"Ki! Ikki!"
Namaku dipanggil berulang kali oleh suara wanita yang terdengar tidak asing bagiku. Suaranya begitu lembut, membuat telinga ini menjadi merasa nyaman ketika ia membangunkan tidurku. Mata ini kubuka pelan dan kurasakan pipi kanan sedikit basah, tetapi diriku sadar saja kalau ini adalah air liur sendiri yang menempel pada meja.
"Oh, siapa?" tanyaku, sembari bangkit lalu menatap ke depan.
Saat itu penglihatanku masih terganggu, karena mata ini cukup lama untuk beradaptasi. Terlebih, hal pertama yang kulihat hanyalah gambaran buram seseorang yang perlahan menjadi jelas. Hingga tampaklah wujud seorang wanita yang berdiri di hadapanku.
"Ah, Lia ya?” kataku mengusap kedua mata. “Maaf aku ketiduran tadi."
“Ikki, kamu tidak apa?” tanya Lia, “Kamu terlihat tidak semangat."
Namanya adalah Lia, wanita berkacamata dengan paras cantik dan rambut terurai bergelombang. Dia wanita yang dikenal sangat ramah, dan sangat perhatian, bahkan banyak pria salah tanggap dengan sikapnya yang begitu mempesona.
"Mau aku antar ke UKK?" lanjut Lia bertanya dengan sedikit senyuman.
Coba bayangkan, tiba-tiba wanita cantik seperti dia bertanya seperti itu padamu. Tentu kita sebagai pria menjadi salah tingkah. Dan tatapan mata coklat hitam dengan penuh kasih sayangnya, itu sangat mengagumkan. Hanya saja, aku tidak sebodoh mereka yang terbuai oleh pesonanya. Aku tidak akan tertipu oleh ilusi ini! Tentu saja aku ....
"Aku tidak mau," jawabku pelan.
"Hem ….” Lia bersenandung agak kecewa. “Padahal maksudku baik, loh," katanya.
Aku sontak menunjukkan ekspresi sinis. "Ah! Siapa juga laki-laki yang mau diantar perempuan ke UKK?" sahutku seraya kupalingkan wajah dari tatapan lembut Lia.
"Tentu saja aku mau," kata Pria di sampingku mencela. Dia Pria perkasa dengan tubuh paling berotot di antara pria lainnya, dia bernama, Jared.
"Hah?! Lucu sekali, Red!" balasku menyindir Jared, sembari kusapu air liur di pipi dengan telapak tangan, lalu kutepuk-tepukan ke bahu Jared. "Kuharap kau jangan lupa dengan pacarmu di lokal sebelah," tambahku.
"Santai saja. Siska tidak pemarah kok," ujar Jared dengan nada meremehkan, “Dan singkirkan tangan kotormu itu!”
Namun, baru saja dia berkata seperti itu. Aku melihat Siska lewat di lorong depan lokal kami yang langsung menatap tajam ke arah Jared. Aku pun segera memperingatkan Jared. "Red-Red! Siska, Red!" kataku sembari kudorong tubuh Jared, dan mengarahkan pandangannya ke arah jendela depan.
Ekspresi Jared seketika tegang, membuat aku dan Lia terkekeh ketika melihatnya. Aku pun datang menggapai pundak Jared. "Nah! Sudah kubilangkan!" kataku.
Mendengar itu Jared sontak menghembuskan nafas dalamnya.
Bagiku Jared adalah teman yang sangat baik, walaupun memiliki wajah yang cukup garang. Bahkan mungkin wajahnya tidak menggambarkan seorang pemuda yang seumuran denganku. Lihatlah wajahnya .... seperti wajah bapak-bapak, tetapi dia sangat beruntung memiliki Siska yang terus bersamanya. Lah, aku? Kapan terakhir kali aku punya pacar? Mungkin dua puluh tahun lalu. Tidak! Tidak! Itu bahkan tidak bisa disebut pacaran.
