Raya seorang gadis berumur 30 tahun yang jatuh cinta dengan Riko yang berbeda usia lima tahun dengannya. Dia juga seorang gadis yatim piatu karena orang tuanya telah meninggal sejak dia masih duduk di bangku SMA.
Raya berkenalan dengan Riko di sebuah kafe tempat dia bekerja. Setiap malam Riko selalu datang ke kafe itu, dan ternyata setelah mereka saling mengenal dia mengetahui bahwa Riko adalah anak laki-laki yang diabaikan oleh keluarganya karena dia sering membuat ulah.
Seiring berjalannya waktu, perkenalan mereka menumbuhkan benih cinta diantara keduanya. Raya yang selalu ada untuk Riko di saat dia merasa terpuruk membuat seorang Riko yang beda usia lima tahun dengannya jatuh cinta kepada seorang Raya yang sangat pengertian dan perhatian kepadanya.
"Wuihhhh pasangan langka ini, mah, " ucap salah satu teman nongkrong Riko saat dia membawa Raya ikut bersamanya untuk nongkrong bersama mereka.
"Berisik! Bilang aja kalau lu syirik sama gue."
Raya hanya tersenyum mendengar pembelaan sang kekasih kepada dirinya,karena dia sudah terbiasa mendengarkan candaan teman-temannya Riko termasuk tentang hubungan mereka.
"Sayang, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau pesan makanan buat kita!"
"Ok, Sayang." Raya menjawab dengan mesra di hadapan teman-temannya Riko yang membuat mereka berekspresi sedikit jijik, namun itu hanya bentuk candaan.
"Kak, lu kenapa sih mau pacaran sama tu anak?" tanya salah satu teman Riko kepada Raya di saat Riko pergi memesan makanan. Mereka tetap memanggil Raya dengan sopan, karena mereka tahu kalau Raya adalah seseorang yang usianya lebih tua dari mereka.
"Yeee, namanya juga cinta." Raya menjawab dengan meledek teman-temannya Riko. Sikapnya terlihat seperti sudah satu frekuensi dengan mereka, bahkan dia terlihat seperti seumuran dengan mereka semua karena sering nongkrong bersama.
"Hemmmm iya deh, cinta itukan terkadang buta, hingga tidak bisa membedakan tu anak masih bocah apa kagak."
Raya tertawa mendengarkan perkataan temannya Riko. Mereka sering bertanya tentang kenapa dia bisa jatuh cinta dengan Riko. Dia juga tidak tahu apa alasannya, tapi yang pasti dia sudah merasa nyaman bersama Riko dan tidak ingin berpisah darinya.
"Lu pada tanya apa dengan pacar gue?" Riko mengintrogasi teman-temannya di saat dia telah kembali bergabung dengan mereka.
"Pede amat lu, kayak lu orang penting aja untuk ditanyain."
"Gue orang penting, kok. Penting di hati pacar gue. Iya kan, Sayang?" Riko menyandarkan kepalanya di pundak Raya dengan manja.
"Jijik gue lihat tingkah, lu," ejek salah satu dari temannya.
Ha ha ha
Riko tertawa puas karena berhasil menggoda para temannya dengan tingkahnya yang membuat mereka mengumpatnya.
Riko tidak pernah malu kepada temannya meskipun mereka sering menggodanya karena berpacaran dengan Raya yang usianya jauh dia atas mereka. Dia tidak peduli sama sekali dengan perbedaan usia itu, karena dia mencintai Raya dan begitu juga sebaliknya, Raya mencintainya.
"Sayang, besok kita pergi ke rumahku, ya? Aku ingin ngenalin kamu dengan orang tuaku."
Raya terkejut mendengar ajakan Riko, dia tidak menyangka Riko benar-benar serius dalam menjalin hubungan dengannya hingga ingin mengenalkan dia kepada orangtuanya.
"Ehmmmm apa nggak terlalu cepat, Sayang?" Raya sedikit ragu, karena mereka baru menjalin hubungan dalam waktu setahun ini. Bukan ragu akan cintanya Riko, tapi ragu karena mereka belum lama menjalin hubungan.
