"Ibu, Dara berangkat," ujar Dara yang pagi-pagi akan berangkat bekerja. Semalam dia telah mendapat panggilan untuk mengantarkan pesanan makanan ke beberapa tempat.
Yundari, Ibu Dara cepat-cepat keluar membawakan bekal untuknya. "Ini bawa bekal nanti kamu tidak makan seperti kemarin," titah Yundari kepada putrinya.
"Terima kasih Bu, Dara berangkat. Ibu jangan mengerjakan hal-hal berat, harus banyak istirahat," ucap Dara lalu mengecup kening Ibunya.
Mengendarai motor yang kurang dari kata mewah bukan masalah bagi Dara. Terpenting saat ini bagaimana dia mendapatkan uang untuk meringankan beban Ibunya yang sering sakit.
Meskipun terkadang bayangan masa lalu yang begitu buruk sering kali teringat membuat Dara sedih. Tetapi dia selalu ingat yang tersakiti bukan hanya Dara saja, melainkan juga Ibu dan adiknya yang saat ini sudah berkuliah. Dara berhenti sekolah karena mengalah untuk Ika, adik kesayangannya. Jika dia egois pada waktu itu maka tidak tahu lagi apakah Ibunya dapat bertahan sampai sekarang.
Ibu menjadi segalanya untuk Dara saat ini. Dia rela melakukan apapun agar Ibunya tidak bekerja lagi. Biarkan raganya hancur asalkan jangan Ibunya. Sudah cukup deritanya selama ini mempunyai suami yang tidak bertanggung jawab seperti Ayahnya.
Pria yang disebut Ayah, suami, sekaligus kepala rumah tangga telah menghancurkan pondasi rumahnya sendiri. Tidak ada kebaikan yang Dara ingat dari sosok Ayahnya. Beruntungnya trauma Dara tidak sampai membuat dia harus membenci semua laki-laki di dunia ini. Dia mempunyai kekasih namun mereka jarang bertemu. Dari tadi sibuk dengan ingatannya di masa lalu, hingga sekarang Dara sudah berada di tempat kerja.
"Mbak, jadi ini diantar sesuai urutan yang ada di sini ya?" tanya Dara membawa selembar kertas isinya pesanan.
"Iya Dar, bingkisan yang ini lumayan banyak kamu bolak-balik saja bawa motor, Mbak. Kemungkinan dua kali balik sama pesanan yang di balik kertas itu." ujar Mbak Tia pemilik usaha.
"Iya mbak banyak hari ini pesanan, nanti Dara centang semua kalau sudah selesai ya Mbak."
Hari Sabtu dan Minggu bisa dikatakan waktu yang fleksibel untuk Dara mengerjakan apapun. Apabila ada yang menghubungi seperti tempat bekerja Dara sebagai pengantar pesanan makanan di suatu kegiatan atau kadang dihubungi oleh tempat penatu kenalannya yang memberikan pekerjaan mengantarkan pakaian yang sudah bersih kepada pelanggan. Sehingga, gaji yang diterima per hari secara langsung setelah pekerjaan selesai.
Untuk hari berikutnya Senin sampai Jumat, dia menjadi Asisten Rumah Tangga merangkap juga menjadi pengasuh bayi di rumah tetangganya yang kaya. Suami dan istri pekerja keras, hingga tidak bisa secara langsung mengawasi perkembangan anaknya yang masih kecil. Dengan demikian, Dara mempunyai kesempatan mendapatkan uang lebih.
Pemilik Rumah besar tempat Dara bekerja adalah Jaya dan istrinya, Nia telah mengenalnya lama. Bahkan kehidupan menyedihkan dan kepelikan yang Dara rasakan pun tahu. Dia juga sempat mempunyai hutang kepada keluarga ini, ketika adiknya sering sakit di masa kecilnya. Dara benar-benar mengabdi dan diberikan kepercayaan penuh di rumah ini. Saking percayanya kamera pengawas tidak dipasang, tak sedikit pun ada rasa curiga untuk manusia yang kuat dan baik hati seperti Dara.