Ding! Dong!
Obrolan kami terhenti, ketika muncul suara melengking dari pengeras suara di depan lokal. "Mohon perhatiannya kepada Mahasiswa dan Mahasiswi semester akhir untuk segera berkumpul di Ruang Aula. Kita akan memulai acara Yudisium."
"Ah, aku lupa!" kata Lia berseru, tanpa pamit ia langsung berlari keluar dari lokal meninggalkan aku dan Jared.
“Kurasa dia lupa tentang pekerjaannya,” kataku.
"Dia pasti dimarahi," tambah Jared seraya tertawa kecil.
Aku hanya bisa menggaruk kepala, dan merasa bersalah ketika tidak mengingatkan Lia tentang pekerjaannya sebagai Ketua BEM.
“Kuharap dia baik-baik saja,” pikirku.
Kemudian aku dan Jared segera beranjak dari kursi duduk menuju ke ruang aula. Di tengah perjalanan kami, Jared bertanya padaku, "Heri mana?"
Entah kenapa, Jared tiba-tiba saja menanyakan tentang kabar Heri. Aku pun mereponnya dengan santai. "Kata polisi, Heri mungkin saja pergi dari kota bersama dengan wanita yang dia temui," jawabku.
"Apa kau tak apa tentang itu?” tanya Jared lagi, “Dia kan sahabatmu?"
Menurutku pertanyaan Jared semakin dalam. Aku hampir tak bisa menjawab pertanyaan itu. Jelas perasaanku bermasalah dengan menghilangnya Heri dalam seminggu. Heri adalah sahabatku sejak di SMP sampai kuliah sekarang. Keluargaku dan keluarga Heri bahkan menjadi akrab karena pertemanan kami. Cukup aneh juga, tetapi itulah yang terjadi.
"Yah, kalau dia mau pergi dengan wanita yang dia suka, apa boleh buat," jawabku tenang.
Mendengarku Jared hanya mengangguk, lalu ia berkata, "Kawan, kalau kau butuh sesuatu bilang saja padaku.”
Kurasa Jared mencoba menghiburku. Dia benar-benar teman yang sangat peka, kadang membuatku merasa tidak enakan. Terasa seperti berbicara dengan seorang Ayah.
"Ya, tenang saja, Red. Sekarang aku lebih khawatir dengan nilaiku," sahutku menatap Jared, sembari mengangkat jempol kananku padanya.
Jared tersenyum, lalu membalas mengarahkan jempolnya ke arahku. "Kalau itu aku tidak bisa membantu,” katanya tersenyum, “Aku lulus saja sudah sangat bersyukur."
Aku berbincang-bincang dengan Jared sampai kami berada di dalam Aula Kampus. Setelah itu kami segera ikut berbaris mengikuti arahan Ketua Lokal yang melambai untuk mengatur barisan. Kami sempat tertawa cekikikan ketika melihat Lia yang sedang dimarahi oleh Dosen penanggung jawab BEM.
“Tampaknya Lia tidak baik-baik saja,” bisikku kepada Jared
“Ya, tapi tak apa. Dia wanita yang kuat,” balas Jared.
Lalu kami memutuskan berbaris di belakang. Dan tak lama untuk menunggu, nama kami pun dipanggil satu per satu sesuai inisial.
"Catra Jared!" Jared dipanggil lebih dulu dariku, dan tampaknya nilai Jared sesuai dengan yang ia harapkan. Bisa kutebak dari reaksinya yang memberikan jempol kepadaku.
"Ikki Adhisti!" Akhirnya namaku dipanggil oleh Ibu Kepala. Aku pun beranjak dari barisan dan berjalan pergi ke arah sana. Di tengah jalanku, perasaan gugup pun muncul ketika semua mata menatapku. Aku terus saja berjalan menuju podium, dan sesekali menoleh ke arah kerumunan hanya untuk melihat sosok Jared yang memberikan jempolnya kepadaku.
