..."Kita sebagai manusia, hanya bisa menerima dan memperbaiki segala yang bisa diperbaiki."...
...•...
...•...
...•...
'Tok tok tok!'
"Masuk!"
"Dek?"
Gadis yang semula sibuk di meja belajar itu menoleh ke arah pintu kamarnya. "Kenapa, Kak?"
Pria jangkung yang semula berdiri di ambang pintu kamar adiknya itu memutuskan untuk masuk. Ia melangkah mendekati gadis berumur enam belas tahun yang masih berkutat dengan sesuatu di meja belajarnya.
"Lagi ngapain, sih?"
Sang adik mengangkat jari telunjuk pada tangan kanannya tepat ke hadapan sang kakak. Mengisyaratkan bahwa dirinya tidak ingin diganggu. "Sebentar."
Lelaki itu hanya diam dan menurut. Selang beberapa saat, gadis yang semula ia amati bersorak.
"Selesai!" Gadis berpakaian sweeter abu-abu terang itu mengalihkan pandangan ke arah kakaknya.
"Itu tadi apa?"
"Lagi packing buat ngirim pesanan besok. Kakak ngapain ke kamar Vio?"
Tangan lelaki itu terulur untuk mengusap puncak kepala Viola. Ia tersenyum. "Kamu udah minum obat?"
Viola tersenyum. Jemarinya mengarah pada punggung tangan sang kakak dan menggenggamnya erat. "Kak Raka tenang aja. Aku inget, kok, kondisiku sekarang."
Raka kembali mengulas senyum. "Ya udah. Kamu tidur, ya? Udah malem."
Viola hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebagai jawaban.
Setelah memastikan Raka pergi dari kamarnya, Viola menghembuskan napas berat. Kehidupannya berubah sejak kejadian satu bulan yang lalu. Kejadian yang membuat Viola harus kehilangan kebebasannya untuk waktu yang lama—atau mungkin selamanya. Sejak kejadian itu, Viola menjadi langganan tetap sebuah rumah sakit setiap hari Rabu.
...•••...
"Aw! Sakit, Kak!"
"Lo, sih! Harus banget nyelesaiin masalah sampai bikin muka babak belur gini?"
Untuk kesekian kalinya, Sella merasa sangat kesal terhadap adik lelakinya itu. Bagaimana tidak? Sering kali Sella mendapati adiknya pulang tengah malam dengan wajah babak belur di setiap sudutnya.
"Dia duluan yang bikin gara-gara," sela Afkar setelah Sella usai mengobati luka lebam di wajahnya.
"Dia siapa?" Tangan Sella sibuk membereskan obat-obatan kembali ke dalam kotak P3K.
"Ya, yang ribut sama gue."
Sella menghembuskan nafas berat. "Heran, ya. Meskipun otak lo cacat, sifat lo yang satu ini tetap aja nggak ketinggalan."
Afkar berdecak sebal. "Nggak usah bahas itu. Sebel gue."
Telapak tangan kanan Sella mendarat di pundak kiri Afkar. "Gue yakin, suatu saat nanti, ingatan lo pasti balik, kok."
Lelaki itu terdiam. Ia merenungkan apa yang Sella katakan. Ya. Afkar memang kehilangan ingatan tiga bulan terakhir sebab sebuah kecelakaan. Sekeras apapun Afkar mencoba, pasti berakhir dengan dentuman hebat di kepalanya. Tetap saja, ingatan yang terakhir ia dapat adalah saat persiapan ujian praktek kelas 9. Kata para sahabatnya, itu sudah berlangsung sejak 4 bulan yang lalu.
Terlepas dari itu semua, Afkar mengingat sekelebat detik-detik pasca kecelakaan itu terjadi. Meski hanya sedikit, tapi Afkar ingat betul bahwa ada seseorang di samping kirinya. Seseorang yang sampai sekarang masih berusaha ia cari tahu. Afkar mengetahuinya ketika detik-detik dirinya tersadar. Semacam ... yah! Begitulah!
