Ruang tunggu di Lembaga Pemasyarakatan..
Seorang gadis berpakaian blus abu dan celana jins, berambut panjang dan berwajah cantik seperti boneka, menunggu dengan gelisah. Sesekali melihat apa yang ditunggu akan segera datang.
Satu per satu para pria yang mengenakan seragam tahanan, masuk dan memenuhi meja-meja dimana keluarga mereka menjenguk.
Keluar seorang pria tua berseragam tahanan.
Gadis itu langsung berdiri. "Papa?"
Pria bernama Herald Hanjaya, seorang koruptor yang sudah menjalani masa tahanan selama sepuluh tahun, terkejut ada yang memanggilnya Papa.
"Siapa kamu?" Tanyanya melihat gadis belia yang cantik tak dikenalnya.
"Aku Geetazia, anak Papa." Gadis itu mendekat dan memeluknya.
"Geetazia? Anak saya?"
"Iya Pa. Aku anak Papa. Nama ibuku Santi Dewi Pertiwi."
Herald terkejut dan menatap gadis berusia sembilan belas tahun itu.
"Aku udah lama cari Papa dan tau tentang Papa ditahan di Lapas ini. Akhirnya aku bisa nemuin Papa."
Tiba-tiba Herald mendorongnya menjauh. "Saya bukan Papa kamu."
Gadis itu terkejut. "Papa, ini Geet anak Papa."
"Setau saya, Santi menggugurkan kandungannya. Kamu pasti bukan anak saya."
Gadis itu menggeleng berusaha meyakinkan bahwa ia anaknya.
"Semua itu bohong karena Mama diancam oleh istri pertama Papa, Bu Pamela. Tapi Mama melahirkanku dengan sehat. Mama sudah cerita semua makanya aku berusaha cari Papa."
Herald diam saja dan menggeleng. "Saya bukan Papa kamu. Kamu salah orang." Ia beranjak namun gadis itu menahan tangannya.
"Aku anak Papa. Kenapa Papa nggak percaya?"
Pria itu menatap gadis yang berusaha meyakinkannya.
Tanpa peduli, ia masuk kembali ke sel tahanan.
***
Geetazia gadis berumur sembilan belas tahun itu meninggalkan Lapas dengan bercucuran air mata.
"Kenapa sih? Disaat keadaan begini, Papa masih nggak mau ngakuin gue?" Ia terisak sambil memakai helm dan menaiki motornya.
Baru akan menyalakan motor, HP nya berbunyi.
Ia melepas helm dan menjawab telepon.
"Halo?"
"Halo Geet, kamu di mana? Udah jalan pulang?"
"Ini aku mau pulang kok, Tante."
"Sebelum pulang kamu mampir ke toko Bang Imron. Tante barusan pesan beras dan sembako, tapi pegawainya Bang Imron lagi nggak masuk. Kamu jangan lupa ambilin ya."
"Iya Tante. Nanti aku mampir."
"Oh ya Tante kan mau pergi sama Mas Boni. Nanti kamu kunci aja pintunya, Tante pulang malam dan Tante juga bawa kunci."
"Iya."
"Cepat pulang ya, Geet."
Geet memutus telepon dan menarik nafas dalam-dalam.
Tina sang Tante yang merawatnya sejak Santi ibunya meninggal karena sakit delapan tahun lalu.
Ia memakai helm dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Sepanjang jalan ia mengingat yang terjadi setelah ibunya meninggal.
Geet adalah anak hasil hubungan gelap Herald Hanjaya. Santi menjadi wanita simpanan Herald yang dinikahi siri itupun dengan kondisi Santi sudah hamil duluan. Mereka bertemu ketika Santi yang bekerja sebagai pemandu karaoke, disewa oleh Herald dan mereka lanjut berhubungan.
Namun hubungan Herald dan Santi diketahui istri pertama Herald yang merupakan wanita karir, yang mempunyai jabatan sebagai General Manager di perusahaan besar.
Pamela istri pertama Herald mengancamnya jika sampai melahirkan bayinya, Santi akan celaka. Karena takut Pamela nekat, Santi terpaksa berbohong mengatakan akan menggugurkan kandungan.
