Adrian duduk menengadah menatap langit. Di sampingnya terdapat kotak yang berisi barang-barangnya di kantor yang harus dibawanya pulang. Siapapun yang melihat bagaimana penampilan Adrian saat ini, pasti bisa menebak jika Adrian baru saja dipecat dari kantornya setelah lima tahun lamanya bekerja.
Huft!! Adrian menghela napas membayangkan hidupnya selama ini. Bagaimana aku bisa sampai di titik ini?? Benak Adrian memutar seluruh kejadian dalam hidupnya secara singkat. Hingga delapan tahun yang lalu, hidup Adrian masih baik-baik saja. Adrian yang merupakan anak tunggal hidup dengan bahagia bersama dengan orang tuanya. Ekonomi keluarga Adrian bisa dikatakan cukup lebih jika dibandingkan dengan kebanyakan orang. Ayah Adrian adalah seorang pengusaha di bidang transportasi sementara Ibu Adrian menjalankan usaha milik keluarganya, rumah makan yang cukup terkenal dan jadi warisan turun temurun.
Adrian delapan tahun yang lalu tidak pernah membayangkan kebahagiaannya itu akan menghilang ketika ayahnya terlibat dengan seorang wanita penggoda yang menipunya untuk mengeruk hartanya. Berkat wanita itu … usaha Ayah Adrian kemudian mengalami kebangkrutan karena uang operasi yang diambil Ayah Adrian untuk memenuhi permintaan dari wanita penggoda itu. Tak berhenti di situ saja, wanita penggoda itu menggunakan nama Ayah Adrian untuk menipu banyak orang dengan dalih investasi dan membuat Ayah Adrian harus merelakan banyak asetnya untuk membayar hutang-hutang itu.
Beruntungnya … Ibu Adrian masih memiliki usaha untuk menopang keluarga Adrian dan sekolahnya. Sayangnya tak cukup dengan membuat masalah besar dan seolah tak merasa bersalah atas perbuatannya, Ayah Adrian justru terlibat dengan judi yang membuat Ayah Adrian kembali terlilit hutang dan rentenir sering mendatangi rumah Adrian. Terlalu sering menghadapi rentenir yang datang dengan kasar, usaha Ibu Adrian mengalami penurunan hingga akhirnya tak ada yang mau datang ke rumah makan Ibu Adrian. Usaha terakhir Ibu Adrian adalah menjual rumah makannya demi membayar hutang Ayah Adrian.
Setelah melihat pengorbanan istrinya yang merelakan usaha turun temurun milik keluarganya, Ayah Adrian masih belum jera. Ayah Adrian terus berjudi dan terus menambah hutangnya. Ibu Adrian yang tak sanggup menghadapi kegilaan Ayah Adrian dan judinya, kemudian mengalami strok dan harus menjalani perawatan karena beberapa bagian tubuhnya yang lumpuh. Adrian yang tidak sanggup melihat keadaan ibunya, menjual aset terakhir yang diatasnamakan ibunya dan perhiasan ibunya untuk biaya pengobatan ibunya dan kebutuhan sehari-hari. Setahun setelah kuliah, Adrian bekerja ke sana kemari untuk mendapatkan uang hingga akhirnya diterima bekerja di perusahaan bergengsi. Lima tahun berikutnya, pekerjaan Adrian harusnya mampu mengcukupi kebutuhannya dan pengobatan ibunya. Tapi Ayah Adrian yang terus bermian judi dan menumpuk hutang membuat gaji Adrian tak pernah cukup. Selama tiga tahun lamanya, Adrian berusaha untuk membayar hutang ayahnya. Tapi dua tahun berikutnya, Adrian yang merasa sudah sangat lelah memilih untuk tak lagi membayar hutang yang tak ada habisnya.