"Woy! Malah ngelamun lo." Suara Sella membawa kembali Afkar keluar dari jerat ribuan tanya dalam benaknya. "Tidur sana."
Afkar hanya tersenyum singkat sebelum beranjak dari tempat. Sella tahu benar, apa yang selama ini berkecamuk dalam pikiran adiknya itu. Momen tiga bulan terakhir yang pasti menyimpan kenangan manis untuk Afkar, direnggut oleh sebuah kecelakaan tragis. Sella ingin menceritakan semuanya secara detail. Sayangnya, hal itu hanya akan membuat ingatan Afkar semakin terpendam. Biar waktu yang mengembalikan apa yang hilang dari sejarah hidup Afkar.
...•••••...
...Hallo, Reader's....
...Semoga kalian suka sama cerita baruku kali ini. :)...
...Jangan lupa, beri dukungan author dengan klik LIKE mengisi kolom komentar!...
...Tunggu part selanjutnya, ya!...
Luv,
Freya_K.A
..."Masa lalu bukanlah kesalahan. Sebab, hanya bagian sejarah mengesankan yang akan selalu dikenang."...
...•...
...•...
...•...
Matahari melambai-lambai di ufuk barat. Siap tenggelam dan digantikan bulan. Namun, ketiga gadis itu masih membelah jalanan dengan mobil warna putih yang mereka tumpangi.
"Bener ini tempatnya, Vi?" tanya gadis di balik kursi kemudi setelah menghentikan mobilnya beberapa detik lalu.
"Iya, kayaknya," jawab Viola yang duduk di kursi belakang sembari menyisiri area sebuah toko bunga dengan manik matanya.
"Lah, bocah bego!" sahut Ina—gadis yang duduk di samping kursi kemudi. "Telepon, cepet!"
"Iya-iya, sabar."
Viola meraih ponsel yang semula tergeletak di samping kanannya. Gadis berpakaian sweeter abu-abu itu mendial nomor yang tadi pagi memesan sesuatu melalui akun Instagram.
"Hallo, Mbak?" ucap Viola saat merasa panggilannya tersambung. "Iya. Ini saya udah di depan toko. Oh, oke."
"Gimana?" sahut Riri—gadis yang duduk di balik kursi kemudi.
"Disuruh langsung masuk," jawab Viola. "Lo pada ikut nggak?"
"Gue tunggu sini aja," sela Ina.
"Gue juga," timpal Riri.
"Ya udah."
Viola meraih barang pesanan yang sudah terbungkus rapi sebelum turun dari mobil. Ketika memasuki toko bunga itu, Viola disambut oleh seorang wanita yang mengenakan dress selutut berwarna krem berbahan kaos.
"Viola, ya?" sapa wanita itu.
Viola hanya tersenyum ramah sebagai tanggapan. "Ini pesanannya, Mbak," ucap Viola sambil mengulurkan barang yang tadi ia bawa.
"Terima kasih," ucap wanita itu sembari tersenyum. "Saya Wina." Wina mengulurkan tangannya.
Viola yang sadar akan hal itu pun segera membalas. "Viola."
"Duduk dulu, saya ambil uangnya."
Viola mengangguk. Sementara Wina melenggang dan segera hilang dari pandangan Viola.
Ruangan dengan cat dinding warna hijau muda ini sungguh memanjakan indra penglihatan Viola. Ditambah dengan beranekaragam bunga yang tertata rapi. Sangat terlihat betapa rajinnya pemilik toko bunga ini.
Sesaat kemudian, pandangan Viola menangkap sosok Wina yang telah kembali. Viola segera berdiri.
"Ini, Viola. Seratus dua puluh ribu, 'kan?" Wina mengulurkan selembar uang seratus ribu rupiah dan selembar uang dua puluh ribu rupiah.
Lagi-lagi, Viola mengangguk. "Terima kasih sudah order, Mbak."
Wina tersenyum. "Sama-sama."