Geet lahir tanpa ayah, tanpa status jelas hingga disebut anak haram.
Ketika Santi jatuh sakit, ia diserahkan pada Tina adiknya untuk dirawat.
Delapan tahun lalu Santi meninggal dunia. Geet hidup dengan Tina sejak itu.
Namun ia harus bekerja keras karena Tina tidak bisa membiayai hidupnya.
Sebelum Santi meninggal, Santi mengungkapkan siapa ayahnya. Dan berpesan agar Geet menemui Herald Hanjaya yang divonis dua puluh tahun penjara. Masa hukuman ayahnya tinggal sepuluh tahun namun tetap saja Herald tidak mengakuinya sebagai anak.
Itu membuat Geet terpukul.
Bahkan disaat paling terpuruk, disaat semua menjauh, Geet masih datang menemuinya. Tapi penolakan yang diterimanya.
Geet hanya ingin diakui. Namun itu hanya harapan belaka.
***
"Nah udah nih.." Bang Imron pemilik toko sembako langganan Tina membawakan sekarung beras dan satu dus isi sembako.
"Udah lengkap ya Bang?" Geet memeriksa isi dus. Tantenya bisa bawel kalau ada yang kurang.
"Udaahh... Udah Abang cek ampe tiga kali malahan."
Geet mengangkut barang ke motornya dan mengikatnya dengan tali.
HP nya berbunyi ada chat masuk. Geet bergegas mengambil HP di tas dan membaca chat.
#Jangan dikunci kamarnya. Malem Tina udah tidur, Om bakal ke kamar kamu.#
Geet menggeram jijik mendapat chat dari Boni, pacar tantenya.
Memang Boni kerap mengganggunya. Hanya di depan Tina Boni bersikap gentle dan setia, padahal aslinya, pria hidung belang!
Bahkan Geet kerap berlama-lama nongkrong di taman dekat rumah jika Boni sedang berkunjung ke rumah.
Pernah Boni masuk kamarnya ketika Geet mau ganti baju. Untung saja gadis itu belum buka baju. Dengan marah, Geet mengusir Boni dari kamarnya.
Tapi itu tidak membuat pria hidung belang itu kapok, malah makin agresif mendekati Geet.
"Malam ini gue harus pasang kunci lebih supaya tua bangka itu nggak nekat dobrak kamar gue!" Geet menaiki motornya dan melaju menuju toko yang menjual gembok.
"Hey Geet,.." seorang pria berkacamata dan tubuh tinggi atletis, menyapanya.
Geet hanya tersenyum sekilas. "Hay."
"Lo butuh gembok buat apa? Gembok rumah lo masih bagus kayaknya."
"Buat jaga supaya nggak dibobol maling." Geet memilih-milih gembok yang cocok. "Minta yang ini."
"Emangnya rumah lo kemalingan, Geet? Kok gue nggak tau?"
Geet malas menanggapi dan membayar, lalu mengambil belanjaannya.
"Duluan.." Geet langsung melajukan motornya ke rumah.
Afran, mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang berusia empat tahun lebih tua darinya, adalah tetangganya. Afran satu-satunya yang sopan tidak pernah kurang ajar mengganggunya. Hanya saja Geet tidak terbiasa dekat dengan pria.
Tiba di rumah, Geet memarkir motor di halaman dan membuka helm.
Rumah tantenya sederhana saja dengan halaman luas dan kebun di belakang.
Geet membuka tali dan menurunkan barang-barang.
Mendadak ia terpaku, merasakan pusing di kepalanya.
Tubuhnya limbung, ketika tiba-tiba ada tangan menahan tubuhnya.
"Lo kenapa, Geet?" Tanya Afran.
Geet melepaskan pegangannya. "Nggak apa-apa."
"Lo belum makan ya?" Tanya Afran melihat wajah Geet begitu pucat.
Geet terdiam, sejak pagi ia memang belum makan karena gelisah akan menemui ayahnya di Lapas. Siang pun ia belum makan apapun terlalu sedih memikirkan penolakan ayahnya.