"Bukannya cepat atau lambat akan tetap sama? Kita akan selalu bersama, kan?"
"Tapi aku takut, Sayang."
"Kamu nggak usah takut, kan ada aku." Riko meyakinkan sang kekasih.
"Iya deh, besok kamu jemput aku." Akhirnya Raya meyakinkan dirinya untuk bertemu dengan orangtua Riko.
"Oke, Sayang." Riko memegang ke dua pipi Raya lalu ingin merapatkan ke wajahnya.
"Eits, jangan macam-macam ya, sebelum dimaharin."
Raya melepaskan tangan Riko yang menyentuh kedua pipinya. Dia tidak pernah mau jika Riko menciumnya sebelum mereka resmi menjadi suami istri.
Riko tertawa mendengar celotehan Raya, dia hanya ingin menggodanya saja, karena dia sudah sangat mengetahui kalau Raya tidak akan membiarkan dia berbuat macam-macam meskipun hanya sekedar menggandeng tangannya ketika mereka jalan bersama.
...----------------...
Sekitar pukul 13:00 siang, Riko telah menunggu di depan rumah kontrakan milik Raya. Sesuai dengan janjinya, dia akan membawa Raya ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orang tuanya.
Di perjalanan Raya mengajak Riko membeli sesuatu untuk dibawa kepada orang tuanya sebagai buah tangan. Dia merasa segan ketika berkunjung tidak membawa sesuatu yang bisa dia berikan kepada keluarga Riko, meskipun itu hanya sebuah makanan yang harganya tidak terlalu mahal.
"Sayang, aku gugup banget." Raya menghentikan langkahnya ketika mereka tiba di depan rumah Riko. Raya tidak percaya jika Riko adalah seorang anak dari keluarga yang kaya. Selama ini Riko tidak pernah menceritakan bagaimana keluarganya. Dia juga tidak pernah tahu di mana rumah keluarga Riko yang sebenarnya, karena selama ini Riko tinggal sendiri di sebuah rumah yang dia sewa sendiri.
"Tenang, Sayang. Jangan takut, ada aku, kok."
Riko menggandeng tangan Raya ketika masuk ke dalam rumah keluarganya, dan sekarang Raya tidak menolaknya sama sekali karena dia ingin kekuatan dari Riko untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Apa yang kamu katakan, Riko?" wajah ke dua orangtua Riko terlihat sangat marah karena melihat Riko putra bungsu mereka yang sudah lama tidak menginjakkan kaki ke rumah membawa kekasihnya dan mengatakan kepada mereka bahwa dia ingin menikah dengan perempuan itu. Sementara di sisinya, Raya juga sangat terkejut dan tidak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Riko.
"Pa, Ma. Aku hanya memberitahu kepada kalian, dan sekaligus untuk meminta restu kalian. Jika kalian tidak merestuinya, aku juga tidak peduli, karena selama ini kalian juga tidak peduli denganku."
"Siapa yang tidak peduli denganmu anak nakal? Kami peduli denganmu, tapi kamu sendiri yang selalu membuat ulah, nggak mendengarkan apa yang kami katakan," kata papa Riko dengan sedikit lantang
"Pa, aku sudah bilang, aku nggak mau seperti Mas Iqbal dan kak Sela."
"Tapi kamu bisa lihatkan? Sekarang kakak dan Masmu itu bisa jadi orang sukses."
Raya hanya bisa tertunduk mendengarkan perdebatan Riko dan orangtuanga. Dari yang dia dengar, benar yang dikatakan oleh Riko selama ini, bahwa keluarganya tidak mendukung sesuatu yang dia kerjakan, mereka ingin Riko menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Namun Riko tidak berminat sama sekali dengan yang mereka inginkan.
"Ayo, Sayang. Kita pulang aja! Ternyata nggak ada gunanya kita datang ke sini." Riko berdiri dari duduknya dan membawa Raya pergi dari rumahnya.
Raya mengikut perintah dari Riko, tapi dia tetap dengan sopan minta izin dan berpamitan dengan kedua orangtua Riko meski mereka juga tidak meresponnya.
