Sebuah video berdurasi dua menit kini menjadi perbincangan di sebuah universitas. Yang mana sosok wanita dalam video itu salah satu siswi teladan, tetapi sangat disayangkan nama baiknya tercemar akibat video itu. Arsyila Almahira, ia merupakan primadona kampus yang namanya sekarang menjadi perbincangan hangat karena video asusilanya di sebuah hotel.
“Arsy, kamu di panggil ke ruang dekan,” ucap seorang siswi yang kini menghampirinya.
Arsyila beranjak dari duduknya lalu pergi ke ruang dekan. Sepanjang jalan ia mendapatkan perkataan pedas dari para mahasiswa atau pun mahasiswi yang berpapasan dengannya. Ingin ia berteriak tak terima, tetapi itulah kenyataannya. Gadis di dalam video itu adalah dirinya.
“Wah ada Neng Arsyila, nanti malam temani abang dong, Neng.”
“Satu jam lima juta deh,” sahut Mahasiswa lainnya.
“Sukanya diatas atau dibawah nih.”
Arsyila mencoba menutup kedua telinganya. Rasanya sudah tak sanggup lagi berada disana. Ia mempercepat langkahnya hingga kini telah sampai di depan ruang dekan.
Tok tok
“Permisi.” Arsyila masuk ke dalam, bergabung dengan beberapa orang yang sudah ada ruangan itu.
“Arsy, silakan duduk! Ada yang ingin kami bicarakan! Orang tuamu juga sedang di dalam perjalanan. Kami akan membahas masalah yang kamu perbuat yang kini menjadikan nama baik kampus kita jelek,” ujar Pak Dekan yang bernama Budi.
“Maaf, Pak,” ucap Arsyila sambil menunduk.
Lima menit kemudian Pak Wira yang merupakan ayah Arsyila datang bersama istri keduanya. Tatapan tajamnya langsung tertuju ke anak kebanggaannya yang biasa di panggil Cila olehnya. Tetapi itu dulu, sebelum Arsyila mencoreng nama baiknya.
Plak
“Dasar anak tak tahu diuntung.” Pak Wira melayangkan tamparan ke pipi anaknya.
“Mohon maaf, Pak Wira. Kita bicara baik-baik saja. Jangan pakai kekerasan!” tegur Pak Budi.
Pak Wira langsung mendudukkan diri di kursi yang telah disediakan, berdampingan dengan istrinya. Pak Dekan langsung menanyakan berbagai pertanyaan kepada Arsyila. Biar bagaimana pun kasus ini harus jelas, nyata atau tidaknya. Takutnya hanya editan dan berujung fitnah.
“Arsyi, Bapak mau tanya, apa benar wanita yang ada di dalam video itu adalah kamu?” tanya Pak Budi.
Arsyila meneteskan air matanya. “Be-nar, Pak.”
“Bapak tak menyangka kamu melakukan itu, Arsyi. Karena setahu Bapak, kamu itu anak yang polos,” ujar Pak Budi.
“Saya bisa jelaskan, Pak. Itu tidak sepenuhnya salah saya. Malam itu saya di jebak. Saya di kasih minum yang mengandung obat perangsang lalu seseorang menarik paksa saya sampai ke sebuah kamar hotel. Dan akhirnya ....” Arsyila terisak, tak sanggup lagi untuk menjelaskan semuanya.
“Bapak ikut prihatin jika memang benar seperti itu kenyataannya. Bapak harap kamu kuat menjalani hari-harimu. Tetapi mohon maaf, Bapak tidak bisa mempertahankan kamu kuliah disini lagi,” ucap Pak Budi menyayangkan.
“Pak, bisakah saya mengurus surat pindah saya. Tolong jangan keluarkan saya begitu saja, Pak. Saya mohon kemurahan hati Bapak,” ucap Arsyila memohon.
“Baiklah, saya akan kasih keringanan itu untuk kamu asal kamu jangan mendaftar kuliah di kampus yang masih ada di kota ini. Tidak menutup kemungkinan jika video kamu juga sudah di tonton banyak orang. Kamu mengerti kan maksud Bapak?”
