Udara malam terasa begitu dingin, membuat tubuh Shelin yang meriang terasa begitu menggigil. Dengan agak gemetaran, gadis belia itu mengulurkan tangannya dan meraih air mineral di atas nakas, lalu meminum obat warung yang kemarin dibelinya.
"Shelin! Ya ampun! Kamu belum siap-siap juga?" Seorang perempuan paruh baya dengan dandanan menor masuk ke dalam kamar Shelin. Kamar yang lebih pantas disebut bilik karena benar-benar hanya cukup untuk tidur saja.
Shelin tergagap, sehingga air mineral di tangannya hampir saja terjatuh.
"Maaf, Mami. Saya demam," sahut Shelin.
Lusi, Perempuan yang dipanggil Shelin dengan sebutan mami itu mendengkus sebal. Dia mendekat dan meraba kening Shelin sekilas.
"Tidak terlalu panas," gumamnya.
Suhu badan Shelin memang sudah tidak terlalu tinggi lagi karena sudah dua kali dia menenggak obat penurun panas. Akan tetapi, saat ini tubuhnya benar-benar sangat lemas dan juga agak gemetaran. Tak sanggup rasanya jika dia mesti melayani lelaki hidung belang seperti biasanya.
Shelin, umurnya masih sangat muda. Tahun ini dia baru saja lulus SMA, tapi kisah hidup yang dijalaninya sudah teramat sangat pahit. Pergi merantau ke kota demi untuk membantu ibunya yang terjerat hutang pada rentenir di kampung, ia malah menjadi korban perdagangan manusia. Gadis itu ditipu oleh teman sekampungnya sendiri dan dijual pada seorang mucikari, padahal dia dijanjikan bekerja di sebuah toko roti.
Beberapa kali hendak kabur, tapi terus saja tertangkap, pada akhirnya Shelin tak bisa mengelak. Dia mesti merelakan kegadisannya terenggut dengan cara yang menyakitkan. Belum lagi, ibunya di kampung juga terus menghubungi dan mengatakan butuh uang secepatnya. Hal itu membuat Shelin akhirnya pasrah menenggelamkan diri dalam kenistaan, meski hatinya tentu saja menjerit dibuatnya.
"Sudah minum obat?" tanya Mami Lusi lagi, membuyarkan isi kepala Shelin.
"Sudah." Shelin mengangguk. "Tadi sore minum, barusan juga minum."
Mami Lusi menghela napas sejenak. Sebenarnya, dia merasa agak prihatin dengan keadaan Shelin, tapi yang membooking Shelin kali ini adalah pelanggan tetapnya. Dia tak mau sampai kehilangan pelanggan jika sampai membatalkan bookingan tersebut. Masalahnya, lelaki itu hanya ingin Shelin, tidak mau diganti dengan gadis penghibur yang lain. Mungkin karena Shelin masih baru, sehingga masih terkesan fresh.
"Sebaiknya kamu bersiap-siap. Pak Wibowo akan segera menjemput kamu," ujar Mami Lusi kemudian memerintah.
"Tapi, Mami ...."
"Kamu sudah minum obat sejak sore tadi, itu artinya kamu akan segera membaik. Jangan sampai Pak Wibowo merasa kecewa." Mami Lusi memotong ucapan Shelin.
Shelin hanya menatap ke arah Mami Lusi dengan sendu. Bahkan di saat seperti ini dia masih dipaksa untuk melayani lelaki hidung belang. Entah sampai kapan dia harus berkubang dengan lumpur hitam menjijikkan ini.
"Kamu cuma punya waktu dua puluh menit, Shelin. Cepat mandi dan ganti bajumu. Kalau tidak kuat pakai air dingin, mandi pakai air hangat," titah Mami Lusi.
Shelin tak mampu mengucapkan kata-kata untuk melawan. Dia pun menguatkan diri dan berusaha bangkit. Tidak ada gunanya membantah, karena itu hanya akan membuatnya sengsara di tempat ini, seperti yang sudah-sudah.
"Dua puluh menit lagi Mami ke sini. Awas kalau kamu masih belum siap," tambah Mami Lusi lagi sebelum meninggalkan kamar Shelin.
Shelin pun akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Dia mandi dengan air hangat seperti yang diperintahkan oleh Mami Lusi. Namun, tetap saja tubuhnya terasa menggigil, seolah sedang berada di tempat bersalju.
