"Tolong .... Buka pintunya! Tolong lepaskan aku! Ku mohon." Salbia merintih sambil memukul pelan pintu kamar yang masih tertutup rapat.
Entah sudah berapa jam dia memukul pintu kamar tersebut, dia juga tidak menyadarinya. Yang jelas, dia sudah melakukan apa yang ingin ia lakukan sejak beberapa jam yang lalu. Sampai, suaranya seperti sudah habis akibat berteriak meminta penghuni rumah membuka pintu kamar yang saat ini menjadi penghalang untuknya menikmati udara luar.
Salbia Utari, gadis malang yang sudah menerima begitu banyak penderitaan sejak ia berusia delapan tahun. Dia di tinggal mati oleh ibu kandungnya saat usianya baru ingin memasuki delapan tahun. Karena itu, sang papa yang tidak terlalu menganggap indah dirinya membawa pulang anak yang tidak punya siapa-siapa selain dirinya seorang.
Sayang, setelah di bawa pulang, bukan kasih sayang yang Salbia dapatkan. Melainkan, penghinaan dan juga penyiksaan secara fisik, terlebih batin. Karena di rumah, papa Bia sudah punya istri dan juga seorang anak perempuan yang sangat di manja oleh semua orang.
"Anak har- am tidak punya malu. Tidak tahu diri."
Kata-kata itu adalah teman setia yang hampir setiap hari ia dengar. Bukan hanya dari mama dan juga kakak tirinya. Dia juga sering mendengar kata-kata itu diucap oleh pelayan yang bekerja di rumah mereka.
Salbia benar-benar tidak dianggap sebagai anggota keluarga. Melainkan, hanya dianggap sebagai pelayan yang dibenci oleh majikan saja. Nasibnya ternyata lebih buruk dari seorang pelayan yang bekerja di rumah tersebut.
Dan sekarang, dia malah di kurung di kamar karena ingin dijadikan pelunas hutang oleh papanya. Tentunya, untuk menggantikan sang kakak yang sudah dilamar oleh seorang duda penguasa yang sudah punya dua mantan istri sebelumnya.
Cektek! Gagang pintu berputar. Salbia yang sedang duduk, langsung berdiri dengan cepat. Sayang, harapan kalau itu adalah sang papa langsung pupus saat yang muncul adalah Siska, si kakak tiri yang selama ini punya dua muka.
"Kak Siska." Bia menatap pilu ke arah Siska yang saat ini malah memberikan sebuah senyum manis untuknya.
"Iya adikku sayang. Ini aku, kakakmu. Siska Sundari. Kenapa? Nggak seneng ya kalau aku yang bukain pintu?"
"Aish! Harusnya kamu bertambah senang, Bi. Karena jika papa yang ngebukain pintu, maka itu tandanya, kamu akan segera berpindah rumah."
Dengan cepat, Salbia langsung memegang tangan Siska yang saat ini terlipat indah di atas perut. "Kak Siska, tolong aku. Bebaskan aku dari kamar ini. Aku tidak ingin menikah dengan Tuan Viar."
Salbia berusaha mencoba keberuntungan. Meskipun ia tahu, kalau selama ini, Sinta tidak akan pernah memberikan dia keuntungan. Melainkan, akan selalu memberikan dirinya kesialan.
"Apa? Kamu minta tolong padaku, Bia? Sungguh sangat menyentuh hati."
"Sayangnya, aku tidak akan melakukan hal itu. Kamu tidak akan pernah bisa lepas dari rencana yang sudah aku buat." Siska berucap sambil mendorong Bia hingga tubuh kecil itu terjatuh ke lantai.
"Auh!" Bia merintih sambil memegang pinggangnya yang terasa sangat sakit. "Kenapa, kak? Kenapa kamu begitu tidak sukanya padaku?"
"Karena kamu adalah anak har- am nya papa, Bia. Hadirmu, tidak pernah kami inginkan. Kau paham!"
"Oh ya. Harusnya, kau bahagia karena bisa menikah. Kau akan bebas dari rumah ini, bukan?" Siska tertawa. "Menikah dengan pria dewasa yang umurnya bisa kau sebut sebagai om mu sendiri. Hahaha ... sungguh luar biasa, bukan?"
