Djorghi
Ku hirup aroma cokelat pekat panas yang baru saja kubuat di pantry. Pagi-pagi, menghirup aroma cokelat menjadi salah satu dopping buatku. Aku memang membutuhkan minuman ini, apalagi saat ini aku sering lembur dan stres. Ya, cokelat sangat menenangkan bagiku.
Sebagai minuman wajib untukku, diruang kerjaku selalu ada bubuk cokelat yang rutin aku beli di toko online. Aku membeli kemasan satu kilogram, yang bisa habis dalam waktu sepuluh hari sampai dua minggu.
Selain kusimpan cokelat bubuk ini di kabinet diruanganku, sekretarisku, Naima pun menyimpannya. Hal ini untuk antisipasi ketika meeting atau ada tamu tapi aku sedang ingin minum cokelat, Naima bisa langsung membuatnya.
Meskipun aku menyukai cokelat, aku juga menyukai kopi, tapi tidak terlalu fanatik. Yang aku sukai malah kopi susu.
Kerja kerja kerja! Ya hari-hariku diisi dengan kerja karena aku ingin mengejar target yang sudah kurencanakan sejak dulu. Mengejar impian yang sebentar lagi terwujud. Untungnya, Hendra, orang kepercayaanku dan sekaligus sebagai tangan kananku tidak banyak mengeluh selama ia mendampingi aku.
Meskipun sebagai tangan kananku ia tidak harus selalu berada disampingku. Tidak, aku tidak mau, karena aku juga membutuhkan privacy, apalagi bila sedang bersama kekasihku, Mimi. Yang terpenting adalah, ia selalu ada saat aku membutuhkannya.
Termasuk saat ini, saat aku membutuhkan informasi tentang aktivitas Mimi. Bukannya aku tidak mempercayai Mimi, namun saat ini aku butuh kroscek antara omongan yang ia sampaikan kepadaku dengan yang sesungguhnya.
Sudah beberapa minggu ini aku merasakan kejanggalan, ia terkadang sulit dihubungi. Aku meminta Hendra untuk menyelidikinya, terserah bagaimana caranya, yang terpenting aku mendapatkan informasi.
"Pak Djorghi, ibu Mimi ada di mol kawasan Gandaria, sedang makan dengan seorang pria." Itu isi laporan dari Hendra, orang kepercayaan aku. Tidak lama whatsapp aku berbunyi lagi tapi tidak sekali, beberapa kali. Kulihat Hendra mengirimi beberapa foto aktivitas Mimi terkini.
Laporan yang Hendra kirimkan membuat aku emosi. Mencoba tidak percaya dengan laporan tersebut, aku berusaha menghubungi Mimi, namun hasilnya nihil. Aku selalu mendapatkan jawaban ‘telepon yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan’.
Masalah Mimi memang mempengaruhi hasil kerjaku, tapi untungnya,Naima bisa tahu kalau bosnya lagi stress. Sekarang, setiap pagi ia akan menanyakan apakah perlu ada jadwal yang harus dikurangi, padahal meeting yang kuhadiri sekitar 3 sampai 4 pertemuan setiap harinya.
Memang capek, tapi seperti yang aku bilang tadi, aku sedang mengejar impianku. Ballroom yang kuimpikan dengan dilengkapi hotel sebentar lagi rampung. Aku tidak membuat satu, tapi langsung lima yang tersebar di empat kota. Kerenkan?
Tapi stres yang kualami semakin berat setelah aku mendapati terror telepon dari pihak kartu kredit yang menagih hutang Mimi yang jumlahnya sangaaaat besar. Ketika aku menolak membayarnya, teror itu datang sehari tiga kali, pagi, siang, sore.
Rencananya, aku akan membayarnya setelah berbicara dengan Mimi, namun Mimi sulit aku hubungi. Mau tidak mau, aku harus membayarnya dengan cara mencicilnya selama tiga bulan.