Setelah mandi yang sangat menyiksa itu, Shelin pun kembali ke kamarnya dan mengenakan pakaian yang biasa dipakai saat hendak melayani pelanggan. Tentu saja semua pakaian itu bukan miliknya, tapi pemberian dari Mami Lusi.
Setelah selesai berpakaian, giliran wajahnya juga yang Shelin poles, sehingga tak kelihatan pucat seperti sebelumnya. Sungguh sedih hatinya saat ini. Bahkan saat sakit pun dia masih tak boleh berhenti melakukan hal nista.
"Sudah selesai?" Mami Lusi kembali datang setelah dua puluh menit berlalu.
Shelin hanya menjawab dengan mengangguk pasrah.
"Ayo, orang suruhan Pak Wibowo sudah menjemput," ucap Mami Lusi.
Lagi-lagi Shelin hanya mengangguk. Dia pun berjalan mengikuti Mami Lusi dengan tubuh yang terasa sempoyongan.
Orang suruhan Wibowo mengantar Shelin ke sebuah kamar hotel. Namun, alangkah terkejutnya Shelin saat masih ke sana, tak hanya ada lelaki hidung belang yang bernama Wibowo itu, tapi juga tiga lelaki lainnya. Mereka semua melihat Shelin dengan mata kelaparan, seperti hewan buas yang melihat mangsanya.
"Sudah datang rupanya," ujar Wibowo menyambut Shelin. Lelaki itu tak segan langsung menarik Shelin ke pangkuannya.
Shelin tersentak kaget. Badannya yang sejak tahu sudah gemetar semakin bergetar hebat. Meski ini bukan pertama kalinya dia melayani Wibowo, tetap saja rasa ngeri dan jijik itu merayap di dalam hatinya.
"Kenalkan, Sayang. Mereka semua teman-temanku. Aku sangat puas dengan pelayananmu, jadi teman-temanku juga ingin mencoba tubuhmu malam ini," tambah Wibowo lagi.
"A-apa? Mereka semua?" tanya Shelin dengan agak terbata.
Wibowo tertawa melihat raut wajah Shelin.
"Kenapa kamu tegang begitu, hah?" tanya Wibowo. "Jangan takut, Sayang. Teman-temanku ini semuanya lihai bermain. Kita akan bersenang-senang."
Dada Shelin naik turun melihat wajah-wajah tiga orang lelaki di hadapannya yang saat ini sedang tertawa menanggapi ucapan Wibowo.
"Mami Lusi tidak bilang kalau Om tidak sendirian," cicit Shelin dengan nada takut-takut. Sungguh, melayani satu orang seperti Wibowo saja rasanya menjijikkan. Bagaimana mungkin dia harus melayani empat orang sekaligus? Membayangkannya saja Shelin sudah sangat takut dan juga muak.
"Justru lebih baik aku tidak memberitahu dia, Sayang. Semua tip dari teman-temanku bisa untukmu semua. Kalau Lusi tahu, kamu hanya akan dia bagi sedikit," sahut Wibowo sembari mulai mengerayangi tubuh Shelin.
Shelin memejamkan matanya dengan napas tersengal. Sebisa mungkin dia menahan agar air matanya tak jatuh. Bayangan wajah mending ayahnya terlintas, membuat hatinya terasa begitu pilu.
Andai sosok penyayang itu masih ada di dunia ini, dia tak perlu pergi ke kota untuk bekerja, sehingga musibah ini tak perlu menimpa dirinya.
"Maafkan aku, Ayah," bisik Shelin pilu dalam hati. Jelas dalam ingatannya nasihat yang selalu sang ayah berikan semasa hidup.
"Kita boleh miskin, Nak. Tapi kita harus menjalani hidup dengan terhormat. Lebih baik kelaparan daripada kenyang, tapi makan dari uang haram."
"Perempuan itu akan berharga jika punya rasa malu yang tinggi. Jangan pernah mau disentuh oleh lelaki, selain dari lelaki yang sudah menikahimu."
Dada Shelin terasa begitu sesak setiap kali teringat pada kata-kata yang diucapkan mendiang ayahnya. Rasanya dia tak kuat lagi untuk tak meledakkan tangis.