Sakit. Sungguh sakit rasanya saat ini. Salbia ingin sekali melawan, tapi sayangnya, dia tidak cukup kekuatan untuk melakukan hal itu. Melawan, sama halnya dengan dia yang menambah besar masalah yang sudah dia punya.
Tuan Viar adalah pria yang usianya cukup dewasa. Mungkin, dia sudah berusia tiga puluh lima tahun atau lebih untuk saat ini. Sementara Salbia, usia gadis ini baru ingin menginjak dua puluh tahun sekarang. Bukankah itu jarak usia yang sangat amat jauh?
*
Pagi harinya, seperti yang sudah dijanjikan, Salbia di minta untuk datang ke kediaman tuan Viar.
"Dandani dia dengan baik. Jangan sampai tuan Viar melihat kejelekannya saat bertemu dengan dia." Papa Salbia memerintah pada pelayan untuk mendandani Salbia sebelum mereka menyerahkan Salbia pada tuan Viar.
"Baik, tuan." Dua pelayan langsung membuka pintu setelah mengiyakan apa yang majikannya katakan.
Salbia yang lemas, langsung bertenaga setelah melihat cahaya dari pintu yang tertutup sebelumnya. Namun, ada hati yang takut saat ingat apa yang kakak tirinya katakan kemarin sore.
"Papa."
"Bia. Turuti apa yang papa katakan! Jika tidak, papa akan membongkar makam mama mu sebagai konsekuensinya. Mengerti kamu?"
Sekujur tubuh Salbia terasa menggigil setelah mendengar ancaman sang papa. Pria yang seharusnya melindungi dia, tapi kenyataan malah sebaliknya. Pria itu yang menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran.
"Papa." Air mata jatuh melintasi pipi. Tidak ada yang bisa Salbia ucapkan sekarang. Dia hanya mampu memanggil nama pria yang darahnya mengalir sama di tubuh Salbia.
Bukannya tersentuh, papa Salbia malah merasa jengkel dengan tangisan yang Salbia perlihatkan. "Kenapa menangis, hah! Seharusnya kamu bangga bisa menikah sekarang, Bia. Bukan malah memperlihatkan kesedihan. Yang ingin kamu nikahi itu pria kaya raya dengan kuasa yang tinggi."
"Tapi dia sudah dua kali menduda, pa. Dia juga sudah sangat dewasa. Dia pantas aku sebut sebagai om bagiku, bukan suami."
"Perempuan bodoh. Kau dan mamamu sama-sama munafik nya, Bia. Sama-sama menyebalkan."
"Cukup, pa! Jangan sebut mama seperti itu. Mama tidak salah sama sekali. Kenapa papa selalu menjelekkan mama, Pa?"
"Karena dia memang jelek, Salbia. Kau tidak tahu, mama mu berhati busuk. Dia tega menusukku dari belakang. Dan kau! Aku tidak yakin dirimu itu anak kandungku. Meskipun dia adalah istri siri ku, tapi dia sudah berselingkuh di belakangku."
"Itu karma, Pa. Karena papa juga berselingkuh, bukan?"
Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah Salbia setelah dia selesai mengatakan apa yang ingin hatinya katakan. Seketika, panas menjalar di pipi tersebut. Salbia reflek langsung memegang pipinya dengan satu tangan.
"Gadis kurang ajar! Sudah aku besarkan di rumah ini, tapi kamu berani bicara yang tidak baik tentang aku. Kau pantas aku tukar dengan hutang keluarga ini, Salbia. Anak tidak tahu di untung."
"Siapkan dia secepatnya! Aku ingin segera mengantarkan dia ke rumah tuan Viar. Aku sudah sangat bosan melihat wajah itu," ucap papa Bia sambil menunjuk ke arah Bia yang masih terpaku.
"Ba-- baik, tuan. Akan kami laksanakan."
"Tapi ... bagaimana jika dia menolak untuk kami siapkan, tuan?" Salah satu dari dua pelayan bertanya dengan cepat sebelum papa Bia meninggalkan kamar tersebut.
"Dia tidak akan menolak untuk kalian siapkan. Karena jika ia menolak, maka dia tidak akan pernah melihat makam mamanya lagi. Aku serius akan ancaman ku itu. Tidak main-main."