"Mbak, nanti Mami pulang kerja sama Bapak terlambat dari biasanya lantaran ada rapat. Sore pasti macet jadi menunggu lebih lama untuk jaga Nunu tidak apa-apa, ya?" tanya Nia yang sudah siap berangkat bekerja.
"Iya Mami, bisa nanti Dara pulang kalau Mami dan Bapak sudah sampai rumah," jawab Dara.
"Terima kasih ya Mbak, Mami berangkat dulu. Jangan terlalu rajin, Mbak kalau lelah istirahat terlebih dahulu. Rumah selalu rapi karena Mbak tetapi kesehatan perlu dijaga. Kalau Mbak sakit Mami juga yang repot tidak ada yang bisa jaga Nunu," ucap Nia sambil menepuk bahu Dara.
Dara hanya bisa mengangguk saja, bagaimana bisa dia tidak bekerja secara benar, jika orang yang ada dihadapannya ini adalah orang yang sangat berjasa dalam kehidupannya. Hutang yang dia bayarkan tahun lalu dari gaji bekerjanya saja seharusnya tidak cukup, tetapi Nia yang dipanggil Mami merelakan sisanya. Sehingga Dara tidak bisa santai dia harus memberikan lebih meski bukan uang dia bisa menggantikannya dengan tenaganya.
Memasak, mencuci, menyapu, mengepel, dan terakhir sekarang Dara harus memandikan Nunu yang sudah bangun berada di kamarnya.
"Nunu ... kita mandi dulu ya, sayang. Aduh, sudah pup juga sayang Dara satu ini," ucap Dara sembari mengangkat badan Nunu.
Dara memang sangat sabar dengan anak kecil. Bayi berusia enam bulan termasuk itu, sangat lincah. Nunu sangat suka dengan air dingin kakinya yang bergerak ke sana kemari tidak ingin diam, hingga baju Dara ikut basah lantaran terciprat air.
"Nunu, sudah pintar ya membuat baju Mbak Dara basah setiap hari," ujar Dara menatap bayi kecil yang menggemaskan ini.
Setelah selesai dia membawa Nunu dengan sangat hati-hati untuk memakaikan pakaiannya. Banyak hal yang dia lakukan menyuapi Nunu, mengajaknya bermain sambil belajar mengenal apa yang dikatakan Dara seperti Papa, Mama, dan ini Nunu. Dia juga sudah mengerti hal yang menurutnya lucu beberapa kali dia tertawa. Dara pun ikut tertawa melihat Nunu bahagia menampakkan gigi ompongnya.
Melihat Nunu membayangkannya di masa kecil. Sepertinya menjadi bayi lagi menyenangkan, tidak memikirkan bagaimana bertahan hidup, merasakan sakitnya takdir bekerja, dan melelahkannya menjadi dewasa. Tawa Nunu benar-benar seperti obat, membuat candu Dara hanyut ke dalam dunianya. Waktu sudah siang, dia menggendong Nunu jalan-jalan sekitar rumah dan akhirnya dia pun tertidur. Dara memperhatikan wajahnya, memainkan hidung Nunu yang sudah mancung sedari kecil. Bagaimana bisa sudah sempurna ini?
Dara melangkah kakinya ke dalam kamar Nunu membaringkannya dengan sangat pelan. Ada pergerakan besar sedikit saja pasti dia langsung terbangun. Menarik selimut untuk menutupi Nunu agar tetap hangat dan nyaman. Dara memastikan kembali bahwa pekerjaan telah sempurna. Dia keluar dari kamar tersebut, handphone nya berbunyi merogoh sakunya yang tidak terlalu dalam.
"Mau ketemu di mana? Sepertinya aku akan pulang malam Mas," ujar Dara.
Orang yang menelpon Dara adalah Wirya, dia adalah kekasih Dara dalam waktu dua tahun berjalan. Wirya salah satu pria yang bisa menaklukkan hati Dara yang sudah keras. Dia berhasil merobohkan tameng yang Dara bangun bahwa laki-laki semuanya penuh kebejatan. Dia mampu membuat kebencian berubah menjadi rasa mencintai.
