NovelToon NovelToon

My Little Girl - Hanya Denganmu Ku Bahagia -

MyLiGi - BAB 1

Hari ini, di tanggal 12 Februari, tepat lima tahun sudah, hari di mana Ray pertama kali melihatnya. Sosok seorang gadis remaja yang dilihatnya di acara festival band tahunan yang diadakan oleh SMA Biru Langit saat itu.

Ray hanya sekedar tahu nama berdasarkan pendengarannya saat itu ketika salah seorang temannya memanggil gadis itu. Dan juga ada satu lagi yang tertinggal dari gadis itu saat acara festival sedang berlangsung yang hingga kini masih di simpan olehnya.

Berdasarkan dua hal itu, Ray berusaha untuk mencari dan menemukan dimana keberadaan gadis itu. Mencari di berbagai akun sosial media, menanyakan pada panitia acara, dan berbagai cara lainnya sudah dia lakukan. Namun semua itu hanya tetap menghasilkan kata nihil. Tak ada satupun yang dia hasilkan dari semua pencariannya itu.

Ray sebenarnya memiliki beberapa foto gadis itu yang dia jepret secara candid saat acara festival itu. Bisa saja dia menggunakan foto-foto itu untuk bisa menemukan dimana keberadaan gadis itu. Tapi dia enggan untuk melakukannya, apalagi sampai harus menunjukkan fotonya itu kepada siapapun. Dia hanya terus menyimpannya untuk diri sendiri.

Selama lima tahun itu pula, Ray seakan putus asa dengan hidupnya dalam segala upaya pencariannya itu. Di tambah dengan apa yang ingin dilakukan oleh kedua orang tuanya untuk dirinya seminggu yang lalu. Perjodohan.

"Perjodohan?"

Ray terkejut mendengar rencana dari kedua orang tuanya. Terlebih lagi mendengar siapa yang akan dijodohkan untuknya.

"Iya, Re." Ujar sang Mama.

"Tapi, Pa, Ma. Aku tidak ingin perjodohan ini. Lagipula Aku hanya menganggap dia sebagai adik. Dan itu—tidak akan lebih. Lagi pula kenapa tidak coba kalian jodohkan aja dengan Bang Jaja atau Jeje." Ujar Ray.

"Itu tidak bisa, Re. Mereka itu masih ada ikatan saudara. Dan ini juga sudah jadi pilihan yang terbaik untuk kita semua. Demi keberlangsungan perusahaan juga yang sudah kita punya selama ini. Dan cuma kalian yang bisa melakukan ini, Re." Ujar Papa.

"Tapi Aku tetap tidak mau, Pa." Ray masih tetap menolak rencana perjodohan itu.

"Kenapa? Apa alasanmu menolak perjodohan ini?" Tanya Papa dengan nadanya yang sedikit menggebu.

"Apa ada gadis lain yang kamu sukai, Re?" Terka sang Mama.

Ray tercengang dengan pertanyaan itu, tapi dia akhirnya mengangguk mengiyakan pertanyaan dari wanita yang sudah melahirkan dirinya itu. Sedangkan Papa langsung mendengus kasar mendengar pengakuan putranya.

"Maaf, Pa, Ma. Bukannya Aku tidak mau menghargai kalian dan juga keluarga Om Barata. Tapi—Aku sebenarnya sudah ada pilihan sendiri. Ada seseorang yang Aku sukai selama ini. Dan sudah lima tahun Aku menyukainya."

"Apa ini yang menjadi alasanmu yang tiba-tiba ingin merawat seekor anak kucing saat itu? Padahal sebelumnya kamu sangat takut dengan kucing."

Ray mengangguk. "Iya, Ma."

"Lalu dimana gadis yang kamu sukai itu, Re? Kenapa selama ini kamu tidak pernah mengenalkannya pada kami?" Tanya Papa kini.

Ray menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu dimana dia, Pa. Aku hanya pernah sekali bertemu dengannya saat itu."

Kini Papa langsung tertawa mengejek. "Apa? Kamu tidak tahu dimana dia? Dan—kamu hanya pernah sekali saja bertemu dengannya. Omong kosong macam apa ini Re."

"Tapi selama ini Aku masih terus mencarinya."

Ray terlihat mulai frustasi.

"Re, dengarkan Papa—"

Ray menggeleng. "Aku tahu pertemuan kalian juga karena perjodohan. Tapi, Pa, Ma, tolong jangan lakukan perjodohan ini untukku. Aku yakin dia juga tidak mau perjodohan ini. Dan soal gadis itu—Aku janji, Aku akan menemukannya dan Aku akan langsung mengenalkan dia pada kalian." Ujar Ray meminta kedua orang tuanya mau memberikan waktu agar bisa menemukan gadis itu. Sehingga perjodohan yang ingin dilakukan oleh kedua orang tuanya tidak akan terjadi.

Papa menghela nafasnya panjang. Pria dewasa itu perlahan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa setelah mendengar perkataaan dari putranya itu. Dan sebenarnya dia tidak pernah mempermasalahkan siapa yang akan menjadi jodoh dari putranya. Pria dewasa itu bahkan tahu jika banyak gadis-gadis diluaran sana yang sering kali mengejar putranya tapi selalu berakhir dengan diabaikannya. Tapi mendengar putranya ternyata sudah ada pilihan tersendiri, membuatnya tidak bisa berbuat apapun.