Viola mulai melangkah dan masuk ke mobil warna putih yang sudah menunggunya.
"Udah?" tanya Ina.
"Udah," jawab Viola.
"Kita makan dulu, yuk! Laper gue," sahut Ina.
"Gimana, Vi?" Riri meminta pendapat sahabatnya yang duduk di jok belakang.
"Boleh," jawab Viola.
Akhirnya, mobil Riri kembali melesat menuju sebuah kafe yang biasa menjadi tempat nongkrong mereka. Cafe Kenangan, yang letaknya tidak jauh dari rumah Viola. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit jika ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Setelah sampai, tiga sahabat itu segera duduk dan memesan makanan serta minuman sesuai keinginan masing-masing. Sembari menunggu pesanan datang, baik Viola, Ina, maupun Riri memilih untuk melakukan hal yang biasa dilakukan seseorang saat sedang menunggu—memainkan ponsel.
"Eh!" Tiba-tiba, suara Ina memecah fokus mereka. "Besok kita berangkat bareng, kan?"
Viola menonaktifkan ponsel untuk fokus pada obrolan dengan kedua sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. "Gue bareng abang gue. Disuruh nyokap."
"Elo, Ri?" Ina mengalihkan pandangan pada gadis yang duduk di samping Viola.
"Ya, seperti biasa. Gue berangkat sendiri. Ogah banget diantar supir," jawab Riri santai.
"Gue bareng lo, ya?" pinta Ina.
Riri hanya mengangguk.
Selang satu menit, pesanan mereka datang.
"Makasih," ucap Viola yang dibalas senyum serta anggukan singkat oleh lawan bicaranya.
"Vi." Viola menoleh ke samping kirinya—Riri—sembari menaikkan kedua alis. Mengucapkan kata 'apa' secara non-verbal. "Lo oke, kan?"
Pertanyaan Riri membuat Viola mengerutkan kening, heran. "Kenapa emangnya?"
"Ya ... elo ... baik-baik aja, kan?"
Viola terkekeh. "Ngapa lo nanya gitu dah?"
"Soal kejadian sebulan—"
"I'm fine, Ri." Viola memotong ucapan Riri. Ia tahu apa kalimat yang akan keluar dari bibir sahabatnya, dan Viola sedang tidak ingin membahas hal itu. Menurut Viola, masa lalu bukanlah kesalahan. Sebab, hanya bagian sejarah mengesankan yang akan selalu dikenang.
"Lo pada udah bikin name tag belum?" Suara Ina terdengar di sela-sela kunyahannya.
"Udah," jawab dua orang di hadapannya secara kompak.
"Cuma name tag doang, kan?" imbuh Riri.
"Iya," jawab Viola. "Untung, ya. Di zaman kita ini udah nggak boleh ada istilah pemeloncoan. Jadi, nggak perlu ribet kitanya."
"Bener banget!" sahut Ina. "Kan, males banget kalo disuruh bikin ini-itu."
"Dan gue bisa fokus cari badboy yang bakal jadi calon pacar gue," celetuk Riri.
"Ya elah, Ri!" sanggah Ina. "Kalau lo bayangin masuk SMA bakal ditaksir sama cowok badboy, mending baca ******* aja. Kagak usah sekolah."
"Sewot amat, sih, lo!" gerutu Riri.
...•••...
Suara dentingan sendok dan piring yang bersentuhan menyelimuti suasana damai di kediaman keluarga Ghanie.
"Besok hari pertama kamu MPLS, kan, Kar?" tanya wanita paruh baya yang duduk di hadapan Afkar.
"Iya," jawab Afkar singkat.
"Berangkat bareng Sella?"
"Nggak, Ma. Afkar berangkat bareng Alfa sama Reza, kayak biasa."
"Papa mana, Ma?" tanya Caca yang sudah siap melahap makanan di hadapannya.
"Udah berangkat kerja."
"Ke luar kota lagi? Berapa bulan kali ini?" sahut Afkar sinis.
