PERKENALAN, AWAL BERTEMU.
Bruggg! Sosok bertubuh mungil dengan balutan lingerie seksi warna merah maron berpadu kulit putih susu baru saja tidur terlentang di atas ranjang berukuran lumayan.
“Haaaa! Nyaman sekali!” desah Dita merasakan kain sutra seprei lembut yang membelai kulit putih susunya. Dita sosok wanita bertubuh mungil dengan balutan lingerie seksi tidak bisa menahan kegembiraannya. Dengan rasa yang nyaman dan nikmat, dia terbaring di atas ranjang kamar hotel mereka. Rasa bebas dan ketenangan nampaknya memenuhi dirinya.
Dita memang tampil provokatif, dengan make-up tebal yang menunjukkan kecantikannya.
April teman satu kamar Dita, tidak bisa menghentikan rasa kesalnya. “Hey Dita! Apa kau tidak bisa memakai pakaian sedikit sopan saat bersama-sama kami?” desaknya sambil mengernyitkan kening.
Berbeda dengan Dita. Wanita itu memiliki rambut keriting dan berkulit coklat dengan wajah yang manis. Meski dia tidak seprovokatif Dita, dia juga tidak bisa dikatakan sangat tertutup.
Dita mulai duduk menatap April dengan cemberut. “Kenapa? Sebentar lagi, kekasih tercintaku akan video call. Dan aku harus tampil sexy!” katanya dengan nada menggoda.
“Maklumi saja, April. Dita kan memang seperti ini.” Komentar wanita cantik lain yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya tergelung rapi, dan dia memilih pakaian yang lebih tertutup. Wanita itu bernama Nadine, dia memiliki kecantikan alami dan kerendahan hati yang mengagumkan.
Saat April menegur Dita, Nadine tersenyum sambil mencoba meredakan ketegangan.
“That's right! Tapi setidaknya, aku dan April sudah pernah merasakan...” Plok! Plok! Plok! Dita menyatukan kedua tangannya hingga berbunyi seperti dua orang tengah berhubungan badan. April tertawa kecil, sementara Nadine menggeleng malas dengan senyuman kecil. Teman kecilnya itu masih sama saja, berotak mesum.
Ya! Kedua temannya itu sudah pernah merasakan cinta dan apa itu ***, tapi bagaimana dengan wanita bernama Nadine? Dia selalu fokus ke buku-buku yang ia tulis seharian tanpa memikirkan dirinya sendiri yang kini sudah berusia 28 Tahun. Usia yang sangat matang untuk tahu dan mengenal cinta serta ***.
“Hm.. Aku akan bercinta dengan pria seperti di novel. Jika itu ada!” Nadine sangat yakin pria seperti ucapannya, tidaklah ada. Jari lentiknya meraih sisir, memberikan senyuman lebar ke arah Dita yang mengerucutkan bibir seksinya. Dertt! Derrttt! Tiba-tiba dering ponsel mengehentikan tawa tiga wanita tadi.
“Lihat. Kekasih tercintamu sudah memanggilmu!” ujar Nadine masih tersenyum bersama April. Dita langsung tersenyum lebar sambil membenarkan lingerie yang saat ini dia pakai, memposisikan p*y*d**anya agar lebih seksi dan masih tertutupi.
“Bagaimana, aku sudah seksi hah?!” bertanya sambil mengangkat kedua alisnya berulang kali. Nadine mengacungkan ibu jarinya hingga Dita mulai melakukan Video call bersama kekasihnya yang berada di negara yang berbeda. “Hay Seksi!” sapa Dita untuk sang kekasih, ketika ia sudah memposisikan layar ponselnya tepat di wajah. April yang mendengarnya cukup terkejut dan sedikit merinding sehingga wanita berkulit coklat itu melemparkan satu bantal ke wajah Dita.
Melihat tingkah temannya, Nadine hanya bisa tersenyum.
Setelah lima tahun berpisah karena kesibukan masing-masing, ketiga sekawan itu memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di kota Chicago, menciptakan kenangan indah untuk mereka simpan selamanya.
Tapi perbedaan dalam gaya berpakaian mereka tidak menghentikan persahabatan mereka. April dan Nadine adalah sahabat yang selalu mendukung Dita, terlepas dari tingkah perilakunya yang agak provokatif.
Nadine sendiri adalah seorang wanita pendiam, baik, tegas dan tidak takut apapun kecuali Tuhan. Dia cukup berani meski harus menghadapi sekelompok preman hingga berakhir babak belur, itu tak masalah selagi ia masih bisa bernafas. Dia seorang penulis, bukan penulis romantis, hanya penulis buku anak-anak yang sudah lebih dari 199 buku anak-anak yang ia tulis dan laris di pasaran atau kalangan anak-anak.
Kedua orang tuanya sudah meninggal. Nadine besar di panti asuhan, namun dia sangat di sayangi di sana. Alasan dia menulis buku anak-anak, karena dia suka anak-anak yang ada di panti asuhan seperti dirinya. Nadine ingin menghibur anak-anak di sana dengan cara membuat sebuah buku cerita yang penuh dongeng serta imajinasi, bukan kesedihan yang ada di dunia nyata.