"Dia tidak akan menolak untuk kalian siapkan. Karena jika ia menolak, maka dia tidak akan pernah melihat makam mamanya lagi. Aku serius akan ancaman ku itu. Tidak main-main."
Mati rasa. Itulah yang Salbia rasakan saat ini. Demi makam sang mama yang tidak boleh ia biarkan dibongkar, maka Salbia terpaksa bersikap rela meskipun pada kenyataannya, dia tidak pernah bersedia.
Dua pelayan itu menyiapkan dirinya seperti yang majikan mereka inginkan. Meskipun keduanya terlihat enggan melakukan hal tersebut, tapi tugas harus mereka lakukan dengan sebaik mungkin.
Satu jam kemudian, tugas yang pelayan itu lakukan selesai. Salbia yang di dandan sedemikian rumah dibawa keluar dari kamar dengan sedikit dipaksa.
Gadis itu terlihat cukup cantik dengan dandan menor yang cukup menonjol. Lipstik merah merona, make-up sedikit tebal, juga berbarengan dengan pakaian yang agak terbuka. Salbia terlihat sangat dewasa dan sangat menggoda untuk para pria.
Sebenarnya, pakaian itu sangat tidak Salbia sukai. Tapi, dua pelayan itu mengancam dengan ancaman yang sama untuk ia memakaikan pakaian tersebut. Apalagi kalau bukan, ancaman yang sebelumnya papa Salbia lontarkan. Membongkar makam sang mama yang sangat Salbia cintai selama ia hidup.
'Demi bakti ku pada mama. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya. Mama maaf, anakmu tidak bisa memberikan kebanggan buat mama yang sudah pergi jauh. Hanya pengorbanan yang mungkin akan sangat mama sesali saja. Sekali lagi maaf, Ma.'
Begitulah kata-kata dalam hati yang bisa Salbia ucapkan hingga mobil memasuki sebuah rumah mewah dengan halaman yang sangat indah. Rumah dengan tiga lantai, taman bunga, juga terdapat kolam renang di sampingnya. Itu adalah pemandangan indah nan asri untuk sebuah hunian.
Tuan Viar memang sangat amat kaya. Dia pemegang saham terbesar di kota tersebut. Namanya sangat terkenal di mana-mana. Tapi sayangnya, dia pria yang cukup misterius. Keberadaannya sulit untuk dilihat. Yang selalu bergerak hanya tangan kanannya saja. Yaitu, Fahri yang terkenal cukup pintar dan setia. Dia juga sangat tampan sampai jadi idola.
Namun, untuk Tuan Viar, ada banyak kabar buruk yang beredar tentang dia. Dikabarkan, kalau dirinya adalah pria dewasa yang sangat buas di atas ranjang. Dia juga berwajah jelek dan bersifat kasar. Dua istrinya meninggal karena siksaan yang ia berikan.
Kabar buruk yang sangat menakutkan. Bukan hanya Sinta yang sudah mendengar kabar itu, Bia juga pernah mendengarnya. Karena kabar itu seperti musik pengiring untuk seorang penari. Seperti itulah kabar itu muncul ketika nama Viar Adimarta di sebut oleh seseorang.
Dan, karena alasan ini juga Sinta menolak keras dirinya untuk di sunting oleh tuan Viar. Bukan hanya Sinta, gadis lainnya juga melakukan hal yang sama. Tepatnya, setelah kematian istri kedua tuan Viar, kamar itu semakin marak. Dan sejak itu pula, Viar Adimarta tidak memiliki seorang perempuan pun di sampingnya.
"Silahkan ikut saya! Tuan kami sudah menunggu di ruang atas," ucap seorang pria yang tak lain adalah kepala pelayan dari Viar villa.
"Oh, ba-- baiklah."
"Tapi tunggu! Hanya kamu dan putrimu saja yang diizinkan masuk. Yang lain, tidak."
"Tapi, kami juga keluarganya. Kami juga ingin masuk ke dalam." Mama Sinta dengan kesal berucap.
"Kalian semua bisa pulang dan segera melunasi hutang jika tidak bisa mematuhi apa yang tuan Viar katakan."