Bela menghela nafas berat. "Mama juga nggak tahu."
"Kamu boleh bawa mobil mulai besok." lanjut Bela usai mengingat pesan dari suaminya.
"Oke." balas Afkar sekenanya.
Jujur saja, Afkar sudah lama tidak merasakan kehadiran seorang ayah di rumah ini. Seolah, Bela merupakan orang tua tunggal mereka. Lama tidak pulang ke rumah, sekalinya pulang, Rohim—suami Bela—kerap kali emosi. Sifatnya yang satu ini menurun pada Afkar; payah dalam mengendalikan emosi.
Didikan Rohim yang keras, membentuk kepribadian Afkar menjadi keras pula. Saat merasa dirinya terusik atau tidak tenang, maka barang dalam jangkauan mata pasti menjadi sasaran.
Namun, Afkar beruntung, karena ia lebih sering bertemu sang ibu yang memiliki sifat ramah dan lembut. Sebab itulah, perilaku Afkar yang terkesan friend-able lebih mendominasi.
"Itu pesan papa tadi. Kan, sekolah kamu searah sama Caca. Jadi, bisa sekalian."
"Bagus, tuh!" sahut Sella. "Biar Sella nggak perlu buang-buang waktu sama bensin."
SMA CITRA BANGSA, tempat di mana Sella menempuh pendidikan SMA, memang berlokasi cukup jauh. Butuh waktu paling cepat 1 jam jika dikendarai dengan mobil. Dan arahnya berlawanan dengan sekolah Caca yang hanya memakan waktu 15 menit dari rumah.
"Kenapa nggak cari supir aja?"
Pertanyaan Afkar itu sontak dihadiahi pelototan tajam oleh Bela. Membuat nyali Afkar seketika menciut.
"Iya-iya. Bareng Caca," lirih Afkar.
"Asik!" Tiba-tiba, Caca bersorak.
"Seneng banget, deh, Ca?" ucap Afkar.
"Iyalah! Caca bosen sama Kak Sella terus. Kalau sama Kak Afkar, kan, asik," jawab Caca antusias.
"Kok, gitu?" timpal Sella heran.
"Kata Nadien, punya kakak cowok itu lebih asik daripada kakak cewek."
Nadien adalah teman sekelas Caca di bangku kelas 4 SD.
"Kenapa gitu?" sahut Bela yang turut merasa penasaran.
"Soalnya, kalo punya kakak cewek itu 'rese. Selalu gangguin."
"Dih?" Sella tidak terima dengan alasan adiknya. "Sialan emang!"
"Sella!" Suara Bella yang terdengar mengintimidasi membuat Sella meringis kikuk.
"Maaf," cicit Sella.
"Sialan apaan, Ma?" tanya Caca dengan tatapan polosnya yang mengarah pada Bela.
Afkar yang sedari tadi tidak berhenti mengunyah hanya bisa menahan sekuat tenaga agar tidak mengyemburkan tawa. Kepolosan Caca adalah hal yang sering kali membuat seisi rumah merasa harus hati-hati dalam berucap.
Biasanya, Afkar yang tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. Perkara klise, soal game. Maka dari itu, saat kepolosan Caca terusik dan Afkar merasa bukan dia pelakunya, laki-laki berumur enam belas tahun itu tidak sanggup untuk tidak menertawakan Sella sebagai tersangka.
"Bukan apa-apa," jawab Bela. "Cepat habiskan makanan kalian. Dan siapkan keperluan untuk besok. Terutama kamu, Afkar."
"Iya," ucap Afkar di sela-sela tawa sekaligus kunyahannya.
"Ah! Aku lupa beli buku paket!" sesal Caca sembari menepuk jidat. "Kak, anterin, ya?" Caca menatap Afkar dengan sarat memohon.
Melihat Afkar mengangguk, Caca pun tersenyum lebar.
Sepuluh menit kemudian, Afkar dan Caca sudah berada di dalam mobil. Afkar di balik kursi kemudi, dan Caca di sebelahnya. Mesin mobil pun sudah menyala. Namun, sesuatu menahan Afkar untuk menginjak pedal gas.