Bisa di bilang, Nadine cukup beruntung meski dia besar dari keluarga asing yang sederhana tanpa memiliki kekayaan yang lebih. Dia juga tahu bahwa kematian kedua orang tuanya karena mereka dibunuh oleh sekelompok preman.
...***...
“DIMANA BOS KALIAN HAH? CIH, SUNGGUH PENGECUT MELIHAT JUMLAH KALIAN YANG LEBIH BANYAK TAPI SEBENARNYA MEMILIKI BOS YANG BERNYALI KECIL!” Seorang pria bertopi bundar dengan perlengkapan jas hitam dan sapu tangan hitam mulai tertawa terbahak-bahak, di ikuti oleh para anak buahnya yang masih mencoba menghina seorang pria tampan berkulit putih dengan setelan jas hitam yang sedari tadi hanya memperhatikan dengan senyuman kecil seolah tawa orang-orang tadi hanyalah sebuah hiburan sesaat.
Dari arah belakang, sebuah mobil sedan warna hitam mengkilat terparkir rapi meskipun kecepatannya lumayan tinggi. Suara tawa tiba-tiba berhenti saat sosok pria bertubuh tegap, tinggi 189 cm, berjaket hitam kulit dengan kaos hitam, celana hitam dan sepatu kulit hitam. pria itu memiliki aura yang sangat gelap dan mencengkam di sekitarnya.
Rambut hitamnya tersisir rapi, mata berwarna abu-abu serta kulit eksotis yang ia miliki membuat siapa saja pasti berpaling ke arahnya.
Bodohnya, pria bertopi tadi terlalu meremehkan musuhnya. Kini, keenam anak buahnya terbungkam ketika mereka melihat sosok misterius yang mereka tebak adalah seorang bos dari pria tampan berkulit putih yang sedari tadi hanya tersenyum santai.
“Dia Darvilado. Pria yang ingin menggusur kita dari wilayah pelabuhan.” Jelas pria berkulit putih tadi ke sosok misterius yang digadang-gadang adalah bosnya. Tanpa sedikit terguncang, tatapan mata abu-abu tadi langsung tajam dan menusuk hingga ke saraf pria bertopi.
“Kalian pikir aku takut. Kalian sudah cukup lama menguasai seluruh pelabuhan ini, dan kini aku akan mengambilnya paksa.” Pria bertopi tadi sepertinya tidak sabaran ingin menguasai area pelabuhan yang mereka pijak saat ini.
Pria misterius pemiliki tatapan tajam tadi mulai berjalan perlahan lebih dekat, namun pria bertopi malah melangkah mundur satu kali dengan tubuh gemetar namun masih memaksa terlihat tegar. Keduanya hanya berjarak seinci saja, sampai...
“Aku sudah membunuh seseorang yang menguasai lebih dulu pelabuhan ini sebelum kau.” Bisikan itu seperti sebuah sayatan pisau yang harus di waspadai. Tanpa berani menoleh, pria bertopi tadi malah mengompol di celana.
“Si-siapa kamu?” tanyanya gugup dan ketakutan.
Pria beraura gelap itu mulai melingkari leher musuhnya dengan gerakan santai. Seperti ada paku di kakinya hingga dia yang terkunci tak bisa melawan atau berbicara. Anak buah yang lainnya hanya menatap ngeri ketika mereka sudah tahu siapa orang yang saat ini mereka hadapi dengan bodoh serta sombongnya.
“Maxi Ed Tommaso. Ingat itu.” krekk! Satu gerakan berhasil mematahkan tulang leher hingga nadi musuhnya. Darah segar keluar dari mulut pria bertopi yang saat ini sudah tak bernyawa.
Seluruh anak buahnya di buat ketar-ketir serta ngeri melihat pemandangan seperti itu. Hanya dengan tangan kosong dan wajah tenang berhasil membunuh seseorang.
“Zero!” suaranya begitu serak dan berat.
Pria berjas yang lebih tepatnya adalah tangan kanan sosok pria bernama Maxi tadi, mulai berjalan ke arahnya memberikan korek api, sementara pria bernama Zero mulai memerintahkan satu anak buah Maxi lainnya untuk segera menyiramkan air gas ke jasad pria yang saat ini tergeletak di atas tanah, tepat di bawah kaki Maxi.
Maxi menyalahkan cerutu sebelum ia mulai membuang korek api tadi ke jasad yang saat ini terbakar di depan matanya. “Kau urus sisanya.” Ucapnya datar lalu pergi lebih dulu.
“Baik Tuan.” Dengan patuh Zero segera memberantas habis sisa anak buah tadi dan menghilangkan jejak pembunuhan yang baru saja dilakukan oleh bosnya.
...***...
Hotel Four season
Malam mulai menyelimuti kota Chicago, kota yang sering kali disebut dengan kota kriminal serta mafia. Rasanya seperti berada di dunia novel.