Pria dewasa itu kembali duduk dengan tegap. "Baiklah. Kami akan berikan waktu untukmu. Jika dalam tiga bulan kamu tidak mengenalkan gadis pilihanmu itu, kamu harus bisa menerima perjodohan ini, Re." Ujar Papa dengan tegas.

Mendengar ucapan Papa membuat Ray sedikit ada rasa lega. Tapi itu tidaklah mengenakkan baginya. Karena apa yang dikatakan oleh papanya hanya akan menjadi bom waktu bagi Ray jika dia tidak bisa menemukan gadis yang selama ini dicarinya. Yaitu dengan dia yang harus menerima perjodohan itu.

"Ray, ini kita mau ambil berapa orang lagi untuk tambahan karyawan di resto ini?"

Robin bertanya pada Ray yang kini sedang berbaring di sofa panjang. Kedua tangannya dia silangkan di belakang kepala sebagai bantalan tidurnya. Pandangan matanya kini hanya fokus menatap langit-langit ruangan ini. Mengabaikan pria yang sedang bertanya padanya.

Merasa tak mendapat respon dari Ray, Robin yang sedang memeriksa berkas dari setiap calon karyawan resto ini di kursi kebesarannya pun mengangkat wajahnya.

"Ray!?" Panggil Robin pada Ray yang masih berbaring di sofa panjang itu.

Lagi-lagi Ray tidak menanggapinya. Tampaknya pria itu sedang melamun. Robin yang mulai kesal pun meremas selembar kertas yang sudah tidak di pakai untuk dijadikannya sebuah bola kecil, lalu dilemparkannya benda itu tepat di wajah Ray.

"Auhh."

Ray terperanjat mendapat lemparan bola kertas dari Robin. Ray yang sedang berbaring pun akhirnya bangkit dan duduk dengan pandangannya yang menatap kesal pada Robin.

"Lo apaan sih, Bin?" Ujar Ray dengan nadanya yang ketus.

"Yaelah. Gitu aja lo marah."

Robin terkikik melihat kekesalan Ray. Memang selama beberapa hari ini Ray lebih sering melamun dan mudah sekali emosi ketika di ganggu. Dan Robin pun sangat tahu apa penyebabnya.

"Lagian gue itu masih tanya sama lo." Ujar Robin.

"Emang lo tanya apaan?" Tanya Ray kini.

"Ini—" Robin mengangkat berkas-berkas itu dan menunjukkannya pada Ray. "—gue lagi tanya soal ini sama lo."

"Kirain lo mau tanya apaan."

Ray langsung mendengus setelah tahu maksud dari pertanyaan Robin yang ditujukan padanya itu. Pria itu lalu menyandarkan punggungnya pada sofa.

"Gue kan udah bilang itu semua terserah lo, Bin. Lo yang lebih paham tentang resto ini." Ucap Ray yang tak mau ambil pusing dengan hal sepele yang sedang Robin lakukan saat ini.

"Ya setidaknya lo pilih satu atau dua kek. Biar gue nggak bingung. Lo itu kan—"

Ray langsung menyangkal apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu. "Nggak. Gue kan udah bilang berapa kali kalo ini bukan punya gue. Dan gue emang nggak ngerasa kalo ini punya gue bro. Gue itu cuma di suruh buat mengelola resto ini aja."

Robin menghela nafasnya. "Tapi lo yang kasih nama resto ini kan? Lo kasih nama resto ini dari—"

"Iya, gue tahu. Dan itu diserahkan semuanya ke gue termasuk salah satunya buat kasih nama apa buat resto ini. Ya gue asal pakai nama itu aja."

"Ya ya, terserah lo deh. Pusing sendiri gue ngadepin lo yang masih seperti ini."

Robin menyerah sendiri menghadapi sikap Ray saat ini. Dia kembali sibuk dengan meneliti setiap berkas dari para calon karyawannya ini tanpa mengganggu pria yang sedang di landa frustasi itu.

Sejak kedatangan Ray ke resto ini pun sikap pria itu sudah tidak bisa di ajak bercanda. Ada saja hal kecil yang menurutnya mengganggu akan membuatnya langsung emosi.

Dan semua itu karena waktu yang sudah ditentukan oleh orang tuanya pada Ray yang jika dia sudah melewati batas waktu itu, dia harus menerima permintaan dari orang tuanya dengan menerima penerima perjodohan itu.

Sedangkan Robin sendiri yang selama ini ditugaskan untuk membantunya mencari tahu dimana keberadaan gadis itu pun sering kali di buat pusing sendiri. Bagaimana tidak? Robin tidak memiliki info apapun terkait gadis yang disukai oleh pria itu. Dan Ray hanya memberikan satu petunjuk saja tentangnya. Hanya sebuah nama panggilan dari gadis itu yang sekarang ini dijadikan nama resto yang sedang Ray kelola ini.

Robin sendiri sering kali di buat frustasi oleh kelakuan Ray. Dia justru lebih senang melihat semua kelakuan random lainnya dari sahabatnya itu daripada harus melihat kelakuannya yang saat ini jika sudah menyangkut gadis itu. Karena secinta-cintanya Robin pada seorang gadis, dia tidak akan sampai seperti Ray yang hanya dalam sekali lihat tapi bisa membuat seperti orang yang tidak waras, bahkan sampai mengajak yang lainnya.