Tentu saja mama Siska langsung panik. Ditambah, plototan mata yang suaminya berikan, semakin tidak nyaman lagi dia untuk berucap.
"Ah, iy-- iya maaf. Saya ... saya tidak akan melanggar apa yang tuan Viar katakan."
Mama Siska terpaksa kembali masuk ke dalam mobil. Sementara Bia dan papanya beranjak untuk mengikuti kepala pelayan tersebut masuk ke dalam kediaman yang mewah dan indah.
"Dengar Salbia. Jangan bikin kesalahan sedikitpun. Jika nego kali ini gagal, maka makam mama mu akan aku bongkar. Dan, akan aku pindahkan ke tempat yang sangat jauh. Yang tidak bisa kamu temukan di manapun keberadaannya. Mengerti kamu?" Papa Bia berbisik pelan sambil menggandeng enggan tangan anaknya.
Salbia hanya diam. Tapi dalam hati ia berkata, 'haruskah aku mengikuti apa yang papa katakan? Tapi, aku sungguh tidak ingin menikah. Namun, bagaimana jika aku membangkang? Makam mama akan jadi taruhan. Dan, hidupku sudah bisa dipastikan akan semakin menderita lagi di rumah papa.'
Mereka akhirnya tiba ke lantai dua. Di sana, mereka harus berjalan beberapa langkah lagi baru bisa tiba ke ruangan di mana pintunya masih tertutup rapat.
Kepala pelayan yang berjalan di depan tetap diam tanpa bicara. Hingga akhirnya, dia membuka pintu ruangan yang ada di depan mereka dengan lihai.
"Permisi, tuan Viar. Mereka sudah ada di sini."
"Kamu bisa pergi!" ucap seseorang yang duduk membelakangi pintu.
"Baik, tuan. Permisi."
Di dalam ruangan tersebut hanya ada satu orang. Namun, dari balik pintu lain yang ada di ruangan tersebut muncul seorang pria muda yang bisa dikatakan sangat tampan.
Saat Salbia masih mencoba untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Papanya sudah duluan menyapa pria yang baru saja muncul dari balik pintu yang ada di dalam kamar tersebut.
"Tuan Fahri."
"Oh, hai." Pria itu hanya menyapa sesaat saja. Tidak menganggap indah papa Bia sedikitpun.
"Tuan Viar. Ini berkas yang tuan minta saya siapkan. Semuanya sudah selesai," ucap Fahri pada pria yang masih saja tidak menunjukkan wajahnya meski sudah tahu kalau tamu yang ingin bertemu dengannya sudah datang.
"Berikan pada tuan Riyan. Minta ia menandatangani berkas itu. Dengan begitu, utang yang ia miliki terhadapku telah lunas."
"E ... maaf tuan Viar. Apakah tuan tidak ingin melihat anak saya sekarang?" Dengan berani, papa Bia melontarkan pertanyaan.
Sebenarnya, dia juga sangat ingin melihat bagaimana wajah pria misterius itu sekarang. Sebelumnya, ia pikir bisa langsung melihat wajah dari pria tersebut setelah ia masuk ke dalam ruangan ini. Tapi kenyataannya, hal itu cukup sulit untuk terjadi.
"Untuk apa aku melihatnya? Dia adalah gadis pelunas hutang yang kamu serahkan padaku. Aku yakin, dia sangat pantas untuk kamu tukar dengan hutang besar yang kamu punya. Karena jika tidak, kamu pasti tahu apa akibatnya, bukan?"
Bergetar seketika tubuh papa Bia. Dia merasa sangat takut dengan ucapan yang tersiratkan ancaman tuan Viar ucapkan tidak secara langsung.
'Ya Tuhan. Semoga saja tidak ada masalah jika tuan Viar tahu kalau aku memberikan Bia untuknya. Bukan Siska yang ia minta. Karena gadis ini juga tak kalah cantik dari Siska. Semoga tidak ada masalah besar.'
'Dan lagi, tuan Viar juga tidak bilang harus anak yang mana. Dia hanya minta anak aku saja kemarin. Tidak bilang kalau itu Siska, bukan? Bia dan Siska juga anak yang sama-sama aku besarkan di rumah yang sama meski dengan cara yang berbeda.'