Adrian menghindari ayahnya dan berkat itu … Ayah Adrian terus meneror Adrian baik di rumah maupun di kantor. Selama dua tahun itu, Adrian cukup beruntung karena memiliki atasan yang pengertian karena terus membantunya ketika Ayahnya meneror kantornya. Tapi setelah dua tahun, atasan baik hati itu kemudian dipindahkan dan atasan yang baru tidak menyukai Adrian.
Huft!!! Adrian menghela napas lagi. Benak Adrian sudah selesai memutar seluruh kehidupan Adrian di mana dirinya mulai mengalami kemalangan hingga kemalangan yang terus datang tanpa henti.
Tes, tes!! Rintik-rintik hujan mulai turun. Adrian menengadahkan kepalanya dan tersenyum memandang langit yang kini gelap karena awan mendung. Sepertinya … langit mendengar keluhanku hari ini.
Tes, tes!! Hujan yang turun semakin deras saja. Adrian yang harusnya pergi mencari tempat berteduh dan menyelamatkan barang-barangnya, justru duduk terdiam di tempatnya semula dan membiarkan hujan jatuh membasahi dirinya. Untuk hari ini … aku ingin menangis!! Bersamaan dengan hujan yang turun, Adrian menangisi kemalangannya yang terasa tak akan pernah berakhir.
Seminggu kemudian.
“Kamu ndak papa, Adrian??”
Di sela-sela kerjanya sebagai tukang kurir, Adrian meluangkan waktunya untuk mengunjungi ibunya. Adrian datang dengan membawa buah kesukaan ibunya: jeruk.
“Adrian nggak papa kok, Bu. Sehari setelah dipecat, Adrian langsung dapat kerja sebagai kurir dari teman Adrian dulu, Bu. Ibu nggak perlu pikirin Adrian. Ibu cukup berobat dan sembuh lagi.”
“Apa nggak lebih baik Ibu keluar saja dari sini, Adrian?? Biaya rumah sakit kan mahal.”
Adrian dengan jelas melihat sorot mata ibunya yang merasa sedih dan menyesal hanya karena jadi beban untuknya. Ini bukan pertama kalinya, Adrian merasakan perasaan ibunya. Tapi … lebih baik bagi ibunya untuk berada di rumah sakit. Adrian merasa lebih tenang saat bekerja dan merasa aman karena tempat ini tak akan didatangi oleh ayahnya.
“Nggak papa, Bu!! Gaji Adrian sebagai kurir memang tidak sebesar kerja kantoran, tapi masih cukup untuk membayar pengobatan Ibu dan kebutuhan kita sehari-hari.” Adrian menggenggam tangan Ibunya agar Ibunya tak lagi merasa cemas dan khawatir padanya. “Percaya sama Adrian, Bu.”
Tak ingin merasa Ibunya terus merasa cemas dengan dirinya, Adrian kemudian cepat-cepat kembali bekerja dan mengantarkan barang-barang yang harus diantarkannya.
Broom!
“Paket!!!”
Satu rumah, dua rumah, tiga rumah.
Dalam sehari, Adrian mendatangi seratus rumah untuk mengantarkan paket di mana dirinya sekarang bekerja. Dan tanpa Adrian sadari matahari yang tadi menemaninya bekerja, kini telah menghilang dan langit telah berubah gelap.
Huft!!! Ckittt! Adrian menghentikan motornya di taman kota dan duduk memandang keramaian kota dan binarnya lampu-lampu kota. Glup, glup. Adrian meminum air mineralnya dan beristirahat untuk sejenak setelah seharian berkeliling. Di depan Adrian beberapa pasangan terlihat melewati Adrian dan membuat Adrian hanya bisa menundukkan kepalanya.
Aku … tak akan pernah punya waktu untuk melakukan itu. Glup, glup! Adrian meminum airnya lagi sembari benaknya terus mengingatkan dirinya akan beban yang ditanggungnya. Siapa yang akan mau jalan sama pria kayak aku: banyak tanggungan, ibu yang sakit dan ayah tukang judi lengkap dengan hutangnya yang menumpuk? Hanya wanita gila yang mau jalan dan punya pacar kayak aku.