"Masih kepikiran waktu yang ditentukan papa lo, Ray?"

Robin kembali bersuara dengan bertanya pada Ray.

"Menurut lo?"

"Menurut gue—mending lo udahan aja deh buat upaya lo cari tahu keberadaan dari gadis itu. Lo nggak punya petunjuk apapun lagi tentang dia. Dan kita juga nggak tahu kan selama lima tahun belakangan ini apa yang sudah terjadi padanya. Seperti—bisa saja dia sudah nggak di beda alam dengan kita." Ujar Robin.

Pletak. Tiba-tiba saja sebuah kunci melayang ke arah Robin. Untung saja kali ini hanya mengenai ujung meja yang tidak terdapat kacanya. Jika saja itu mengenai kacanya, bisa-bisa Robin harus kembali mengganti kaca itu yang dijadikan alas meja itu yang sudah dua kali dipecahkan oleh Ray karena luapan emosinya itu.

"Jangan sembarangan ngomong lo, Bin." Ray bersuara dengan emosi.

"Sorry, Ray. Tapi gue cuma mau berfikir realistis aja. Dan—pada kenyataannya kita tidak tahu apa saja yang udah terjadi pada gadis itu."

Ray yang mendengar perkataan Robin hanya bisa terduduk lemas. Memang benar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Tapi Ray juga punya keyakinan tersendiri tentang gadis itu.

"Udah. Mending lo urus aja itu berkas-berkas itu. Jangan bikin gue tambah stres, Bin."

"Iya. Iya. Ini juga dari tadi gue masih seleksi mana yang bisa kita panggil buat dilakukan interview."

"Mending nambah tiga atau empat orang dulu aja deh. Terutama di bagian dapur. Nanti kalo makin bertambah ramai, lo bisa nambah orang lagi." Ujar Ray memberikan masukan pada Robin.

"Oke. Dari tadi kek lo bilang. Gue jadi mudah buat seleksi semua ini."

"Bawel lo."

Robin terlihat sibuk memisahkan berkas-berkas itu. Dia sudah menentukan empat calon yang di pilih untuk nantinya akan dia hubungi dan bisa dilakukan interview. Robin juga akan menambahkan satu lagi sebagai cadangan. Jika nanti semuanya memenuhi, mungkin Robin akan mempertimbangkan untuk menerima semuanya mengingat semakin meningkatnya jumlah pengunjung di resto ini setiap harinya.

"Ray, yakin nih gue yang harus pilih semua karyawan baru resto ini?" Robin kembali bertanya untuk kesekian kalinya pada Ray masalah calon karyawan untuk resto ini.

"Hm."

"Lo nggak nyesel gue yang harus pilih?" Robin kembali memastikan.

"Bin—"

"Ini ada total delapan berkas yang langsung masuk hari ini sejak kita buka info lowongan pekerjaan kemarin sore." Ujar Robin yang semakin tak dimengerti oleh Ray kemana arah pembicaraannya itu.

"Maksud lo apaan lagi sih, Bin? Lo jangan bikin gue tambah puyeng dengan masalah sepele seperti ini. Gue lagi nggak mau nyari ribut ama lo."

"Hadehh, Ray tahan emosi lo kek. Gue belum selesai jelasin ini sama lo."

"Emang lo mau jelasin apalagi sih?"

"Lo mending kesini deh."

"Males gue."

"Yaelah—gue mau tunjukin sesuatu sama lo."

"Gue nggak mau. Paling lo mau kasih lihat ada satu cewek di daftar calon karyawan itu yang menarik menurut lo." Terkanya.

"Emang bener."

Ray mendengus di tempatnya duduk. Dia sudah menduganya.

"Tapi bukan cuma itu sih. Yakin lo nggak mau lihat?"

"Nggak!"

"Ya sudah kalo lo nggak mau lihat. Gue bisa skip ini satu berkas calon karyawan buat nggak gue panggil untuk interview. Dan gue juga nggak yakin sih nama dari cewek ini sesuai dengan apa yang lo cari selama ini atau bukan." Ujar Robin sambil meletakkan berkas itu ke posisi yang tidak ingin dihubunginya—untuk saat ini.

Mendengar maksud dari ucapan Robin membuat Ray langsung menegakkan tubuhnya. Ditatapnya Robin yang ternyata sudah menyunggingkan senyuman miringnya sambil mengangkat satu berkas dari salah satu calon karyawan.

"Apa lo bilang?"

"Ini. Ada satu nama yang harus lo lihat. Hi—me—ka."

Mendengar nama itu membuat Ray langsung berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Pria itu langsung menghampiri meja Robin dan merebut berkas yang ada di tangan pria itu.

Ray langsung melihat berkas dari salah satu calon karyawan resto ini.

"Himeka Lalitha Yumna." Ray membaca sebuah nama yang cantik dari salah satu pelamar itu.

Pria itu memang tidak tahu nama lengkap dari sosok gadis yang dicarinya ini. Tapi melihat foto yang disertakan dalam berkas lamaran itu membuat Ray tidak salah orang.

Ya. Ray akhirnya menemukannya. Sosok seorang gadis yang selama ini selalu dicarinya. Dan semesta memang benar-benar masih mendukung apa yang Ray harapkan selama ini.

"My little girl, setelah lima tahun lamanya Aku mencarimu, akhirnya Aku bisa menemukan keberadaanmu juga."