***
Perkenalkan namaku Djorghi Kartasasmita, 32 tahun, panggil saja Djorghi dan dijamin aku akan menoleh. Aku, anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adikku perempuan semua, dan mereka sudah menikah.
Aku lulusan S1 dari Fakultas Ekonomi & Bisnis UGM, kemudian aku melanjutkan S2 di Frankfurt School of Finance & Management. Aku memang dipersiapkan ayah untuk menjadi pebisnis handal.
Aku beruntung berada dalam keluarga yang demokratis dan tidak memaksakan kehendak. Tapi, ada tapinya nih, Ayah memintaku memegang usaha yang ia rintis. Haiyah! Ingin menolak sebenarnya saat diminta Ayah, tapi enggak tega.
Padahal dari dulu aku sudah memiliki keinginan untuk punya usaha sendiri tanpa embel - embel Ayah. Tapi aku berfikir itu semua bisa dibicarakan pelan - pelan dan aku tetap terus menabung untuk membangun usahaku tersebut.
Hingga akhirnya aku bisa membeli lahan di lima lokasi dengan ukuran bervariasi. Kemudian aku mengontrak arsitek untuk membangun beberapa ballroom yang dilengkapi dengan hotel.
Jumlah kamar standar di hotelku antara 30 - 50, lalu luas kamar rata - rata 30 m2, serta 7 - 10 suite room, president suite, dan kamar yang difasilitasi connecting door. Jumlah kamar dibuat berdasarkan kebutuhan yang berbeda ditiap kota.
Aku juga menyiapkan beberapa kamar untuk aku dan pejabat atau team yang bertugas saat harus tinggal disana, desain ruangan lebih besar dan agar koordinasi kerja lebih mudah, dibuat dalam satu lantai.
Konsep yang aku buat adalah antara hotel dan ballroom sama - sama berjalan, tapi saat ini aku lebih konsentrasi dalam mengurus ballroom, karena untuk hotel aku sudah percaya sama orang - orang yang aku rekrut yang sebagian berasal dari hotel Metropolitan milik Ayah, yang aku pimpin saat ini.
Ballroom dan hotel tersebut kuberi nama Dballroom. Semua namanya sama, hanya ada penambahan nama lokasi keberadaannya saja. Kini pembangunannya sudah berjalan 70 persen.
Kenapa aku tertarik membuat ballroom yang dilengkapi hotel, bukan sebaliknya? Karena aku ingin memberikan alternatif kantor-kantor yang ingin meeting di luar kota dapat menggunakan ballroom yang kubangun dengan berbagai ukuran.
Lalu untuk sekolah-sekolah yang mau study tour atau perpisahan semua fasilitas yang dibutuhkan tersedia di Dballroom.
Selain itu, tentu saja Dballroom dapat digunakan untuk acara keluarga, seperti pernikahan, ulang tahun, atau perayaan lainnya.
***
Kembali soal Mimi tunanganku. Sebenarnya untuk hutang kartu kredit aku bisa membayarnya sekaligus, tetapi semua uang aku saat ini sudah memiliki pos - pos sendiri dan itu sedang berjalan.
Meskipun begitu, untuk membayar hutangnya, uang tabunganku tetaplah berkurang banyak. Rencana pembangunan Dballroom bisa berantakan. Jalan satu - satunya, aku meminta bantuan ayah.
Jujur aku gengsi harus meminjam uang ke ayah, tapi saat aku mengetahui kelakuan Mimi, pembangunan sudah berjalan tujuh puluh persen dan harus selesai sesuai jadwal agar tidak ada pembengkakan biaya.
Dari awal aku ingin usahaku tidak menggunakan pinjaman bank. Untuk gaji karyawan pun aku sudah mempersiapkan untuk 5 tahun.
Ayah meminjamkan uang yang gantinya bisa kapan saja, dengan syarat untuk beberapa tahun kedepan aku tidak boleh melepas kepemimpinan hotel Megapolitan yang dipercayakan ayah ke aku.