"Bisa kita mulai sekarang, Sayang? Teman-temanku sepertinya sudah tidak tahan lagi." Suara Wibowo menyeret kesadaran Shelin dengan paksa, membuatnya harus menghadapi kenyataan jika dirinya saat ini tak lebih dari seorang perempuan penghibur.
Bersambung ....
Selamat datang di cerita terbaru Mak Othor. Kita tarik kisah Shelin ke belakang sedikit, ya, supaya lebih dapat feel-nya sama Erick nanti.
Shelin melangkah terseok-seok menyusuri jalanan dengan kondisi pakaian yang sedikit compang-camping. Kakinya terasa lemas dan gemetaran, tapi dia paksa untuk terus melangkah tanpa arah. Wibowo dan teman-temannya bersenang-senang dengan tubuh Shelin tak ubahnya melakukan rudapaksa. Mereka semua benar-benar binatang buas yang tak memiliki perasaan, bukan manusia.
Jika saja tidak ada telepon penting dari seseorang untuk Wibowo, mungkin saat ini Shelin masih harus melayani para lelaki tak bermoral itu. Untung saja Wibowo harus cepat-cepat pergi, sehingga teman-temannya yang lain juga harus bubar. Kini tinggalah Shelin seorang diri, setelah sebelumnya para lelaki itu memberikan tip lebih supaya Shelin bisa menaiki taksi, pasalnya sopir yang menjemput Shelin sebelumnya mesti mengantar Wibowo ke suatu tempat.
Shelin tak menaiki taksi. Dia keluar dari hotel dengan penampilan seperti orang gila, pasalnya rambutnya dia biarkan acak-acakan, pakaiannya juga dia biarkan compang-camping setelah dirobek oleh Wibowo dan teman-temannya. Dia berjalan tanpa tahu harus kemana. Tak peduli pada beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya dengan tatapan heran dan juga aneh. Tak ada lagi pula keinginan untuk kabur, karena biasanya, beberapa saat lagi orang suruhan Mami Lusi pasti akan menemukan dirinya.
Suara deringan ponsel Shelin terdengar, membuat gadis itu menghentikan langkahnya sejenak. Dia pun merogoh tas tangan yang dibawanya dan melihat siapa yang menghubungi. Tertera nama ibunya di layar ponsel.
"Halo, Bu." Shelin menjawab panggilan tersebut meskipun sebenarnya dia sangat enggan.
"Shelin, kenapa pesan Ibu dari tadi tidak dibaca? Boro-boro mau dijawab." Suara cempreng yang khas terdengar di seberang sana. Suara dari perempuan bernama Anis, sosok yang telah melahirkan Shelin.
"Shelin lagi kerja, Bu, jadi tidak sempat memeriksa hp," sahut Shelin.
Anis mendengkus di seberang sana. "Kenapa kamu belum kirim uangnya?" tanya Anis.
"Sudah, Bu. Shelin sudah kirim uangnya. Masa belum masuk?" Shelin balik bertanya.
"Maksud kamu yang dua juta itu?"
"Iya," sahut Shelin pelan.
"Kan Ibu sudah bilang, Shel. Dua juta itu cuma buat bayar bunga pinjaman Ibu. Kalau cuma itu, gimana Ibu sama saudara-saudaramu bisa makan?" Nada suara Anis terdengar jengkel.
Shelin memejamkan mata sembari membuang napas kasar. Sebanyak apapun dia mengirim uang pada ibunya itu, tetap saja tak ada ucapan terima kasih untuknya. Yang ada, Anis akan terus mengomel jika uang yang dikirim tidak cukup. Padahal, Shelin mesti menenggelamkan diri ke dalam lembah dosa demi untuk mendapatkan uang itu.
"Bu, anak Ibu yang sudah besar itu bukan cuma Shelin saja. Ada Kak Bima dan Kak Raya juga kan di sana? Kenapa Ibu tidak minta juga sama mereka? Shelin cuma bisa kirim segitu, Bu. Shelin tidak punya uang lagi," sahut Shelin kemudian sambil menahan tangis.
"Halah, bohong. Santi bilang, kamu itu di sana kerjanya enak, nyantai, terus sering dapat bonus berjuta-juta. Kamu sekarang mau perhitungan sama Ibu, ya?" Anis tak percaya.
"Santai? Enak?" ulang Shelin sambil tertawa miris. Dia benar-benar takjub dengan ucapan yang dikatakan oleh Anis barusan, terlebih ibunya itu mendengar dari Santi, sosok yang membawanya ke kota dan menjerumuskannya menjadi seperti sekarang.