MyLiGi - BAB 2

"Jihan, bisa kamu panggilkan Hime sebentar?!"

"Hime? Hime bukannya nama resto ini ya, Pak? Apa yang di maksud Bapak itu Yumna? Bapak kan sering panggil nama dia dengan Hime."

Bukan Jihan yang menyahuti ucapan perintah dari pria yang merupakan atasannya itu, melainkan seorang gadis lainnya dengan kunciran kudanya yang berada di depan meja kasir dan tepat di sebelah gadis yang bernama Jihan itu.

Sedangkan Jihan hanya diam, memandang atasannya itu dengan keningnya yang mengerut dan kedua matanya yang menyipit.

"Ah, sorry. Iya, maksud Saya itu. Yumna." Ralat pria itu cepat mendengar sahutan gadis itu. Di tambah melihat sikap Jihan yang hanya diam tidak mengindahkan perintahnya.

"Tolong kamu saja deh yang panggilkan dia! Dan katakan pada dia untuk bisa datang ke ruangan Saya sebentar!" Perintah atasannya itu lagi. Kini perintah itu bukan ditujukan kepada Jihan, tetapi pada gadis berkuncir kuda itu yang langsung ditanggapi dengan anggukannya.

"Maaf, Pak. Tapi Yumna masih sibuk membuat pesanan dari para pelanggan yang baru datang." Sela Jihan langsung saat gadis berkuncir kuda itu hendak meninggalkan meja kasir.

"Ada Chika atau Dita, kan?" Tanya pria itu dengan matanya yang melirik sekilas pada Jihan.

"Adanya Chika, Pak. Kalau Dita masih pergi keluar sama Ilham untuk membeli stok bahan-bahan makanan yang sudah menipis. Sedangkan Chika pasti lagi sibuk bantuin Yumna di dapur." Lagi-lagi gadis berkuncir kuda itu yang menyahuti ucapan atasannya itu.

Jihan hanya bisa mendengus kembali saat mendengar penjelasan dari gadis disebelahnya itu.

"Ya sudah. Cepat panggilkan saja. Saya ada perlu sebentar dengan Hime. Eh, maksud Saya Yumna." Ujar pria itu lagi-lagi meralat ucapan panggilan dari salah satu nama karyawannya itu.

"Dan kamu Tuti. Kalau memang Chika kerepotan menyiapkan pesanan dari para pelanggan yang datang, tolong kamu bantu dia ya?!" Perintah pria atasannya itu pada gadis berkuncir kuda.

Gadis itu mengangguk cepat dan segera berlalu meninggalkan meja kasir yang kini hanya di jaga Jihan untuk memanggil Yumna sebentar sesuai perintah dari atasannya itu.

Pria yang merupakan atasannya itu lalu meninggalkan meja kasir dan berjalan menuju pintu samping keluar dari resto ini untuk kembali ke ruangannya.

Jihan yang melihat kepergian pria itu hanya bisa mendengus kesal.

Tak berapa lama Yumna pun muncul tanpa diikuti gadis bernama Tuti. Sepertinya Tuti sedang ikut membantu Chika di dapur.

Yumna yang baru saja berjalan melewati Jihan pun hanya bisa mengangkat sebelah alisnya saat menatap raut wajah Jihan yang terlihat kesal itu.

Sebenarnya Yumna memahami apa yang membuat Jihan memasang wajah kesalnya di depan meja kasir setelah pria yang menjadi atasannya itu tadi akan menyuruhnya untuk meminta dirinya agar bisa menemui pria itu di ruangannya sana. Tapi Yumna hanya acuh dan mengabaikan Jihan yang cemberut seperti itu. Dia hanya terus berjalan keluar resto untuk menuju ke ruangan dari atasannya.

Menuju ke sebuah bangunan kecil yang mirip paviliun yang berada tepat di halaman sisi kiri dan tidak menyatu dengan resto ini, Yumna kembali di buat terdiam setiap kali berada di depan pintu yang kini masih tertutup dari bangunan ini yang digunakan sebagai ruangan pribadi dari atasannya ketika dia berkunjung ke resto.

Yumna hendak mengetuk pintu sebelum suara atasannya itu yang terlebih dulu terdengar dari dalam bangunan ini.

"Masuk saja, Hime! Pintu tidak Saya kunci." Perintah dari atasannya itu membuat Yumna tersentak. Mungkin karena dirinya yang terlalu lama diam di depan pintu tanpa mengetuknya membuat atasannya itu akhirnya menyadarinya.

Bentuk bangunan ini yang di dominasi oleh kaca di bagian sisi depan dan sisi kanan yang bisa melihat keadaan di luar dan di dalam resto membuat pria itu pasti mengetahui jika Yumna sudah berjalan ke sini untuk menemuinya.

Yumna mengintip sejenak ke dalam ruangan itu lewat dinding kaca dan dia bisa melihat atasannya itu sedang duduk di kursi kebesarannya dengan tangannya yang tampak sibuk.

Yumna lalu memegang handle pintu untuk membukanya dan masuk ke dalam bangunan ini.

"Selamat sore, Pak!" Sapa Yumna membuat pria itu mengangkat wajahnya dan menghentikan aktivitasnya.

"Sore, Hime." Sapa sang atasan itu dengan cerianya.