"Kar, gue takut!"
"Ssstttt ... ada gue di sini."
"I love you .... "
Afkar menggelengkan kepala dengan gerakan cepat. Ia berusaha mengusir bayangan yang baru saja singgah. Membuat denyutan sedikit mampir ke kepalanya. Entah siapa orang itu, pasti dialah yang bersama Afkar saat kecelakaan malam itu.
"Kok, nggak jalan, Kak?" Suara Caca membawa Afkar kembali ke masa kini.
Afkar menghembuskan nafas berat. Hingga detik ini, Afkar belum mengingat apapun tentang kecelakaan yang merenggut sebagian ingatannya. "Kita naik motor aja."
...•••••...
...Gimana? Udah penasaran belum?...
...Hehehe....
...Stay tune terus, ya!...
...Semoga kita semua sehat selalu....
Luv,
Freya_K.A
Viola yang berpakaian seragam putih-abu-abu, lengkap dengan name tag berukuran 10x8 merasa lega, sebab ia ternyata satu gugus dengan Ina di gugus 3.
"Yah! Gue sendiri," celetuk Riri dengan nada lesu. Dari tiga serangkai itu, Riri terpisah di gugus 4. Total seluruh gugus di SMA BHANERA ada 9.
"Yang sabar." Ina menepuk pundak kanan Riri sebanyak dua kali. Dan hal itu malah membuat Riri mendengus kesal.
"Seluruh peserta MPLS segera berkumpul di lapangan. Sekali lagi, seluruh peserta MPLS harap segera berkumpul di lapangan, karena upacara pembukaan akan segera dimulai, terimakasih."
Mendengar pengumuman yang menggema di seantero SMA BHANERA (Bhakti Negara), Viola yang semula duduk sambil memastikan penampilannya dari layar ponsel pun segera menyimpan benda pipih itu ke dalam tas.
Tiga serangkai itu pun berjalan beriringan di tengah siswa-siswi SMA BHANERA yang tengah berlalu-lalang untuk menuju ke lapangan, setelah mengenakan name tag mereka masing-masing.
Tiga puluh menit setelah upacara berlangsung, para siswa baru digiring oleh kakak pembina OSIS yang telah ditugaskan.
Gugus 3—tempat regu Viola berbaris—kedatangan 2 pembina perempuan dan 1 pembina laki-laki.
"Vi!" Ina menyenggol lengan Viola yang baris di samping kanannya.
"Hm?" Viola bergumam. Sibuk mengibaskan tangan di depan wajahnya yang mengucurkan keringat.
"Itu, lihat siapa kakak pembina kita coba!" seru Ina.
Dengan malas, Viola melengos ke arah pandang Ina. Tepat saat itu, mereka digiring oleh para kakak pembina untuk memasuki kelas.
"Na, gue nggak salah lihat, kan?" bisik Viola sembari terus berjalan dan melihat ke arah sosok yang sedang mereka bahas.
"Kayaknya, sih, Vi."
"Berarti Kak Raka salah satu most wanted sekolah ini, dong?"
Viola menjawab dugaan Ina hanya dengan mengedikkan kedua bahu.
Gugus 3 sampai di sebuah kelas berplakat X-3. Viola dan Ina berjalan menuju bangku kosong yang bertengger di urutan kedua, deretan kedua dari meja pengajar.
Setelah memastikan seluruh anggota gugus 3 lengkap dan telah duduk rapi, para kakak pembina mulai melakukan rangkaian acara.
"Ekhm!" Seorang kakak pembina laki-laki yang sekarang sedang berdiri di depan kelas, berdeham—meminta perhatian seluruh penghuni ruangan.