"Sayang, kamu jangan tinggalin aku, ya!" Riko berkata saat mereka singgah di sebuah taman sepulang dari berkunjung ke rumah keluarga Riko.
"Iya, aku nggak akan ninggalin kamu."
"Kamu janji?"
"Janji, Sayang. Aku akan tetap dukung kamu selalu."
Raya tidak ingin menambah beban pikiran Riko saat ini. Dulu waktu dia telah lama berkenalan dengan Riko, hal ini lah yang sering dikeluhkan Riko kepadanya, yaitu tentang keluarganya yang tidak pernah mendukung apapun yang dia lakukan. Sebagai seseorang yang awalnya hanya teman, Raya hanya bisa memberikan semangat untuk Riko supaya tidak berputus asa.
"Sayang, bagaimana kalau kita nikah secepatnya saja?" tanya Riko dan membuat Raya terperangah.
"Selamat, Bro. Ternyata cinta pasangan langka ini nggak main-main," ucap salah satu teman Riko yang menghadiri pernikahan mereka.
Riko akhirnya benar-benar menikahi Raya sesuai dengan yang telah dia katakan sebelumnya, dan pernikahan mereka hanya disaksikan oleh berberapa teman mereka saja. Mereka tetap menikah meskipun tanpa restu dari orangtua Riko.
"Lu pikir gue ngajak pacaran anak orang buat dimainin, ya buat dinikahin lah."
"Gue yakin, ntar setelah ini lu pasti udah susah diajak gabung buat nongkrong."
"Ya nggak, lah. Istri gue orang yang paling pengertian. Iya kan, Sayang?" Riko memegang pundak Raya untuk membenarkan perkataannya.
"Ya ya ya." Raya memberikan jawabannya,dan mereka semua tertawa mendengarnya.
"Gimana kalau kita rayain hari pernikahan kalian ini dengan jalan keliling sambil motoran? Hitung-hitung ini sebagai momen pernikahan yang bisa kalian kenang." Salah seorang dari teman Riko memberikan sebuah ide untuk memeriahkan pernikah Riko yang menikah di KUA dan hanya dihadiri oleh mereka saja sebagai teman Riko.
"Gas lah." Riko berkata dengan semangat. Saat ini dia tidak peduli dan memikirkan hal yang lain, karena dia sudah sangat bahagia bisa menikah dengan kekasihnya meski tanpa restu dari orangtuanya.
Sementara Raya hanya mengikut saja, dia tidak menolak ide dari teman-temannya Riko, karena dari awal dia juga tahu bahwa Riko mempunyai sebuah genk motor. Bahkan dia juga sering dibawa Riko saat mereka motoran. Ini juga salah satu kebiasaan yang tidak disukai oleh orang tua Riko, karena mereka menganggap itu adalah hal yang tidak bermanfaat dan tidak menghasilkan apa-apa. Riko bukannya tidak bekerja, dia mempunyai usaha sebuah bengkel motor yang dia dirikan sendiri meskipun belum terlalu besar. Selama ini dari bengkel itulah dia bisa bertahan untuk menopang kehidupannya. Menurutnya begitu lebih baik, dia merasa lebih bebas dan tidak tertekan dengan keinginan orang tuanya yang selalu menginginkannya untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya.
...----------------...
"Sayang, apa pernikahan kita ini nggak masalah buat kamu meski orang tuaku nggak merestui hubungan kita?" Riko bertanya kepada Raya ketika mereka ingin tidur. Saat ini Raya sudah pindah dari kontrakannya ke rumah kontrakan Riko karena mereka sudah sah menjadi suami istri.
"Nggak pa-pa, Sayang. Nanti kita akan coba meminta restu mereka secara perlahan. Tidak usah buru-buru," jawab Raya pengertian.
"Terima kasih, Sayang. Kamu memang orang yang selalu bisa ngertiin aku," ucap Riko lalu mencium pipi Raya. Setelah dia menghentikan ciumannya, dia menatap Raya sambil memainkan alisnya. " Kayanya aku udah bisa deh, macam-macam sama kamu."
