Laki laki berkemeja navy itu turun dari taksi yang di tumpanginya dari bandara internasional abdurahman saleh.
Setelah membayar ia mengambil dua buah koper besarnya dan satu tas punggungnya.
Ia berjalan memasuki sebuah rumah besar bercat putih yang berhalaman luas, rumah yang masih sama seperti saat ia tinggalkan dua belas tahun yang lalu.
Tapi sepertinya ada yang sedikit berubah, terlihat ada gazebo besar dan kolam ikan disamping rumah, tentunya dulu itu adalah sebuah lahan kosong yang banyak di tumpuki kayu jati.
Sepatunya menginjak kerikil kerikil kecil, sepertinya sengaja di tata di jalan halaman menuju teras.
Pintu terlihat terbuka lebar, tapi rumah terlihat sepi.
Laki laki itu menaruh koper koper juga tas punggungnya di teras, lalu duduk di kursi,
ia seakan enggan untuk masuk, sesungguhnya perjalanannya tidak begitu melelahkan, tapi perasaan tegangnya yang membayangkan harus kembali kerumah ini yang membuatnya cukup lelah.
Di sandarkan punggungnya di kursi kayu, kursi dengan gaya klasik tempo dulu.
Setelah Lima belas menit duduk akhirnya ia mendengar sebuah suara yang sangat di kenal oleh telinganya.
" Mas Agung???" si asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak ia remaja rupanya masih bekerja dirumah ini.
Raut wajah mbok Gatik terlihat haru, bagaimana tidak, pemuda yang dulu di rawatnya sekarang sudah menjadi laki laki dewasa, bahkan rupawan dan gagah.
" Mbok Gatik? Sehat mbok?" Agung bangkit, mencium tangan mbok Gatik, seperti belum puas dengan rasa harunya, mbok Gatik memeluk Agung yang tubuhnya sudah jauh lebih tinggi itu.
" Owalah lee.. Wes gede yo le.. ko yo ora mulih mulih..?? ( owalah lee.. Sudah besar.. kok tidak pulang pulang??)" mbok Gatik melepas pelukannya, memandangi Agung dengan seksama.
" Kok ora langsung mlebu? ( kok tidak langsung masuk?)" tanya mbok Gatik,
" Ini bukan rumah saya mbok, masa saya asal masuk.. Nanti di kira maling.." Agung tersenyum,
" Huss! kalau mbah kakung dengar itu bisa ngamuk..!
wong sampean itu mulai kecil disini, jadi bagian dari keluarga, mentang mentang ndak pulang dua belas tahun, langsung ngomong begitu?!" Mbok gatik melotot,
" bukan begitu mbok.. Rasanya tidak sopan saja.. Seperti yang mbok bilang, saya lama sekali tidak kesini.. emhh.. maksud saya pulang mbok.." Agung lagi lagi tersenyum,
" Ayo?! Sudah di tunggu mbah kung, mbah kung ada di belakang..!"
" lho, mbah kung dirumah tho?"
" ya dirumah, itu di belakang sibuk sama ayam ayamnya..?!" mbok Gatik mengajak Agung masuk.
Setelah menaruh koper dan tasnya Agung langsung ke halaman belakang, menyapa mbah kung yang sudah menjaganya sejak usianya lima belas tahun.
Ia di sekolahkan dan di didik dengan baik, ia juga mengabdi kepada keluarga mbah kung demi membalas budi.
Hingga akhirnya suatu ketika ia sadar, bahwa tak baik baginya untuk terus berada dirumah ini, tidak tau malu saja rasanya jika ia terus hidup menumpang.
Setelah lulus SMA, mbah kung berniat untuk menguliahkan Agung, ia berniat untuk menjadikan agung seorang sarjana,
namun Agung menolaknya, ia lebih memilih masuk pendidikan tentara, niatnya adalah agar tidak menyulitkan mbah kung dan bisa hidup mandiri setelahnya, tapi tetap saja mbah kung tidak bisa diam, ia mengusahakan yang terbaik untuk Agung.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Agung langsung di tugaskan di luar jawa, awalnya dia pulang sesekali, namun sesuatu hal membuatnya berhenti untuk pulang ke jawa.
Ia sering sekali menelfon mbah kung, bahkan mengirimkan oleh oleh, tapi saat mbah kung menyuruhnya pulang, selalu saja ada alasan yang di ucapkan agung.