Dara sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, dia juga sudah berganti pakaian. Setiap bekerja di rumah Jaya, dia selalu membawa baju lebih karena dia tahu pasti akan kebasahan baik dari kerjanya maupun kegiatan mengasuh si kecil.
Pintu rumah telah terbuka, Jaya dan Nia sudah datang. Sedangkan Dara di kamar Nunu yang sangat semangat berguling-guling dan mulai belajar merangkak. Di buka pelan pintu kamar Nunu, Nia tersenyum melihat anaknya yang sudah pintar. Dia belum berani masuk dalam keadaan pulang kantor, dia pergi istirahat sejenak dan mandi.
Dara menggendong Nunu keluar, ternyata mereka sudah pulang.
"Mbak ... lelah ya jaga Nunu sekarang," ungkap Nia dari belakang membuat Dara menoleh ke belakang.
"Iya Mami, sudah tidak mau diam, ada saja gerakannya yang membuat was-was," jawab Dara.
"Sini, biar Mami gendong kalau Mbak mau pulang dipersilahkan," balas Nia yang mengambil alih anaknya.
Dara pun pamit, mengambil tas nya untuk bersiap pulang. Dara tidak langsung pulang ke rumah, dia harus menemui pacarnya terlebih dahulu di angkringan biasa mereka bertemu. Terlihat pria yang berpakaian rapi telah duduk di kursi panjang melihat ke arah Dara.
"Kenapa dia terlihat sangat kolot," batin Wirya sambil meneguk kopi yang dia pesan.
...----------------...
Terima kasih untuk yang sudah baca, jangan lupa kasih like, komen, vote, dan beri rating setiap episodenya, ya.
Mohon dukungannya❣️
Jumpa lagi di episode berikutnya;)
Dara tersenyum lebar melihat pujaan hati telah menunggunya. Dia tidak setampan pria lain, tetapi senyumannya selalu manis dipenglihatan Dara. Wirya mempunyai kulit berwarna sawo matang dan lesung pipi di bagian pipi kanannya. Hitam manis tiada tanding dengan sikapnya yang selalu membawakan ketenangan untuk Dara.
"Mas, maaf ya aku lama sampainya. Tadi Mami baru saja pulang, jadi harus jaga Nunu," sapa Dara yang langsung duduk di samping Wirya.
"Tidak apa-apa manisnya, Mas Wirya," jawab Wirya melebarkan senyumnya sambil menyisir rambut Dara dengan jari-jarinya.
"Kamu cuma minum kopi saja Mas, tidak mau pesan makan?" tanya Dara.
"Aku menunggu kamu sayang, rindu sekali Mas, padamu. Sepertinya satu minggu sekali kita bertemu sangat kurang," ujar Wirya.
"Sabar ya Mas, setelah Mas sukses bukannya mau menikahiku?" tanya Dara dengan menatap Wirya sangat dalam.
"Iya sayang, kita makan dulu, ya. Setelah ini ada yang mau Mas katakan padamu," tutur Wirya serius.
Wirya dan Dara makan di angkringan dengan lauk biasanya. Wirya kenal dengan Dara sejak SMP, dia Kakak kelasnya beda satu tahun. Wirya memang sudah mendekati Dara waktu itu bukan atas dasar suka, tetapi karena pertaruhan. Berusaha keras mendapatkan hati Dara terkadang membuat Wirya kehilangan akal, ingin dia paksa saja agar wanita ini tunduk padanya. Satu tahun pendekatan penuh, akhirnya Wirya mampu dekat meski tanpa ada hubungan yang jelas, pertaruhan gagal dia menangkan. Namun, hatinya benar-benar jatuh pada Dara dengan cinta tulusnya.
Dan dua tahun berjalan ini Wirya merasa sering merindukan Dara. Umurnya juga sudah siap untuk menikah. Dia ingin membicarakannya dengan Dara, namun waktu tidak pernah tepat. Sekarang, haruskah dia mengatakannya. Telah dipikirkan dengan matang, bagaimana kesulitan Dara selama ini.