"Macam-macam gimana maksud kamu, Yang?" Raya bertanya karena tidak mengerti dengan ucapan sang suami.
"Kamu pura-pura nggak tahu atau ingin mengelak?"
"Serius, Sayang. Aku nggak tahu maksud kamu apa."
"Baiklah, aku dengan senang hati akan kasih tahu kamu biar kamu ngerti." Riko memeluk tubuh Raya lalu memggelitiki pinggangnya yang membuat Raya tertawa tanpa henti.
...----------------...
Seminggu sudah kebersamaan Riko dan Raya dalam berumah tangga, mereka terlihat bahagia meskipun hidup dalam kesederhanaan.
Riko benar-benar menjadi laki-laki yang sangat beruntung karena mendapatkan seorang perempuan bernama Raya, karena dia menjadi istri yang selalu memanjakan sang suami, sikapnya tetap tidak berubah sejak mereka berpacaran hingga menikah, dia selalu bisa mengerti dan memanjakan Riko dengan sikapnya.
"Yang, aku kerja di kafe lagi, ya?" Raya bertanya saat dia membawakan Riko secangkir kopi di pagi hari sebelum Riko pergi ke bengkel motornya.
"Kenapa?" Riko merasa heran dengan permintaan Raya, karena menurutnya lebih baik Raya tidak perlu bekerja setelah mereka menikah.
"Aku bosan di rumah terus dan cuma nungguin kamu pulang dari bengkel. Aku kerja biar bisa bantu kebutuhan kita juga."
"Lah, bukannya aku udah kasih belanja buat kamu?"
"Iya, sih. Tapi aku bosan di rumah terus. Pengen Ikut ke bengkel kamu juga nggak kasih."
"Di bengkel itu semuanya cowok, masak iya kamu di sana cewek sendiri, kan nggak enak di lihatnya, Sayang."
"Aku kerja lagi aja, ya?" Raya tetap ingin bekerja karena bosan jika terus diam di rumah. Di awal mereka menikah ini, dia belum terlalu mempunyai banyak kesibukan di rumah, apalagi mereka hanya tinggal berdua. Jadi pekerjaan di rumah masih terlalu ringan untuk dia kerjakan.
"Iya, deh. Tapi nggak boleh ambil yang tiap hari, dan pulangnya juga nggak boleh malam, kan udah punya suami." Riko mengingatkan. Dia tidak ingin Raya bekerja seperti masih gadis yang bekerja setiap hari dan selalu pulang malam. Dia bekerja dengan waktu yang lama karena hanya tinggal sendiri.
"Siap, Sayang. Istrimu ini berjanji." Raya memberikan gerakan hormat kepada Riko karena telah menyetujui permintaannya, dan itu membuat Riko tertawa. Raya tidak bermaksud untuk tidak menghargai usaha Riko, tapi sekarang semuanya membutuhkan uang, jika kita tidak bekerja keras, maka kita hanya bisa menahan banyak sesuatu yang kita inginkan. Sementara hidup berumah tangga itu kebutuhannya juga sudah berbeda dengan masa ketika kita masih belum menikah.
*
*
*
"Wiuhhhh selama udah kawin, si Riko datang bengkelnya udah teratur, datangnya selalu pagi. Coba kalau sebelum kawin, orang udah pada makan siang, dia baru nongol," gurau seorang teman Riko yang berada di bengkelnya.
"Lu bisa aja. Bini gue bilang, kalau bangun itu nggak boleh siang, nanti rezekinya di patok ayam."
"Hemmm bisa ae lu, mentang-mentang ada yang bangunin."
"Makanya cepetan nikah, biar kaya gue."
"Ogah gue, mah. Gue pengen menghabiskan masa lajang dulu sepuasnya."
Riko dan temannya terus saja bersenda gurau ketika mereka sudah berkumpul di bengkel motornya. Tidak ada habisnya mereka untuk saling bercanda. Kadang jika mereka sudah lelah, mereka akan pergi meninggalkan bengkel mencari tempat nongkrong untuk melihat suasana yang baru.