Aku menghela nafas panjang dan berlagak tenang, tetapi otakku berkata tidak. ‘Ambil Ki! Terus pergi! Itu saja! Kenapa gugup?! Ayo cepat Brengsek!’ Saat ini pikiranku benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
Namun, ternyata semuanya berjalan normal saja. Aku ambil kertas nilaiku dan langsung pergi dari sana. Setelah kuperiksa, IPK milikku juga tidak buruk, masuk dua puluh besar di antara tiga ratus mahasiswa Universitas Kaditula. Dengan nilai ini aku sudah bisa mendapat bantuan beasiswa untuk lanjut ke S2.
Setelah pembagian nilai berakhir, aku segera pergi ke halaman depan Kampus untuk bersiap pulang. Akan tetapi, di sana aku tiba-tiba saja dihampiri oleh Lia.
"Ikki!" serunya mendekat dari kejauhan.
Aku pun segera menyambut Lia dengan berkata, "Eh, Lia. Ada apa?”
“Tidak apa,” jawab Lia, lalu ia balas bertanya, “Masuk 20 besar?"
"Iya," sahutkuku sedikit menyeringai.
“Sudah kuduga!”
“Ah! Itu bukanlah apa-apa, aku masih jauh darimu.”
Lia tampak malu ketika aku mengatakan itu. Bisa kulihat dari tangan kanannya yang menyapu rambut ke belakang telinga. Hanya saja aku tahu, kalau Lia pasti mendapatkan nilai terbaik, karena Lia termasuk mahasiswi paling pintar di Universitas. Seingatku juga, dia tidak pernah berada di peringkat di bawah tiga. Bahkan kondisi mental Lia yang paling baik di antara pesaing peringkat lainnya. Lia tidak pernah serius untuk mengejar peringkat, tetapi ia selalu berada di atas.
"Tidak,“ kata Lia tertawa kecil, “Jauh sedikit saja.”
Melihat Lia merendah seperti itu aku hanya tersenyum. “Benarkah?” tanyaku.
“Ya, begitulah,” sahut Lia, lalu ia lanjut berkata, “Sebenarnya aku hanya ingin memberitahu kamu, kalau nanti hari Wisuda akan dilaksanakan empat hari ke depan. Jangan lupa ya!"
Aku menggubris peringatan Lia itu dengan santai. "Tenang saja," jawabku tersenyum.
Kenapa aku begitu ramah kepada Wanita ini? Jangan bilang aku menyukainya. Namun, masalah suka itu hal yang wajar saja, karena Lia adalah Wanita populer di kampus. Baiklah! Baiklah! Aku tidak akan mengelak, jadi kuakui diriku memang terpesona kepada wanita ini, hanya saja sisi lainnya menasehati untuk segera sadar, membuat kesadaran ini secara otomatis memaksaku untuk mundur.
Secara tiba-tiba bunyi klakson mobil mengejutkanku dari arah belakang. Aku menoleh ke arah suara klakson itu, dan melihat mobil sport ayah Lia di jalan. Itulah alasan kenapa aku harus sadar.
"Jemputanku sudah datang. Aku duluan ya Ki! Bye!" ucap Lia, seraya melambaikan tangan.
Bersamaan dengan Lia yang pergi, Jared tiba-tiba datang menepuk bahuku. Membuatku cukup kaget dengan pukulan lemahnya yang terasa sangat padat. Mengingat tubuh atletis yang dia miliki kurasa itu cukup menjelaskan.
"Kenapa tidak menembaknya di hari perpisahan?" tanya Jared kepadaku.
“Kau tidak lihat dia pulang pakai apa?” jawabku.
Namun, fokus kami teralihkan dengan hal yang membuatku sempat menelan ludah. Mataku tak bisa berhenti menatap ke depan, membayangkan buah peach milik Lia yang bergetar dari belakang.