" Mbah kung kangen keluar denganmu gung.. Biasanya kemana mana kamu yang nyetir.." ujar mbah kung jika agung berasalan sibuk dan tidak bisa pulang.
Agung memang tidak ingin cuma cuma tinggal disana, setiap pulang sekolah ia menjadi sopir pribadi untuk mbah kungnya, tapi lebih sering untuk menjemput Bagas dan Ajeng.
Meski usianya masih remaja saat itu, tapi dia punya kemampuan menyetir yang baik, ia di ajarkan langsung oleh pak Samsudin, pak samsudin adalah tangan kanan mbah kung.
Agung masih ingat, mobil pertamanya untuk belajar adalah mobil pickup pengangkut kayu.
Samsudin menganggap Agung adalah anak yang cerdas dan rajin, karena itu samsudin mengajarkan banyak hal selain menyetir, ia juga mengajari Agung bertani saat libur sekolah.
Meski Mbah kung tidak pernah menganggapnya sebagai seorang sopir, tapi Agung merasa kalau dirinya hidup di tengah keluarga mbah kung sebagai seorang sopir, setidaknya ia tidak tinggal dengan cuma cuma pikirnya.
" Akhirnya kau pulang juga.." ujar mbah kung setelah memeluk Agung lama.
Ada kesedihan di wajah Agung, itu karena ia menemukan mbah kung semakin menua.
" Maafkan saya kung.. saya baru bisa pulang sekarang.." ujar Agung dengan wajah sedih, seandainya dia tau mbah kung sudah se renta ini, ia akan mengajukan pindah lebih awal, yah.. Setidaknya ia bisa membantu menjaga mbah kung.
" Sudahlah.. yang penting kau sudah pulang.." ujar mbah kung terlihat bahagia dengan kedatangan Agung, senyumnya tak henti mengembang.
" Kau sudah makan lee?"
" sampun ( sudah ) kung, tadi di jalan sebelum pulang kesini.."
" ya wes, kau istirahat dulu sana.. Kamarmu yang dulu masih tetap.. Sudah di bersihkan mulai kemarin sama mbok gatik.."
" inggih kung.. kalau begitu, saya mau taruh barang barang dulu.. Tapi.."
" tapi opo.. baru pulang kok tapi tapi.."
" saya disini tidak lama mungkin semingguan kung.."
" lho?!"
" nggih, saya mau tinggal di mess saja.."
" iki maksudmu piye sih?! Ini rumahmu! Keluargamu, aku menyuruhmu pulang untuk menjagaku,
tidak tau kapan Tuhan memanggil orang tua ini Gung, kok tega teganya mau tinggal di luar??!" nada mbah kung sedikit meninggi,
" ndak enak mbah kung, saya.."
" saya opo tho lee?!"
" ndak enak sama mas Bagus dan mbak Ajeng.. mungkin dulu mereka masih kecil kung, sekarang sudah sama sama dewasa, pasti tidak nyaman.."
" ndak nyaman opo?! Kamarmu di belakang, tidak menganggu, apanya yang tidak nyaman?! Ajeng juga pulangnya malam, bagus juga jarang dirumah.. Tapi kalau sudah dirumah jarang sekali keluar kamar,
apa kau kira setelah kau pergi aku tidak kesepian? Dua cucuku sibuk dengan dirinya sendiri, paling paling aku mengobrol dengan mbok Gatik dan samsudin saja..!"
Agung terdiam, ia bingung harus bicara apa,
" tapi kung, tetap saja saya ndak enak.."
" sudah! Itu urusanku dengan Bagus dan Ajeng, toh mereka sudah kuberi tahu kemarin kalau kau akan kembali, percayalah, kehadiranmu tidak akan masalah, toh kau dulu juga hidup lama disini, ikut membantu mengawasi mereka juga.. Apa yang kau resahkan, sekarang istirahatlah,
kau tentunya masih dapat liburkan besok?"
Agung mengangguk,
" iya kung.. Ya sudah, saya akan ke kamar dulu kalau begitu.." pamit Agung.
Ia berjalan menuju kamar yang paling belakang, yang berdekatan dengan dapur dan pintu belakang.
Yah, kamar yang dulu di tempatinya,
Ia membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu jati itu, catnya masih putih, lemarinya masih sama, bahkan tempat tidurnya pun masih sama, terletak di bawah tanpa dipan.