Glup, glup. Adrian meminum habis minumannuya, bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pulang ke rumah. Broom!! Adrian menyalakan mesin motornya, tapi tiba-tiba saja ada seorang wanita yang berdiri di depan motor Adrian.
“Maaf, Mbak! Permisi, saya mau lewat!!”
Wanita itu menatap heran ke arah Adrian sembari menunjuk dirinya sendiri seolah bingung karena Adrian sedang bicara dengannya. “Aku?? Mas bicara sama aku?”
“Ya, Mbak. Sama Mbak. Menurut Mbak siapa lagi yang ada di sini??”
Setelah memastikan Adrian sedang bicara dengannya, wanita itu minggir sedikit untuk memberi jalan dan Adrian menarik gas di setir motornya.
Wanita aneh!! Dari kaca spionnya Adrian melirik ke arah belakang di mana wanita itu harusnya terlihat berdiri. Tapi … dari kaca spion, Adrian justru melihat wanita itu dengan wajahnya yang mengerikan bak hantu-hantu wanita dalam film. Uhuk!! Sial!! Adrian mengumpat karena menyadari wanita tadi bukan wanita biasa melainkan hantu wanita. Sial sekali aku hari ini!! Mimpi apa aku semalam bisa ketemu gituan???
“Maaf, Mas. Tapi kalo ada Ayahku datang kemari, bisa kabari aku dan katakan padanya kalo aku nggak kerja di sini??” Adrian sedang bicara kepada atasannya yang baru sekaligus teman lamanya lima tahun lalu yang dulunya seorang kurir kini jadi supervisor untuk perusahaan pengantaran barang.
“Tenang aja, Adrian. Aku tahu apa yang harus aku lakukan kalo ayahmu berhasil melacakmu lagi.”
Adrian melihat ke arah temannya: Agung yang kini sudah cukup mapan dengan kehidupannya dan memiliki keluarga yang cukup harmonis. “Sekali lagi makasih, Mas Agung. Aku benar-benar berterima kasih.”
“Kamu ini!!” Agung menepuk bahu Adrian. “Jangan sungkan gitu!! Waktu itu … kamu yang selalu bantuin aku! Sekarang sudah waktunya gentian aku yang bantuin kamu!! Aku hanya berharap Ayahmu itu cepat sadar saja!”
“Ya, Mas.” Adrian menganggukkan kepalanya meski dalam hatinya berkata bahwa mungkin ayahnya tak akan pernah sadar.
Broom!
“Paket!!”
Seperti seminggu sebelumnya, Adrian mulai mengantarkan paket-paket ke alamat tujuan. Satu rumah, dua rumah, tiga rumah hingga lima puluh rumah. Kaak, kaak! Hari ini lebih terik dari sebelumnya. Panas matahari sangat menyengat hingga membuat kerongkongan terasa sangat kering hingga berapa banyak pun air yang Adrian minum tak akan mampu membuat kerongkongannya terasa segar.
Hosh, hoshh!
Tengah hari setelah mengantar setengah dari target pengirimannya, Adrian duduk minimarket setelah membeli minuman dingin dan bersiap untuk makan siang dengan bekalnya yang dibuatnya pagi tadi.
Nyam, nyam. Adrian makan dengan lahap meski makan siangnya hari ini hanya nasi dengan tempe goreng yang dipenyet dengan sambal bawang. Adrian memakan makan siangnya dengan cepat dan berniat untuk segera menyelesaikan targetnya hari ini sembari mencari lowongan kerja yang lebih baik.
Buk!
Suara benda jatuh itu membuat Adrian yang tadi makan dengan lahapnya dan tak melihat keadaan sekitarnya, tertarik. Apa itu?? Adrian menyipitkan matanya melihat benda berwarna coklat yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk. Apa itu amplop? Dan lagi ukurannya tebal sekali?? Apa isinya?