“Iya, Pak. Saya akan pergi jauh dari kota ini untuk melanjutkan lagi kuliah saya. Saya sangat berterima kasih atas kemurahan hati Bapak.” Arsyila berucap syukur dalam hatinya. Setidaknya ia tak putus kuliah, melainkan pindah kuliah ke tempat lain.
Setelah mengurus surat pindahnya, kini Arsyila pulang bersama orang tuanya. Sepanjang jalan Bu Fitri selaku ibu tiri Arsyila terus memojokkannya. Sedangkan Pak Wira hanya diam saja karena memang enggan buka suara.
Sesampainya di rumah, Pak Wira langsung mengajak Arsyila berbicara. “Cila, tolong kamu duduk dulu! Ada yang ingin papah katakan sama kamu.” Pak Wira terlebih dahulu duduk di sofa, lalu diikuti oleh Arsyila dan Bu Fitri.
“Pah, apa Papah akan menemaniku mencari kampus baru?” tanya Arsyila.
Pak Wira menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. “Terpaksa Papah harus mengatakan ini, Nak. Sebaiknya kamu pergi dari rumah ini dan tinggalkan semua fasilitas yang papah kasih ke kamu. Jangan menginjakkan kaki ke rumah ini sebelum papah sendiri yang menjemputmu. Datanglah ke kampung nenekmu di Semarang. Kamu bisa lanjut kuliah disana.”
Tes
Air mata Arsyila menetes begitu saja tanpa permisi. Tak menyangka jika ayahnya akan mengusirnya. Ya, orang tua mana yang tak akan malu jika anak gadisnya mempermalukan keluarga. Disini Arsyila hanya bisa pasrah.
“Bagaimana aku bisa kuliah jika tak boleh menggunakan fasilitas dari papah? Itu Artinya semua kartu ATM milikku tak boleh aku bawa, sedangkan aku butuh uang untuk biaya hidup dan biaya kuliah,” ujar Arsyila.
“Kamu tenang saja, untuk biaya hidup nanti Papah bisa kasih uang ke nenekmu setiap bulannya. Sedangkan biaya kuliah kamu harus memikirkannya sendiri. Itu sebagai hukuman karena kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita.”
....
....
Sore harinya Arsyila sudah berada di terminal. Ia sengaja pergi sendirian. Padahal ayahnya menawarkannya untuk diantar oleh sopir, tetapi ia menolak. Penampilan Arsyila kini tampak berbeda. Ia menggunakan pakaian muslimah tertutup lengkap dengan cadar. Tadi di perjalanan ia mampir ke toko untuk menjual semua barang branded miliknya. Uang hasil penjualan ia pergunakan untuk membeli beberapa potong pakaian muslimah dan sisanya akan ia pergunakan sebagai biaya hidup sebelum ia bekerja nanti.
Arsyila menatap sekilas bus jurusan Semarang. Ia tak akan pergi ke Semarang seperti yang di perintahkan oleh ayahnya. Ia memilih menaiki bus jurusan Jawa timur. Toh sama saja, mau pergi kemana pun ayahnya tak akan peduli lagi.
‘Selamat tinggal kota Jakarta,’ batin Asryila lalu ia memejamkan mata.
Selama perjalanan Arsyila hanya tidur saja. Bahkan saat bus berhenti di Rest area pun ia hanya turun sebentar untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Ya, walaupun ia orang kota, tetapi tak pernah lupa meninggalkan Shalat lima waktu. Mungkin ilmu agamanya masih lemah, tetapi soal Shalat ia selalu ingat.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, Arysila telah sampai di terminal bus kota Surabaya. Dari sana ia mencari informasi mengenai Universitas berbasis pesantren. Setelah menemukan informasi dari media sosial, kini Arsyila memutuskan untuk pergi ke pesantren yang cukup terkenal di Jawa timur. Dari Surabaya jaraknya sangat jauh, sehingga ia perlu waktu beberapa jam lagi untuk sampai. Arsyila menyewa mobil untuk mengantarnya hingga ke pesantren yang ia tuju.
“Neng, bangun! Kita sudah sampai,” ucap sang sopir mencoba membangunkan Arsyila yang duduk di jok belakang.