Pusing? Iya! Tapi untungnya orang - orang yang ada disekitarku semua bisa dipercaya, jadi untuk beberapa hal bisa dilimpahkan ke mereka.
Solusi terbaiknya adalah ketika aku bisa mewawancarai para kandidat karyawan baru Dballroom dengan menggunakan orang - orang kantor PT. Megapolitan Property Utama. Semua menggunakan fasilitas hotel.
"Aah ternyata aku belum bisa seratus persen tidak tergantung dengan Ayah," teriakku saat merasa kepala mau pecah.
Aku tidak ingin selalu menjadi bayang - bayang kesuksesan Ayah. Saat ini, okelah aku masih memegang hotel milik Ayah, tapi kedepannya, aku harus dan wajib melepasnya dan berdiri dengan kakiku sendiri.
***
.
.
.
.
.
Bersambung
Djorghi
Aku menyadari ini adalah kesalahanku. Ya, satu tahun yang lalu setelah ia selalu meminta fasilitas kartu kredit dari aku, akhirnya aku membuatkannya karena capek dengan teror yang Mimi berikan terus menerus.
Kesalahan lainnya adalah memberikan kartu kredit yang tanpa batas. Semua kulakukan karena aku sangat percaya dengan Mimi.
Ternyata apa yang dibelanjakannya tidak masuk akal. Salah satunya, ia belanja untuk sebuah tas yang mencapai harga dua ratus juta! Itu uang loh! Kalau untuk beli mobil, bisa dipakai setiap hari, lah ini tas yang digunakan sesekali saja. Sebulan sekali juga belum tentu ia pakai.
Bukannya pelit, tapi dalam hitung - hitungan yang aku pelajari selama bertahun - tahun kuliah, semua itu harus seimbang antara pendapatan, pengeluaran, serta kebutuhan.
Sekarang saja Mimi tidak kerja, alasannya gajinya kecil. Lingkungannya juga bukan dari kalangan burjois sebenarnya. Aku benar - benar dibuat pusing oleh kelakuan wanita terkasihnya ini.
Setelah aku ingat - ingat, Mimi memang pernah memakai tas bermerek itu, tapi aku tidak berfikiran kalau itu asli. Lalu tas itu akan dipamerkan kesiapa? Apa manfaat yang didapat dari tas tersebut? Orang-orang yang melihatnya mungkin menilai kalau itu adalah tas KW yang banyak dijual di Mangga Dua, seperti awal dugaanku saat melihatnya.
Ya bagaimana aku tidak berfikiran KW, kalau pergaulannya sendiri bukan dari kalangan jetset. Ternyata dia memakai tas tersebut karena jabatanku dan posisiku. Tapi ini jelas-jelas berbeda dengan kepribadianku, karena ayah dan ibu selalu mengajarkan kesederhanaan dan lebih baik menabung, kami sekeluarga tidak terlalu berfikir ke barang-barang yang mahal. Kalau kata ayah dan ibu, yang penting fungsinya, dan kalau bisa pakai produk UMKM dari daerah.
Aku memang kuliah di Jerman, tapi bukan berarti hidupku disana glamor. Tidak, jangan bayangkan itu. Aku malah bekerja mengantar koran keliling komplek perumahan menggunakan sepeda untuk menambah uang jajanku. Saat libur semester, aku kerja freelance sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran.
Jadi, bisa dibayangkan dong stresnya aku ketika uang dua ratus juta habis untuk sebuah tas yang kelak lebih banyak tersimpan dilemari.
Akhirnya, semua fasilitas Mimi aku stop. Aku mau konsentrasi membayar semua hutangnya yang bejibun itu. Mimi marah besar, tapi aku pun lebih marah. Pertengkaran tidak terelakkan.