Sreet. Adrian mendorong kursinya, bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah amplop coklat dengan tali merah terikat di bagian luarnya yang menarik perhatiannya. Apa ini uang?? Sebelum mengambil amplop tebal itu, Adrian menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan jika pemiliknya mungkin akan menyadari kalo amplopnya mungkin telah jatuh.
Tak ada yang kembali. Tapi setelah menoleh ke kanan dan ke kiri sebanyak dua kali, Adrian tak menemukan orang yang menghampirinya. Mungkin pemiliknya belum tahu jika amplopnya jatuh. Aku hanya akan melihat isinya dan mengembalikannya nanti. Set. Adrian memutuskan mengambil amplop itu dan kembali ke tempat duduknya.
Beneran uang!! Adrian yang membuka amplop itu untuk memastikan isinya, benar-benar kaget mendapati isinya benar-benar adalah uang pecahan seratus ribu dalam jumlah yang banyak. Satu, dua, tiga … Adrian mulai menghitung satu demi satu lembar uang pecahan seratus ribu di dalamnya dan mendapati ada seratus lembar uang pecahan seratus ribu di dalamnya. Ini benar-benar jakpot!!
Adrian merasa senang telah menemukan uang itu. Uang senilai sepuluh juta itu sama seperti gajinya dua bulan selama bekerja di perusahaan di mana dirinya bekerja sebelumnya. Apa Tuhan sengaja mengirim uang ini untukku?? Adrian menatap amplop itu dengan mata berbinar karena uang itu jatuh begitu saja tepat di depan matanya. Aku benar-benar beruntung hari ini!
Menemukan segepok uang yang jadi gajinya selama dua bulan lamanya, Adrian yang tadinya merasa sangat lelah karena terik matahari yang menyengat kembali bersemangat. Nyam, nyam! Adrian melahap makan siangnya yang sederhana dengan semangat dan berharap segera bisa menyelesaikan pekerjaannya hari ini untuk bertemu dengan ibunya.
Broom!!
“Paket!!”
Sore harinya.
Begitu Adrian menyelesaikan pekerjaannya, Adrian langsung mengunjungi rumah sakit di mana ibunya dirawat. Sebelum menemui ibunya, Adrian mampir ke bagian Administrasi dan berniat untuk membayar lebih cepat tagihan untuk perawatan ibunya untuk bulan ini.
“Mbak, saya ingin membayar tagihan untuk Ibu Asri.”
“Sebentar ya, Mas.”
Sembari menunggu pihak administrasi memeriksa tagihan untuk Ibu Adrian, Adrian memeriksa uang dari amplop yang siang tadi ditemukannya. Tapi begitu mengeluarkan uang itu dari amplopnya, Adrian menemukan kartu nama. Adrian mengambil kartu nama itu dan memeriksa nama dan alamat yang tertulis dalam kartu nama itu.
“Felicia, jalan xx blok x kota Z.”
Begitu melihat nama pemilik dari uang yang ditemukannya, tangan Adrian sedikit bergetar. Sial!! Kenapa aku tadi melihat kartu nama ini?
“Mas, total tagihan untuk Ibu Asri bulan ini adalah dua juta lima ratus lima puluh ribu. Mau dibayar tunai atau menggunakan kartu, Mas??”
Apa aku harus menggunakan uang ini?? Mungkin saja … pemilik uang ini di luar sana sedang kesulitan sama seperiku. Bagaimana jika dia mengambil uang ini karena keperluan mendadak dan terjepit sama seperti aku??
“Mas??”
“Maaf, Mbak. Saya akan membayarnya seperti jadwalnya saja.”
Adrian mengurungkan niatnya untuk menggunakan uang yang ditemukannya itu. Karena benaknya yang masih berpikiran lurus di jaman seperti ini, Adrian sedikit merasa kesal dengan dirinya yang penuh dengan pertimbangan dan perasaan ketika semua orang pasti akan menggunakan uang yang ada di tangan Adrian saat ini.