Pria itu sedikit memundurkan kursi yang didudukinya agar bisa duduk dengan lebih santai lagi. Dia juga menopang kedua sikunya pada lengan kursi yang didudukinya dengan pandangan yang lurus menatap pada Yumna. Tak lupa dengan senyumannya yang membuat Yumna langsung menundukkan pandangannya.

"Maaf, Pak. Ada apa ya Pak Robin memanggil Saya ke sini?" Meski Yumna sebenarnya merasa tidak nyaman dengan sikap dari atasannya yang bernama Robin itu, dia tetap harus menanyakan perihal atasannya itu yang membuat dirinya harus datang untuk menghadapnya di ruangannya ini.

"Ah iya. Begini, Hime—"

"Maaf, Pak—" Sela Yumna cepat. "—bisa tidak Pak Robin jangan panggil Saya dengan sebutan nama itu?" Pinta Yumna.

"Kenapa?" Tanya Robin dengan bingung. "Bukannya nama kamu Himeka Lalitha Yumna kan? Seharusnya bisa donk Saya panggil kamu dengan nama Hime."

"Iya, Pak. Itu memang nama lengkap Saya. Tapi—Saya hanya tidak suka saja kalau ada orang yang panggil Saya dengan nama itu." Ujar Yumna menjelaskan perihal itu pada Robin.

Robin yang mendengar penjelasan dari Yumna hanya bisa mengerutkan kening. Pria itu sedikit bingung kenapa gadis itu enggan di panggil dengan nama itu. Sedangkan menurut sahabatnya, dia mendengar namanya gadis itu adalah Hime. Apa mungkin sahabatnya itu salah orang. Atau—tauu ah. Robin jadi pusing sendiri kalau sudah berurusan dengan sahabatnya itu jika sudah menyangkut gadis yang selalu dicarinya selama ini.

"Hm, baiklah. Kalau begitu. Yumna. Iya kan?" Ujar Robin.

"Terima kasih, Pak." Ujar Yumna sambil tersenyum tipis.

Robin ikut tersenyum membalas senyuman dari Yumna. Pria itu kembali memajukan kursinya. Siku kedua tangannya kini bertumpu pada meja.

"Hm, begini Hi—oh maaf—maksudnya Yumna. Saya ingin meminta kamu untuk menyiapkan minuman dingin dan beberapa makanan ringan ya. Nanti kamu bawa semua itu ke sini. Karena sebentar lagi Saya kedatangan tamu spesial." Ujar Robin menjelaskan perintahnya itu pada Yumna.

"Ini Saya harus pergi keluar untuk beli atau gimana ya, Pak?" Tanya Yumna sedikit bingung dengan perintah dari atasannya itu.

"Tidak perlu keluar, Yumna. Menu yang ada di resto ini saja. Kebetulan tamu Saya itu belum pernah mencoba menu-menu baru yang tersedia di sini. Tapi jangan menu yang berat ya."

Yumna mengangguk mengerti.

"Iya, Pak. Saya akan siapkan segera." Ujar Yumna.

"Ada yang lainnya lagi, Pak?"

"Sepertinya itu saja dulu."

"Baik, Pak. Kalau begitu Saya pamit keluar dulu."

Robin mengangguk mempersilahkan Yumna untuk keluar dari ruangannya. Tapi saat Yumna sudah membuka pintu, Robin kembali mencegahnya.

"Yumna, tunggu sebentar."

Yumna menoleh pada Robin.

"Iya, Pak."

"Saya baru ingat. Saya dengar dari yang lain kalau kamu sering sekali bawa cake coklat strawberry dari rumah? Apa itu benar?" Tanya Robin dari tempatnya duduk dengan pandangannya yang lurus menatap pada Yumna.

Yumna yang masih berdiri di depan pintu keluar pun tampak terkejut ketika mendengar pertanyaan dari Robin. Darimana atasannya itu bisa tahu.

"Ma—af, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi." Ujar Yumna langsung meminta maaf pada atasanya itu. Karena Yumna sendiri tahu apa yang menjadi peraturan di resto ini yang dimana para karyawan di larang membawa makanan apapun dari luar. Tak terkecuali juga bekal yang dibawanya dari rumah.

"Tidak, Yumna. Tidak apa. Saya mungkin memang akan menegurmu lain kali. Tapi saat ini justru Saya ingin apa yang kamu bawa itu untuk sekalian dibawakan ke sini. Untuk bisa Saya hidangkan pada tamu Saya nanti. Itu pun jika kamu tidak keberatan."

"Hah? Tapi—"

"Kamu tenang saja, Yumna. Saya—"

"—maaf, Pak. Bukannya Saya tidak mau, tapi—hari ini kebetulan Saya hanya membawa dua potong saja. Itu juga masih tinggal satu potong saja karena tadi sempat diminta sama Ilham."

"Oh, jadi kamu tidak bisa membawakan itu ke sini?"

"Ee—gimana ya Pak—kalau Pak Robin tidak keberatan dan juga mau sih—Saya mungkin akan membawakan buah strawberry milik Saya, Pak. Bekal lainnya yang Saya bawa juga. Sebagai ganti apa yang Bapak minta." Ujar Yumna yang akhirnya juga mengaku membawa makanan lainnya selain cake coklat strawberry itu.

