa caranya untuk menafkahi, bahkan suami lebih banyak menuntut tapi lupa akan sebuah kewajiban.
"Hanum, kalau kamu nggak ada kerjaan, pergi buruh-buruh sana, metik cabe kek di Ladang, atau apa gitu yang bisa menghasilkan uang, jangan hanya duduk berpangku tangan saja disini."
Pagi ini aku baru saja selesai masak, nyuci dan beberes rumah kami dan juga rumah mertua kami disebelah, padahal baru saja buntutku ini nempel dikursi beberapa menit saja, namun sudah dikomentari pedas oleh suamiku.
"Buruh ditempat siapa Bang? mereka biasanya sudah punya orang-orang yang khusus untuk memanen, aku tidak pernah ke Ladang, jadi tidak tahu."
Aku memang tidak punya skill bertani seperti tetanggaku yang lainnya, apalagi suamiku juga tidak punya Ladang luas untuk bertani, dan basic kami berdua memanglah bukan seorang petani, jadi aku memang tidak terbiasa ikut buruh setelah menikah.
"Kamu ini tahunya apa, makanya belajar, bergaul sama tetangga agar kamu diajak buruh di Ladang, jangan cuma jadi sampah di rumah ini, siapa yang mau ngasih kamu pekerjaan jika cuma dirumah aja."
Jangankan untuk bertetangga dan menggosip seperti yang lainnya, badanku saja sudah terasa remuk karena dijadikan babu oleh mertuaku, kalau aku tidak melayaninya, sumpah serapahnya saja langsung terdengar memekakkan telinga.
"Maaf Bang, nanti aku tanya-tanya lagi sama mereka, siapa tahu ada yang mau nawarin aku pekerjaan serabutan."
Zaman sekarang istri banyak dituntut untuk serba bisa, sampai urusan cari duitpun harus bisa, karena banyak lelaki mokondo, sampai istri juga ikutan mikir, untuk apa punya suami kalau seorang istri bisa melakukan semuanya sendiri?
"Sekarang aku lapar, ambilkan aku makanan."
Beberapa bulan belakangan ini suamiku memang sering diliburkan, karena usaha Bosnya sedang menurun, otomatis gajinya pun nantinya akan berkurang dan yang meningkat sudah paati emosinya.
"Ini Bang, sudah aku siapkan."
Aku sudah mengambilkan sepiring nasi beserta lauknya, karena memang jam segini biasanya dia sarapan.
Pranggg!
"Tempe goreng lagi, tempe goreng lagi! Apa kamu hanya bisa bikin lauk tempe goreng saja? Sayur juga cuma sama lodeh Terong, bosen tau nggak?"
Mau gimana lagi, untuk menghemat pengeluaran aku masak sayur yang ada di kebun miniku dibelakang rumah dan harga tempe saja satu lonjor panjang itu harganya saja sudah lima ribu.
"Uangnya belanjanya hanya cukup untuk beli tempe Bang, ini pun sayur terongnya hasil kebun sendiri, mana tadi garamnya habis, sekarang garam naik Bang, ini saja aku ngutang dulu buat beli minyak goreng."
Kalian bayangkan saja, jaman sekarang uang belanja sehari sepuluh ribu dapat apa? Sudah baik aku masakkan sayur ada lauknya, itu pun dia masih tidak terima.
Plak!
"Kamu ngutang lagi? Sudah berapa kali aku bilang jangan ngutang, malu-maluin sekali kamu ini!"
Walau sebenarnya pukulannya tidak terlalu keras namun hatiku yang sakit karennya, salahku dimana coba?
"Lalu kalau minyaknya habis bagaimana, Abang belum ngasih aku uang lagi kan bulan ini? Apa Abang mau tempenya aku bakar saja, biar nggak usah beli minyak goreng!"
Lelaki zaman sekarang terkadang ngasih nafkah tidak seberapa, tapi egonya sudah berasa ngasih Kapal Pesiar saja.
"Kamu ini kalau dibilangin bisanya bantah terus, cari uang sana." Tudingnya saat emosi sudah menguasai jalan pikirannya.
"Kalau ada lowongan pekerjaan aku juga mau cari uang Bang, tapi emang belum ada." Aku pun sudah sering tanya-tanya, tapi kebanyakan pekerjaan ada dikota sana, sedangkan tempat tinggal kami diperbatasan desa, ongkos buat berangkat dan pergi kerja saja darimana?
"Bilang saja kamu memang malas bekerja, begitu banyak pekerjaan didunia ini, masak satupun kamu bilang tidak ada, kamu kan bisa jualan atau apa." Dia bahkan menendang pecahan piring menggunakan sendalnya kearahku.
"Jual apa Bang, aku tidak punya apapun untuk dijual."