Setelah makan malam bersama. Ketiga wanita yang berada di kamara hotel tadi, mulai melakukan kesibukan masing-masing seperti, April yang sibuk membaca novel di ponselnya sambil duduk di sofa singel dan Dita sendiri masih betah melepas rindu bersama sang kekasih lewat gadget sambil berbaring manja di atas kasur. Berbeda dengan kedua temannya tadi, Nadine berdiri di balkon luar, sibuk menyisir rambut panjangnya yang memiliki warna hitam pekat serta kilauan yang indah.
“Hemm... Nananana!!” sambil bersenandung Nadine menyisir ke depan semua rambutnya hingga kini dia menunduk lebih rendah. Berada di balkon saat malam hari kesejukannya berasa menusuk di kulit Nadine, apalagi dia berada di lantai lima belas, suasana gelap dan damai.
Dari arah gedung apartemen bernama Maxedto. Seorang pria tampan dengan rahang tegas dan rambut basah serta bathrobe putih menutupi tubuh telanjangnya yang terlihat keras dan berotot. Tidak lupa juga tatto di dada kirinya nampak mengintip.
Maxi Ed Tommaso 29 Tahun, atau yang biasa di kenal sebagai Monster pembunuh. Bagi kalangan orang-orang yang bekerja kotor seperti Mafia, kriminal, penjual narkoba, barang-barang ilegal serta minyak ilegal semuanya, bahkan para pengusaha. Tidak satupun orang-orang dari profesi tersebut yang tidak kenal dengan pria bernama lengkap Maxi Ed Tomasso.
Seorang mafia kejam, dingin, dan haus darah. Sangat cocok jika dia dijuluki sebagai Monster Mafia. Bahkan jika keluarganya sendiri yang melakukan kesalahan atau berani membohongi dirinya, maka dia tak segan untuk menghukum mereka dengan setimpal.
Pria itu meneguk segelas wine, sambil menatap lurus dari balkon yang saat ini ia pijak. Mata abu-abu yang selalu tajam kini terlihat penuh kesedihan dan lelah, sampai manik tersebut mendapat target untuk dia tatap saat ini.
Seorang wanita yang sibuk menyisir rambut di malam hari.
Tanpa di sadari oleh Nadine sendiri. Ia masih sibuk bersenandung sambil menyisir, mengibaskan rambut hitam pekat nan indah miliknya sambil tersenyum puas. Nadine sangat menyukai rambutnya.
Tanpa sengaja, Nadine melihat seorang pria dari arah yang cukup jauh. Memang, mengingat apartemen Maxedto dan hotel Four season saling berdempetan bak sepasang kekasih. Nadine menatapnya sejenak lalu berpaling mengernyitkan dahi. “Apa dia melihatku?”.
Rasanya seperti di pantau ketika Nadine mencoba mengintip sedikit. Dia mulai terkejut saat pria tadi masih menatapnya lekat tanpa berpaling. Untung saja jarak mereka sedikit jauh, tapi Nadine masih bisa melihat gerakan pria asing tadi seolah meneguk segelas minuman.
Dengan perasaan sedikit takut, akhirnya Nadine memutuskan untuk masuk dengan tergesa-gesa.
“Ada apa Nadine?” tanya April khawatir saat melihat wajah panik temannya. Melihat kekhawatiran kedua temannya, Dita akhirnya turut serta menghampiri mereka.
“Entahlah! Seorang pria di gedung sebelah terus menatap ke arahku. Tapi aku tidak yakin.” Jelas Nadine sedikit bergidik merinding.
“Coba aku lihat.”
“Jangan!” Secepatnya Nadine menghentikan April sebelum sesuatu mungkin terjadi.
“Mungkin saja dia iseng. Sudahlah, ayo tidur!”
“Atau mungkin cinta pada pandangan pertama?!” goda Dita masih saja bergurau. April menggeleng lalu segera ikut tidur di satu ranjang yang sama bersama kedua temannya tadi.
Sementara di gedung lain. Maxi terseringai ketika wanita tadi masuk seperti ketakutan. Dia sangat suka melihat seseorang takut ketika menatapnya. “Menarik!” gumamnya saat ia sudah mengetahui wajah wanita misterius tadi yang cukup cantik dan menarik baginya.
Maxi tidak pernah tahu bahwa dia akan menghadapi wanita yang sulit nantinya.
Pertemuan yang sial
Kelopak mata Nadine yang tertutup rapat, mulai bergerak, seakan terganggu oleh cahaya matahari yang masuk dari sela jendela. Ketika wanita itu mulai membuka matanya perlahan, di ikuti oleh pergerakan April dan Dita.
“AYO KITA BERSENANG-SENANG!” sorak ketiga wanita cantik yang rupanya bangun secara bersamaan. Entahlah? Mungkin mereka sengaja bangun bersama agar terlihat kompak.