“Emm ....”Arsyila mengerjapkan kedua matanya lalu ia menatap keluar. “Ini dimana?”
“Kita sudah sampai di tempat yang Neng tuju,” ucap sang sopir.
“Baiklah.” Lalu Arsyila turun dari mobil. Pak sopir pun membantu menurunkan koper besarnya.
Arsyila menatap ke bangunan luas bertingkat yang ada di hadapannya. Tak sengaja ia melihat seorang ibu-ibu keluar gerbang pesantren. Arsyila menghampirinya untuk bertanya.
“Assalamu’alaikum. Permisi, Bu saya mau tanya, bagaimana cara mendaftar masuk ke pesantren sekaligus Universitasnya?” tanya Arsyila.
“Waalaikum’sallam. Kamu boleh panggil saya Umi, Nak. Kebetulan saya istri dari pemilik pesantren. Kalau boleh tahu Nak cantik namanya siapa?” tanya Umi Khadijah.
“Nama saya Arsyila, Umi boleh panggil Cila saja.”
“Salam kenal Nak Cila. Mari ikut Umi!” ajaknya.
Arsyila mengekor Umi Khadijah hingga mereka sampai di sebuah rumah entah itu rumah siapa.
“Assalamu’allaikum,” ucap Umi saat memasuki rumah itu.
Asyila ikut masuk, lalu ia di persilakan untuk duduk. Sedangkan Umi Khadijah pergi ke dalam untuk memanggil Abah Ahmad sang suami. Saat Arsyila menatap ke sekitar, tak sengaja melihat seorang lelaki tampan yang baru keluar dari salah satu kamar dan saat melewati Arsyila, lelaki itu menunduk bahkan tak menyapa.
“Hey cowok sombong,” panggil Arsyila kepada lelaki itu. Sungguh dirinya tak terlihat seperti wanita Sholehah dengan balutan pakaian muslimatnya.
“Saya?” tunjuk lelaki itu pada dirinya sendiri sambil menatap Arsyila sekilas.
“Ya kamu, memangnya siapa lagi,” ucapnya.
Baru juga Lelaki itu akan menjawab, tiba-tiba Umi Khadijah dan Abah Ahmad muncul disana. Bahkan Abah Ahmad meminta lelaki itu untuk duduk bergabung bersama mereka. Arsyila menundukkan pandangannya, tak suka dengan keberadaan lelaki sombong itu disana.
“Nak Arsyila, tadi istri saya sudah cerita jika Nak Arsyila itu akan mondok dan melanjutkan kuliah disini. Saya sebagai salah satu pengurus tentu sangat senang. Biar Nak Ilham yang membantumu, Nak. Kamu boleh siapkan persyaratan untuk mendaftar kuliah. Besok Nak Ilham yang akan mengantarmu mendaftar,” ujar Abah Ahmad.
Lalu Abah Ahmad menatap lelaki tampan yang duduk di dekatnya. “Kamu siap membantu kan, Nak?”
“Siap, Abah,” jawabnya.
‘Oh jadi namanya Ilham,’ batin Arsyila.
Gus Ilham meminta Arsyila untuk menunjukkan persyaratannya sekarang juga. Takutnya ada persyaratan yang kurang. Setidaknya masih ada waktu untuk melengkapinya.
Gus Ilham melihat satu persatu lembaran kertas yang sedang ia cek. Tatapannya terhenti di sebuah foto yang sangat cantik tanpa hijab. Memang Arsyila membawa fotonya yang ia miliki karena belum sempat foto ulang dengan memakai hijab.
‘Subhan’allah, sungguh cantik ciptaanmu Ya Rabb,’ batin Gus Ilham mengakui kekagumannya. Namun, kekagumannya tak berlangsung lama. Gus Ilham beristighfar berulang kali dalam hatinya karena telah melihat aurat seorang wanita meski hanya berupa foto.
“Bagaimana Nak, apa ada yang kurang?” tanya Abah.
“Hanya foto saja yang perlu diganti, Abah,” jawabnya.
“Baiklah, kamu urus saja, Nak.”