Semua kenangannya saat tinggal dirumah ini tiba tiba saja menyeruak,
di letakkan koper dan tasnya di ujung ruangan,
ia berjalan melewati tempat tidurnya untuk membuka jendela, jendela dirumah itu kebetulan lebar lebar, maklumlah, rumah jaman dulu lebih cenderung memiliki jendela lebar bahkan bisa di gunakan untuk lewat satu orang jika di buka.
Pemandangan halaman belakang terlihat jelas, gazebo dan kolam yang ia lihat sepintas dari depan tadi sekarang terlihat jelas dari balik jendela.
" Mas Agung," suara mbok gatik tiba tiba masuk,
" kalau mau makan cari sendiri ya, kan dapurnya dekat, siapa tau tengah malam lapar, sama mbok di taruh di lemari, kalau ndak gitu ya di kulkas, tinggal di panaskan..
mba Ajeng sama mas Bagus jarang makan dirumah soalnya, paling hanya sarapan pagi.."
" owalah iya mbok, jangan khawatir.."
" oh iya mas, apa perlu ranjang? dulu mas Agung kan sukanya tidur di bawah, siapa tau sekarang mau di kasih ranjang?"
" ndak usah mbok, enakan di bawah, sejuk.. biar saja mbok seperti semula, ndak usah repot repot.." ujar Agung tersenyum pada mbok Gatik.
Waktu menunjukkan jam sebelas malam,
Semua penghuni rumah sepertinya sudah tidur, tapi Agung belum tidur karena menata beberapa baju seragamnya.
Terdengar suara mobil yang masuk ke dalam garasi,
Agung sempat menghentikan kesibukannya, ia bertanya tanya, siapa yang datang selarut ini,
mungkinkah Bagus?, tanya agung dalam hati.
Sudahlah, besok saja menyapanya pikir Agung, ia kembali dengan kesibukannya, di tata beberapa bajunya, tidak semua ia keluarkan dari koper, karena seminggu lagi ia berniat untuk pindah ke mess.
Tiga puluh menit kemudian Agung mendengar suara sandal yang bergesekan dengan lantai, suara langkah kaki itu menuju dapur.
Tentu saja Agung dapat mendengar dengan jelas karena kamarnya bersebelahan dengan dapur.
Berisik sekali, ada suara lemari di buka, entah piring atau gelas yang beradu, sungguh membuat Agung tidak nyaman.
" ini siapa sih, tidak tau malam apa bagaimana?" gerutu Agung dalam hati.
Karena penasaran ia keluar dari kamar, dan melihat kearah dapur.
Disana ia melihat seorang perempuan berbaju tidur cukup minim, rambutnya panjang terurai, rupanya perempuan itu sedang sibuk memasak mie instan.
Agung sempat tertegun dengan pemandangan itu, lama ia mematung di tempatnya,
tapi menyadari bahwa apa yang ia lihat tidak pantas ia lihat karena baju yang perempuan itu kenakan termasuk minim, ia segera mundur, dan berbalik, namun saat ia berbalik rupanya si perempuan yang sedari tadi di perhatikan menyadari kehadiran seseorang.
" Siapa?!" Suara si perempuan dengan nada waspada,
langkah Agung terhenti,
" Kau siapa?!!" tanya perempuan itu mendekat dan menodongkan pisau,
Agung yang tidak nyaman mendengar pertanyaan itu akhirnya berbalik pelan,
" kau maling?! Kenapa bisa masuk?!!" tanya perempuan yang hanya setinggi bahu Agung itu sengit.
" Saya bukan maling, saya juga bukan orang jahat.." jawab Agung tenang di balik cahaya lampu yang samar samar.
Di tatapnya perempuan di hadapannya itu, dengan seksama, inikah sosok anak perempuan berusia tiga belas tahun yang dulu di tinggalkannya? Lihatlah dia..
tumbuh dengan baik dan cantik.., ucap Agung dalam hati,
" Sampean mbak Ajeng?" tanya Agung membuat dahi perempuan itu berkerut,
masih memegang pisau perempuan itu bertanya heran,
" kau siapa?!"
" saya Agung mbak.." jawab Agung melempar senyum lembut,
" Agung???" perempuan itu mengingat ngingat, ia seperti melupakan sosok Agung, sehingga ia butuh waktu untuk mengingat.
" Saya Agung, sopir mbak dulu.. yang pernah tinggal disini.." Agung tau Ajeng kesulitan mengingat wajahnya yang mungkin saja memang banyak berubah, karena itu dia menjelaskan.