Sial!! Adrian mengumpat pada dirinya sendiri ketika melihat dirinya yang begitu lurus. Naluriku ini!! Kenapa kamu tak pernah berpikir untuk sekali saja mengambil jalan yang sedikit mudah untuk mendapatkan uang???
*
Keesokan harinya.
Setelah semalaman tidak bisa tidur karena uang yang ditemukannya itu, Adrian akhirnya memutuskan untuk datang ke alamat yang tertulis dalam kartu nama itu dengan niat untuk mengembalikan uang itu. Tapi begitu tiba di alamat itu dan melihat bagaimana penampakan rumah itu, Adrian merasa sedikit menyesali keputusannya tidak menggunakan uang itu kemarin.
Sial!! Rumahnya bak istana! Lihat saja gerbangnya!! Tingginya sekitar tiga meter sama seperti tinggi rumahku sekarang!! Adrian yang sudah sangat menyesali keputusannya itu, hanya bisa menelan ludahnya sembari memencet bel rumah itu dan menunggu gerbang besar di hadapannya terbuka.
“Siapa?” Petugas keamanan yang berjaga tidak jauh dari gerbang, datang dan membuka gerbang kecil untuk Adrian.
“Saya mencari Felicia. Kemarin saya menemukan uangnya jatuh di jalan.”
“Nona Felicia??”
“Ya, Pak.” Adrian membuka amplop coklat di tangannya dan mengeluarkan kartu nama yang membawanya ke alamat ini.
“Tunggu sebentar!”
Entah apa yang terjadi, tapi Adrian melihat petugas keamanan itu sepertinya sedang menghubungi pemilik rumah yang berada di dalam rumah. Adrian kira petugas keamanan itu akan membutuhkan waktu yang lama karena Adrian hanyalah orang asing yang tidak sengaja menemukan uang itu, tapi dugaan Adrian salah. Petugas keamanan itu kembali dengan cepat dan langsung mempersilakan Adrian untuk masuk.
“Silakan masuk, Mas.” Adrian dipersilakan masuk. “Jalan masuk ke sana, Mas. Nanti Tuan akan menemui Mas di sana.”
“Baik, Pak. Terima kasih banyak.”
Glup. Adrian berjalan masuk ke dalam rumah megah yang terlihat seperti istana di matanya. Huft! Adrian menghela napas panjang melihat kemegahan ini melalui matanya. Benak Adrian berbicara kepada Adrian ketika melihat beberapa mobil mewah berjejer di samping rumah. Jika … aku punya uang sebanyak ini, mungkin aku tidak akan merasa selelah ini dengan hidupku! Jika aku punya uang sebanyak ini, mungkin aku tidak terlalu khawatir dengan ibuku.
Adrian duduk menunggu di ruang tamu yang ukurannya sama seperti ukuran rumahnya. Melihat pemandangan megah ini, Adrian sekali lagi hanya bisa menghela napas panjang merasa menyesal dan merasa sengsara.
Harusnya uang ini aku pakai saja kemarin!!
Harusnya … aku tak berpikir macam-macam kemarin karena uang dengan nilai hanya seperti uang saku harian bagi pemilik rumah ini!!
Harusnya … jika Ayah tidak berulah dan terlibat dengan wanita penggoda itu, mungkin hidup kami sekarang sudah sama dengan pemilik rumah ini!!
Harusnya …!
Harusnya …!
Benak Adrian terus membuat banyak pengandaian yang membuat hanya semakin merasa sengsara dengan kehidupannya saat ini.
“Selamat siang.” Pemilik rumah dengan wajah yang cukup tampan di usianya yang sekitar 50 tahunan, menyapa Adrian dengan senyum ramah di bibirnya.
“Se-selamat siang, P-Pak.”
“Jangan gugup begitu, Nak.” Pemilik rumah duduk sembari memberikan isyarat pada Adrian untuk duduk juga. “Silakan duduk, Nak.” Pemilik rumah itu melihat meja ruang tamunya yang kosong dan langsung mengangkat tangannya. Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan muncul.