"Ayo ke rumah gue. Gue buatin makanan."
"Nggak usah gue bisa masak mie instan."
"Itu paling parah malah. Perut kosong makan mie instan. Mana kunci rumah lo?"
Malas berdebat, Geet memberikan kunci rumah. Afran langsung membuka pintu dan membawa barang-barang masuk rumah langsung ke dapur.
Afran keluar rumah dan mengunci pintu.
"Ayo." Afran menarik tangan Geet menuju rumahnya di seberang.
***
"Nih gue buatin sop ayam." Afran menghidangkan semangkuk sop dan sepiring nasi hangat.
Geet menelan ludah, perutnya bergemuruh.
"Buruan makan. Malah diliatin aja. Bentar gue ambilin minum." Afran kembali ke dapur.
Karena sudah begitu lapar, Geet langsung menuangkan sop ke nasinya dan mulai makan.
"Lo dari mana memang sampe nggak sempat makan?" Tanya Afran sambil meletakkan segelas air di meja.
Geet tidak menjawab sibuk makan.
Afran memperhatikan Geet yang diam saja. Hingga sepiring nasi habis, semangkuk sop pun habis tak bersisa.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Dari mana lo tadi?"
Geet mendengus dingin dan meneguk air minumnya.
"Abis nemuin bokap gue. Saking tegangnya sampai lupa makan."
"Ya jaga kesehatan dong, Geet."
"Iya iya..." Geet tahu Afran si calon dokter akan ceramah kesehatan. "Om Pandu mana? Lo sendirian aja?"
"Masih di bengkel. Bentar lagi juga balik."
"Gue balik dulu. Thanks ya udah masakin." Geet langsung mengambil tas dan keluar rumah.
"Besok lo kerja?" Tanya Afran mengantar ke depan.
"Iya."
"Mau bareng?"
"Nggak usah. Gue bisa naik angkot. Motor juga mau dipake Tante Tina."
"Ya udah besok kita barengan. Lagian tempat tujuan kita kan sama."
Geet mendelik. "Gue males kalau dilabrak geng Purple itu. Lo kan tau mereka nggak suka lo deket-deket sama gue."
"Ya makanya kita berangkat pagi-pagi. Tu cewek-cewek nggak bakalan dateng pagi. Ya? Besok gue jemput jam setengah tujuh."
Geet tidak membantah lagi. "Iya deh. Kalau lo nggak malu pergi bareng gue." Ia melenggang masuk rumah.
Langsung masuk kamarnya.
Ia menatap potongan artikel Herald Hanjaya divonis dua puluh tahun penjara setelah melakukan korupsi dana infrastruktur hingga ratusan milyar rupiah.
"Ternyata Papa orangnya sombong. Sia-sia aja gue kumpulin semua artikel ini untuk cari dimana Papa." Geet merobek semua kertas artikel Herald Hanjaya yang terpasang di dinding kamarnya.
Dan membuangnya ke tempat sampah.
"Apa lagi yang bisa gue harapkan? Gue punya Papa seorang koruptor, yang bahkan nggak mau ngakuin gue sebagai anaknya. Bertahun-tahun gue berusaha cari dia, semuanya percuma."
Ia bergegas memasang gembok yang dibelinya agar pacar tantenya tidak menerobos masuk.
***
Pagi-pagi sekali Geet sudah bangun dan bergegas mandi.
Tampaknya Tina belum bangun. Pasti semalam tantenya itu pulang larut malam sehabis berkencan.
Semalam juga ada enam misscalled dari Boni, pasti pria tua itu menunggu di depan kamarnya semalaman namun tidak bisa masuk.
Percuma juga mengadu pada Tina. Tantenya pasti sangat membela pacarnya yang sangat 'baik'.
Padahal baik apanya kalau sudah kawin cerai sampai empat kali??
Malah patut dipertanyakan kesetiaannya.
Namun tak ada gunanya berdebat dengan tantenya yang seperti terkena pelet super dari pria tua itu. Jadi Geet hanya bisa diam menahan mangkel setiap Boni kegatelan padanya.