Aku dan Jared saling merangkul dan bersamaan mengarahkan pandangan kami mengikuti buah peach milik Lia yang mulai masuk ke dalam mobil sport milik ayahnya. Hanya saja, pandangan kami tiba-tiba terhalang oleh tubuh Wanita yang sedang berpose memegang pinggang. Dia adalah Siska yang dengan lihai menarik telinga Jared dengan satu tangan.
"Aw! Aw! Sakit!" Jared berseru saat telinga merahnya diseret oleh Siska. Kejadian itu membuatku tertawa cukup lepas. Dan Siska pun melambai padaku seraya pergi dengan telinga Jared yang tak henti ia tarik.
‘Aku punya teman-teman yang hebat.’ pikirku.
Dan tak lama bayang-bayang Heri muncul dalam benak. Sebelumnya aku berniat untuk melacak jejak Heri lebih awal, hanya saja niat itu aku kurung sementara karena aku harus fokus dengan acara akhir sidangku. Dan sekarang kuputuskan untuk melacaknya hari ini.
‘Menurutku ada yang janggal. Heri tidak mungkin menghilang begitu saja. Terlebih ini sudah di akhir jalan, aku tidak yakin Heri mau meninggalkan semua hal yang sudah dia perjuangkan selama empat tahun. Tidak masuk akal, ya kan?! Jadi Heri onani dengan pohon pisang itu lebih masuk akal, ketimbang dia merelakan akhir kuliahnya hanya untuk pergi bersama seorang wanita.’
Namun, sekarang bukan waktu yang tepat marah-marah di dalam pikiran, karena saat ini Siska dan Jared sudah tak terlihat lagi dari pandanganku, dan kampus juga sudah sepi. Ini adalah kesempatanku kembali ke dalam Kampus untuk memeriksa loker Heri. Siapa tahu mendapatkan sedikit petunjuk di sana. Walaupun aku tidak berharap banyak.
Hari sudah sore, aku yakin Kampus tidak ada orang lagi selain Petugas Keamanan, dan para junior juga sedang libur karena hari ini masih masa tenang akhir semester. Harusnya tidak ada orang, harapku. Aku pun segera menyelinap masuk ke dalam Kampus, melewati beberapa tempat hingga sampai di ruang Petugas Administrasi.
‘Biasanya kunci loker mahasiswa disimpan di sini,’ pikirku, sembari kubuka pelan pintu yang sedikit berbunyi.
Aku pun masuk dan membuka semua hal yang bisa dibuka di ruangan itu, tetapi aku tidak bisa menemukan kuncinya.
"Sial!" Keluhku seraya bersandar pada tembok dengan hati yang kesal karena harus pulang tanpa mendapatkan apa-apa.
Sesaat pikiranku merenung dengan pandangan ke depan, dan secara tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ponsel yang berbunyi cukup lantang. Aku sontak mengambil ponsel itu di saku, dan menutup lubang pengeras suaranya dengan harapan tidak terdengar oleh Petugas Keamanan. Hanya saja, aku dibuat sangat terkejut. Setelah memeriksa layar ponsel yang bertuliskan nama orang yang sudah menghilang selama seminggu.
[Panggilan tak terjawab: Heri]
“Heri?!”
Aku seketika membeku setelah mengetahui orang yang kucari ternyata menelponku, tetapi aku tidak memiliki kesempatan untuk mengangkat panggilan itu. Aku pun segera berinisiatif menelponnya balik, tetapi yang menjawab hanyalah bunyi Bip! Bip! Bip! Kemudian telepon itu mati.
Tak lama dering pesan masuk berbunyi, aku mulai memeriksanya dan ternyata ini pesan dari Heri. Aku ingin secepatnya membuka pesan itu, hanya saja tiba-tiba aku merasa berhati-hati. Aku terdiam sesaat berpikir, ‘Apa ini benar-benar Heri? Tidak seperti biasanya. Tapi …., ya sudahlah. Aku harus memeriksa isi pesannya.’