“Ya, Pak.”
“Bisa tolong buatkan minuman untuk tamuku?”
“Ya, Pak.”
“Mau minum apa, Nak??” Pemilik rumah yang masih terlihat gagah itu, bertanya kepada Adrian sembari melirik ke jendela luar rumahnya yang terlihat terik karena sinar matahari. “Minuman dingin sepertinya akan sangat segar.”
Adrian menganggukkan kepalanya merasa sungkan. “Y-ya, Pak. Apa saja yang dingin, saya tidak keberatan.”
“Kopi, jus atau teh?” Kali ini … wanita yang terlihat seperti asisten rumah tangga itu bertanya kepada Adrian dan pemilik rumah.
“K-kopi saja.” Adrian menjawab dengan singkat.
“Tuan ingin apa??” tanya asisten rumah tangga.
“Teh hangat saja seperti biasa.”
“Baik, Pak.”
Setelah asisten rumah tangga itu pergi, pemilik rumah mulai mengenalkan dirinya kepada Adrian. “Perkenalkan namaku adalah Gumilar. Siapa namamu, Nak?”
“A-Adrian, Pak.”
“Ehm … “ Pemilik rumah yang bernama Gumilar itu menganggukkan kepalanya sembari melihat ke arah Adrian. Meski tidak secara langsung, pria itu memandang Adrian dari atas kepala hingga ke kakinya dengan cukup saksama seolah sedang menilai Adrian. “Kata satpam di depan kamu datang karena menemukan uang atas nama putriku??”
“Y-ya, Pak.” Adrian menganggukkan kepalanya sembari mengeluarkan uang yang masih terbungkus amplop coklat sama seperti kemarin. Yang berbeda hanyalah tali merah yang membungkus amplop itu tak lagi terpasang karena Adrian memasukkannya ke dalam amplop bersama dengan uang dan kartu nama Felicia. “Ini, Pak.”
“Tali merahnya, apa kamu yang membukanya??”
“Ya, Pak. Ada di dalam.”
Sekali lagi Gumilar-pemilik rumah menganggukkan kepalanya seperti sedang menilai Adrian. “Ehm … kenapa nggak pake uang itu dan jutsru mengembalikannya? Melihat rumah ini sangat besar, kamu pasti merasa menyesal telah mengembalikan uang ini kan??”
Glup. Adrian menelan ludahnya karena tebakan dari pemilik rumah yang benar-benar tepat dengan situasinya dari kemarin hingga saat ini. Benar, Adrian memang merasa menyesal tak menggunakan uang itu. Tapi … mungkin Adrian akan merasa bersalah karena menggunakan uang itu kemarin.
“I-itu, Pak. Seperti yang Bapak bilang saya memang menyesal tapi rasa penyesalan ini hanya sesaat saja saya rasakan dibandingkan rasa bersalah yang akan saya rasakan ketika menggunakan uang ini.”
“Kenapa begitu, Nak?”
“Perasaan menyesal saya datang karena melihat betapa besarnya rumah Bapak ini. Saya merasa menyesal karena pikiran saya mengatakan uang ini mungkin hanya uang dengan jumlah kecil untuk Bapak. Tapi … “ Adrian menelan ludahnya karena kerongkongannya yang kering. Beruntung asisten rumah tangga datang dan memberikan minuman untuk Adrian.
“Minum dulu, Nak.”
“Ya, Pak.” Cepat-cepat Adrian meminum kopi dinginnya dan membuat kerongkongannya yang sudah sangat kering basah oleh kopi dingin yang menyegarkan. Glup, glup. Segelas besar kopi dingin yang tidak terlalu manis itu langsung habis diteguk oleh Adrian.
“Kamu benar-benar haus, Nak.”
“Ma-maaf, Pak. Kebetulan dua hari ini cuaca di luar benar-benar panas sekali.” Adrian merasa sedikit malu dan sungkan.