Mimi minta jatah bulanan, ketika tahu kalau kartunya sudah di blokir. "Oke aku transfer 50 juta, setiap bulan," kataku saat dia meminta ditransfer. Mimi tambah ngamuk begitu tahu jumlah yang diberikan aku. Apapun yang terjadi aku masih harus membayar hutangnya yang tidak sedikit itu sampai lunas.
"Saya semakin berfikir, baru tunangan sudah seperti ini, sangat merepotkan! Kami kenal sudah 2,5 tahun, pacaran 2 tahun. Apa jadinya kalau itu seumur hidup?" kataku ke sahabat karibku, Emran. Emran kali ini hanya sebagai pendengar dari ceritaku.
Tapi terkadang cinta mengalahkan logika. Aku masih berfikir, Mimi bisa dinasehati dan berubah. Aku selalu menyemangati diri sendiri untuk hubungan ini, tepatnya untuk cintanya ini.
***
Author
Saat ini sudah sepuluh hari Djorghi berada di Bali dari rencana tinggal selama dua minggu. Semua karyawan inti yang telah lulus seleksi sedang di beri aneka pelatihan. Hal ini karena Djorghi juga berharap penginapan ini memiliki daya jual tersendiri, selain tentu saja gedung pertemuannya yang terbagi beberapa ruangan.
Sudah lima hari Mimi tidak bisa dihubungi. Djorghi sudah bertanya ke semua teman - temannya serta keluarga, semua mengatakan tidak tahu. Akhirnya Djorghi kembali minta tolong ke orang kepercayaannya, Hendra yang berada di Jakarta untuk melacak keberadaan Mimi, karena Djorghi tidak bisa meninggalkan Bali.
Djorghi baru saja turun dari atas panggung setelah ia menyampaikan pidatonya dan langsung disambut oleh tepuk tangan para karyawan.
Disela-sela acara yang meriah, ia mengecek ponsel yang sudah bergetar dari tadi. Kaget membaca pesan yang baru diterima dari Hendra. Sesekali ia menggosok matanya untuk memastikan kalau tidak salah baca, foto undangan pernikahan Mimi dengan seorang pria yang tak dikenalnya, dan berlangsung hari ini!
Panik! Melihat foto undangan yang baru diterima, membuat Djorghi melangkahkan kaki menuju rooftop untuk menelpon Mimi.
"Sial! Ponselnya mati!" ujarnya sambil menendang batu yang ada diatas.
Djorghi pun langsung turun. Dia menelepon Hendra untuk menyelidiki semuanya, sejak kapan Mimi berhubungan dengan pria itu, serta data lengkap sang suami.
Sakit hati? Pastinya. Apalagi hutang piutang Mimi yang harus dibayar Djorghi belum lunas semua. Tapi perjalanan hidupnya harus terus berlangsung. Ia pun melangkahkan kakinya menuju kamar eksekutif yang memang dibuat khusus untuknya bila berkunjung ke Dballroom.
Dikamarnya, ia merasakan kekecewaan yang begitu dalam. Kemungkinan pertemuan Mimi dengan lelaki yang dilaporkan Hendra beberapa minggu lalu di mol kawasan Gandaria berhubungan dengan pernikahannya ini.
Hidupnya telah dimonopoli oleh Mimi dua tahun belakangan ini, ia ingin mengeluarkan isi hatinya ke sahabatnya, tapi Emran ada di Jakarta. Kurang sreg rasanya berbagi kisah melalui telepon. Tapi jangan suruh Djorghi ke bar, karena rokok pun tak disentuhnya.
Dia pun membuka aplikasi rumah makan dan memesan makanan yang tidak disediakan Dballroom. Makan, adalah salah satu pelarian yang tepat untuk saat ini, ia menyadari saat ini dirinya dibutuhkan oleh karyawannya dan bisnisnya pun harus terus berjalan.
***
Saat ini Djorghi tengah menikmati kelezatan burger dan kentang goreng yang ia beli dari restoran cepat saji yang berasal dari tempatnya Obama berada.