Dulu dia manis sekali, selalu memperlakukan aku seperti seorang permaisuri, bahkan menjanjikan aku ini itu, namun sekarang akhirnya kelihatan sifat aslinya.
"Kalau begitu jual saja harga dirimu yang tak seberapa itu, siapa tahu menghasilkan uang." Celetuknya yang membuat jantungku seolah syock.
"Maksud Abang aku harus jual diri?" Aku bahkan sebenarnya tidak sanggup ingin menanyakan hal ini.
"Terserah kamu, yang penting dapat uang!"
Degh!
Air mataku sontak mengalir dengan derasnya, seburuk apapun keadaannya, sekecil apapun penghasilannya sampai detik ini, aku masih mencoba untuk menghormati suamiku, namun kata-katanya kali ini benar-benar melukai perasaanku.
Hanya demi sebuah harta saja dia seolah rela menyuruh aku jual diri, padahal tugas pokok seseorang dalam keluarga untuk mencari nafkah kan suami, biasanya para suami marah besar jika istri berbuat maksiat walau dengan apapun alasannya, tapi suamiku malah tega menyuruh istrinya untuk berbuat maksiat agar menghasilkan uang.
Sebenarnya suami macam apa dia? Apa masih pantas orang seperti dia aku pertahankan dalam hidupku?
"Abang, apa aku ini sama sekali tidak ada harganya dimatamu?" Dengan deraian air mata aku memberanikan diri untuk menatap kedua mata angkuhnya itu.
"Ada, Lima ratus ribu kan?" Ucapnya dengan nada yang terlihat mengejek, bahkan satu sudut bibirnya tersungging keatas, membuat aku serasa ingin menyobek mulut pedasnya itu, walau aku tidak punya keberanian untuk itu.
"ABANG!"
"Jangan tinggikan nada suaramu terhadapku, apa kamu mau menjadi istri pembangkang, hah!"
"Maaf Bang, tapi kali ini kamu benar-benar keterlaluan."
Aku memang jarang membantahnya, apalagi meninggikan suaraku terhadapnya, namun kali ini dia sungguh sangat keterlaluan sekali.
"Sudah aku duga, kamu memang istri yang tidak berguna!" Ucapnya kembali.
"Okey baiklah, jika memang hanya uang yang Abang inginkan, aku akan memenuhinya." Dengan tangan dan kaki yang sudah bergetar aku mencoba mengumpulkan semangatku yang tak seberapa itu untuk menguatkan diri.
"Cih, banyak gaya kamu, apa yang bisa kamu lakukan untuk menghasilkan uang?" Lagi dan lagi dia kembali meremehkan aku, walau memang aku tidak bisa apa-apa, tapi setidaknya jangan lah sombong dan menghina, karena aku selalu menghormatinya.
"Bukannya Abang ingin aku jual diri? Aku akan melakukannya jika hanya itu yang bisa membuat Abang BAHAGIA!"
Aku sudah menyerah dengan pernikahanku kali ini, ketika suamiku tega menyuruhku jual diri secara langsung dihadapanku.
Namun jika aku pergi begitu saja, apa itu adil bagiku? Selama ini aku bertahan dengan kondisi rumah tangga yang pailit tanpa sebuah kebahagiaan yang dulu pernah dia janjikan, namun apa balasannya untukku?
Jadi sekarang aku memutuskan untuk memberinya sedikit kenang-kenangan, yang tidak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidupnya.
Aku bukanlah wanita pendendam, tapi aku juga bukan seorang Nabi atau Malaikat, yang kuat dan mampu memaafkan seseorang dengan mudahnya, walau dia sengaja ingin menginjak-injak harga diri kita.
Dia menusukkan pisau kepadaku, tapi aku yang meminta maaf karena darahku mengenai kakinya, memang terkesan tidak adil, tapi inilah hidup.
Terkadang aku merasa takjub dengan diriku sendiri, dua tahun itu bukan waktu yang singkat, namun ternyata aku bisa melewati ini semua, walau bahagiaku setelah masuk didalam dunia pernikahan mungkin bisa dihitung jumlahnya.
"Masih dirumah aja kamu Han, katanya mau cari uang, nggak mampu kamu? Kemarin siapa yang terlihat pamer semangat."
Setelah emaknya rewel minta diambilkan ini itu, sekarang gantian suara putranya yang kembali menyesakkan dada, mana ada aku pamer semangat, apa dia tidak bisa membedakan yang mana semangat dan yang mana rasa benci. Aku rasa bukan hanya hantinya yang buta, kedua matanya itu juga sepertinya sudah mulai rabun.
"Ini masih terlalu siang untuk jual diri Bang." Ucapku sambil mengepalkan kedua jemariku sendiri untuk tetap terlihat baik-baik saja, begini amat kisah hidupku?
"Hei, asal kamu tahu aja, nafsu seorang pria itu bukan hanya saat malam tiba saja, jam segini juga sudah bisa prot-prot!"