Yumna sampai mengigit bibir bawahnya. Takut jika atasannya itu akan memarahinya setelah ketahuan dan dia yang mengakui sendiri dengan apa yang dibawanya itu.

"Oh, jadi kamu suka strawberry juga?"

Yumna langsung menatap bingung dengan pertanyaan dari Robin barusan itu. Juga? Maksudnya apa?

"Ya, ya, baiklah. Tidak apa, Yumna. Itu juga boleh. Kalau untuk cake coklat strawberry-nya bisa tidak Saya minta kamu buatkan itu di sini sekarang? Kamu bisa ambil bahan-bahan yang ada di sini yang kamu perlukan."

"Hah? Apa boleh, Pak?"

"Untuk apa Saya tawarkan kalau Saya tidak mengijinkan?"

Yumna tersenyum mendengar perijinan dari atasannya itu. Karena itu artinya Yumna bisa menggunakan beberapa alat yang lebih canggih yang ada di resto ini. Tapi—

"Pak—tapi Saya nanti tidak enak sama yang lainnya kalau ketahuan ambil bahan punya resto ini. Apalagi Saya kan masih karyawan baru ini. Belum ada satu bulan juga di sini." Ujar Yumna kini.

"Kamu tidak perlu khawatirkan tentang itu. Kamu bisa tanya pada Dita dan Della, itu juga yang ingin Saya lakukan juga untukmu."

"Maksud Bapak—"

"Iya, Yumna."

Yumna mengangguk mengerti.

"Tapi sebelumnya Saya mohon maaf, Pak. Jika nanti itu memang bisa dijadikan salah satu menu baru yang ada di resto ini, Saya akan menolaknya."

"Kenapa? Bukankah itu akan menguntungkan untukmu juga?"

"Saya tidak pernah memikirkan untung yang nanti bisa Saya terima, Pak. Tapi—Saya membuat itu hanya untuk hobi saja. Yang penting orang-orang yang pernah mencobanya menyukai itu. Keluarga Saya kebetulan juga suka apa yang Saya buat untuk mereka itu. Terlebih lagi anak-anak."

"Anak-anak?" Dari sekian penjelasan Yumna itu. Robin cukup terkejut dengan kalimat ucapan terakhir dari Yumna.

"Adik Saya, Pak."

"Oh. Tapi mungkin kamu bisa memikirkannya nanti. Itu juga perlu Saya evaluasi dulu, jika di rasa memenuhi untuk bisa dijadikan menu baru di sini, mungkin kamu bisa mempertimbangkan hal itu." Ujar Robin.

"Kalau begitu Saya ijin keluar dulu untuk menyiapkan apa yang Bapak perintahkan pada Saya tadi." Ujar Yumna kini yang tidak lagi melanjutkan pembahasan itu.

Yumna kini benar-benar keluar dari ruangan Robin untuk kembali ke dalam resto dan membuatkan hidangan yang di minta oleh atasannya itu.

MyLiGi - BAB 3

Yumna masuk kembali ke dalam resto untuk bisa membuatkan apa yang di minta oleh atasannya itu. Saat akan masuk ke dalam dapur, Jihan langsung menghadang jalan Yumna dengan tatapan yang penuh selidik.

"Kenapa lagi itu bos?" Tanya Jihan sarkas dengan kedua tangannya yang berkacak pinggang.

"Kamu kenapa sih, Han?" Yumna bingung sendiri dengan sikap sahabatnya yang tiba-tiba menghalangi jalannya.

Yumna ingin berjalan melewati sisi Jihan yang lenggang, tapi lagi-lagi gadis itu menghadangnya.

"Jawab dulu pertanyaan Aku, Yumna."

Yumna mendesah. "Dia hanya ingin dibuatkan hidangan berupa makanan ringan dari daftar menu resto ini untuk nantinya bisa Aku antar ke sana. Katanya akan ada tamu yang datang." Ujarnya menjawab pertanyaan dari Jihan tadi.

"Tamu? Tapi kok kamu yang di suruh untuk menyiapkan sih. Kan biasanya itu jadi tugas Della kalau urusan tamu bos." Jihan masih bersuara.

Yumna mengedikkan bahunya tak tahu. "Ya mana Aku tahu." Jawab Yumna dengan santai.

Yumna kini bisa jalan menuju dapur karena Jihan yang tidak lagi menghalangi jalannya. Jihan yang belum selesai bertanya pun sampai harus mengekori Yumna menuju dapur.

"Yumna, Aku belum selesai bicara." Jihan terus menodongnya.

Gadis itu masih saja penasaran apa yang sebenarnya diinginkan oleh bosnya itu. Sejak keduanya mulai bekerja di sini, sungguh sangat aneh sikap dari bosnya itu. Terlebih lagi kepada Yumna yang terbilang masih karyawan baru di sini. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh bosnya itu. Dan pikiran Jihan tidak akan pernah salah.

"Bicara apalagi sih, Han? Aku masih harus siapkan hidangan untuk tamu bos nanti." Ujar Yumna yang mulai jengah dengan sikap dari Jihan itu.

Meski Yumna bisa memahami kekhawatiran dari Jihan padanya. Tetapi dengan sikapnya yang menunjukkan seolah ingin bermusuhan dengan atasanya itu merupakan hal yang salah. Yumna tidak ingin jika Jihan yang terus-terusan menunjukkan sikapnya yang seperti itu, justru hanya akan membuat dirinya diberhentikan dari pekerjaannya ini. Termasuk juga dengan Yumna sendiri.