Ia mengenakan seragam kerjanya dan mengikat rambutnya. Memoles bedak dan liptin tipis saja, lalu menyemprot sedikit cologne ke lehernya.
Ia memakai sepatunya, mengenakan jaket dan membawa tas bergegas keluar rumah. Baru jam 06.15, sengaja berangkat pagi agar tidak kena macet.
Ternyata Afran sudah menunggu di depan rumah dengan motor sport nya
"Kok pagi amat udah di sini?" Tanya Geet.
"Di sosial media ada kabar jalan utama ditutup ada pohon tumbang. Jadi kita harus muter jalan agak jauh. Makanya harus berangkat lebih pagi." Afran menyerahkan helm.
Geet langsung mengenakan helm dan naik di boncengan.
Tak lama motor melaju dengan kecepatan sedang.
Geet agak canggung hanya memegang jaket Afran.
"Peluk juga nggak pa-pa, Geet. Biar lebih aman."
Geet berdecak malas. Tidak mau menuruti perintah Afran.
"Lo udah sarapan belom?" Tanya Afran.
"Belom."
"Gue juga belom. Kita sarapan bubur ayam dulu."
"Nggak usah."
"Nggak ada nolak pokoknya."
Geet mendengus. Dia sebenarnya mencoba menjaga jarak dari Afran karena tak mau cari masalah dengan geng centil di kampus yang dicuekin Afran.
Tapi laki-laki ini kerap perhatian padanya.
Afran memarkir motor di taman.
"Yuk?"
Geet menurut akhirnya turun dari motor.
"Pak, dua mangkok ya." Afran menarik Geet yang diam saja untuk duduk.
"Gue nggak biasa sarapan, Fran." Geet menyimpan tas di meja.
"Biasain lah. Lo kerja dari pagi sampai sore, asam lambung lo naik yang ada kalo jarang makan. Sayang lah sama badan sendiri."
Geet tak menjawab, sibuk melihat berita di HP nya. Ia membaca berita-berita tentang ayahnya, terasa sesak di dadanya. Terutama membaca berita istri ayahnya yang bernama Pamela sudah lama menceraikannya, ketika ditangkap. Dan kini Pamela begitu makmur setelah menikahi pemilik hotel bintang lima, tak peduli dengan mantan suaminya di penjara.
Afran melirik artikel yang dibaca Geet.
"Lo ngapain sih sering banget lihat berita tentang koruptor? Kenal lo emang sama dia?"
Geet berdecak dan menyimpan kembali HP di sakunya. "Bukan urusan lo."
"Cerita aja kali sama gue."
"Nggak ada yang perlu diceritain."
Afran tak bertanya lagi begitu bubur ayam pesanan mereka datang.
Mereka makan dalam diam.
Sesekali Afran melirik Geet yang wajahnya selalu ditekuk. Tak pernah sekalipun selama tiga tahun ia kenal gadis itu, tersenyum bahkan hanya sedikit. Mereka berkenalan ketika Afran pertama pindah ke rumah pamannya setelah ayahnya Afran meninggal dunia.
Walau begitu Afran kerap perhatian pada Geet. Padahal respon gadis itu selalu dingin dan ketus padanya.
Geet tak pernah berbicara tentang hal pribadi. Bahkan Geet terkesan menjaga jarak. Namun Afran kerap mendekat.
Selesai makan, Afran membayar makanan, dan naik motornya.
"Gue jalan kaki aja deh. Udah deket ini." Kata Geet.
"Nanggung. Barengan sama gue."
"Tapi..."
Afran sudah memakaikan helm pada Geet. "Buruan."
Geet mendengus kesal dan akhirnya naik motornya.
***
"Heh cewek babu!"
Geet yang sedang sibuk menyapu, terhenti karena tahu ia yang dipanggil. Namun ia malas menoleh. Pagi-pagi begini udah ada yang cari masalah aja.
Empat gadis dengan dandanan nyentrik mendekatinya.