Gus Ilham berpamitan pergi dengan membawa persyaratan milik Arsyila. Ia juga akan memanggil senior perempuan untuk membantu Arsyila memfotonya. Tidak mungkin ia sendiri yang bertindak untuk hal yang satu itu.
...
...
Kedatangan Arsyila di kampus tentu menjadi sorotan semua orang. Pasalnya di kampus itu hanya ada tiga orang yang bercadar, termasuk Arsyila. Namun, yang membuat mereka kagum, Arsyila mempunyai mata indah berwarna biru. Banyak yang bertanya-tanya apakah itu soflens, tetapi Arsyila mengatakan jika itu warna asli matanya.
"Assalamu'allaikum, ukhti. Cantik banget sih kamu. Kenalin aku Fatimah," ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Arsyila.
"Waalikum'sallam. Kamu berlebihan sekali deh. Salam kenal aku Arsyila, boleh dipanggil Cila. Lagian wajahku nggak kelihatan, kok bisa menyimpulkan jika aku cantik." Arsyila menerima jabatan tangan itu.
"Hehe cuma nebak tapi sepertinya memang cantik loh. Oh iya, apa kamu akan mesantren juga?"
"Iya, hanya saja aku juga ingin kerja. Namun, pastinya akan sulit mengatur waktunya. Apalagi jika di pesantren kan nggak boleh keluar," ujar Arsyila.
"Kamu benar juga. Em bagaimana jika kamu mendaftar jadi asisten ustadzah, lumayan bisa gratis tinggal di pesantren," ujar Fatimah memberi saran.
"Bagaimana jadi asisten, aku saja masih baru. Apa nggak ada yang lain?"
"Coba nanti aku cari info," ucap Fatimah.
"Terima kasih banyak ya. Semoga saja ada pekerjaan yang bisa aku lakukan, apa pun itu asal halal." Arsyila menatap Fatimah penuh harap.
"Sama-sama, em bagaimana jika kita keliing kampus ini biar kamu nggak bingung karena belum mengetahui letak ruangan-ruangan penting di kampus ini," ajak Fatimah.
"Boleh, berhubung kelas kita masih setengah jam lagi." Arsyila menerima tawaran Fatimah.
Kini keduanya berjalan berdampingan sambil bercengkerama. Fatimah memberitahu beberapa tempat penting yang ada di kampus termasuk perpustakaan salah satunya. Saat asyik mengobrol, tak sengaja seseorang menabrak Arsyila dari samping.
"Aduh maaf." Arsyila langsung menjauhkan tubuhnya dari seorang lelaki yang menabraknya.
"Saya yang minta maaf, tadi saya yang nggak lihat jalan, “ucap lelaki itu.
Arsyila yang merasa familiar dengan pemilik suara itu, ia langsung saja menoleh. Betapa terkejutnya saat melihat lelaki tampan yang ternyata lelaki yang menghabiskan satu malam dengannya. Lelaki itu mengernyitkan keningnya melihat wanita di hadapannya tiba-tiba membelalakkan matanya.
"Saya permisi, Assalamu'allaikum." Arsyila langsung menarik tangan Fatimah dan mengajaknya pergi dari sana.
Niatnya untuk menenangkan diri, Arsyila tak menyangka jika akan dipertemukan dengan lelaki yang sudah menodainya. Tubuhnya masih bergetar mengingat traumanya dimalam itu. Fatimah yang merasakan hal aneh, merasa khawatir karena teman barunya sepertinya sedang ketakutan.
"Cila, kamu kenapa?" tanya Fatimah.
"Siapa lelaki yang menabrakku tadi? Apa kamu mengenalnya?"
''Dia itu senior kita sekaligus lelaki paling populer di kampus ini. Namanya Adam Al-fatih. Memangnya kenapa? Kamu naksir?'' tanya Fatimah.
Arsyila masih terdiam mengingat kejadian kelam yang menimpanya. Sekarang ia tahu lelaki yang menodainya bernama Adam. Entah bagaimana takdir mempermainkannya. Usahanya pergi jauh ternyata malah mempertemukannya dengan sosok yang ia benci.