"Kamu sudah makannya, Mas?" tanya Dara melihat makanan Wirya yang tidak habis.
"Sudah sayang, selera makan Mas sekarang berkurang," jawab Wirya.
"Kenapa Mas?" kata Dara khawatir.
"Karena bukan masakan kamu, Dara." jawab Wirya lagi yang membuat Dara tersipu malu.
Dara cepat-cepat menghabiskan makanannya. Dia ingin mendengar apa yang akan dikatakan Wirya selanjutnya, melihat seriusnya tatapannya tadi.
"Mas, katanya tadi ada yang mau dikatakan," ucap Dara penuh dengan rasa penasaran.
Tidak tahu apakah ini saatnya mengatakan pada Dara atau sebaiknya diurungkan. Akan tetapi, dia tidak bisa menahan lagi, ini juga demi kebaikan Dara.
"Kebetulan di sini sepi kita bicarakan sekarang ya, Dara ..." ungkap Wirya setelah berkata langsung memanggil nama Dara.
Timbul pertanyaan kenapa Wirya memanggil namanya. Sudah sangat lama semenjak mereka resmi pacaram baru kali ini dia menggunakan panggilan Dara.
"Ada apa Mas, pasti serius sekali sampai kamu memanggil namaku," ujar Dara.
"Sebelumnya terima kasih ya, sudah menjadi pendamping hidupku selama aku merasa di titik terendah. Kalau boleh aku bilang kamu adalah wanita pertama yang menolakku berkali-kali. Dan kamu juga yang membuat aku jatuh cinta kesekian kali," tutur Wirya menjeda ucapannya.
Dara menatapnya penuh makna, inikah pernyataan dia akan melamarnya atau ada hal lain yang akan dia sampaikan. Dara mempersiapkan diri untuk menerima semua kalimat yang keluar dari bibir Wirya.
"Dara, aku minta maaf belum bisa membahagiakan kamu. Aku juga tahu jika Ibumu tidak merestui kita, karena latar belakang keluargaku tidak baik di mata masyarakat khususnya, ibumu."
Dara menggelengkan kepalanya. "Hentikan Mas, aku yakin kita bisa meyakinkan, Ibu. Aku menikah dengan kamu bukan karena keluarga kamu asalnya dari mana maupun penilaian baik masyarakat. Beliau hanya trauma Mas, tetapi aku bisa pastikan Ibu akan luluh jika kita berusaha. Kamu tidak ingat bahwa keluargaku juga berantakan?" ucap Dara tidak menerima ucapan Wirya.
"Saat ini aku tidak mengatakan tentang kita, Dara," jawab Wirya membuat Dara terkejut.
"Apa maksud kamu, Mas?" tanya Dara.
Ah, bagaimana dia mengungkapkannya pada Dara yang telah menerimanya dengan baik.
Memegang kedua tangan Dara. "Kamu pasti tahu sayang, kalau aku masih bekerja menjadi sopir pribadi tuan muda yang pernah aku ceritakan. Aku membutuhkan bantuanmu, apakah kamu bisa membantuku?" ungkap Wirya lagi menggenggam erat tangan Dara.
"Kapan sih, Mas aku tidak mau membantumu. Katakan sekarang apa yang perlu aku lakukan untukmu?" tanya Dara balik.
"Menikahlah dengan tuan muda." titah Wirya yang masih menatap Dara.
Dara tidak habis pikir dengan permintaan gila Wirya. Apa maksudnya, dia tidak ingin mengenal lelaki manapun bahkan kepercayaannya hanyalah Wirya. Dengan mudahnya dia meminta Dara menikah dengan orang lain.
"Mas! Apa yang aku dengar tadi tidak benar, kan? Aku salah dengar, kan?" tanya Dara memastikan.