'Dan lagi, tuan Viar juga tidak bilang harus anak yang mana. Dia hanya minta anak aku saja kemarin. Tidak bilang kalau itu Siska, bukan? Bia dan Siska juga anak yang sama-sama aku besarkan di rumah yang sama meski dengan cara yang berbeda.'
Papa Bia kembali berucap dalam hati. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau apa yang telah ia lakukan sekarang itu sudah benar. Menukar Salbia dengan hutang besar keluarga mereka. Dengan begitu, tidak sis-sia juga ia membesarkan Salbia yang belum tentu juga adalah anak kandungnya.
"Tanda tangani berkas yang Fahri berikan sekarang juga! Setelah itu, kamu bisa segera pergi dari kediamanku secepatnya."
Terdengar lagi suara bariton yang langsung membuat tubuh papa Bia bergetar hebat karena takut. Dengan gugup, dia menerima berkas yang saat ini masih berada di tangan orang kepercayaan tuan Viar. Lalu, membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut tanpa membaca isi dari kertas itu terlebih dahulu.
"Su-- sudah saya ... tanda tangani, tuan Viar."
"Kamu bisa pergi sekarang! Tinggalkan putri pelunas hutangmu di sini. Ingat! Setelah kamu pergi, maka hubunganmu dengannya sudah tidak ada lagi. Alias, kalian sudah putus hubungan. Kamu mengerti?"
Pernyataan itu membuat Salbia ingin menangis. Namun, sekuat tenaga ia tahan. Mengingat, di rumah papanya, dia juga tak pernah dianggap ada selama ini. Jadi, untuk apa dirinya merasa sedih sekarang?
Yah, meskipun pada kenyataannya, hati Salbia juga merasa sangat teriris oleh perbuatan sang papa. Dirinya dijadikan sesuatu untuk membayar hutang keluarga. Sungguh sangat memilukan sekali nasibnya.
Setelah kepergian papanya, Salbia merasa semakin tak karuan. Dia seperti jadi patung pajangan yang dilihat oleh banyak mata saja sekarang. Padahal, tidak ada satupun mata yang melihat ke arahnya.
Di ruangan ini memang ada dua orang. Tapi, satu fokus dengan dokumen yang ada di depannya. Sedangkan yang satu lagi malah sibuk membelakangi sampai detik ini. Salbia yang sejak tadi diam mematung, kini tetap dengan posisi sebelumnya.
Beberapa detik kemudian, Fahri mengangkat wajahnya. Namun, tidak melirik Bia sedikitpun. Pandangan matanya malah tertuju ke arah kursi putar yang saat ini masih membelakangi mereka.
"Tuan Riyan sudah sampai ke lantai bawah, Tuan."
Ucapan itu membuat Salbia melirik ke arah Fahri seketika. Salbia begitu tak habis pikir, kenapa papanya begitu di awasi dengan ketat. Ada apa sebenarnya? Pertanyaan itu muncul membuat perasaan Bia begitu tidak nyaman.
Tapi, belum juga ia bisa memikirkan semua dengan baik. Kursi putar yang awalnya membelakangi mereka sejak tadi, kini tiba-tiba saja bergerak setelah beberapa kata yang baru saja Fahri ucapkan.
Tuan Viar kini memutar pelan kursinya. Hal itu mendadak membuat perasaan Bia terasa begitu gugup. Antara takut, dengan ingin segera melihat seperti apa sebenarnya wajah taun Viar yang di kabarkan begitu menyeramkan.
'Tenanglah, Bia! Tenang! Wajah seram juga tidak boleh membuat kamu merasa takut, oke. Karena yang menakutkan itu sebenarnya bukan fisik. Melainkan, hati manusia yang busuk. Yang sulit untuk ditebak,' kata Salbia dalam hati sambil menggenggam erat tangannya.
Walau sudah berusaha keras untuk menguatkan hati, pada dasarnya, Bia masih saja tetap merasa takut. Dia yang gugup itu malah memilih menundukkan pandangan sedalam mungkin.
"Angkat wajahmu!"
Suara itu membuat Salbia semakin gugup saja. Ternyata, Tuan Viar sudah sejak beberapa detik yang lalu memperhatikan Salbia yang tertunduk ketika kursi putarnya sudah menghadap ke arah Salbia sepenuhnya.