"Nama saya Raka Senio, dari kelas dua belas IPS satu. Kalian bisa panggil saya Kak Raka. Di sini, saya bersama rekan saya, yaitu Tika dan Gea. Mereka sama-sama dari kelas sebelas IPA tiga." Raka menunjukan dua gadis yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. "Saya harap, di sini kita semua bisa bekerjasama agar MPLS ini dapat berjalan lancar sampai akhir."
"Nah, sekarang adalah sesi perkenalan," sahut seorang gadis yang bernama Tika. "Kalian cukup berdiri dan mengucapkan nama lengkap, nama panggilan, serta asal sekolah. Paham?"
"Paham!" sorak seluruh anggota gugus 3 dengan serempak.
Sesi perkenalan pun dimulai. Urut dari anak pertama di bangku paling depan, hingga yang paling terakhir di pojok belakang. Setelah itu, seperti biasa, tugas mereka adalah mencari sepuluh tanda tangan dari para anggota OSIS.
"Minta bantuan kakak lo aja boleh, nggak, Vi?" Suara Ina terdengar mengeluh.
Mereka sudah berkeliling untuk mendapatkan tanda tangan, namun yang bersangkutan selalu memberi tantangan yang menguras tenaga. Seperti berlari, mendatangkan seseorang—kakak kelas lain—yang tidak mereka kenal, dan masih banyak lagi.
Hingga 30 menit berlalu, jam istirahat pun tiba. Di sinilah Viola dan Ina sekarang, duduk berlindung dari terik matahari di bawah atap sebuah gazebo kecil dekat kelas yang mereka tempati.
"Emang lo udah dapat berapa tanda tangan?"
Ina menunjukkan lembarannya yang berisi 4 tanda tangan kepada Viola.
"Gue juga baru dapat lima," komen Viola.
Ina yang semula lesu, tiba-tiba tersenyum semringah. Seolah mendapatkan energi untuk menerka kembali semangatnya agar muncul ke permukaan.
"Ada cogan, tuh, Vi!" seru Ina yang membuat Viola mengikuti arah pandangnya.
"Oh, itu," gumam Viola. "Dia, kan, satu gugus sama kita."
"Oh, ya?" Kening Ina berkerut. "Kok, gue nggak tahu?"
Viola hanya mengedikkan bahu. Enggan merespon lebih lanjut.
"Samperin, yuk, Vi!" Viola menatap sahabatnya dengan sorot mata pertanda bingung.
"Ngapain?"
"Kali aja dia mau bantuin kita."
"Tapi—" Belum sempat Viola menyelesaikan kalimatnya, Ina telah menarik paksa pergelangan tangannya. Mau tidak mau, Viola pun mengikuti ke mana langkah Ina membawanya.
"Hai," sapa Ina sembari tersenyum ramah ke seorang lelaki yang tengah duduk bersandar di bawah pohon mangga.
...•••...
"Hai." Afkar menengadah. Melihat siapa orang yang baru saja menyapanya, atau benar orang itu menyapanya.
Melihat senyum dan tatapan gadis itu, Afkar berdiri. Ia membalas senyuman gadis itu dengan canggung.
"Ina," ucap gadis itu sembari mengulurkan tangan.
Oh, dia, kan, satu gugus sama gue, gumam Afkar dalam hati.
Afkar dengan segera menjabat uluran tangan Ina. Namun, matanya beralih fokus pada gadis berambut panjang sepinggang di belakang Ina yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di genggamannya.
Jantung Afkar mendadak tak keruan kala menatap gadis itu.
Aneh, batin Afkar lebih untuk mengomentari dirinya sendiri.
"Itu .... "
Seolah tahu apa yang akan Afkar utarakan, Ina segera menjelaskan. "Oh—" Ina menyenggol lengan Viola menggunakan sikunya. "—ini sahabat gue."
"Vi, say something, kek!" bisik Ina tepat di depan daun telinga Viola sembari tersenyum canggung saat manik matanya bersitatap dengan manik mata Afkar.
Viola mengamati lelaki yang berjarak dua meter di hadapannya dari ujung kaki, hingga ujung kepala dengan sarat menilai. Kemudian, Viola tersenyum singkat dan berkata, "Viola." Gadis itu kembali fokus pada ponselnya.