" Sopir??" ucap Ajeng lagi masih bingung, di liriknya pintu kamar Agung yang terbuka, ia berjalan melewati Agung dan melongok kedalam kamar itu, ada dua koper dan beberapa pakaian yang masih tertumpuk di atas tempat tidur.
Melihat itu ingatan Ajeng seakan kembali, kamar ini memang kamar yang di tempati seorang pemuda yang di panggil Agung dulu, pemuda yang mengantar dan menjemputnya kemana mana, pemuda yang selalu rajin membantu segala pekerjaan mbok gatik dan mbah kakungnya.
Ajeng berbalik, menatap Agung,
" Kau benar mas Agung yang itu?" tanyanya sembari menurunkan pisau di tangannya,
Agung mengangguk,
" benar mbak, ini saya.. Saya baru datang tadi sore.."
mendengar itu Ajeng menghela nafas, seperti lega.
" Kukira kau orang jahat yang menyusup masuk, kenapa tidak menyapaku saja, malah mengendap endap begitu?" tanya Ajeng,
Agung tertunduk,
" maaf mbak, saya masih canggung karena lama tidak pulang kesini, belum tentu juga mbak mengenali saya.." jelas Agung,
" Tapi kalau kau malah mengendap endap seperti itu malah mencurigakan?!"
" Saya hanya ingin kembali masuk ke dalam kamar tanpa sepengetahuan sampean.."
" kenapa? bukankah harusnya kau menyapa setelah kita lama tidak bertemu?" tanya Ajeng menatap Agung yang masih saja tertunduk tidak mau memandangnya,
" kau masih saja sama ya, tidak mau menatapku kalau bicara.." ujar Ajeng,
" bukan begitu mbak, mbak sedang menggenakan baju tidur, rasanya tidak pantas kalau saya.." Agung menghentikan kalimatnya,
mendengar itu Ajeng seperti tersadar, ia memang keluar begitu saja dari kamar dengan baju tidur tipisnya.
Sontak wajah Ajeng memerah,
" karena itu saya berniat langsung kembali ke kamar tanpa menyapa.." jelas Agung.
Tanpa ingin mendengar apapun lagi, Ajeng melempar pisau yang berada di tangannya dan segera berhamburan pergi berjalan setengah berlari menuju kamarnya yang terletak di samping ruang tengah.
Agung terdiam sejenak, menatap pisau yang tergeletak di lantai begitu saja.
diambilnya pisau itu, lalu berjalan ke dapur untuk meletakkan kembali di tempatnya,
Sementara mie instan yang sudah susah payah di masak oleh ajeng, malah di tinggalkan begitu saja.
Dengan perasaan bimbang Agung menatap mangkok mie itu.
Kasian.. Pikir Agung, mungkin saja Ajeng sedang lapar, dan gara gara dirinya Ajeng harus menahan laparnya sekarang.
Agung menghela nafas pelan, dengan hati hati dibawanya mangkok berisi mie itu, ia berjalan menuju kamar Ajeng, ia masih ingat benar dimana letak kamar ajeng meski sudah dua belas tahun ia tidak pulang.
Sesampainya di depan kamar Ajeng, ia mengetuk pintu,
" mbak Ajeng, ini mienya, saya taruh di bawah ya, eman eman kalau tidak di makan.." suara Agung tepat di depan pintu.
" Ya sudah ya mbak, saya kembali ke kamar dulu.." Agung berjalan kembali ke arah kamarnya dengan langkah pelan.
Setelah sampai di kamar laki laki itu langsung merebahkan dirinya,
alih alih melanjutkan kesibukannya menata baju, laki laki itu malah memandangi langit langit kamar sembari berpikir.
" Dulu kecil juga cantik dan ketus.. rupanya sekarang masih sama.." gumam Agung sembari tersenyum, ia senang meski dirinya sempat di todong dengan pisau oleh Ajeng.
Pagi itu semua orang berkumpul di meja makan, entah kapan Bagus datang, tau tau dia sudah keluar dari kamarnya dan duduk di kursi.
" Kau dirumah?" tanya mbah kungnya,
" Semalam pulang, kung saja yang tidak tau," jawab laki laki berkulit putih itu lalu meminum air putih yang sudah di sediakan mbok gatik,
" jam berapa?" tanya mbah kung,
" delapan, tapi langsung tidur, capek.." jawab Bagus,
" lalu kau nduk?" mbah kung beralih pada ajeng,
" jam sebelas kung.." jawab Ajeng,
" malam sekali?"