''Cila, apa kamu baik-baik saja?'' Fatimah menepuk pundak Arsyila karena sejak tadi Arsyila hanya diam saja.
''Aku baik-baik saja. Ayo kita pergi!'' Arsyila kembali berkeliling bersama Fatimah. Tetapi kali ini ia tak fokus. Setelah pertemuannya dengan Adam tadi membuatnya tak tenang.
Fatimah melihat jam di pergelangan tangannya, ternyata sudah cukup lama mereka berkeliling. Sekarang mereka memutuskan untuk kembali ke kelas sebelum keduluan oleh dosen yang mengajar.
Di kelas baru Arsyila hanya ada sedikit mahasiswa laki-laki, karena mayoritas perempuan. Mereka juga kelihatannya pendiam, berbeda dengan teman-temannya saat di Jakarta. Beruntung Arsyila mempunya teman baru sebaik Fatimah yang ternyata orangnya supel. Berkat Fatimah, kini Arsyila mempunyai banyak teman. Walaupun awalnya ia sedikit takut, karena saat di kampus yang lama banyak sekali teman yang mendekatinya hanya karena memanfaatkannya.
Tap tap
Terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. Seorang pria tampan memasuki ruang kelas. Seketika semuanya diam saat melihat dosen tampan memasuki ruangan. Kebanyakan dari mereka langsung menundukkan pandangan, karena dosen yang satu ini tak suka di tatap oleh lawan jenis.
''Assalamu'alaikum.Wr.Wb,'' ucap Gus Ilham.
''Waalaikum'sallam.Wr.Wb, Gus,'' jawab mereka.
'Gus? Apakah namanya Ilham Agus?' batin Arsyila.
Gus Ilham melihat salah satu mahasiswi yang sedang melamun. Walaupun memakai cadar, tetapi Ilham tahu jika gadis itu tak memperhatikannya.
''Hey kamu yang disebelahnya Fatimah, kenapa kamu melamun? Apa kamu merasa sudah sangat pintar sehingga berani melamun di jam pelajaran saya?'' tanya Gus Ilham.
Seketika ruang kelas terasa sunyi. Tak ada yang berani bicara disaat mata pelajaran Gus Ilham yang terkenal galak. Padahal Gus Ilham hanya ingin mereka semua tak serius dalam belajar.
Fatimah menepuk bahu Arsyila sehingga tersadar dari lamunannya. ''Hey,kamu dipanggil Gus Ilham.''
''Astaghfirullah'aladzim,'' Lalu Arsyila menatap ke depan. ''Gus Ilham memanggil saya?''
''Kenapa kamu melamun? Bukankah kamu mahasiswi baru? Seharusnya di hari pertama kuliah itu lebih serius bukannya melamun,'' tegurnya.
''Saya minta maaf, saya janji tidak akan mengulanginya lagi,'' ucap Arsyila
''Memang begitu seharusnya.''
Gus Ilham memulai pelajaran. Memang ia hanya dosen pengganti yang mengajar mata kuliah manajemen bisnis, selama Bu Nur cuti lahiran. Sebelumnya ia tak pernah mau mengajar di kelas yang banyak mahasiswinya, karena ingin menjaga pandangan.
Beberapa kali Gus Ilham memberikan pertanyaan kepada Arsyila, tetapi Arsyila mampu menjawabnya dengan benar. Padahal yang ia tahu sebelumnya Arsyila kuliah jurusan desainer. Disisi lain Arsyila kesal karena mengira jika Gus Ilham sedang mengerjainya dengan selalu bertanya kepadanya.
''Saya salut sama kamu, Arsyila. Bukankah sebelumnya kamu kuliah jurusan desainer, tetapi kenapa kamu seperti sudah sangat mendalami manajemen bisnis?'' tanya Gus Ilham yang sejak tadi penasaran.
''Sebenarnya satu tahun belakangan ini saya membantu ayah saya mengurus perusahaan jadi sudah sedikit paham tentang bisnis,'' jawab Arsyila.
''Jika memang kamu sepintar itu, lalu kenapa kamu pindah kuliah disini? Bukankah universitas di kota itu lebih bagus dari segala hal?''