Karena tujuan utama mereka hanyalah berlibur, jadi ada baiknya mereka segera menyelesaikan liburan tersebut dan kembali ke rutinitas masing-masing di negara tempat kelahirannya.
“Aku tidak sabar melihat keindahan kota Chicago!” girang Dita mengenakan pakaian sedikit terbuka seperti orang Barat sembari memeluk tubuhnya sendiri. Sementara April mengenakan sebuah sweater rajut warna putih dan Nadine mengenakan jaket tebal warna hitam, dengan sebuah dalaman kain rajut hitam hingga ke leher dan celana jins. Rambut tergerai liar menambah kesan cantik untuk seorang Nadine Chysara.
“Aku juga akan menunjukkan foto-foto ku ke ibu panti dan anak-anak, mereka sangat ingin tahu, terutama kakak ku.” Ujar Nadine juga tak sabar mengunjungi tempat-tempat indah di kota asing yang saat ini ia pijak.
Ketika ketiga wanita tadi asik mengobrol sampai berada di lobi utama hotel. Tiba-tiba bahu kanan Nadine bertabrakan cukup keras hingga membuat tubuhnya oleng ke kanan. Berbeda dengan orang yang menabraknya, sosok pria berpawakan tinggi terus saja berjalan mendongakkan kepalanya seakan kehormatan ada di kepala sombong tersebut.
“Pria sombong dan... Aneh.” Terlihat ketidaksukaan Nadine kepada orang-orang seperti pria berwibawa tadi.
...***...
Bruak! pintu terbuka kasar, membuat dua orang pria yang ada di dalam ruangan khusus manager four season hotel sangat terkejut akan kehadiran manusia tidak sopan barusan.
Kedua pria tadi tersenyum lebar setelah tahu siapa tamu yang datang. Dia adalah Maxi, tanpa memperdulikan sekitar, Maxi mulai duduk dengan dua kaki terangkat ke atas meja tanpa sopan, sedangkan Zero (27th) selaku tangan kanannya hanya berdiri di samping bosnya duduk dan dua anak buah Maxi lainnya berada di sisi kanan dan kiri dua pria pemilik hotel saat ini.
“Saya sangat senang, seseorang seperti Anda mengunjungi hotel kami!” ujar salah satu pria berkacamata lebih tua dari Maxi dengan ramah membuka kedua tangannya menyambut sosok pria angkuh yang bahkan tidak memiliki kesopanan kepada orang yang lebih tua darinya.
Tak ingin berbelit-belit, Maxi cukup teliti memandangi seluruh ruangan di dalam sana, bahkan mata tajamnya sudah membuat dua pemilik hotel tadi seolah mengikuti perlombaan dimana Maxi adalah jurinya.
“Katakan. Apa yang kalian inginkan?” suara berat dan serak mulai mengalun. Dengan wajah gugup, sang manager hotel tadi berusaha bersikap tenang. Ternyata benar yang di katakan banyak orang-- Aura Maxi sungguh mencengkam, membuat lawan bicaranya serasa sesak dan gugup.
“Saya ingin bekerja sama dengan Crash'em Anda.” Hening beberapa saat. Ternyata ada juga orang yang berani meminta kerja sama dengan Crash'em miliknya. Maxi terseringai penuh ejekan setelah mendengarnya.
“Berapa yang akan kau keluarkan untukku hm?”
Crash'em merupakan club' terbesar di kota New York, banyak sekali pebisnis lainnya yang ingin bekerja sama dengan club' tersebut, namun itu sangat sulit menembus sang pemilik, seperti melewati ujian Militer. Maxi Ed Tommaso selaku pemilik club' tersebut, selalu menolak orang-orang yang hanya mengeluarkan uang receh untuk bisnisnya.
“Kami akan memberikan 500 juta perbulan, dan semuanya saya jamin bersih.” Sungguh percaya diri manajer hotel tadi. Dia tidak tahu, ada pebisnis lainnya yang pernah Maxi tolak hanya karena berani mengeluarkan 750 Juta perbulan. Banyangkan!
Rasanya Maxi ingin sekali menjitak kuat kepala dua pemilik hotel tadi yang tanpa malu mengatakan semua itu.
“Zero!”
“Iya tuan.”
“Beritahu mereka. Berapa harga yang harus kita terima.” Zero mengerti, segera menatap kedua pemilik hotel tadi dengan tegas.
“Kesepakatan kami sejak awal akan menerima 3 Miliar perminggu. Jika anda mau, Crash'em bersedia bekerja sama dengan kalian.” Jelas Zero. Cukup terkejut mendengar jumlah yang diminta sang Mafia itu. Atau... Banyak yang tidak mampu?
Tak bisa lagi menjawab ataupun bertanya, Maxi terseringai puas lalu berdiri malas ketika harus berdiskusi dengan pembisnis bodoh. Kaki berbalut sepatu mahal mulai berjalan ke arah jendela besar tanpa gorden. Merogoh saku celananya dan mulai menyedot sebuah cerutu bermerek. Tak peduli meski ada tanda <
“Lupakan soal kerja sama. Katakan padaku, seorang wanita tinggal di lantai 15 dengan balkon menghadap ke arah kanan tepat di arah kamarku!”