Udah? Gitu doang? Cuek banget! Minus kali, ya, matanya? Sampai nggak lihat gue sekeren apa.
"I love you."
"Gue takut, Kar."
Afkar menggeleng cepat. Menepis sekelebat ingatan yang satu bulan ini menghantuinya. Entahlah, namun Afkar merasa ada sesuatu dalam diri Viola. Sesuatu yang membuat rasa penasaran dalam dirinya bergejolak.
"Eh, iya!" Suara Ina melebur pengamatan Afkar akan gerak-gerik Viola. "Lo udah dapat berapa tanda tangan?"
"Gue?" tanya Afkar sembari mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri.
"Iya." Ina mengangguk.
"Udah lengkap."
"Wow!" Ina melongo sesaat. Ia kembali menormalkan ekspresi wajahnya ketika sadar bahwa ada cowok keren di hadapannya. "Cepet banget?"
Afkar hanya tersenyum nyengir. Menampilkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Anjay! Senyumnya!!! pekik Ina dalam hati. Gadis itu sebisa mungkin menerka sikap noraknya yang terus meronta ingin diekspresikan.
"Mau gue bantu?" Pertanyaan Afkar spontan membuat Ina mengangguk.
"Yuk!" Ina segera mengikuti langkah Afkar yang telah lebih dulu membelai udara di sekitarnya.
Viola yang semula fokus membalas pesan dari mamanya merutuki Ina dalam hati. Sahabatnya yang satu itu memang begitu, sering melupakan sahabatnya sendiri saat berada di dekat cowok ganteng.
"Biasa aja," gumam Viola—meralat pendapat yang bercokol dari otaknya.
Suara bel yang berbunyi nyaring—pertanda jam istirahat telah selesai—bagaikan petir yang menyambar Viola. Ia segera berlari kecil untuk menyusul Ina yang telah cukup jauh beberapa langkah darinya.
"INAAA!!! TUNGGUIN GUE!!!"
Viola melihat Ina yang ternyata masuk ke kelas mereka. Ia pun segera melakukan hal yang sama dan mengambil alat tulis untuk mulai kembali mengumpulkan tanda tangan.
"Lo, tuh! Kebiasaan banget, sih, ninggal-ninggal!"
Gerutuan gadis di sebelahnya membuat Ina spontan menepuk jidat. Lalu, ia menatap Viola sambil menunjukkan cengiran seolah tanpa dosa. "Ya, maaf."
Mengingat waktu hanya tersisa 30 menit, Viola dan Ina segera kembali mengerjakan tugas. Berkat bantuan Afkar, kedua gadis itu telah mendapatkan tanda tangan lengkap dalam waktu kurang dari 20 menit.
"Thank's, ya, Kar!" seru Ina sebelum kembali duduk ke bangku yang semula ia tempati bersama Viola.
"Iya, sama-sama." Afkar menatap secara gamblang gadis yang baru ia ketahui bernama Viola beberapa saat lalu.
Viola yang sadar akan sarat menagih dari tatapan Afkar pun menghunus manik mata pria itu dengan tatapannya.
"Thank's," ucap Viola singkat dan tanpa ekspresi.
Jutek banget! Afkar kembali melangkah santai menuju bangku yang ia tempati. Tidak ada Alfa atau Reza di kelas ini. Afkar beserta kedua sahabatnya terpisah. Reza di gugus 2, sedangkan Alfa di gugus 4.
Tak lama kemudian, tiga kakak pembina yang ditugaskan untuk memegang kendali gugus 3 kembali memasuki kelas.
"Untuk memudahkan kita berkomunikasi, silakan tulis nomor WhatsApp kalian di samping tanda tangan pada lembar absensi," jelas Tika sembari mengarahkan pandangan pada Gea yang baru usai meletakkan lembar absensi.
Hm, kesempatan! Afkar tersenyum penuh arti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!