Sementara Raya telah bersiap di rumah setelah Riko berangkat ke bengkel, dia akan memberitahu kepada bosnya di kafe bahwa dia akan kembali masuk bekerja. Sebelumnya dia sudah berjanji akan memberi kabar secepatnya jika dia akan kembali bekerja setelah dia memutuskan untuk menikah.
"Ambil ini!" Sebuah amplop berwarna coklat disodorkan oleh seorang wanita paruh baya dengan dandanannya yang berkelas kehadapan Raya. Dia khusus di datangi wanita itu ke kafe saat dia sedang bekerja.
"Ini apa, Ma?" Raya sedikit bingung karena dia tidak tahu apa maksud dari mertuanya memberikan amplop itu kepadanya. Ya, wanita itu adalah mamanya Riko.
"Panggil saya, Tante, kamu nggak ada hak memanggil mama kepada saya."
"Ta-,"
"Meskipun kamu sudah menikah dengan Riko putraku, aku tidak merestuinya. lagian, kamu seharusnya menasehati Riko karena kamu lebih dewasa darinya. Bukan kamunya malah mengikuti saja apa yang dia lakukan. Riko itu belum membutuhkan istri untuk saat ini, dia hanya butuh orang yang peduli dengannya, dan kebetulan kamu bisa memberikan itu, jadi dia merasa nyaman. Kamu juga aneh, bukannya menasehati, malah menikah dengannya."
Raya tertunduk dan tidak berani menatap mertuanya yang sedang berbicara untuk menasehatinya.
"Ambil uang ini! Tetapi dengan syarat kamu harus tinggalkan Riko."
Raya yang awalnya tidak berani menatap mertuanya, memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk memastikan apa yang baru saja dia dengar dari bibir mertuanya.
"Maaf, Tante. Aku tidak bisa meninggalkan Riko," bantah Raya dengan pasti.
"Apa uangnya tidak cukup? Aku akan menambahnya kalau menurut kamu itu masih kurang."
"Nggak, Tante. Bukan itu yang aku maksud." Raya menolak dengan cepat agar mertuanya tidak salah paham kepadanya.
"Ini semua salah kamu, coba kalau kamu menolak diajak nikah sama Riko, pasti saya nggak akan menyalahkan kamu. Gara-gara kamu juga Riko jadi anak yang durhaka, kalian menikah diam-diam tanpa sepengetahuan kami."
Raya bisa melihat bahwa ada kekecewaan di mata mertuanya saat mengetahui putranya telah menikah tanpa sepengetahuannya.
Mama Riko berdiri dari tempat duduknya karena tidak berhasil menghasut Raya yang tetap pada pendiriannya, lalu dia pergi meninggalkan Raya tanpa berkata-kata lagi.
Sementara Raya hanya bisa mengelus dada untuk bersabar, pernikahannya dengan Riko baru saja berjalan satu minggu, tapi dia sudah mendapat serangan dari mertuanya. Dia sedikit berpikir, apakah benar jika dia seharusnya menasehati Riko karena nyatanya umurnya diatas lebih tua daripada Riko.
Raya sudah pulang ke rumah sejak jam lima sore. Dia sudah berjanji tidak akan mengambil kerja malam lagi, makanya dia hanya bekerja hingga sore hari.
Sekarang dia sedang memasak makan malam untuk mereka di rumah, tadi pagi dia tidak sempat memasak karena buru-biru ingin pergi bekerja ke kafe.
Burmmm Burrmm
Raya mendengar Suara mesin motor Riko yang telah sampai di depan rumah saat hari sudah mulai senja.
"Sayang...!" teriak Riko ketika masuk ke dalam rumah.
"Jangan berteriak? kayak anak kecil saja." Raya keluar dari kamar ketika mendengar Riko yang berteriak memanggilnya.
"Kamu disamperin mama ya di kafe?"
Wajah Raya terlihat bingung. Dia juga heran dengan pertanyaan Riko, kenapa Riko bisa tahu kalau mamanya datang ke kafe dan bertemu dengannya.
"Anak-anak yang bilang, tadi mereka sempat liat kamu lagi sama mama."