"Tidak Dara, semua itu benar. Izinkan aku menjelaskannya padamu. Kali ini saja, aku tidak ingin melihatmu terus menjalani kehidupan seperti ini. Tuan muda sangat baik, Ibunya ingin segera mempunyai cucu dari anaknya. Dia kaya sayang, tidak seperti aku. Dia akan menerima kamu sepenuhnya," jawab Wirya sambil menjelaskan maksudnya.
"Untukku, kamu sudah cukup Mas akan menunggu lebih lama lagi, aku selalu siap. Aku tidak ingin dengan orang lain." Tangis Dara pecah dia tidak ingin berpisah dengan Wirya.
"Dengarkan aku sayang, pernikahan ini hanya berlangsung sampai kamu melahirkan bayi saja. Tidak akan lama, setelah hari itu tiba aku berjanji akan menemuimu. Buatlah senang Ibu dan adikmu dengan bantuan harta mereka," ucap Wirya lagi.
"Apakah di sini kamu ingin membahas harta saja, Mas? Apa kamu mau bersama wanita bekas orang? Apakah kamu benar-benar tidak peduli?!" bentak Dara, dia tidak ingin terus menangis, tidak lagi.
"Aku yakin tidak ada perbedaan perasaanku, kamu tetap Dara yang aku kenal."
Mendengar jawaban Wirya sangat jelas dia sudah tidak peduli dengan perasaan Dara. Dia langsung pergi meninggalkan Wirya tanpa sepatah kata pun. Motornya tidak mau hidup dan memang sering rewel beberapa hari ini. Dia langsung mendorongnya entah sampai kapan. Pergi ke bengkel, dia sayang uangnya lebih baik untuk memenuhi kebutuhannya.
Wirya masih diam terduduk di kursi itu tanpa ada niatan mengejar Dara. Dia merasa ini juga kesalahannya, tetapi dia sangat membutuhkan Dara. Tidak ada yang dirugikan jika dia mau menikah, dia bisa menjadi Nyonya muda secara instan. Tuan muda yang dimaksud adalah Adiwilaga Bahaduri, pria yang sulit sekali mendapatkan jodoh karena kecintaannya dengan pekerjaan. Ibunya yang sudah tidak muda lagi, sangat menginginkan cucu dan melihat calon penerus keluarga Bahaduri.
Wirya, sopir pribadi yang menjadi kepercayaan Ibunda Wila mempercayakan padanya untuk mencarikan perempuan yang mau dijadikan menantu di keluarganya. Bukan berarti dia mau mendapatkan calon menantu yang asal saja. Dia ingin dari keluarga yang bibit unggul.
"Bagaimana aku meyakinkan Dara agar dia setuju, hanya dia wanita yang cakap dan cukup untuk Tuan Wila," tutur Wilaga.
Ada hal yang tidak beres dengan permintaan Wirya, adakah niat terselubung berdalih ingin yang terbaik untuk kekasihnya?
...----------------...
Terima kasih untuk yang sudah baca, jangan lupa kasih like, komen, vote, dan beri rating setiap episodenya, ya.
Mohon dukungannya❣️
Jumpa lagi di episode berikutnya;)
Sangat pagi sekali Dara sudah bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ibunya yang memperhatikan Dara sangat lahap makan masakannya sangat senang. Anak dihadapannya ini adalah pelita hidupnya. Dia yang menemani Yundari kala terpuruk.
Merasa diperhatikan Dara mengernyitkan dahinya. "Ada apa Ibu, kenapa memandang Dara seperti itu?" tanya Dara menatap Yundari.
"Bagaimana kamu bisa tumbuh seperti ini? Pasti melelahkan, ya. Hidup serba kekurangan dan mempunyai ibu setengah waras?" ungkap kembali Yundari dengan mata berkaca-kaca menahan air matanya jangan sampai jatuh.
"Ibu, jangan pernah berpikir yang tidak perlu. Kita bahagia meskipun jauh dari kata cukup. Siapa yang bilang Ibuku cantik ini tidak sehat, jangan keseringan mendengarkan perkataan orang, Ibu," balas Dara alih-alih menenangkan.