"Kalau orang tua ngomong itu jangan dianggap bercanda ya, Shelin!" sergah Anis.
"Siapa yang sedang becanda, Bu? Shelin cuma merasa lucu saja karena Ibu sering terdengar lebih percaya pada Santi daripada dengan anak Ibu sendiri." Shelin menjawab dengan pahit.
Miris sekali rasanya Shelin saat ini, perempuan yang melahirkannya ke dunia ini justru tak peka sama sekali dengan penderitaan yang dia rasakan. Tidak pernah sekalipun Anis menanyakan bagaimana kabar Shelin atau mengkhawatirkan keadaannya. Yang ditanyakan perempuan itu setiap menghubungi Shelin hanyalah tentang kiriman uang. Sudahkah Shelin mengirim uang dan seberapa banyak yang dikirim. Hanya tentang itu saja.
"Kalau kamu memang sayang sama orang tua dan saudara-saudaramu, jangan makan enak sendiri, Shelin! Di sini kami kelaparan!" seru Anis lagi.
"Makan enak sendiri? Kapan memangnya aku pernah makan enak sendiri? Setiap yang yang aku dapatkan, langsung aku kirim ke kampung. Aku sendiri sering tidak punya cukup uang hanya untuk sekedar membeli semangkuk bakso hangat. Apanya yang makan enak sendiri? Apa Ibu tahu, hari ini aku bahkan belum makan sejak tadi siang?" Shelin meradang. Dia tak terima dengan tuduhan tak berdasar yang Anis lontarkan padanya. Ucapannya pun berubah jadi tidak sopan.
Tangis Shelin pecah. Gadis itu akhirnya tak sanggup lagi menahan gemuruh di dalam dadanya. Dia berusaha untuk terdengar baik-baik saja selama ini setiap kali Anis menelepon, hal itu karena dia tak ingin menyusahkan dan menambah beban pikiran. Tak disangka dia malah jadi dituduh yang tidak-tidak.
"Bilang pada Kak Bima dan Kak Raya, kerja! Jangan hanya menunggu uang kiriman dariku. Kalau perlu, kais tanah seperti ayam! Siapa tahu bisa dapat makan di sana!"
Shelin melempar ponselnya begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Anis. Tubuhnya luruh ke aspal dengan tangis yang semakin menjadi. Tak dia pedulikan beberapa orang yang lewat melihat ke arahnya sambil saling berbisik. Gadis itu putus asa. Rasanya tak ada lagi alasan baginya untuk terus melanjutkan hidup.
"Ayah ...." Shelin bergumam dengan suara bergetar. Dia sungguh merindukan sosok bersahaja itu. Sosok yang paling mengerti dirinya dan memahami keinginannya, tanpa harus dia berkata-kata.
"Kenapa Ayah tidak ajak Shelin saja, Yah? Kenapa Ayah pergi sendirian," ujar Shelin di sela isakannya.
Dulu kala, saat dirinya kecil, cita-cita Shelin sangatlah sederhana. Dia ingin menjadi seorang guru, karena itu adalah cita-cita sang ayah yang tak kesampaian. Ayah Shelin bilang, guru adalah pekerjaan yang mulia dan terhormat, meski tak bisa membuat kaya. Membuat generasi yang tak tahu apa-apa menjadi berilmu. Sayangnya, ayah Shelin hanya tamatan sekolah dasar dan tak bisa meraih cita-cita mulia itu. Lalu sekarang, Shelin juga tak bisa mewujudkan impian sang ayah.
Shelin menangis pilu sambil menelungkupkan wajahnya. Yang paling membuatnya sedih bukankah kegagalannya mencapai impian sang ayah, melainkan kegagalannya untuk hidup dengan terhormat. Saat ini, dia justru menggadaikan diri pada kenistaan hanya demi uang. Sungguh miris.
Setelah beberapa saat, Shelin pun bangkit dan menyeka air matanya dengan kasar. Dia kembali melangkah tanpa arah, sampai kemudian berhenti di sebuah jembatan layang. Shelin memegang pagar pembatas dan melihat ke arah bawah, lalu menengadahkan kepalanya.
"Ayah, maukah Ayah menyambut tanganku sekarang?"
Bersambung ....