Yumna sebenarnya tidak masalah jika dia tidak bekerja di kota ini. Karena itu bukanlah tujuan awal dari dia kenapa berada di sini. Tapi—gadis itu sedang tidak ingin memikirkannya untuk saat ini. Dia kini hanya menghela nafasnya panjang.

"Sudah ya. Daripada kamu bawel terus dari tadi, mending kamu bantu Aku deh." Yumna berkata pada Jihan tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi masih saja terus diajukan oleh Jihan.

"Ih, kok harus bantuin sih?"

"Yaudah kalau nggak mau bantuin. Kamu bisa balik lagi sana ke meja kasir. Kasihan Tuti harus jaga sendiri. Apalagi ini udah mulai jam ramai." Ujar Yumna yang kini benar-benar mengabaikan Jihan yang hanya bisa mendengus kesal karena sikap darinya. Gadis itu mulai sibuk dengan pekerjaannya.

Sedangkan Jihan sama sekali tidak mengindahkan perintah dari Yumna. Entah itu ikut membantunya menyiapkan hidangan untuk tamunya si bos ataupun dia dimintanya untuk kembali ke meja kasir agar bisa kembali berjaga. Gadis itu justru kini hanya duduk di kursi yang ada di dekat meja persiapan sambil pandangannya terus mengikuti kemanapun Yumna berada.

"Kamu mau buat cake coklat strawberry, Na?" Tanya Jihan yang menyadari bahan-bahan yang sedang disiapkan oleh Yumna. Termasuk juga buah strawberry yang Jihan tahu itu buah yang dia bawa juga dari rumah ada di sana. Sedangkan stok buah strawberry di resto ini sangat berbeda dengan yang kini ada di hadapan Yumna itu. Kapan Yumna ambil buah itu dari loket lemari penyimpanan barang miliknya?

"Iya."

"Emang boleh buat sesuatu yang di luar menu resto ini? Bukannya nggak boleh ya?" Tanya Jihan.

"Itu bos sendiri yang minta. Tadinya Aku juga bilang seperti itu sama bos." Jelas Yumna.

"Emangnya kamu nggak bawa dari rumah? Perasaan tadi kamu bawa deh. Itu buah strawberry yang di bawa dari rumah juga kan?"

"Iya, semua Aku bawa dari rumah. Tapi kalau cake coklat strawberry cuma dua potong aja. Selebihnya udah dihabisin sama bocah itu di rumah." Ujar Yumna terkekeh sendiri. "Dan—dua potong yang Aku bawa itu juga masih sebiji doank karena udah di makan sama dia." Yumna menunjuk Ilham yang sedang membereskan bahan-bahan yang baru saja dibelinya bersama Dita.

Ilham yang menyadari sedang menjadi pembicaraan oleh keduanya pun ikut tertawa kecil.

"Habis gimana ya—soalnya enak sih." Ujar pemuda bertubuh sedikit gempal ikut bergabung dalam percakapan keduanya.

"Emang beneran di suruh bikin di sini ya, Na? Wah, asik donk nanti bisa ikutan icip lagi. Hehe. Dan kalau nanti bos suka dan setuju buat dijadikan menu baru tambahan di sini kan bisa lebih sering makannya." Ujar Ilham berseru riang.

"Yee, maunya makan doank. Pantas aja tuh badan berisi seperti gentong." Ledek Jihan pada Ilham yang ditanggapi dengan bibir manyun dari pemuda itu.

Yumna yang mendengar ledekan dari sahabatnya itu untuk Ilham hanya bisa menggeleng saja. Jihan ini memang akan seperti itu. Meski saat ini dia sedang kesal atau emosi, tapi sekalinya berucap bisa menusuk kata-katanya.

"Tapi, Na—kok kamu di suruh bikin lagi di sini sih? Berarti bos tahu donk kalau kamu sering bawa makanan dari rumah? Tahu darimana dia?"

"Aku sendiri juga nggak tahu darimana bos bisa tahu kalau Aku sering bawa itu."

"Tuh kan—apa yang Aku bilang—kalau—"

"Mulai lagi deh prasangkanya."

"Bukan gitu, Na. Tapi—"

"Udah. Dari tadi Aku udah suruh kamu dengan dua pilihan loh. Tapi kamu malah masih duduk manis di situ aja. Nanti kalau bos lihat gimana?"

"Biarin."

"Jihan—"

"Himeka—Yumna—"

Keduanya kini saling bertatapan. Tidak pernah mau mengalah jika sudah berdebat seperti ini.

"Jihan, lo di sini ternyata. Gue kira tadi pergi ke toilet. Tapi gue pikir kok lama banget, ternyata lo lagi ngerumpi di sini." Suara Tuti terdengar memecah perdebatan keduanya. Tuti baru masuk ke dapur dan menyadari jika Jihan sedang ada di sana bersama dengan karyawan yang memang mendapatkan tugasnya di dapur.

"Ada apa, Ti?" Tanya Jihan seolah tak merasa bersalah sama sekali karena meninggalkan tugasnya di meja kasir bersama Tuti terlalu lama.

"Gantiin gue gih. Gue mau ke toilet bentar. Mau ganti pembalut, baru nyadar kalo tembus." Ujar Tuti pada Jihan.