Sebenarnya, ini makanan tidak sehat. Tapi ini adalah makanan kegemarannya sejak ia duduk dibangku SMP saat tahun 90-an.
Tidak tanggung - tanggung, ia memesan langsung dalam jumlah yang banyak, 12 burger dengan aneka rasa yang berbeda, 5 kentang goreng. Untuk minumnya ia lebih menikmati kopi hitam yang bisa ia seduh sendiri dari coffe maker di kamarnya.
Ia harus tetap sehat dan kuat. Besok ia harus memberikan ilmu managemen waktu yang akan diterapkan di perusahaannya. Karyawannya harus bisa mengatur waktu secara efisien.
Tiga minggu lagi semua penginapan dan gedung pertemuan sudah dibuka secara serempak. Maka semua persiapan benar - benar harus matang tanpa terkecuali.
Saat sedang berfikir sambil memandang ombak di pantai melalui jendela kamarnya, ia mendapatkan whatsapp dari Hendra yang mengabarkan kalau semua data tentang suami Mimi sudah dikirim via email.
Setelah membuka email dan membacanya, ia menelepon Hendra, "Dra, ternyata laki - laki itu bukan siapa - siapa ya? Dan Mimi akan tertipu olehnya. Sudahlah, biarkan saja, tolong tutup akses Mimi ke saya. Bereskan semua yang memang harus dibereskan. Kamu mengertikan maksud saya?"
"Iya Pak, saya mengerti. Saya akan atur semuanya," jawab suara dari sebrang.
"Ya sudah, kerjakan. Terima kasih." Djorghi pun menutup teleponnya.
Urusan wanita mau tidak mau harus ia kesampingkan saat ini. Fokus ke usaha dan karyawan. Djorghi harus kembali minta pengertian keluarga untuk tidak menuntut dan menerornya agar segera menikah. Biarlah waktu yang akan bicara, dia percaya kalau memang sudah saatnya, ia pasti akan menikah.
***
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Djorghi
Aku sudah tidak memikirkan soal Mimi. Kok bisa? Bisalah, aku mengalihkan perasaanku sekarang ke Dballroom. Apalagi setelah tukar fikiran dengan Emran, semakin mantap hati ini untuk membuang wanita itu dari hati dan pikiranku.
Training dan aneka pelatihan di Bali telah usai minggu lalu. Para pegawai Dballroom sudah mulai masuk, untuk sementara mereka masih training dan adaptasi dengan tugas - tugas mereka yang diawasi tim Hotel Metropolitan.
Mereka semua adalah yang nantinya menjadi atasan. Untuk penerimaan karyawan baru berikutnya akan diwawancarai oleh HRD di tiap cabang. Semuanya adalah orang kepercayaan dari tim HRD dari hotel Metropolitan yang aku pimpin. Beberapa personil bahkan aku bajak dari hotel ini.
Aku masih belum memiliki tim event untuk ballroom. Jalan yang diambil adalah mencari rekanan dengan cara menawarkan tender ke beberapa pemilik event yang terkenal keren dan handal di Jakarta.
Pekerjaan untuk mengundang mereka tender sudah didelegasikan ke Hendra. Dia yang mengatur semua, termasuk kapan mereka akan presentasi, tapi dalam pemilihannya, tetap akulah yang memutuskannya.
Untuk sementara, aku meminta 6 event organizer dulu yang presentasi. Kalau belum ada yang cocok baru mencari lagi.
Kemarin siang, sudah ada tiga event organizer yang presentasi menawarkan program paket penyewa Dballroom. Dari tiga presentasi itu aku tertarik dengan Rara Organizer.
Kalau dua lainnya presentasi berdua dan bertiga, serta mereka saling melengkapi dalam tiap program yang telah mereka rencanakan, berbeda dengan Rara Organizer yang belakangan aku baru tahu bahwa nama itu adalah nama si pemilik dan dia juga yang presentasi kemarin.