“Jangan sungkan, Nak.” Pemilik rumah mengangkat tangannya lagi dan tidak lama kemudian asisten rumah tangga membawa segelas kopi dingin lagi untuk Adrian.
“Te-terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Nak. Jadi kurir bukan pekerjaan yang mudah, Nak.”
“I-itu memang benar, Pak. Tapi bukannya semua pekerjaan memang begitu?? Tak ada yang namanya mudah dalam sebuah pekerjaan.”
Pemilik rumah tersenyum mendengar ucapan Adrian. “Aku suka dengan pikiranmu itu, Nak. Memang tidak ada yang mudah dalam pekerjaan. Bisa tolong lanjutkan ucapanmu tadi, Nak.”
“Ah benar.” Adrian merasa gugup sejenak. Glup, glup. Adrian meminum sedikit kopi dingin barunya sebelum melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti tadi. “Perasaan menyesal itu datang karena melihat rumah Bapak yang besar. Tapi seandainya yang saya datangi saat bukan rumah besar melainkan rumah reot, mungkin saya akan merasa sangat bersalah karena telah menggunakan uang ini, Pak.”
Gumilar mengambil amplop yang diberikan Adrian, memeriksa isinya, mengeluarkan tali merah di dalamnya dan meletakkan kembali amplop itu tanpa menghitung uang di dalamnya. “Aku senang dengan kejujuranmu, Nak. Karena itu, tolong berikan tanganmu, Nak.”
Adrian memberikan tangannya dengan wajah heran dan tidak paham. Apa yang mau dilakukannya dengan tanganku?
Set, set. Gumilar mengikatkan tali merah itu dipergelangan tangan Adrian, membuat tali merah itu seperti gelang di tangan Adrian. “Anggap ini sebagai benda keberuntunganmu, Nak. Bersama dengan gelang ini, kamu bisa mengambil uang di dalamnya, Nak.”
“Ba-Bapak memberikannya pada saya??” Adrian bertanya karena tidak percaya.
“Ya.”
“Kenapa, Pak?” Adrian tidak mengerti.
“Aku suka kejujuranmu, Nak. Itu saja.” Gumilar menjawab dengan senyum ramah di bibirnya. “Hanya saja … “
“Y-ya, Pak.”
“Jangan lepas gelang merah di tanganmu itu, Nak. Melihatmu yang memiliki wajah dan kulit yang bersih, jika aku tidak salah menebak pekerjaanmu sebelum ini berada di ruangan kan??” Gumilar bicara dengan nada santainya.
“Y-ya, Pak. Saya jadi kurir belum sampai dua minggu. Kebetulan saya dipecat karena alasan yang tidak bisa saja katakan.” Adrian menjawab dengan menundukkan kepalanya. Ayahnya adalah sesuatu yang tidak ingin Adrian katakan pada orang lain. Dari banyak pengalamannya selama ini, beberapa orang menganggap Adrian adalah anak yang tidak berbakti karena mengabaikan ayahnya yang terlibat hutang tanpa tahu hutang itu didapatkannya dari judi. Jadi … jika bukan teman baik, sebisa mungkin Adrian tidak ingin menceritakan hidupnya.
“Melihat raut wajahmu, aku merasa kamu sudah melewati banyak kemalangan. Karena itu … jangan lepaskan gelang itu dan kelak … kamu akan dapatkan keberuntungan.”
“Te-terima kasih.” Adrian menganggukkan kepalanya sembari melihat gelang merah di tangannya. Apa benar gelang ini akan mampu mengubah hidupku?? Kuharap jika sekali saja hidupku bisa berubah, aku ingin hidupku ini sedikit berubah. Bukan demi aku, tapi demi ibuku.
Setelah berpamitan, Adrian keluar dari rumah megah itu dan melanjutkan pekerjaannya hari ini. Tak seperti sebelumnya, rasa menyesal di dalam hati Adrian kini menghilang dan berubah jadi rasa senang. Aku bertemu dengan orang baik hari ini. Terima kasih padamu, Tuhan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!