Kedua Manager hotel tadi saling pandang, lalu menatap ke arah Maxi dengan wajah tak setuju. “Maaf tuan Maxi. Kami tidak bisa memberitahu karena itu adalah privasi tamu kami.” Oh, apakah sekarang dia pria pemilik hotel tadi marah? Itu salah besar.
Tanpa berkata, Zero sudah tahu keinginan tuannya. pria berkulit putih itu mulai menyuruh kedua anak buah Maxi untuk segera bertindak. Dan benar, dua pistol sudah berada tepat di kulit leher dua pria pemilik Four season hotel.
Tubuh kedua pria tua tadi mulai gemetar dan kedua tangan mereka terangkat menyerah. “Ka-kami akan mengatakan nya... To-tolong jangan bunuh ka-kami.”
“Fast!” balas Maxi hanya menoleh ke samping tanpa memutar tubuhnya.
Tak butuh waktu lama, salah satu Manager hotel tadi mulai mencari di komputer khususnya dan menemukan tamu tersebut hanya dalam kurun waktu 3 menit.
“Mereka wisatawan dari negara Indonesia, tiga wanita tinggal di kamar nomor 3451 di lantai 15.” Ucapnya cepat seperti di kejar hantu.
Maxi tersenyum tipis penuh arti. Dia mulai berbalik dan berjalan mendekati salah satu pria Manager yang masih duduk di hadapan komputer. Melihat dia dalam bahaya, pria tersebut langsung bersujud di kaki Maxi dan memohon pengampunan secepatnya.
Di saat pria itu masih memohon sambil menangis gemetar. Maxi mulai berjongkok membawa sebuah belati kecil di tangannya lalu menggores kulit pipi kiri sang manajer tadi. Terluka? Tentu saja, darah mulai merambat seperti air mata. Setelah melukai pipi pria tua tadi, Maxi mencengkam kera kemejanya hingga tercekik diantara kain kera tersebut.
“Lain kali jangan berbelit dengan ku.” Melepas kasar lalu pergi begitu saja, meninggalkan dua pria yang masih syok berat. Untung saja nyawa mereka masih utuh.
.
.
.
Seharian penuh tiga sekawan dari Indonesia itu menikmati momen indah bersama, karena masih ada tiga hari lagi untuk menghabiskan kebersamaan mereka, Nadine, April dan Dita setuju melanjutkan kesenangan mereka besok ketika menyadari bahwa langit mulai gelap.
“Kau juga lihat dua orang bercumbu tadi, itu sangat menjijikkan.” April bercerita kepada dua sahabatnya. Hal tersebut memang sudah wajar, tapi April benar. Itu sangat menjijikkan.
“Aku akan membeli Ayam Crispy dulu di luar. Kalian masuk saja oke.”
“Ya! Kami akan menunggumu dan kita akan mulai menonton film!” girang Dita tak sabar. Nadine mengacungkan jempolnya lalu berjalan memutar arah menuju kios ayam crispy yang sempat dia lirik.
Kebetulan kios tersebut tidak terlalu ramai, pesanan Nadine jadi lebih cepat. Saat dia mulai berbalik badan tiba-tiba seorang pria botak menabraknya, sehingga sebuah kotak kecil jatuh dari saku pria botak tadi. Nadine meraihnya mencoba memanggil pria yang sepertinya sangat sibuk sekali.
“Permisi! Anda menjatuhkan barang anda!” teriak Nadine mengangkat tangan kirinya yang tengah membawa kotak tadi sembari mencoba mengejar langkah pria itu. Betapa susahnya Nadine menerobos para pejalan kaki di sana, sampai ia berhenti di lorong gelap, dimana pria pemilik kotak tadi masuk ke dalam lorong tersebut.
Sedikit aneh, Nadine masih berada di depan lorong yang gelap dengan penerangan lampu putih tak terlalu banyak. Dia takut ketika harus menghampiri pria tadi di lorong tersebut, bahkan bulu kuduknya mulai berdiri meski pakaian Nadine cukup tertutup.
“Helo!” ia mencoba bersuara, mungkin ada seseorang yang datang atau menjawabnya.
Dengan langkah ragu Nadine masuk hingga ke dalam, namun dia berhenti saat melihat beberapa orang berada di belokan lorong. Sepertinya itu jalan buntu.
Karena diliputi rasa penasaran, Nadine dengan cepat bersembunyi di dinding belokan dan sedikit mengintip. pemandangan yang sungguh di luar pikiran wanita itu. Tangan Nadine mulai bergetar saat pria pemilik kotak tadi sudah di ikat di kursi sambil mendapat pukulan berkali-kali dari tongkat besi. Ya! Tongkat besi.
“Katakan, siapa yang menyuruhmu?” pria tampan berkulit putih dengan jas rapi memegang sebuah tongkat besi, sementara pria berkaos hitam lainnya hanya diam melihat pemandangan mengerikan tadi.