Dengan penuh kekhawatiran, aku menekan tombol layar ponselku untuk mengetahui isi pesan yang dikirim oleh Heri. Layar itupun mengubah bentuknya dan memunculkan teks-teks yang bertuliskan, [Teman anda membutuhkan bantuan dalam permainan. Apakah anda ingin membantu? Jika iya, klik link di bawah. htt*s:**stayalive*c*m*kaditula*botlinks*]
"A-apa ini?" gumamku ketika melihat isi pesan dengan teks link aneh seperti penipu online biasanya, tetapi pesan ini berasal dari kontak sahabatku, Heri, ia mengirim pesan permintaan tolong.
Aku tanpa pikir panjang menekan link aneh itu, dan layar ponselku pun berpindah ke sebuah website baru dengan tulisan [Buat Akun Baru], dan di bawahnya terdapat kolom kosong dengan tulisan [Nama]. Aku segera mengetik tombol ponsel untuk mengisi kolom itu dengan namaku sendiri, setelah itu kutekan [OK]. Layar berpindah lagi, dan sekarang diawali sebuah loading berlogo kelinci memegang pistol yang bertuliskan, [Bunny Bang!]
Aku bersabar menunggu kelinci itu memakan wortel dengan seksama, tetapi karena rasa penasaranku terlalu luar biasa, aku mendekatkan wajahku ke layar ponsel hingga pandangan ini sedikit silau. Namun, tiba-tiba! Kelinci itu keluar dari layar dan menggigit bahu kananku. Aku sontak kaget dan tak sengaja melempar ponsel ke arah dinding, tetapi tidak melihat Kelinci pada layar ponsel yang sudah pecah di lantai.
‘Apa itu tadi?! Ilusi?!’
Aku mulai merasa pusing dan tidak enak badan. Kupegang bahu yang mulai terasa panas dan sakit. Tubuhku pun perlahan lemas dan jatuh ke arah lantai, bersamaan dengan kesadaranku yang perlahan mulai memudar.
"A-aku! Ah ...."
‘A-apa yang terjadi?’ Itulah kata pertama yang terbesit di pikiranku ketika aku terbangun dari pingsan. Kebingungan untuk mengingat hal yang barusan terjadi, kupegang keningku dan kucoba mengingatnya kembali.
“Kelinci barusan nyata?!” tanyaku kepada diri sendiri.
Setelah itu aku termenung sejenak, dan menyadari jika hari tidak lagi senja.
‘Sial! Sudah jam berapa ini?’ pikirku, seraya berlari ingin pulang.
Namun, lariku tiba-tiba tertahan oleh sebuah benda tebal dan dingin yang melingkar di tangan kanan.
"Rantai?" gumamku dengan mulut sedikit terbuka.
Rantai itu berwarna hitam legam melilit erat hampir menyatu pada lengan. Kutatap panjang rantai yang kira-kira dua meter untuk memeriksa ujungnya, dan mencari tahu tentang apa yang sedari tadi menahan lariku. Dan diriku benar-benar dibuat sangat terkejut ketika melihat ujung rantai yang terhubung pada sesuatu. Sesuatu yang tampak hidup.
“A-apa yang ….?” Mulut ini begitu berat untuk menyelesaikan kalimat tanyaku, saat melihat kerah itu melilit erat pada leher Gadis Kecil berambut perak yang sedang duduk jongkok layaknya makhluk berkaki empat. Dia tak henti menggoyangkan ekor tebalnya, sembari memukul lembut badan rantai yang menghasilkan bunyi.
"Hei, ka-kau!" kataku terbata, karena rahangku terasa sangat kaku. Mungkin efek dari pingsan, atau efek melihat seorang gadis yang memiliki ekor tebal sekaligus bertelinga panjang.
Mulutku seketika bungkam, tetapi pikiran ini begitu heboh. ‘Apa yang sudah terjadi?! Siapa yang melakukan ini padaku?! Ini prank kan?! Apa di sini ada kamera?! Tidak! Tidak! Mana mungkin ada prank sampai-sampai aku harus dibius dan dirantai! Ini berbahaya!’