Entah iblis dari mana yang sedang merasuki tubuh suamiku ini, kenapa dia seolah seperti manusia yang sudah tidak punya adab.
"Maksud Abang apa?"
Mulutnya itu semakin lama semakin pandai membuat kosa kata, memang pandai kalau tinggal nerocos doang, padahal walau sekarang umurnya masih muda, kalau burung miliknya itu tidak dielus-elus juga kayak lemak sapi, lembek tidak bisa berdiri lama.
"Yang penting kan dapat uang, bulan ini gajiku mungkin hanya separuh, jadi sebisa mungkin kamu harus bisa cari uang, kalau tidak mau mati kelaparan, paham kamu."
Apa sebegitu besarnya pengaruh uang untuk merubah jati diri seorang manusia didunia ini? Tapi suamiku benar-benar keterlaluan, aku masih belum siap untuk menanggung dosa yang begitu berat itu, tapi memang kenyataannya zaman sekarang mau apa-apa butuh uang, bahkan untuk dihargai dan dihormati seseorang didepan khalayak umum pun, kita perlu yang namanya uang.
"Apa Abang benar-benar sudah dibutakan oleh uang? Apa hanya itu saja yang paling penting dalam hidup Abang?"
Aku sungguh ingin tahu, seberapa dalam rasa sayang yang dulu permah dia agung-agungkan saat ingin menikahiku, kenapa baru dalam kurun waktu tiga tahun saja seolah sudah hilang tak bersisa.
Apa dia sungguh rela, jika misal kata melihat aku mendesah dengan pria lain dihadapannya hanya dengan imbalan uang saja, sebegitu dangkalkah perasaan cintanya itu?
"Tentu saja, tanpa uang kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan saat kamu matipun masih perlu uang, untuk buat acara doa bersama."
Andai dunia bisa diputar kembali, lebih baik aku merantau jadi TKI saja, mencari uang sebanyak-banyaknya agar tidak selalu direndahkan oleh siapapun.
Dasar pria gila! Apa dia juga mengharapkan aku mati sekarang?
"Tapi Bang--"
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, dia sudah mendorong bahuku agar aku segera lekas pergi dari pandangannya, seolah aku ini wanita yang sangat menjijikkan dimatanya.
"Sudahlah, keluar saja dulu sana, cari kerja serabutan juga tidak masalah, yang penting menghasilkan uang."
Dunia memang terkadang sering terlihat jahat, kalau kita miskin, sebaik apapun kita, orang jarang menoleh kearah kita bahkan tidak mau berdekatan, takut jika kita akan berhutang dengan mereka, sedangkan kalau kita kaya raya dan banyak uang, kita kentutpun mereka akan tertawa. Tapi bukanlah Allah itu tidak tidur?
"Kalau begitu aku minta ongkosnya Bang."
Aku benar-benar tidak pegang uang, hanya tersisa uang koin lima ratusan dua biji sebagai penghuni abadi didalam Dompet usang yang aku dapatkan dari souvenir pernikahan tetanggaku tahun lalu.
"Ongkos dari mana, kerja aja belum dapat sudah minta uang kamu ini." Dia mulai menaikkan intonasi suaranya, padahal ketika aku menjerit sedikit saja seolah suaraku ini sudah menggegerkan dunianya.
"Trus aku perginya naik apa Bang?" Kami tidak punya transportasi yang memadai, cuma punya motor butut yang selalu dipakai kerja oleh suamiku saja, itupun harus digenjot dulu agar hidup, karena staternya sudah mati dan tidak punya biaya untuk servis motor.
"Kamu masih punya dua kaki kan, gunakanlah untuk semestinya!" Dia benar-benar tak punya rasa belas kasihan denganku, apa mungkin dia punya wanita idaman lain? Tapi apa zaman sekarang masih ada yang mau dengan pria yang tampangnya juga pas-pasan, apalagi dompetnya yang setipis triplek itu, tapi ya sudahlah bahkan dititik terjenuhku, aku berharap agar diriku tidak lagi perduli dengan semua tentangnya.
"Tapi Bang--" Aku yakin dia masih pegang uang walau tak seberapa, padahal aku tidak minta banyak, apalagi minta uang buat jajan, aku hanya minta buat ongkos pulang pergi saja, itupun tidak dia bagi.
"Nggak ada tapi-tapian, sekarang berangkat sana!"
Dengan langkah lunglai akhirnya aku meraih jacket tipisku karena aku hanya menggunakan daster saja, tidak perlu ganti baju, karena semua bajuku juga sama buluknya dengan yang aku pakai, lebih baik aku segera menginjakkan kakiku untuk keluar dari rumah sederhana yang sudah seperti neraka itu saja.