Shelin termangu selama beberapa saat. Ditatapnya langit malam yang cerah dan dihiasi dengan bintang-bintang. Suasana tampak indah, berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini.
Sebuah tekad pun muncul dengan sangat kuat di benak Shelin. Tekad untuk mengakhiri semua kenistaan ini dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tak peduli jika dia akan berakhir di lembah neraka, semua harus berakhir sekarang. Sudah tak ada jalan untuk kembali menjadi Shelin yang bertubuh suci, jadi untuk apa tetap hidup.
Shelin pun kembali melihat ke arah bawah, lalu memejamkan matanya. Perlahan gadis itu mulai menjinjitkan kakinya untuk membuat tubuhnya terjungkal ke bawah. Tapi saat dia merasa akan segera terjatuh, sepasang tangan kuat nan kokoh menangkap bahunya dan menyentak ke belakang, membuat dirinya gagal terjun ke bawah.
"Apa yang kamu lakukan? Mau bunuh diri, ya?!" Suara seorang lelaki terdengar menyentak di telinga Shelin.
Shelin yang hampir terhuyung ke belakang berusaha untuk tetap berdiri. Dia mengangkat wajahnya dan mendapati sesosok lelaki dewasa sedang memegang kedua bahunya dan menatapnya dengan ekspresi panik sekaligus marah.
"Si-siapa Anda?" Shelin balik bertanya sambil mundur selangkah.
Lelaki itu tak menjawab pertanyaan Shelin. Dia tampak memindai tubuh Shelin dari atas sampai bawah dan membeliak tak percaya. Jika dilihat sekilas, saat ini Shelin sungguh persis seperti orang yang baru saja dirudapaksa.
"Kamu ... apa kamu baru saja mengalami pelecehan?" tanya lelaki itu pada Shelin.
Pelecehan? Shelin tercenung dengan ekspresi yang begitu menyedihkan. Tentu yang dia alami lebih dari sekedar pelecehan. Entah kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan perbuatan Wibowo dan teman-temannya tadi terhadap Shelin, gadis muda yang bahkan kondisi kesehatannya sedang sangat buruk, tapi tetap dilibas juga.
"Apa peduli Anda?" Shelin menepis tangan lelaki itu dan kembali hendak melompat ke bawah.
"Hei, hei, jangan! Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah!" Lelaki yang menggagalkan aksi Shelin tadi kembali menahan tubuh Shelin.
"Lepas!" Shelin menarik tangannya yang dicekal, tapi lelaki itu justru malah semakin menguatkan cekalan tersebut.
"Biarkan aku melompat ke bawah! Jangan halangi aku. Aku hidup juga tidak ada gunanya lagi. Lepaskan tanganku!" teriak Shelin histeris.
"Jangan berteriak seperti itu, Nona! Nanti orang mengira aku yang mau melecehkanmu." Lelaki itu menyahut.
Shelin kembali berusaha melepaskan diri, tapi tenaga lelaki itu terlalu kuat untuk dia lawan. Belum lagi, saat ini badannya juga sudah sangat lemas.
"Le ... pas ...!" Shelin masih berusaha memberontak dengan sisa tenaga yang masih ada. Tapi kemudian kepalanya pusing bukan main dan pandangannya jadi berkunang-kunang. Dia pun limbung.
"Hei, hei, Nona?" Lelaki yang menggagalkan aksi terjun bebas Shelin tampak terkejut. Tanpa sadar dia memeluk tubuh Shelin agar gadis itu tak terjerembab.
Erick, itulah nama lelaki yang kini tengah kebingungan sembari menepuk-nepuk pipi Shelin saat ini. Dia pemilik sebuah restoran yang terletak tak jauh dari jembatan layang tempat Shelin hendak mengakhiri hidup. Sungguh tak disangka, keisengannya berjalan santai sambil mencari udara segar malah membawanya melihat aksi nekat seorang gadis muda. Untung saja, dia tak terlambat menghentikan hal itu.
"Astaga, badannya dingin sekali," gumam Erick saat merasakan suhu tubuh Shelin. Segera didudukannys tubuh Shelin sembari disandarkan di pagar pembatas jembatan layang. Setelah itu, Erick pun melepaskan matel yang sedang dia kenakan, lalu dipakaikannya mantel tersebut pada Shelin.