Aku hanya bisa mengeluh dalam kondisi ini, sedangkan Gadis itu tampak hanya menatap kosong padaku dengan mata kuning yang menyala.
Kemudian kutatap perawakan Gadis itu, dan tak sengaja melihat telinga panjangnya sedikit bergerak. Kurasa dia bereaksi dengan suara yang kuhasilkan, tetapi mulutnya tidak menjawab.
Aku berjalan pelan menuju Gadis yang duduk seperti hewan kaki empat itu, hingga aku sampai berdiri di hadapannya. Setelah itu aku dengan seksama menyimak bentuk wajahnya, dia memiliki bibir tipis merah muda, hidungnya mancung, kulitnya putih sedikit pucat, matanya berbinar terang dengan bintik-bintik coklat di sekitar kelopak mata. Tidak bisa kupungkiri, Gadis ini sangat cantik dan begitu menggemaskan.
Aku dengan rasa penasaran bertanya, "Siapa yang mengikat kita dengan rantai ini?"
Dia hanya menjawab, "Hem! Hem!" Dan kembali diam memperhatikanku.
Kusentuh pelan rambutnya untuk memeriksa telinga besar yang sedari tadi dapat bergerak. Aku kira itu adalah mainan, tetapi nyatanya ini benar-benar telinga yang menempel erat pada kepala.
"Kau ini? Makhluk apa?” tanyaku keheranan, “Kau setengah rakun, kah?!"
Namun, tidak tahu kenapa? Aku merasa tidak asing dengan wajah cantiknya. Aku berpikir diriku pernah melihat, bahkan mungkin meraba kulit wajah Gadis ini sehingga aku sempat melontarkan kata, “Apa kita pernah berte–” Hanya saja mulut ini seketika tertahan ketika otak ini mulai perlahan mengenang memori yang kubuang sejak lama.
‘Dia mirip Marry,’ pikirku.
Merry adalah teman masa kecilku yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu, tetapi diriku sangat yakin ini hanyalah kebetulan, dan kata, ‘Kurasa cuma mirip.’ Sudah cukup memberiku alasan.
Saat ini aku tak lagi terniat ingin cepat pulang sebelum terlepas dari rantai ini. Aku pun mencoba sedikit cara dengan mencoba memotongnya menggunakan pemotong rumput yang kuambil di Gudang Kampus, tetapi benakku malah menghina. ‘Yang benar saja? Memotong rantai besi dengan pemotong rumput? Aku benar-benar bodoh.’
Kehabisan akal, aku lantas mengambil cangkul yang tersandar pada dinding, setelah itu berjalan ke area yang lebih luas. Merasa tempat yang kupijak sudah cukup aman, aku segera membuat gaya memutar dengan kedua tangan di atas, lalu kupukulkan moncong cangkul pada badan rantai itu hingga aku kelelahan.
"Argh! Sial! Capeknya!"
Namun, ternyata upayaku tidak membuahkan hasil sedikitpun, karena rantai ini benar-benar kokoh, sedikit goresan pun tidak ada. Aku hanya bisa tersandar lemas pada dinding di dekatku, dan cangkul di tangan pun terlepas. Aku hanya bisa menatap telapak lembutku yang tampak sudah memerah, dan terasa perih ketika dikepalkan, dan aku sadar jika tangan ini belum pernah melakukan pekerjaan kasar sebelumnya.
Kemudian, aku menoleh ke arah Gadis Kecil yang sedari tadi hanya diam menatapku. "Orang tuamu pasti khawatir," kataku kepada gadis kecil dengan nafas sedikit tersengal.