“Tidak mau menjawab?” satu pukulan mendarat keras di kepala botak yang malang tadi hingga darah muncrat kemana-mana. Nadine menutup mulutnya rapat-rapat sambil menahan tangisannya hingga matanya memerah, jantungnya berpacu cepat. Apakah dia baru saja melihat adegan penyiksaan?
“Se-seharusnya ak-aku tidak di sini.” Nafasnya tidak karuan, Nadine benar-benar ketakutan. Ia mencoba mundur dua langkah, membenturkan punggungnya ke sesuatu yang terasa keras yang di selimuti oleh kain? Dengan cepat Nadine berbalik kaget melihat adanya sosok pria tampan bermanik abu-abu, berpakaian rapi serba hitam.
“Apa yang kau lakukan?” suaranya begitu seram di telinga Nadine.
Wanita itu bertambah ngeri melihat tatapan tajam dan dingin dari seorang pria tampan misterius. Dari penampilannya Nadine sangat yakin bahwa pria di depannya adalah salah satu komplotan orang-orang jahat di sana.
Nafasnya berasa tercekat di kerongkongan.
“Ak-aku hanya ingin.. Mengembalikan b-barang.” Nadine mundur selangkah saat pria di depannya mulai mendekatinya dengan kedua alis berkerut. Ada perasaan puas dalam hati sang pria ketika melihat wajah Nadine, seolah dia mendapatkan target dengan mudah.
“Kau tahu. Seharusnya kita tidak bertemu.” Ucap pria itu sungguh membuat Nadine keringat dingin.
“Aku, aku mohon lepaskan aku. Ak-aku berjanji tidak akan memberitahu siapapun, I- I promise. Percayalah!” matanya berkaca-kaca, hidungnya juga memerah— Oh, sungguh. Nadine benar-benar ingin berlari dari sana sesegera mungkin. Hawa dingin di sana tidak bisa menutupi keringan Nadine yang terus bercucuran.
Pria bertubuh tegap dengan wajah tampan dan berkarisma itu yang ternyata adalah seorang Maxi Ed Tommaso, berjalan lebih dekat hingga Nadine mulai terjebak di tembok lorong. pria itu dapat mendengar degup jantung dari wanita malang tadi. Ia sedikit merendahkan kepalanya hingga sejajar di sisi kepala Nadine.
“Go.” Bisik Maxi. Perasaan takutnya mendorong Nadine untuk segera lari setelah mendorong jauh tubuh besar tadi darinya. Tidak peduli lagi dengan ayam crispy yang Nadine jatuhkan bersamaan dengan kotak tadi, karena yang terpenting adalah lari dari bahaya.
Maxi sendiri, terseringai licik melihat kepergian wanita penakut tadi.
Kamu Tidak Bisa Kabur
Pintu kamar hotel terbanting cukup keras sehingga Dita dan April terkejut seketika. Melihat wajah Nadine yang panik berjalan menghampiri mereka sambil mengelap keringat di dahi serta hidungnya. Nafas Nadine sudah seperti seseorang yang baru ikut lomba maraton.
“Ada apa Nadine? Semua baik-baik saja?” tanya April saat melihat ekspresi Nadine seperti orang ketakutan, apalagi melihat dari mata Nadine yang baru saja menangis.
April dan Dita langsung menghampiri temannya dengan khawatir. Dalam pikiran mereka mulai bertanya, apa yang baru saja menimpa temannya itu sehingga dia ketakutan sekali?
“Kau tahu pria yang ada di balkon malam itu.”
“Iya, kami masih ingat. Kenapa?” Mereka masih ingat betul, karena kejadiannya kemarin malam.
“Dia-- ” Tok! Tok! Tok!
Ketiga wanita tadi langsung melihat ke arah pintu bersamaan. Suara ketukan ringan dari seseorang di luar sana. Tidak ada satupun dari mereka yang memesan layanan khusus di hotel. Jantung Nadine mulai berpacu kembali, jika pria itu sampai membunuhnya juga karena sudah melihat adegan mengerikan di lorong. Atau... Bagaimana jika pria pembunuh itu menganggap Nadine sebagai komplotan pria botak tadi?
“Biar aku saja.” April pergi menuju ke pintu, sementara Dita mengajak Nadine untuk duduk santai dan dia berdiri.
Saat April membuka pintu. Betapa terpukau nya dia saat tamu yang datang adalah seorang pria tampan dan cool, dingin dan berkarisma seperti CEO di novel-novel yang pernah ia baca. Tapi bukan itu yang saat ini April tuju.
“Maaf tuan Anda--- ” suara April terpotong ketika pria tadi langsung saja menerobos masuk tanpa izin. Tidak memperdulikan panggilan serta teguran dari seorang penyewa kamar tersebut, dan April mengikutinya dari belakang, sesekali menegur pria aneh tadi.