''Maaf, Gus. Sepertinya Anda sudah bertanya terlalu jauh. Ini privasi saya dan sepertinya tak perlu saya jawab,'' ucap Arsyila.
''Mohon maaf, Arsyila. Em untuk semuanya, cukup sekian pembelajaran hari ini, saya undur diri. Assalamu'allaikum.Wr.Wb.''
''Waalaikum'sallam.Wr.Wb,'' jawab mereka serempak.
Arsyila bernapas lega saat melihat Gus Ilham yang sudah keluar dari kelasnya. Sungguh, lelaki yang satu ini membuatnya menjengkelkan.
''Cila, sepertinya Gus Ilham menyukaimu,'' ucap Fatimah.
''Jangan ngaco deh, lagian aku juga ogah sama lelaki seperti dia,'' jawab Arsyila.
''Tapi jarang bahkan nggak pernah loh Gus Ilham kepo soal mahasiswinya seperti tadi. Sepertinya ada yang aneh.'' Fatimah tampak memikirkan sesuatu.
''Sudahlah, kita bahas yang lain saja. Lagian kenapa sih dipanggilnya Gus? Memangnya nama dia Ilham Agus, atau Agus Ilham?'' tanya Arsyila yang memang penasaran sejak tadi.
Fatimah tertawa, tetapi cepat-cepat ia menutup mulutnya. Ia menatap ke sekitar dan ternyata semua orang sedang memperhatikannya. Ia mendekatkan tubuhnya dengan Arsyila dan berbicara dengan sedikit berbisik agar tak terdengar oleh yang lain.
''Gus itu bukan berarti namanya Agus. Tetapi karena Gus Ilham itu anak dari seorang Kyai jadi kita semua memanggilnya Gus. Aku kira kamu lebih paham, secara kamu itu wanita bercadar,'' ujar Fatimah.
''Oh seperti itu. Em aku memang bercadar tetapi bukan berarti aku orang yang pintar agama. Aku bercadar sejak aku pindah kesini. Dulu penampilanku sangat modis seperti artis-artis dalam televisi. Pasti kamu tahu itu kan? Apalagi aku kuliah Desainer,'' jelas Arsyila.
''Wah berarti kamu memang cantik jelita dong. Em aku jadi penasaran, kenapa kamu berubah seperti ini?''
''Semuanya mendadak begitu saja. Sebenarnya aku juga tak nyaman berpenampilan seperti ini. Hanya saja ada satu hal yang aku juga belum bisa menceritakannya sama kamu. Mohon maaf ya.'' Raut wajah Arsyila terlihat berubah saat ia mengatakan itu.
Fatimah tak mau memaksa Arsyila untuk bercerita, karena sepertinya itu memang hal yang tak mau ia ceritakan. ''Tidak masalah. Tetapi, selagi kamu berada disini, tidak usah sungkan untuk meminta bantuan kepadaku jika memang membutuhkannya.''
''Aku hanya butuh bantuan soal info pekerjaan saja.'' Arsyila kembali mengingatkan Fatimah.
''Oh iya, nanti aku kasih tahu kamu kalau ada info loker.''
Arsyila sudah mendapatkan pekerjaan sampingan yaitu menjadi tukang cuci piring di pesantren. Mungkin itu pekerjaan yang cukup melelahkan. Namun, ia tak punya pilihan lain karena saat ini sangat membutuhkan pekerjaan. Jam kerja Arsyila menyesuaikan kegiatan di pesantren, berhubung ia juga seorang santri. Apalagi saat malam, ia mencuci piring setelah selesai mengaji.
Arsyila di perbolehkan makan dan tinggal gratis karena ia termasuk pekerja di pesantren. Sekarang ia tinggal memikirkan bagaimana cara membiayai kuliah. Jika bergantung dengan uang tabungannya, lama kelamaan juga akan habis. Mungkin Arsyila akan mengikuti seleksi beasiswa.
Pukul sembilan malam semua santri baru selesai mengaji. Arsyila menitipkan alat tulis miliknya beserta mukena yang tadi ia pakai kepada Fatimah, sedangkan dirinya akan langsung pergi ke dapur. Disana pekerjaannya sudah menanti.