" banyak pekerjaan soalnya.." jawab Ajeng pelan,
" ya wes, mbok tik?! Panggil Agung, ajak sarapan?!"
mendengar itu mbok gatik langsung berjalan menuju kamar Agung.
" Agung siapa kung?" tanya Bagus,
mendengar nama Agung di sebutkan Ajeng tiba tiba resah, ia malu atas kelakuannya semalam.
" Agung yang dulu tinggal disini itu lho lee..!"
" lho? Bukannya dia sudah jadi tentara dan tinggal di luar jawa??" tanya Bagus, rupanya ia masih ingat betul siapa Agung, meski Agung sudah lama sekali tidak menginjak rumah ini.
" Mbah kung menyuruhnya pindah kesini, buat apa dia lama lama tinggal disana, sendirian, tidak ada keluarga.."
" jadi sekarang dia sudah pindah kesini?"
" iyo.. baru kemarin sore dia sampai kesini," beritahu mbah kung.
Tak lama kemudian datangnya sosok Agung, Bagus sempat kaget, karena tubuh yang dulu kurus sekarang terlihat berotot,
Agung memang sudah tinggi sejak remaja, tapi sepertinya ia bertambah tinggi, wajahnya bahkan terlihat lebih tegas dari pada dulu.
Bagus bangkit dari tempat duduknya,
ia memeluk Agung dengan tepukan di punggung,
" lama tidak bertemu.. Sekarang kau gagah sekali mas?" ujar Bagus yang sesungguhnya juga tidak kalah gagah, hanya saja ia kalah tinggi.
" Sampean juga mas.." jawab Agung sopan,
" Sudah berapa tahun tidak pulang kesini mas, sepuluh ya?"
" dua belas.." Agung membenarkan.
" wahh.. lama ya kita tidak bertemu berarti, ayo duduk.. Kita makan sambil berbincang.." ajak Bagus, Agung mengangguk, sementara Ajeng sedari tadi hanya diam.
" Jeng? Kau tidak menyapa mas Agung?" tanya mbah kung,
Ajeng diam, ia terlihat tidak nyaman,
" Sungeng enjing ( selamat pagi ) mbak Ajeng.. apa kabar?" Agung berinisiatif menyapa terlebih dahulu,
mendengar itu Ajeng tentu saja harus menjawab,
" baik mas Agung, mas Agung sendiri?" Ajeng mengulas senyum, entah senyum itu di paksa atau tidak, ia masih malu atas apa yang terjadi semalam, Agung pasti bisa melihat dengan jelas gaun tidurnya yang tipis itu.
Padahal Bagus sering memperingatkannya agar dia tidak keluar sembarangan dengan baju tidur, tapi Ajeng masih saja bandel, ia menganggap hal itu biasa saja karena yang ada dirumah adalah kakek dan kakak kandungnya sendiri.
" baik mbak.." jawab Agung tersenyum, ia hanya menatap Ajeng sekilas lalu mengembalikan pandangannya pada mbah kung,
" mbah kung masih suka pecel rupanya?" ujar Agung saat melihat menu di meja makan ada pecel,
" ah, itu menu wajib.." celetuk Bagus,
mendengar itu agung tertawa ringan.
" Ayo sambil makan.." mbah kung mulai mengambil nasi, begitu juga yang lain.
Setelah makan Agung dan Bagus berbincang di teras depan,
" Apa kesibukan sampean sekarang?"
" buka bengkel dan toko onderdil.."
" lho, bukannya dulu sempat kerja di perusahaan yang lumayan besar kata mbah kung? Kenapa berhenti?" tanya Agung,
" aku sempat lepas obat mas, karena kukira sudah sembuh.. lah karena sudah stabil.."
" wah kambuh lagi kalau obatnya berhenti??"
" iya e mas.." Bagus mengangguk,
" sabar.. tapi sekarang sudah lebih baik?"
" alhamdulillah, tiga tahun ini stabil, karena itu aku memutuskan untuk berhenti kerja dan membangun usahaku sendiri, yah.. tentunya di bantu mbah kakung.." jelas Bagus yang menderita depresi sejak kecil itu, ia harus selalu minum obat untuk menenangkan dirinya,
Dulu Agung sering mengantarnya periksa, bahkan Bagus sempat beberapa kali di rawat semenjak ibunya meninggal.