Erick akhirnya menghentikan sebuah taksi dan membawa Shelin ke rumah sakit terdekat. Di sana Shelin mendapatkan pertolongan medis.
"Saya tidak kenal dengan gadis ini, Dok. Saya bertemu dengannya di jalan dan melihat dia sudah dalam kondisi yang buruk. Setelah itu, dia pingsan," ujar Erick menjelaskan. Tatapan dokter jaga dan perawat pada Erick saat memeriksa Shelin sangatlah tajam, seolah Erick adalah orang yang bertanggung jawab pada kondisi Shelin saat ini.
"Jadi Anda tidak mengenal gadis ini?" tanya Dokter itu.
Erick menggeleng.
"Keluarganya juga tidak kenal?" tanya dokter itu lagi.
"Tentu saja tidak. Sudah saya bilang, saya bertemu dengan dia di jalan tadi," sahut Erick lagi.
Dokter itu menghela.
"Kenapa, Dok?" tanya Erick.
"Anda mesti melapor ke pihak yang berwajib, Pak. Gadis ini sepertinya korban rudapaksa," ujar dokter itu lagi
Erick tertegun. Saat pertama kali melihat Shelin juga dia sudah menduga kalau gadis itu korban pelecehan.
"Untuk saat ini, kami akan menunggu pasien siuman dulu. Baru setelah itu, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Dokter itu kembali menambahkan.
Erick mengangguk paham. Sekilas diliriknya Shelin yang tengah terbaring di atas brankar rumah sakit. Dia merasa prihatin karena gadis itu terlihat masih sangat muda.
"Saya permisi sebentar." Erick akhirnya menyingkir sejenak dari ruang gawat darurat, lalu menghubungi seseorang. Kebetulan dia mengenal beberapa anggota polisi, jadi mungkin lebih baik berkonsultasi terlebih dahulu dengan salah satu dari mereka, sebelum membuat laporan di kantor polisi.
Tak lama kemudian, anggota polisi yang dihubungi Erick datang. Tentu saja dengan mengenakan pakaian biasa karena dia sedang tidak berdinas. Erick langsung menceritakan kronologi dia membawa Shelin ke rumah sakit.
"Kita mesti tunggu gadis itu siuman dulu, lalu minta keterangan darinya. Kasus rudapaksa itu agak sulit diperkarakan kalau tidak ada saksi dan bukti yang kuat," ujar polisi itu.
Erick mengangguk paham.
"Tapi kalau dilihat dari pakaian yang dia kenakan, sepertinya gadis ini memang gadis penghibur. Iya, kan?" Polisi itu kembali menambahkan.
"Perempuan yang memakai pakaian terbuka belum tentu perempuan penghibur. Tapi meskipun dia memang perempuan penghibur, bukankah dia berhak menuntut kalau dilecehkan?" Erick bertanya.
"Tentu saja. Tapi akan semakin sulit untuk dibuktikan kalau itu pelecehan."
"Benar juga." Erick menghela. Entah kenapa dia jadi merasa kasihan pada gadis yang ditolongnya itu. Dia jadi teringat pada raut wajah putus asa yang Shelin tunjukan saat meronta melepaskan diri cekalan tangannya. Shelin bersikeras hendak terjun seakan mengakhiri hidup adalah jalan terbaik yang bisa ditempuh.
Sebenarnya, hal mengerikan apa yang telah dialami oleh gadis itu? Erick bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Sebenarnya aku seringkali miris dengan kasus rudapaksa. Seringkali pelaku lolos dari jerat hukum karena kurangnya bukti. Pasalnya, meskipun telah terbukti adanya persetubuhan, tapi pelaku akan beralibi jika mereka melakukannya atas dasar suka sama suka," ujar polisi itu bergumam.
Erick tertegun. Kalimat yang didengarnya barusan mengingatkannya pada masa lalu yang pahit. Meski bukan pelaku rudapaksa, tapi dia pernah membuat hidup seorang gadis nyaris hancur karena melakukan hubungan terlarang di luar nikah. Tanpa sadar Erick menghela napas berat.
"Kita masih harus menunggu gadis itu siuman dulu, Erick. Sekarang lebih baik kita pulang." Polisi itu menepuk pundak Erick.
"Pulang?" ulang Erick.
"Iya, pulang. Kenapa? Kamu mau menginap di sini menunggui gadis itu?" Polisi itu balik bertanya.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!