Hingga langkah panjang dari sosok pria tak di undang tadi, berhenti saat dia mulai menemukan mangsanya di depan mata. Nadine terkejut setengah mati, dia bisa mati beku di sana detik itu juga.
pria yang sama, tatapan yang sama dan semuanya sama. Itu Maxi Ed Tommaso!
Nadine langsung berdiri dan menatap lekat seperti sebuah patung yang tidak bisa bergerak, seperti melihat sosok malaikat pencabut nyawa. Maxi terus melangkah lebih dekat dan dekat, sedangkan Dita dan April memandang bingung. -‘Bagaimana pria itu tahu aku ada di sini?’ Batin Nadine merasa terpojok.
Keringat kembali menetes di wajah Nadine, dadanya naik turun seperti di pompa. Maxi sudah dekat dan pria itu mulai membisikan sesuatu di telinga Nadine seraya menghirup aroma khas dari sang wanita.
“Welcome!” Mata Nadine langsung membulat sempurna. Pria itu tersenyum devil. Melangkah mundur lalu berjalan pergi setelah berhasil membuat jantung seseorang hampir copot.
Nadine masih terdiam, tubuhnya bergetar hebat, rasanya sangat sesak sekali bahkan dia mulai tertunduk seakan tubuhnya lelah. Melihat ketakutan luar biasa yang baru pertama kali Nadine alami, tentu saja April dan Dita cukup penasaran.
“Nadine! You okay?” April mencoba menenangkan temannya, mengusap lengan Nadine yang terasa panas dingin.
“Kita harus pergi.” Keputusan yang cukup membuat Dita dan April bertambah bingung saat Nadine mengatakan hal yang tiba-tiba. Mereka baru saja satu hari di Chicago dan kini temannya itu memiinta pergi alias kembali ke Nagara asal mereka. Yang benar saja.
“Ada apa Nadine? Kenapa mendadak?” April mencoba menenangkan temannya lagi, tapi kali ini suaranya sedikit tinggi. Namun tak ada jawaban dari Nadine, melainkan hanya berupa nafas yang terdengar memburu serta tatapan kosong ke depan.
“Kita baru saja sehari di sini. Kenapa kita harus pulang? Dan siapa pria itu?” Dita ikutan panik sehingga dia sedikit kesal dengan keputusan Nadine yang mendadak. Aura Maxi benar-benar mengerikan bahkan saat pria itu berjalan melewatinya.
Wanita cantik yang terdiam kaku tadi, menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga lalu bergerak cepat tanpa menjawab kedua pertanyaan dari kawannya.
Nadine memasukan pakaiannya ke dalam koper. Dita dan April saling memandang menatap Nadine dengan wajah bingung. Geram sendiri ketika melihat tingkah laku temannya itu, wanita keriting berkulit coklat mulai memanggil nama Nadine berulang kali, mengikuti Nadine dari belakang berharap temannya tadi bisa tenang.
“Nadine! Nadine!” masih tidak ada respon.
“NADINE!” teriak April yang kini memutar paksa tubuh Nadine, memegang kedua pundaknya. “Tenang. Dan katakan apa yang terjadi?” Bagi April tak masalah jika mereka harus pulang, tapi setidaknya Nadine mengatakan alasannya agar dia dan Dita tidak terpancing emosi dengan bertanya-tanya sendiri dalam pikiran masing-masing.
Nadine menghempaskan kedua tangan April.
“DIA SEORANG PEMBUNUH DAN KINI DIA MENGINCAR KU HIKSS.” Seketika April dan Dita tersentak kaget mendengar pengakuan tersebut.
Nadine mulai berjalan mondar-mandir sambil memegang kepalanya yang terasa pusing. “Aku baru saja melihatnya membunuh seseorang hikss-- ” tubuhnya lemas saat mengatakan soal pembunuhan, apalagi posisi Nadine saat itu adalah saksi mata.
“A-apa?!” ucap bersamaan Dita dan April yang sama terkejutnya.
“Dia seorang penjahat. Dia memiliki anak buah, dan hikss-- dan mereka membunuh seseorang. Darahnya bahkan berceceran... ” Tak kuasa menjelaskannya. April dan Dita mencoba meredam ketakutan Nadine, meskipun itu tidak bisa hilang begitu saja.
“Dia sudah melihatku, lalu dia datang ke sini dan apalagi nanti? Dia akan membunuhku dan kalian... Aku tidak ingin hal buruk terjadi,” Sungguh, Nadine tidak ingin melihat temannya dalam bahaya. Dita dan April mulai mengerti dengan apa yang Nadine rasakan saat ini.
“Kalau begitu kita harus cepat, sebelum dia kembali.” Akhirnya Dita angkat bicara. Mereka bertiga setuju dan mulai bergegas membereskan barang-barangnya serta pakaian, tak ada waktu lagi untuk bersantai, mereka bisa melakukannya di Indonesia.