Akhirnya kebingungan Raya terjawab. Dia tidak heran lagi, karena kafe tempat dia bekerja adalah sebuah tempat yang sering dikunjungi oleh Riko dan teman-temannya. Dia juga pertama kali bertemu Riko di kafe itu.
"Owwhhh ada yang liat, ya." Raya menjawab sambil tersenyum lucu.
"Mama ngomong apa sama kamu?" Riko penasaran dengan pertemuan mereka.
"Mama nggak ngomong apa-apa."
"Jangan bohong, Sayang."
Raya tidak ingin memberitahu kepada Riko bahwa mamanya datang untuk menyuruh dia meninggalkan Riko.
"Beneran, Sayang. Mama cuma nanya kenapa dia nggak tahu kalau kita udah nikah." Raya memberikan jawaban yang menurutnya aman.
"Aneh, kemarin udah minta restu secara baik-baik dimarahin, giliran udah nikah ditanyain."
"Huss, nggak boleh gitu, Sayang. Mereka itu orang tua kamu, loh. Bagaimana pun mereka, kamu nggak boleh ngomong gitu."
Riko hanya tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya ketika Raya yang menegurnya. Setelahnya dia memasang wajah memelasnya dan juga memegangi perutnya.
"Aku lapar, Sayang," ucapnya manja.
"Aku udah masak buat kamu, kok." Raya berkata dan membawa Riko menuju ruang makan mereka yang terlihat sederhana. Raya benar-benar melayani Riko sebagai suaminya, dia mengambilkan makanan untuk Riko dan menyediakan semuanya. Sementara Riko hanya duduk menunggu sambil menopang dagunya dan memperhatikan sang istri yang sangat cekatan melayaninya.
"Yang, nongkrong yuk!" ajak Riko kepada Raya sekitar pukul delapan malam.
"Kemana?"
"Di tempat biasa, sama anak-anak juga."
"Aku tinggal aja, lagi males keluar."
"Bener, nih?" Riko memastikan karena dia ingin keluar malam ini.
"Hemmmm tapi kamu pulangnya jangan malam banget." Raya mengingatkan.
"Siip deh bu bosku!" sambil memberikan tanda hormat kepada sang istri.
Riko berpamitan dan akhirnya meninggalkan Raya sendiri di rumah. Dalam kesendiriannya, Raya kembali teringat akan perkataan mamanya kepadanya.
Apa mungkin dia sudah salah mencintai Riko? Salahkah dia sebagai orang yang usianya lebih tua dari Riko menerima Riko sebagai suaminya di saat laki-lai itu dijauhi oleh keluarganya?
Huffffff
Raya menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia tidak ingin terjebak dengan pikirannya sendiri. Menjadi istri dari seorang laki-laki yang bernama Riko telah dia putuskan sejak lelaki itu menyatakan untuk memperistri dirinya. Sekarang dia dan Riko akan berusaha dan mencoba secara perlahan agar hubungan mereka bisa di restui oleh kedua orang tua Riko, karena hanya itulah yang menjadi penghalang dari mereka sekarang. Jika ditanya bagaimana dengan keluarganya, jika tidak menikah dengan Riko, maka dia masih hidup sebatang kara sampai saat ini.
*
*
*
Riko masih asyik duduk nongkrong di sebuah kafe bersama teman genk motornya, dan diantara mereka semua, hanya Riko lah yang telah menikah.
Mereka sekarang sedang fokus kepada handphone di tangan mereka masing-masing, karena mereka sedang bertanding bermain game secara online.
Seperti halnya anak muda pada umumnya, kadang mereka juga mengeluarkan suara berteriak di saat permainan itu gagal mereka mainkan.
"Come on, kita harus menang, Riko. lu harus usahain bisa mengalahkan para kurcaci tidak berguna ini."
"Ha, mana bisa. Apa kalian tidak tahu kalau kami adalah tim yang terkuat?"
"Akhhhh. Kenapa malah memukulnya."
Itu adalah beberapa perkataan yang diucapkan mereka ketika sedang bermain game secara online, dan ucapan mereka bisa di dengan secara langsung di telinga mereka.