Dia berbeda karena dia datang sendiri, presentasi sendiri, dan menguasai sampai detail yang tidak terfikirkan oleh kami sebagai pemilik gedung. Belum lagi apa yang dia buat dalam presentasi dalam bentuk power point terlihat mantap, matang, dan pastinya niat. Aku suka dengan performa wanita ini seutuhnya.
Meskipun aku sudah memiliki calon pemenang, tapi presentasi hari ini tetap harus berlangsung, siapa tahu ada yang lebih hebat dari RO kan?
Untuk tender hari ini diselenggarakan tadi pagi, dimulai dari jam 8 pagi. Sama seperti kemarin, semua peserta dikasih waktu satu jam untuk presentasi.
Nyatanya dari hasil presentasi tadi pagi, tetap jagoanku yang oke. Yang tadi pagi presentasi, juga dilakukan berkelompok, tidak ada yang presentasi sendiri seperti RO.
Melihat kecerdasan Rara, aku jadi berfikir untuk tidak menjadikannya rekanan, tetapi karyawan tetap yang bertanggung jawab dengan aneka planning acara dan konsep matangnya. Dia juga bisa menjadi temanku untuk berdiskusi dalam program kerja Dballroom. Setelah di fikir-fikir, aku membutuhkan orang seperti Rara karena aku juga belum bisa melepas tanggung jawab Hotel Metropolitan ini.
Saatnya bergerak, aku harus segera menjadikan wanita itu pegawai tetap yang bisa mengatur semua aktivitas ballroom. "Hendra, keruangan saya sekarang!"
"Hendra, coba hubungi Rara dari Rara Organizer, tawarkan dia untuk menjadi karyawan tetap. Bukan sebagai rekanan. Tawarkan fasilitas seperti karyawan kelas 3, kataku setelah Hendra masuk ruangan.
"Baik Pak. Job description-nya hampir sama kalau dia jadi rekanan Pak?" tanya Hendra.
"Iya, saya butuh orang seperti dia. Cara kerjanya bagus. Usahakan dalam waktu dekat dia sudah masuk, banyak yang harus dikerjakan," ujarku sambil membayangkan aneka pekerjaan untuk Dballroom ini.
"Baik Pak, ada lagi yang lain?" tanya Hendra, setelah saya menggelengkan kepala, ia pun meninggalkan ruangan.
***
Setelah tiga hari, Hendra memberi kabar kalau Rara menolak penawaran yang kita ajukan, alasannya gaji yang ditawarkan tidak sesuai dengan apa yang akan dia tinggalkan, dan ia tetap memilih untuk menjadi rekan bisnis saja.
Fasilitas kelas 3 untuk perusahaan kami itu termasuk mewah, apa sebenarnya keinginan wanita ini, apa dia termasuk wanita seperti Mimi? Tapi kalau lihat dari hasil kerjanya dia adalah wanita pekerja keras dan tangguh, bukan tipe wanita yang gemar foya - foya.
Aku butuh jawaban dari Rara langsung. Apa yang dia inginkan sebenarnya? "Hendra, coba kamu atur pertemuan saya dengan Rara."
Sampai malam tidak ada kabar sama sekali, kapan aku bisa ketemu Rara. Apa sesulit itu bertemu dengan Rara? Besok aku harus menghubungi sendiri. "Hen, besok biar saya yang menghubunginya langsung. Kamu sudah tidak perlu meneleponnya. Kirim nomernya ke saya," kataku dari balik telepon.
Bukan tanpa alasan kalau aku harus segera bertindak. Dballroom harus segera dibuka beberapa minggu kedepan, tapi Rara masih susah untuk ditemui.
Aku akhirnya mendapatkan penolakan yang disampaikan Rara lewat telepon. Dia tidak ingin bertemu, karena dia hanya ingin menjadi rekanan saja. Dan aku, tidak menerima penolakan sebelum berjuang.