Baju lusuh dan sendal jepit usang kini menjadi modal untuk aku mencari uang pertama kalinya setelah menikah, tapi yang jadi masalahnya saat ini, dimana aku harus mencari pekerjaan itu?
Keringatku bahkan sudah jatuh bercucuran setelah hampir satu jam aku jalan kaki, tapi tak menemukan seseorang yang menawarkan aku sebuah pekerjaan, padahal aku sudah mencoba tanya-tanya ke beberapa warga, jika membutuhkan jasa gosok baju atau cuci baju keliling aku sangat bersedia, tapi pekerjaan seperti itu rata-rata ditempatku memang sudah dikerjakan sendiri-sendiri.
Dan di Ladang jika bukan juragan besar, petani didaerah sini rata-rata memanen tanamannya sendiri, karena penghasilannya juga tidak seberapa, jika harus menggunakan jasa buruh juga untungnya nggak akan dapat banyak, karena harga benih tanaman dan pupuk pun sekarang ikut naik dan melambung tinggi, seolah mencekik para kaum petani.
"Aku harus pergi kemana ini, kakiku sudah lelah sekali, Ya Tuhan tolong bantu aku."
Aku duduk sambil jongkok dibahu jalan, andai kisahku seperti dalam sinetron ikan terbang, setelah didzolimi dan disia-siakan oleh suami, jadi tukang gosok baju keliling saja dengan mudahnya bisa menjadi sukses dan kaya raya, tapi itu sepertinya mustahil bagiku.
"Neng, mau minum?"
Tiba-tiba saat pandanganku mengambang, terlihat sepasang sepatu boots karet yang sudah berdebu itu berdiri dihadapanku.
"Tidak Pak, terima kasih." Jelas saja aku menolaknya, pria itu mengulurkan satu botol air mineral kemasan, yang aku taksir harga ecernya pasti dari harga lima ribuan.
Tapi jangankan lima ribu rupiah, didompetku pun hanya tinggal uang seribu perak doang, bagaimana cukup jika nanti aku disuruh membayar air itu pikirku.
"Kamu sepertinya haus Neng, ambilah minuman ini." Namun dia tetap memaksakan diri agar aku mau mengambil pemberiannya.
"Maaf, tapi nanti saya tidak punya uang untuk membayarnya Pak." Lebih baik aku jujur saja daripada segan untuk terus menolaknya.
"Ini gratis neng, aku bukan pedagang minuman kok." Ucap Pria separuh baya yang berotot itu, dia bahkan terlihat tersenyum atau lebih tepatnya menertawakan aku.
"Owh, terima kasih banyak Pak." Karena memang haus dan sudah aku pastikan itu adalah minuman gratis, jadi aku langsung menerimanya dan meminumnya saja.
"Eneng mau kemana, kenapa hanya jalan kaki saja." Dia ikut duduk dibebatuan yang teronggok disampingku sambil menghidupkan rokoknya, sepertinya pria itu baru selesai istirahat makan siang.
"Mau nyari kerjaan Pak." Jawabku dengan nada lemah.
Sebisa mungkin aku harus mendapatkan uang sekarang, karena untuk melakukan pembalasan atas perlakuan suamiku juga butuh modal, jadi untuk sementara aku akan cari kerja sambil cari info dulu, lagipula aku juga tidak tahan jika terus menerus dihina saat suamiku ada dirumah.
"Kerja apa Neng?" Tanya pria itu kembali sambil menyemburkan asap rokoknya dengan santai, seolah rasa lelahnya terbayar sudah walau hanya dengan sepuntung rokok saja.
"Kerja apa saja saya mau Pak, apa bapak bisa membantu saya?" Kebetulan ada yang nanya jadi aku memberanikan diri untuk meminta bantuan darinya, siapa tahu ada yang bisa menghasilkan uang.
"Saya juga cuma pekerja buruh lepas Neng, sebenarnya ada tapi itupun untuk kaum pria." Kalau dilihat dari penampilannya memang pekerjaannya berat dan pastinya diluar ruangan.
"Memangnya kerja apaan Pak, saya kuat kok." Apapun pekerjaannya akan aku coba pikirku, aku tidak mau pulang dengan tangan kosong, karena sudah pasti akan ada hinaan lagi dari suamiku.
"Hanya kuli bangunan Neng, pekerjaannya berat, kasihan jika kamu harus kerja kasar seperti saya."
Orang lain yang tak kenal dengan aku saja merasa kasihan, tapi suamiku sendiri bahkan tega memaksaku bekerja apapun itu asal dapat cuan.
"Saya mau pak, kerja apapun saya mau, saya lagi butuh uang sekali Pak, untuk biaya makan saja saya harus hutang sana sini."
Aku langsung sedikit bersemangat dan tak lupa memanjatkan puji dan syukur, karena Tuhan mendengar secuil doaku tadi.
To Be Continue...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!