"Gue udah peringatin berapa kali lo jauh-jauh dari Afran! Masih juga kecentilan sampai dibonceng motor segala sama Afran! Pasti lo berlagak susah supaya Afran kasian dan nawarin boncengin lo. Dasar genit!"
Geet mendengus sebal lalu melanjutkan menyapu.
Bugggghhhh...
Salah satu dari gadis itu menendang tong sampah hingga sampah berhamburan.
Geet diam saja dan menunduk hendak memunguti sampah.
Jlebbb...
"Akkkhh..." Geet menjerit tangannya diinjak high heels.
"Kenapa? Sakit?"
"Lepasin.."
"Ini pantes buat cewek sok cantik kayak lo, biar tau posisi lo.."
"Eh Geeta, belain sodara kembar lo nih.."
Seorang gadis bernama Geeta yang ber make up tebal dan berambut pendek modis mendengus melihat Geet yang terduduk di tanah kesakitan.
"Heh! Gue udah peringatin lo buat ganti nama! Najis gue nama samaan dengan lo!" Bentak Geeta menjambak rambut Geet begitu kasar.
"Iya lo tuh nggak pantes punya nama bagus! Kenapa nggak ganti jadi Ijem sekalian? Cocok buat babu genit kayak lo!" Timpal Lesta yang mungil dan bersuara cempreng.
Geet diam saja meski dalam hati begitu marah dihina sedemikian rupa.
"Lo harusnya nyadar 'cuma' cleaning service! Alias BABU! Kecentilan lo deket-deket sama Afran! Lo nggak tau dia gebetan Bella!" Bentak Geeta.
Bella yang paling kesal pada Geet karena Afran kerap mengacuhkannya dan lebih perhatian pada Geet. Bella putri dari pemilik hotel ternama dan ibunya pemilik toko berlian, jelas merasa terhina sudah kalah dengan Geet yang hanya seorang cleaning service.
Geet tidak berminat menanggapi karena tahu posisinya di sini.
"Lo nggak punya mulut? Diem melulu! Jawab!"
"Dia gagu kali!"
"Haha... Model begini sih cuma ngerusak pemandangan kampus kita, Girls.. Babu genit tukang godain cowok!"
"Apa-apaan sih lo semua??!" Bentak Afran yang baru tiba.
"Eh Fran, ini Geet jatuh, jadi gue mau bantuin tapi...." Bella berusaha membela diri namun Afran sudah meraih tangan Geet.
"Lo nggak pa-pa kan Geet?"
Geet meringis kesakitan.
Melihat memar di tangan Geet membuat Afran geram.
"Nggak ada kapoknya lo semua gangguin dia?"
"Ganggu apa sih? Dia aja yang kerja nggak bener."
"Kenapa lagi sih? Kalian sirik sama dia?"
Semua langsung merasa direndahkan dengan perkataan Afran.
"Sirik? Sakit lo ya? Ngapain sirik sama cewek cleaning service begini?"
"Kalau gitu, ngapain kalian di sini? Nggak punya kerjaan? Udah drop out? Makanya banyak waktu gangguin cleaning service kerja?"
Semua mingkem dengar perkataan pedas Afran.
Afran membantu Geet berdiri.
"Fran, kenapa sih lo belain dia mulu?" Bella jadi kesal.
"Geet temen gue. Dan gue nggak suka lo semua ganggu dia. Ayo Geet.. gue obatin tangan lo." Afran memeluk kedua bahu Geet membuat Geet menghindar.
"Gue nggak pa-pa kok. Masih harus kerja."
"Mana bisa lo kerja. Tangan lo memar gini. Gue obatin dulu."
"Tapi Fran.."
Bukan Afran namanya kalau gampang nyerah. Afran paling tidak terima penolakan.
Begitu Afran membawa Geet duduk di tangga, geng Purple yang diacuhkan, kontan meradang.
"Awas aja tu cewek! Berani dia saingan sama gue!" Desis Bella tak terima.
"Apa rencana lo, Bel?" Tanya Geeta.
Bella menatap Geet penuh dendam. "Gue bunuh dia kalau perlu."
Tiga temannya terkejut melihat tatapan mata Bella pada Geet.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!