Jalan satu - satunya adalah rajin meneleponnya pagi, siang, sore. Malam khusus aku kirim pesan kepadanya agar besok bisa ketemu. Selama belum mendapatkan jawaban, aku harus siap membatalkan kapanpun segala pertemuan yang kemungkinan akan berbarengan dengan waktu temu bersama Rara. Ya, saat ini Rara adalah prioritas.
Strategi aku ternyata jitu dengan meneror telepon dia. Hingga suatu hari ia mengangkat telepon.
"Iya Pak, ada apa lagi? Saya rasa sudah tidak perlu ada pertemuan dengan Anda."
"Perlu! Saya ingin bertemu dengan Anda. Sebentar tidak masalah."
"Aduh, Bapak kok maksa sekali ya? Ya sudah bicarakan saja lewat telepon. Saya lagi tidak suka terkena macet, sayang waktunya Pak."
"Tidak, saya lebih senang bertemu dengan Anda secara langsung."
"Saya tidak bisa Pak. Paling cepat waktu kosong saya dua minggu lagi. Ini saya sedang banyak event."
"Bagaimana kalau saya mendatangi tempat Anda menggelar event? Kita bisa bicara sejenak disana?"
"Saya bisa hari Minggu, itu adalah event yang sedikit santai dibandingkan event yang lain. Bagaimana, Anda bersedia?"
"Baik. Tolong kirim alamat dan jamnya. Saya akan menemui Anda hari Minggu besok."
Rara mengirimkan alamat rumah dimana aku bisa menemuinya. Kami janjian setelah makan siang disana. Katanya dia memegang acara lamaran sahabatnya. Aku merasa diuntungkan dengan bertemu ditempat ini, karena aku bisa melihat juga hasil kerjanya secara langsung.
Hari Minggu pun tiba, saatnya bertemu dengannya. Ketika aku mendatangi rumah mewah itu, tidak terlalu terlihat keramaian, hanya deretan mobil yang terparkir. Seperti tidak ada perayaan apapun.
Ketika masuk garasi, aku disambut seorang remaja dan dia memanggil Rara ke dalam melalui teras samping.
Tidak lama menunggu, Rara pun datang menyambutku, dan aku diajak masuk kedalam. "Siang Pak. Yuk kita ke halaman belakang, acaranya disana," katanya sambil mengajakku melalui jalan yang tadi dilewati anak remaja yang kemungkinan besar keluarga pemilik rumah. Aku pun mengikuti Rara dibelakangnya.
Ternyata acaranya berlangsung di dalam rumah dan di halaman belakang yang luas. Pantas saja tidak terlihat keramaian di depan.
Saat disebuah meja dia pun memperkenalkan saya, "Teman - teman kenalkan ini Pak Djorghi. Pak Djorghi, kenalkan ini teman - teman dan adik saya. Mas Bimo, Sandra, Mas Zaki, dan Aimi," kata Rara memperkenalkan satu persatu.
"Hai semuanya, saya Djorghi. Kebetulan saya susah janjian untuk ketemu dengan Rara buat membicarakan soal pekerjaan. Jadi saya datang kesini. Mohon maaf kalau saya mengganggu acara di keluarga ini."
"Hari ini saya memegang acara lamaran sahabat saya ini, Sandra dan Mas Bimo ini calon suaminya," kata Rara.
"Wah selamat ya. Maaf banget ya saya mengganggu," saya merasa sedikit tidak enak menyusup ke acara keluarga mereka. Tapi inilah cara saya dapat bertemu dengan Rara.
"Oh enggak masalah kok. Silahkan duduk, silahkan kalau mau berbincang dengan Rara," ujar Sandra sang pemilik rumah.
Aku pun ngobrol dengan teman - teman Rara. Dari pembicaraan kami, aku menyimpulkan kalau teman - teman Rara adalah orang - orang yang cerdas dan berwawasan luas. Aku merasa cocok berbicara dengan mereka.
***
.
.
.
.
.
Semoga teman - teman suka dan semakin penasaran dengan cerita Djorghi🥰🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!