Gadis kecil tidak menjawab, membuatku sesaat menghela nafas dengan pikiran yang benar-benar bingung. ‘Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini? Ini tidak masuk akal! Sial! Apa yang harus kulakukan sekarang? Tapi …., Gadis ini tampak sangat aneh. Dia terlalu tenang di tengah situasi rumit seperti ini. Tidak seperti anak kecil biasanya. Bahkan matanya tidak berkedip ketika cangkul menghantam rantai yang mengikatnya. Benar-benar gadis yang aneh. Terlebih lagi dia sangat penurut, mungkin karena dia masih anak-anak. Kurasa aku harus mencari tahu tentangnya.’
"Apa kau punya nama?" tanyaku kepada Gadis Kecil
"Hem! Hem!" sahut si Gadis Kecil dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya, membuatku tidak memiliki banyak pilihan lain, kecuali pergi meminta bantuan. Kurasa hanya itu yang bisa kulakukan sekarang, tetapi sebelum mewujudkan hal itu, aku masih punya kendala.
‘Bagaimana caraku membawanya keluar? Telinga dan ekor ini terlalu mencolok,’ pikirku, ‘Apa bawa ke rumah saja? Benar juga, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku harus jelaskan kepada Ayah dan Ibu setelah pulang nanti.’
Aku merasa diriku sudah cukup membulatkan tekad untuk membawa Gadis Kecil ini mampir ke rumah. Dan berharap Ayah ataupun Ibu mau mendengarkan penjelasanku. Aku pun segera menyelinap membawa Gadis Kecil.
Saat kami melewati ruang keamanan, aku melihat Petugas Keamanan yang sedang tertidur lelap di kursi empuknya. Dan di dalamnya tak sengaja aku menatap jam dinding sekolah yang sudah menunjukkan pukul 12 malam.
‘Jam 12?!’ pikirku keheranan, ‘Sial! Aku pingsan lama banget!’
Seusai kami keluar dari dalam Kampus, aku segera menuntun Gadis Kecil ke arah biasanya aku pulang.
Di tengah jalan, aku menoleh ke arah sekitar yang tampak toko-toko sudah tutup semua. Dan entah kenapa malam ini terasa lebih mencekam. Seperti ada yang terus mengawasi, aku yakin hawa dingin ini bukan berasal dari alam, tetapi seseorang yang mengintai dari balik bayangan. Ditambah kami berdua yang terus diam membuat hati kecilku menjadi tidak karuan rasa.
‘Berawal dari link yang dikirim oleh Heri, terus gigitan kelinci, terus Gadis Kecil yang diikat bersamaku. Apakah semua ini hanyalah halusinasi? Tunggu, apakah aku masih tidur?!’
Aku segera meraba kedua pipiku dengan telapak tangan yang beku.
‘Sialan, ada rasanya. Kalau gitu aku pasti dikerjai orang lain. Aku harus menangkapnya, dan memukulinya.’
Saat itu renungan malamku terganggu oleh suara nafas yang terdengar cukup dalam. Aku sontak berhenti melangkah lalu menoleh ke arah suara itu, dan tampak wajah Gadis Kecil sangat mengantuk. Dia membuka lebar mulutnya hingga terlihat gigi taring yang lucu, dan matanya sedikit berair seraya menatapku.
Aku dengan segera mendekatinya, dan bertanya, "Sudah mengantuk, ya?"
Gadis Kecil menjawab, "Hem! Hem!"
Aku yakin ia kelelahan karena terlalu aktif di dalam Kampus waktu lalu, jadi kuputuskan mengulurkan tangan lalu menggendong tubuh mungilnya. Aku pun kembali lanjut berjalan, dan tak lupa sesekali menoleh ke arah Gadis Kecil yang kugendong.
‘Tampaknya dia sudah tidur,’ pikirku.
Sekarang aku sudah memasuki jalan raya yang masih ramai dengan mobil-mobil yang lewat, membuatku menjadi sedikit lebih berani. Namun, aku merasa ada yang aneh lagi, ketika jalanan mulai menjadi sepi, bahkan saking sepinya, bunyi jangkrik pun bergema. Aku sontak menoleh ke arah belakang, dan tidak ada satupun mobil yang tampak. Hal ini sontak membuat keberanian kecilku spontan lenyap.