Dahulu saat pertama kali dia mengetahui suaminya mempunyai hubungan dengan wanita lain yang tak disangka dia adalah sahabatnya sendiri. Hatinya benar-benar hancur, tadinya dia hanya dengar dari ibu-ibu arisan. Tidak menerima tuduhan yang mengatasnamakan suami dam sahabatnya, Yundari tidak memperhatikannya seperti angin lewat saja.
Tidak lama berita itu menyebar, tadinya tidak ingin mempercayai dan menelan mentah saja ternyata ada kejadian yang dirasakan, sangat aneh dari tingkah suaminya. Dia memang sering mabuk dan berjudi, tetapi selalu menyisihkan uang untuk keluarga. Yundari seperti biasa meminta uang bulanan padanya, bukannya mendapat apa yang diminta malah diberi tamparan keras pada pipi sebelah kirinya kencang. Dicaci karena hanya bisa meminta terus, padahal dia juga ikut makan bersama dan dikatakan cerewet, bekerja di rumah hanya sebagai pembantu mengalahkan dia yang bekerja.
"Ibu tidak sanggup melihat kamu, sulit untuk bisa bernapas sehari saja, hanya malam teman istirahatmu, Nak," tutur Yundari menundukkan kepalanya.
Dara pindah tempat duduk mendekati Yundari dan memeluknya. Air mata Yundari keluar tanpa disengaja, dengan cepat dia menyekanya. Tidak ingin terlihat lemah dihadapan putrinya.
"Kalau kamu terus memeluk Ibu, bagaimana Ibu menghentikan air mata ini?" tanya Yundari yang sebenarnya merasakan ketenangan mendapat pelukan hangat.
"Makanya Ibu tidak perlu memikirkan masa lalu lagi. Di kehidupan kita sekarang, hanya ada Aku, Ibu, dan Ika. Selain itu, Ibu jangan mengingat ke belakang lagi. Kita bisa bahagia dengan menikmati setiap proses ini, Bu," jawab Dara meyakinkan.
Setelah menenangkan ibunya, Dara sengaja berangkat lebih pagi. Motornya kemarin malam mogok, langsung dia antar ke bengkel dengan paksa, meskipun sangat menyayangkan harus pengeluaran. Dia berjalan belum jauh dari rumah, kebiasaan para ibu ketika membeli sayur ada saja kegiatan lain yang mereka lakukan yaitu merumpi. Dara segera melewati mereka tetapi pandangan tidak lepas darinya. Salah satu dari mereka memanggil Dara.
"Dara ... kemari sebentar, ada berita untuk keluarga kamu," panggil Sokinah, ibu dari teman adiknya.
"Iya Bu, ada apa? Sebelumnya mohon maaf saya tidak bisa lama takut telat kerja," balas Dara yang memang dia terburu-buru.
Jalan kaki berbeda dengan naik motor, itulah alasan Dara segera berangkat. Sekalian nanti mampir ke bengkel apakah motornya sudah bisa dibawa pulang.
"Kamu tahu tidak kalau Ika sekarang bekerja?" tanya Sokinah langsung.
"Tidak Bu, Ika tidak saya izinkan bekerja. Kemarin sempat memberitahu, tapi tidak diperbolehkan oleh Ibu juga," kata Dara berhati-hati.
"Berarti kamu tidak tahu sama sekali ya, Ika itu kerja Dar, di tempat pijat plus-plus. Beberapa hari lalu Ibu mengunjungi Qia, dia pulang bersama pria dewasa. Pakaiannya juga sedikit terbuka, mau memfoto sebagai bukti mereka terlalu cepat berpisah," jelas Sokinah dengan nada berlebihan, sehingga orang lain yang mendengar sampai membuat reaksi tidak terduga.
"Tidak mungkin Ika melakukan hal semacam itu, Bu," jawab Dara tidak percaya.
"Kalau tidak percaya iya sudah, Ibu itu melihatnya bukan sekali, Dar. Awas nanti Adik kamu belajar dari Ayah kalian, senang menyeleweng, dan merampas kebahagian orang lain!" ketus Sokinah lalu pergi bersama ketiga sohibnya.