" Kalau mbak Ajeng, ngajar??" tanya Agung,
" ngajar apa? Cuman setahun.. Setelah itu dia malah les menjahit.."
" jadi sekarang jadi penjahit?"
" iya, alhamdulillah dia punya toko sendiri.. Membuat kebaya dan baju pengantin sendiri..
Kalau pesanan sedang ramai kadang dia menginap di toko, tidak pulang,
yah.. Hampir sama sepertiku, kalau tidak mood aku juga tidur di ruko.." jelas Bagus,
Agung mengangguk angguk,
" Banyak hal terjadi setelah sampean pergi mas.. termasuk pada Ajeng..
Aku takutnya ajeng juga tidak kuat dan depresi sepertiku,
tapi sayang.. Setiap mbah kung mengajaknya periksa dia tidak pernah mau.."
" kenapa mas curiga begitu??"
" semenjak di tinggal menikah oleh bayu dia menjadi pendiam, tidak ceria lagi.."
" lho? Di tinggal nikah??" Agung sedikit tertegun, rupanya sudah banyak hal yang ia lewatkan selama pergi.
" Tapi mbak Ajeng seperti baik baik saja..?"
" aku juga terlihat baik baik saja kan?"
mendengar itu Agung diam,
" syukurlah sampean pulang kesini mas.."
" kenapa memangnya?"
" mbah kung itu kasian.. Yang mikir Ajeng, yang mikir aku.. Kalau ada mas, mbah kung sepertinya pikirannya sedikit enteng..
sama kayak dulu, sampean membantu menjaga kami.."
" menjaga apa tho mas Bagus.. Saya cuma sopir antar jemput dan membantu mbah kung dengan segala kesibukannya di kebun.." ujar Agung,
" Huss.. mas itu sudah tak anggap bagian dari keluargaku lho mas dulu, kalau aku lagi ngamuk sampean kan yang megangin aku, sampai sampean tak pukuli.."
mendengar itu Agung tersenyum, ia memang sering kena pukul saat Bagus mengamuk,
" tapi sayang.. Sampean malag jadi tentara dan meninggalkan kami.." ujar Bagus.
Terdengar suara pintu di tutup,
" Mbok, aku pergi ya?!" tak lama suara Ajeng,
benar saja, ajeng berjalan keluar melewati Bagus dan Agung,
" aku keluar dulu mas," pamit Ajeng sembari mencium tangan bagus,
" lho, bukannya hari ini tokomu libur?" tanya Bagus,
" iya, tapi banyak bahan habis, aku mau belanja bahan kesurabaya.."
" sendiri?"
" tidak dengan mia.. Dia yang menyetir kok.."
" ya sudah kalau begitu, hati hati dijalan,"
Ajeng mengangguk, ia menatap Agung yang duduk disamping kakaknya,
" Mas Agung, monggo.." ucapnya,
" monggo mbak Ajeng.." Agung mengangguk pelan, sembari menatap perempuan itu berjalan ke arah garasi,
tak lama terlihat perempuan itu pergi mengendarai mobilnya yang berwarna putih.
" Sampean itu kan lebih tua dari kami, mbok ya berhenti memanggil kami mbak dan mas," ujar bagus setelah Ajeng pergi,
" Wah, ndak enak.. Mulai dulu kan saya sudah manggilnya begitu.." jawab Agung tenang,
" sampean tentara lho mas, apa kata orang kalau tau sikap sampean begini pada kami??"
" kenapa? yang penting di kantor saya melakukan tugas saya dengan baik, tidak ada hubungannya dirumah.."
" wibawamu mas??"
" wibawa.." ucap Agung pelan sembari tersenyum,
" wibawaku ada di mbah kakung.. Tanpa mbah kakung aku bukan apa apa.. Dan kalian berdua adalah orang kesayangan mbah kakung yang wajib di hormati..
saya tau dirilah mas bagus bagaimana harus bersikap.."
" tapi yo ndak manggil saya mas dan ajeng mbak, mas?"
" sudahlah mas Bagus.. saya ini nyaman nyaman saja kok, jadi sampean sing tenang.." ujar Agung sembari tersenyum, ia senang melihat Bagus yang dulu sakit sakitan kini sehat dan bisa berbincang dengan lancar, kalau dulu, jangankan berbincang, Bagus terus mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak mau di ajak berkomunikasi, sampai sampai membuat mbah kung hampir putus asa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!