"Kenapa kamu terlihat begitu gugup? Kamu begitu takut kah padaku?"
Pertanyaan lagi. Pertanyaan yang membuat Salbia merasa tidak enak hati. Bia pun langsung mengangkat wajah dengan mantap sambil mengangkat bibir untuk berucap. Tapi, seketika bibirnya terasa berat untuk mengeluarkan satu patah katapun.
Saat mata Bia terbuka, dia langsung terpaku ketika melihat sosok yang ada di hadapannya saat ini. Sosok yang di kabarkan sangat menakutkan. Yang sangat sulit untuk dilihat oleh orang lain. Yang menyebabkan rumor mengerikan. Tapi pada kenyataannya, rumor yang beredar sungguh sangat jauh dari kenyataan. Tuan Viar tidaklah buruk rupa. Melainkan, sebaliknya.
Memang, tuan Viar sedikit terlihat dewasa di mata Bia. Tapi, dia juga tidak jelek. Wajahnya tidak menakutkan. Melainkan, sangat tampan dengan garis wajah yang terlukis indah. Mata hitam bercahaya, tubuh tegap dengan dada bidang yang sangat gagah. Wajah tampan yang memukau.
Pokoknya, sangat jauh dari gambaran yang selama ini Bia dengar. Sampai-sampai, Bia sendiri tidak bisa mempercayai apa yang matanya lihat saat ini. Bahkan, karena rasa tak percaya itu, Salbia malah reflek mengucek matanya dengan kedua tangan.
"Kenapa?" Suara bariton yang langsung membuat Salbia salah tingkah itu terdengar lagi.
"It-- ti-- tidak. Tidak ada apa-apa. Ma-- maaf, tuan."
Salbia menarik-narik ujung pakaian yang membuat ia merasa tidak nyaman. Apalagi saat tuan Viar sedang melihat ke arahnya. Pakaian kekurangan bahan itu semakin membuat Bia merasa sangat amat malu.
"Katakan namamu!"
"Bi-- Bia."
"Jangan gagap! Atau aku akan pulangkan kamu ke rumah papamu kembali."
Mendengar hal itu, satu gambaran yang langsung muncul dalan benak Bia. Hal itu tak lain adalah, ancaman sang papa yang akan membongkar makan mamanya. Membuat makam sang mama hilang sehingga Bia tidak bisa menemukan tempat peristirahatan terakhir sang mama.
"Jangan tuan! Aku mohon." Bia berucap cepat karena ia tidak ingin tuan Viar benar-benar memulangkan dirinya ke rumah itu lagi.
"Kenapa? Kamu begitu ingin tetap berada di sisiku setelah melihat wajahku? Atau ... karena aku memiliki kekayaan? Katakan alasan yang bisa membuat aku bahagia! Jika tidak, aku akan pulangkan kamu ke rumah orang tuamu kembali. Lalu, aku akan menuntut papamu agar membalikkan hutang dua kali lipat."
Mata Salbia membulat. Dia tidak tahu harus memberikan jawaban apa agar tuan Viar merasa bahagia. Ditambah lagi, saat ini dia sedang begitu panik. Haruskah ia bohong dengan menjawab hal yang tidak-tidak. Atau ... memberikan jawaban yang jujur. Tapi, jawaban jujur belum tentu akan membuat pria yang ada di hadapannya ini bahagia. Itu yang membuat Salbia merasa sangat ragu sekarang.
"Hei! Aku tidak minta kamu bengong. Aku minta kamu menjawab pertanyaan yang aku berikan. Apa itu sulit? Tinggal jawab saja! Jangan buat aku menunggu lama. Karena aku sangat tidak suka."
'Jika jawabanmu diluar kemauan dan harapanku, maka aku akan membuat kamu membayar mahal hari ini juga. Tapi jika sebaliknya, kamu bisa bikin hati ini merasa kalau kamu benar-benar spesial dan berbeda dari yang lainnya. Maka aku akan pertahankan kamu di sisiku sekarang.' Tuan Viar berkata dalam hati sambil membalas tatapan tajam yang Bia lontarkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!