Setelah semuanya siap, mereka bertiga mulai mengendap-endap keluar dari kamar hotel berjalan menuju lift namun tidak berjalan lurus saat dua pria asing berkaos hitam bertubuh besar mulai melihat mereka dan mengejar. “Sial!” decak April. Nadine menarik tangan Dita dan Dita menarik tangan April. Mereka tidak ada pilihan lain selain melewati anak tangga di pintu darurat.
“Berat badanku akan turun jika seperti ini.” Ujar Dita di sela-sela berlarinya.
Dari lantai 15 mereka menuruni tangga dengan cepat dan panik, kakinya seperti mati rasa dan ingin copot. Sampai di lantai 2 langkah ketiganya berhenti ketika dua pria berkaos sama namun wajah mereka berbeda, tengah menghadang jalannya.
“Ohh! Baiklah. Mari kita olahraga sejenak!” seru Dita mencoba mengatur nafas. April langsung melempar tas kopernya ke arah penjaga tadi, Nadine dan Dita mulai memukul sebisa mungkin pria yang satunya hingga mereka berhasil pergi dari sana dengan tawa puas saat berhasil melewati tantangan yang sangat menegangkan.
Sungguh hari yang gila di malam hari.
...***...
Bandara Chicago, 05:10 am.
Terlihat di sebuah kursi tunggu di salah satu bandara Chicago. Nadine beserta kedua temannya itu tertidur saling menempel seolah tak peduli dengan tatapan orang di sana. Nadine berpikir, bermalam di bandara sebelum tiket pesawat menuju negaranya tiba, itu lebih baik, setidaknya ada penjaga di sana yang memantau 24 jam.
Saat asik terlelap. Dering ponsel Dita mengagetkan mereka yang tengah asik tidur.
“Kekasihmu menelfon.” Lirih April berusaha membuka matanya yang masih kelet tak ingin terbuka.
Samar-samar Dita mulai mengangkat telepon, namun dia tidak sadar bahwa nomor yang tercantum bukanlah dari sang kekasih, melainkan dari nomor tak di kenal. Sebelum Dita menekan tombol terima panggilan, Nadine langsung menyahut ponselnya.
“Hey, itu dari kekasihku.”
“Aku rasa bukan. Lihat!” Nadine memperlihatkan nomor tak di kenal tercantum di sana. Sebuah nomor asing, bukan +62. April langsung terbangun dan ketiganya menatap ponsel yang berada di tangan Nadine. Tentu saja mereka tidak berani mengangkatnya dan hanya saling memandang.
Beberapa menit membiarkan dering tersebut sampai mati. Tak lama nomor tak dikenal tadi menelfon kembali sampai ke tiga kalinya. Akhirnya Nadine memberanikan diri untuk mengangkat telepon tersebut dan menekan mode speaker agar Dita dan April dapat ikut mendengarkan bersama.
[“Halo!”] Nadine membuka suara lebih dulu.
[“Good morning! ”]
Suara serak dan berat yang sangat Nadine kenal, bahkan April dan Dita sudah menebak sosok pria di balik ponsel saat ini.
[“Aku tahu kamu ada di bandara. Apa tembakan ku benar? ”] Bagaimana mungkin?Nadine, April dan Dita mencoba melihat sekitar. Tak ada satupun orang yang mencurigakan di sana, bagaimana pria itu tahu.
[“Apa yang anda inginkan? Saya sudah berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun.”]
[“Jangan berpikir kamu bisa kabur. Aku sudah menargetkan mu! ”]
Nadine mulai ketakutan, namun dia mencoba untuk tenang dan menarik nafas panjang.
[“Tolong. Aku akan kembali ke negaraku, dan aku tidak akan menceritakan semuanya kepada siapapun, aku berjanji, aku akan melupakan semuanya.”] Nadine mencoba sebisa mungkin agar bisa terlepas dari pria asing itu.
[“Keluarlah. Ada mobil hitam dan tiga anak buahku, aku menunggumu. ”]
[“KENAPA ANDA TIDAK MENGERTIIIII! AKU TIDAK AKAN MAU, DAN TOLONG BIARKAN AKU DAN TEMAN-TEMAN KU PERGI.”] Suara Nadine sedikit meninggi dengan nada frustasi. Sementara April dan Dita juga tak bisa berkata-kata karena keinginan Nadine sendiri. Mereka tahu, Nadine sangat baik dan selalu ingin melindungi orang-orang yang dia cintai.
[“Jika kamu tidak mau, maka bersiaplah pulang dengan dua jenazah temanmu.”] Deg!
Nadine serasa lemas mendengar ancaman seperti itu. April dan Dita juga sama ketakutan saat mendengar jelas sendiri bahwa mereka menjadi ancaman untuk Nadine.
[“Aku akan menunggumu. Ku harap kamu mengerti dan tidak egois.”] Tiba-tiba panggilan terputus. Bagi Maxi, melacak keberadaan ataupun pribadi seseorang itu sangat mudah dan seperti permainan kecil.
Kali ini Nadine dilema, dia tidak tahu harus bagaimana lagi? Liburan yang seharusnya menyenangkan kini menjadi sebuah ancaman nyawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!