Tring, tring, tring
Beberapa bunyi pesan masuk terdengar dari handphone Riko, tapi karena sedang asyik bermain, dia mengabaikan pesan itu.
"GO go go Riko, sedikit lagi, ayo hancurkan semuanya."
Di saat Riko sedang dalam pertahanan dan akan memenangkan gamenya, tiba-tiba layar handphonenya bertukar dengan memperlihatkan foto seorang perempuan yang sekarang sudah menjadi istrinya.
"Akhhhhhhhh, kacau ni bocah. Sedikit lagi mau finish, malah kabur." Teman bermain satu timnya sedikit kesal karena permainan yang sejak tadi mereka pertahankan, kalah dengan seketika karena Riko mendapat panggilan.
"Iya, Sayang. Aku pulang sekarang!" Riko sudah menjawab panggilan di handphonenya.
" Lu mah gitu, baru juga mau menang, udah main kabur aja."
"Sorry ... gue duluan, ya."
Riko beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan teman-temannya. Dia juga sempat melihat jam di handphonenya, jam baru berada di angka sepuluh. Sebelum menikah, biasanya dia akan pulang ke rumah di atas jam 12 malam.
"Sayang, besok-besok pulangnya jangan jam segini, ya!" Raya memeluk tubuh Riko saat dia sudah tiba di rumah dan ikut berbaring di atas ranjang bersamanya.
"Nggak lama kok, sekarang aja masih jam sepuluh loh, Yang."
"Iya, tapikan aku sendiri di rumah, nggak ada temannya. Lagian kamu juga besok harus kerja, jadi tidurnya nggak boleh terlalu malam."
"Hemmm kalau kita tidurnya jam segini, kayanya kita akan cepat punya bayi, Sayang."
"Ihhhh, Sayang. Kamu pikirannya ke situ mulu tiap malam." Raya berpura-pura untuk berkata manja, karena meskipun begitu dia juga menikmati kegiatan baru yang mereka lakukan di setiap malam itu.
"Biar kamu nanti ada temannya di rumah kalau aku tinggal kerja. Makanya sekarang kita harus ngebut bikinnya."
"Ha ha dasar lelaki mesum." Raya mengolok sang suami yang berkata begitu, mengatasnamakan agar cepat memiliki bayi padahal ingin menikmati.
"Mesum-mesum gini, tapi kamu suka, kan?"
Riko sudah bergerak pindah ke atas tubuh Raya dan mengukungnya.
Sekarang mereka sudah saling bertatapan, dan dengan gerakan pelan Riko mendekatkan wajahnya kepada Raya hingga ujung hidung mereka bersentuhan dan nafas mereka terasa saling menyatu karena berhembus dengan ritme yang sama.
Riko sudah menempelkan bibirnya ke bibir Raya, tapi dia sama sekali belum mengecupnya. Sementara itu, nafas Raya suara terasa memburu. Riko tetap mendiamkan bibirnya menempel di bibir Raya, tapi lama kelamaan Raya bergerak sendiri dan mengecup bibir Riko. Dia juga menarik kepala Riko agar lebih dekat dan bisa memperdalam ciumannya. Raya terus bergerak, sedangkan Riko seperti masih mendiamkannya.
Beberapa menit kemudian, Raya melepaskan pagutannya.
"Sayang ..." Raya merengek karena Riko sama sekali tidak membalas permainannya.
Riko tersenyum melihat tingkah Raya, meskipun Raya lebih tua darinya, tapi kadang Raya bisa jadi seorang yang sangat manja dan benar-benar menempatkan dirinya sebagai suami.
"Sekarang siapa yang lebih mesum?" Riko berkata sambil memainkan ke dua alisnya.
Wajah Raya terlihat cemberut mendengar perkataan Riko yang membuat sang suami tidak tahan melihatnya, dan dengan gerakan cepat dia menyambar bibir Raya kembali lalu menyesapnya dengan dalam. Hingga permainan itu berakhir dengan penyatuan tubuh mereka dan saling menyesap kenikmatan diantara keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!