"Assalamu'allaikum," ucap Arsyila saat memasuki dapur.
"Waalaikum'sallam,''jawab kepala pekerja dapur yang saat ini sedang menyapu. "Mbak Cila baru selesai mengaji?"
"Iya nih, Bu. Em nanti lampu depan jangan dimatikan dulu ya, biar Cila saja yang mematikannya setelah selesai bekerja," ucap Arsyila.
"Baik, Mba Cila."
Arsyila bergerak cepat agar pekerjaannya cepat selesai. Ia hanya bekerja sendirian menggantikan Ambar yang baru saja keluar dari pekerjaan itu. Sebenarnya bukan hanya mencuci piring dan alat-alat dapur saja, Arsyila juga menggosok baju para santriwati lalu dapat upah. Hanya santriwati dari kota yang memakai jasanya, karena mereka memang tidak mau ribet menyetrika sendiri. Apalagi jadwal kuliah yang padat serta harus mengaji juga membuat mereka terkadang malas untuk melakukan apa pun lagi.
Gus Ilham memasuki dapur dengan membawa galon di bahunya. Tak sengaja ia melihat seseorang yang sedang mencuci piring sendirian. Namun, posisinya membelakanginya sehingga ia tak melihat wajahnya.
'Siapa dia? Apakah Mbak Ambar? Tapi, sejak kapan Mbak Ambar berubah ramping?' batin Gus Ilham.
Gus Ilham menggelengkan kepalanya. Ia berlalu pergi dari sana. Lagian tidak biasanya ia penasaran dengan hal yang tak penting.
Setelah lebih dari tiga puluh menit, akhirnya Arsyila selesai mengerjakan pekerjaannya. Ia hanya mencuci piring kotor bekas makan para pekerja dan juga pengurus pesantren. Dan juga alat-alat dapur yang kotor. Tak lupa ia mengelapnya dan menatanya.
....
Di sebuah ruangan, yaitu ruangan Gus Ilham sedang ada tamu. Mereka adalah sepasang suami istri yang tak lain paman dari Gus Ilham. Kedatangan mereka tentunya karena ingin menengok anak mereka yang baru tinggal beberapa hari di pesantren.
"Mana nih anak lama sekali?" keluh Pak Haris sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sabar, Pah. Segitunya papah kangen sama anak nakal itu," ucap Bu Ratih.
Sosok yang mereka tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Ia adalah Adam Al-kahfi, putra semata wayang mereka yang susah diatur.
"Adam, kalau masuk itu ucap salam," tegur Bu Ratih.
"Assalamu'allaikum," ucapnya tanpa semangat.
"Waalaikum'sallam," jawb mereka bersamaan.
"Ngapain mamah sama papah datang kesini? Apa kalian mau jemput Adam pulang? Bukankah kalian sudah mengusir Adam agar tinggal disini?" Adam menanyakan berbagai pertanyaan kepada orang tuanya.
"Kami mau pergi satu tahun ke luar negeri. Kami menitipkanmu sama Ilham. Awas saja kalau kamu berani coba kabur dari sini, itu tidak akan pernah bisa. Selama satu tahun kamu disini saja tidak usah pulang karena dirumah pasti nggak ada orang," ancam Bu Ratih.
"Ngapain pakai pamit segala? Kalau mau pergi ya pergi saja, nggak usah pamit segala," ucap Adam.
"Adam, kalau bicara sama orang tua itu pakai sopan santun," tegur Bu Ratih yang sudah jengah dengan sikap putranya.
"Dengarkan apa kata mamahmu, Dam. Kami pergi karena harus mengurus perusahaan yang disana," sahut Pak Haris.
Bu Ratih menatap Ilham yang duduk di hadapannya. "Nak Ilham, Tante minta tolong bersabar menghadapi Adam ya. Bimbing dia biar bisa sepertimu."
"Insya'allah, Bi. Bibi sama Paman tenang saja, sebisa mungkin Ilham akan berusaha membimbing Adam."
"Kami senang mendengarnya, Nak. Semoga saja Adam secepatnya bisa menjadi lelaki yang lebih baik lagi. Kami sudah lelah dengan kelakuannya," ujar Bu Ratih penuh harap.