Dara yang tidak ingin dipengaruhi oleh kata-kata yang membuat telinganya sakit, terus melanjutkan perjalanannya. Tangannya mengepal kuat, agar dia bisa bertahan mengelola emosinya tidak meledak. Bukankah Sokinah terlalu berlebihan menuduh Ika. Mereka memang keluarga yang tidak mampu, tetapi bukan berarti menjual diri menjadi solusi mengatasi keuangannya.
Dia percaya Ika anak yang berkualitas dan berpendidikan tinggi. Mudah sekali dia menyerah hanya untuk mencari uang dengan cara yang salah. Dara sudah sampai di bengkel ternyata masih belum bisa diperbaiki.
Hari ini akan menjadi hari yang panjang untuknya. Kepalanya berdenyut sakit, memijit pelipisnya berharap dapat menenangkannya. Napas yang berpacu cepat menandakan bahwa dia telah berjalan lumayan jauh. Melihat jam di layar ponselnya, masih ada beberapa menit untuk istirahat di dalam.
"Mbak, pagi sekali datang. Jalan?" tanya Nia yang memperhatikan Dara sangat kelelahan.
"Iya Mami, motor Dara mogok semalam. Jadi lebih baik berangkat lebih pagi," balaw Dara.
"Ya ampun Mbak, coba bilang saja bisa Mami suruh Pak sopir menjemput. Lain kali hubungi saja Mbak," tutur Nia yang merasa kasihan.
"Baik Mi, terima kasih atas perhatiannya. Jalan pagi sambil olahraga juga Mami," jawab Dara tulus.
Dengan keadaan berkeringat, Dara memulai dengan bersih-bersih terlebih dahulu karena Nunu masih digendong oleh Nia. Setelah selesai, dia memasak makanan yang tidak terlalu berat. Dia tidak ingin ada keterlambatan masak sambil mencuci piring bersamaan. Kemudian membersihkan badan di kamar mandi khusus pembantu, agar memegang Nunu sudah dalam keadaan bersih.
Nia dan Jaya telah selesai sarapan, menunggu Dara keluar, waktunya mereka berangkat. Dara kececeran melakukan pekerjaannya, namun masih dimaklumi oleh Nia. Jarang sekali menemui manusia sebaik ini, beruntung Dara bisa bekerja dengannya.
"Mbak, sudah selesai? Mami mau berangkat," pamit Nia melihat Dara keluar dari kamar mandi.
"Sudah Mami, maaf ya Mi kalau Dara lama," jawad Dara tak enak.
"Iya, Mbak. Mami berangkat, ya," ucap Nia sambil mengecup kening Nunu.
Dara segera memandikan Nunu, seperti biasa setelahnya memberikan sarapan, bermain kata agar Nunu bisa belajar mengingat, dan menidurkan Nunu jika waktu sudah menjelang siang. Kelelahan dengan pekerjaannya membuat Dara menguap, takut ketiduran dia langsung mengusap wajahnya dengan air. Mengangkat jemuran yang sudah kering selanjutnya menyetrikanya.
...*****...
Pulang bekerja, Dara mengambil motornya akhirnya sudah bisa hidup lagi. Untuk memperbaiki motor tuanya harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit menurutnya. Meskipun berat untuk membayarkannya, Dara tetap harus bayar. Bisa saja dia berhutang, tetapi lebih baik membayarnya secara langsung.
Ketika memberikan uangnya, pemilik bengkel mengatakan bahwa pembayaran perbaikan sudah dilunasi. Dara yang terkejut langsung berpikiran bahwa Wirya lah yang membantunya.
Waktu sore memang waktu untuk Sokinah bersama ibu-ibu yang lain berkumpul di suatu rumah salah satu mereka. Dara yang lewat dengan kecepatan pelan, mendapatkan sorotan mata tajam dan cibiran. Mungkin mereka pikir Dara tidak tahu tetapi dia bisa merasakan dari tatapan mereka.
"Sungguh jahat sekali omongan mereka, memfitnah tanpa tahu apa yang terjadi," batin Dara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!