"Udah sana. Jaga kasir lagi." Usir Yumna.

Jihan mendengus melirik kesal pada Yumna yang hanya tersenyum meledek padanya. Gadis itu akhirnya beranjak dari duduknya untuk kembali ke tempat dimana seharusnya dia bisa bekerja.

"Oh ya, Na. Itu ada beberapa daftar pesanan baru lagi. Tolong segera di buat ya." Ujar Tuti sebelum meninggalkan dapur untuk menuju toilet yang dikhususkan para karyawan resto ini.

Yumna mengangguk.

Setelah Yumna memasukkan loyang ke dalam oven dan tinggal menunggu cake coklat strawberry-nya itu jadi, dia mengambil daftar pesanan yang sudah masuk. Diserahkannya daftar pesanan itu pada Ilham untuk bisa dibuatkannya yang nantinya akan di bantu oleh karyawan lainnya. Sedangkan Yumna sendiri masih ada tugas untuk mengantarkan hidangan makanan ringan yang hampir selesai dibuatnya itu ke ruangan milik atasannya.

Tanpa menunggu cake coklat strawberry-nya jadi, Yumna mengantarkan terlebih dahulu makanan ringan itu ke ruangan milik atasannya. Siapa tahu juga kan sebentar lagi tamu yang sedang di tunggu oleh atasannya itu akan tiba. Jadi ketika tamunya itu datang, makanan yang akan dihidangkan untuk tamunya sudah tersedia di sana.

Ketika Yumna keluar resto untuk menuju ke ruangan atasannya itu, dia menyadari jika ada mobil lainnya selain mobil milik atasannya yang terparkir di dekat ruangan itu. Seperti perkiraannya jika tamunya itu ternyata sudah datang.

Yumna sedikit percepat langkahnya untuk bisa menuju menuju ruangan itu. Dia melihat Robin yang beranjak dari duduknya ketika melihatnya sedang berjalan menuju ke sana. Yumna bisa melihat juga memang sudah ada seseorang yang ada di ruangan itu yang sedang berbaring dan mendapat pukulan kecil di kepala oleh atasannya itu.

Yumna sudah ada di depan pintu dan langsung di buka oleh atasannya itu.

"Terima kasih, Pak." Ujar Yumna ketika Robin membantu membukakan pintu untuknya.

"Iya, Hime." Lagi-lagi atasannya itu memanggilnya dengan nama itu. Yumna ingin kembali protes tapi tidak mungkin itu dilakukan sekarang.

"Ini mau di taruh di mana ya, Pak?" Tanya Yumna yang berjalan beriringan dengan Robin masuk ke dalam ruangan.

"Di meja depan sofa aja. Sudah ada orang yang menjadi tamu Saya hari ini." Ujar Robin.

Yumna mengangguk dan berjalan menuju sofa yang ada di sisi tengah dari ruangan ini. Yumna meletakkan semuanya di meja tanpa memperhatikan siapa yang menjadi tamu dari atasannya itu.

Plak!

Robin tiba-tiba kembali memukul kecil kepala dari tamunya itu. Membuat Yumna tersentak kaget mendengarnya. Dan saat itulah Yumna melihat ke arah tamu yang kini ada di depannya yang sedang melirik kesal pada atasannya itu.

Yumna pun tercengang melihat siapa yang menjadi tamu dari atasannya itu.

"Terima kasih, Hime." Ucap Robin yang kini sudah duduk di sofa dan bersebelahan dengan tamunya itu.

Yumna yang mendengar ucapan dari atasannya itu langsung tersadar dan langsung mengalihkan pandangannya dari sosok tamu itu. Dia pun segera berdiri.

"Iya, Pak." Ujar Yumna sambil mengangguk kecil pada Robin.

Robin mengamati hidangan yang di bawa oleh Yumna.

"Oh ya, Hime, bukannya tadi kamu bilang akan bawakan buah strawberry punya kamu ya?" Tanya Robin pada Yumna.

"Iya, Pak. Nanti sekalian sama cake coklat strawberry yang sedang Saya buat saja. Mungkin sekitar setengah jam lagi baru bisa Saya antarkan ke sini." Jelas Yumna.

Robin mengangguk mengerti. "Ya sudah, tidak apa. Nanti langsung di bawa saja ke sini kalau sudah jadi. Lagi pula tamu Saya ini juga sepertinya masih lama di sininya kok. Jadi masih bisa mencoba sesuatu yang sedang kamu bikin." Ujar Robin sambil tangannya menekan pundak tamunya itu.

Yumna sekilas melihat perlakuan atasannya itu pada tamunya. Tapi dia enggan menatap pada sosok tamu dari atasannya itu.

"Kalau begitu Saya permisi dulu ya, Pak." Ujar Yumna hendak undur diri dari ruangan atasannya itu.

Yumna ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini. Dia sudah mulai tidak nyaman dengan sikap tamu dari atasannya itu. Terlebih lagi dengan tatapan dari orang itu yang kembali dilakukan olehnya. Tatapan yang sama seperti saat Yumna datang kembali ke resto ini untuk melakukan interview kerja.

"Iya, silahkan." Robin mempersilahkan Yumna untuk bisa keluar dari ruangan ini.

Yumna segera keluar dari ruangan ini. Tapi ada sepasang mata yang masih saja terus menatapnya dan mengikuti setiap langkah dari Yumna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!