Alasan Bu Ratih memasukkan anaknya ke pesantren sekaligus pindah kuliah, karena Adam yang memang susah diatur. Apalagi hobinya gonta-ganti pasangan. Bu Ratih tak ingin anaknya terjerumus lebih dalam lagi, maka dari itu mengirimnya untuk kuliah di tempat Ilham mengajar.
Adam keluar dari ruangan itu bersamaan dengan orang tuanya yang pamit pulang. Adam berjalan-jalan keliling pesantren sambil mengumpat dalam hatinya. Jujur ia masih kesal kepada orang tuanya. Beberapa santriwati yang berpapasan dengan Adam terlihat menunduk. Mereka tak berani menatap Adam. Walaupun Adam sangat tampan dan menjadi idola baru di kampus, tetapi di pesantren tak ada yang meliriknya. Bukan mereka tak tertarik, tetapi mereka hanya menjaga pandangan.
"Aneh sekali para gadis disini so suci. Berpapasan denganku saja menunduk," gumam Adam.
Adam menghadang dua santriwati yang lewat. Namun mereka menunduk, tak berani menatap wajah Adam. Adam semakin melangkah maju sehingga mereka berjalan mundur.
"Hei kamu jangan macam-macam!" terlihat Arsyila melangkah mendekati mereka.
Kedua santriwati itu langsung pergi, meninggalkan Arsyila bersama Adam. Arsyila menghela napasnya, ternyata lelaki yang berani menggoda santriwati adalah Adam. Pantas saja mereka terlihat takut dengan lelaki pemangsa yang satu ini. Ya, Arsyila mengecap Adam sebagai lelaki pemangsa wanita.
"Hm ada pahlawan kesiangan nih. Em mata kamu sangat indah nona." Adam memandangi mata indah milik Arsyila. Sepintas bayangan malam itu kembali ia ingat. Adam tahu jika wanita yang menghabiskan malam bersamanya juga memiliki mata berwarna biru. Jika saja Arsyila tidak memakai cadar, mungkin Adam langsung tahu jika itu dirinya.
"Jaga pandanganmu!"
“Kamu semakin membuatku penasaran, Nona. Apalagi suaramu seperti tak asing." Adam berniat membuka cadar Arsyila, tetapi Arsyila menepis tangannya.
"Wah galak juga ternyata." Adam menarik tangan Arsyila dan langsung memeluknya.
Arsyila berusaha memberontak karena baginya Adam sudah melakukan pelecehan. Apalagi jika ada yang melihat bisa salah paham terhadap keduanya. Arsyila menginjak kaki Adam dengan keras sehingga pelukan itu pun terlepas. Arsyila tak menyia-menyiakan kesempatan itu. Ia langsung saja lari dari sana, meninggalkan Adam yang sedang mengumpat.
Dari kejauhan Gus Ilham melihat Adam berpelukan dengan wanita yang belakangan ini memenuhi pikirannya. Gus Ilham memang jatuh hati kepada Arsyila sejak pertama kali melihatnya. Kecantikan dan kecerdasannya memang menjadi daya tariknya. Apalagi Gus Ilham pernah melihat foto Arsyila tanpa hijab.
Gus Ilham melangkah mendekati Adam. "Adam, jaga kelakuan kamu! Jangan memeluk sembarangan santriwati disini, apalagi itu Arsyila!" tegur Gus Ilham.
"Arsyila? Jadi wanita tadi namanya Arsyila? Sepertinya kakak menyukainya. Bisa nih kita bersaing untuk mendapatkannya." Adam tersenyum menyeringai. Mungkin sekarang saatnya ia mematahkan hati Gus Ilham. Selama ini keluarganya selalu membanggakan Gus Ilham. Apalagi orang tuanya yang selalu membandingkan antara keduanya.
"Jangan macam-macam kamu!" ancamnya.
Adam semakin senang melihat kecemburuan Gus Ilham. Mulai sekarang ia akan mencari cara agar bisa dekat dengan wanita yang bernama Arsyila itu. Jika ia mampu memiliki Arysila, maka ia yang akan memenangkannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!