Lampu-lampu jalanan yang berjejer di atas trotoar terus kulewati tanpa henti, tetapi ada beberapa lampu yang tampak rusak di depanku. Cahayanya kadang hidup, kadang mati, dan terus terjadi berulang kali.
Rasanya aku ingin berlari saja saat angin dingin menyentuh lembut leher belakangku. Bahkan bulu kudukku meremang, ketika melihat tumpukan sampah bergerak seperti hidup. Hanya saja yang kulihat di sana hanyalah tikus kecil yang sedang membawa keju kecil di mulutnya, lalu lari ketika melihatku yang terkejut.
Aku pun lanjut bergerak maju dengan tatapan penuh kewaspadaan. Ini terasa tidak biasa. Seperti ada yang mengawasiku.
Dan tiba-tiba .... Ding! Muncul bunyi yang membuat langkahku terhenti. Bunyi itu berasal dari benda aneh berbentuk persegi dengan latar belakang berwarna hitam. Layaknya layar ponsel yang mengambang dengan tulisan, [Peringatan! Ada musuh di dekat anda!]
“Be-benda apa ini?!”
Itulah kalimat yang terucap ketika diriku tercengang melihat sebuah layar sistem seperti hologram memberikan peringatan. Aku tak tahu harus melakukan apa, dan kejadian ini membuatku sesaat hanya terdiam. Namun, tak lama layar sistem itu mengubah kalimatnya, [Tantangan! Bertarung sampai mati! Dimulai!]
Aku sontak terkejut dengan hal itu. ‘Hah?! Sampai mati?!’ pikirku keheranan.
Pada saat itu aku hanya bisa menatap bingung pada layar dihadapanku, membuat pikiranku terus bertanya-tanya. ‘Apa yang harus kulakukan? Apakah ini permainan?!’
Di tengah kecemasanku, muncul suatu keanehan yang terdengar dari arah belakang. Bermula dari suara mendecit yang terdengar semakin mendekat, tetapi suara itu seakan berhenti ketika aku berbalik badan.
Kulihat di sana tidak tampak apa-apa, kecuali sebuah jalanan yang ujungnya diselimuti oleh bayang-bayang kegelapan, dan suasananya sangat hening, sampai-sampai suara jangrik kecil bergema.
Saat itu aku tidak memalingkan pandangan ini sedikitpun dari sana, tetapi rasa takut mulai mempengaruhiku, membuatku terniat ingin memalingkan wajah, dan menganggap tidak ada siapa-siapa di sana, tetapi firasat ini terus merasakan kehadiran seseorang yang sangat berbahaya.
Penasaran, aku lantas bertanya, "Siapa di sana?!” Namun, tidak ada siapapun yang menjawabnya.
Aku hanya bisa berlagak sedikit berani dengan menegakkan tubuhku. “Jangan main-main ya!” kataku mengancam.
Tak lama aku mengamati jalanan yang gelap itu, dan masih tidak ada pergerakan yang mencurigakan, membuatku bisa bernafas lega.
“Hah …. kirain,” gumamku.
Hanya saja, baru aku sedikit berbalik, suara mendecit itu kembali muncul, dan suaranya terdengar lebih berisik. Merasa ada yang tidak beres, aku pun reflek memegang erat tubuh Gadis Kecil untuk bersiap lari, tetapi sebelum itu aku coba pastikan lebih dulu, dan mengamati apa yang ada di sana. Awalnya yang terlihat hanyalah sebuah gumpalan hitam datang mendekat, membuat mulutku tak sanggup menahan diri untuk tidak bertanya.
”Apa itu?”
Gumpalan hitam itu tampak tidak begitu jelas dari kejauhan, tetapi hal yang sontak membuat mataku terbuka begitu lebar ketika gumpalan itu tiba-tiba mendekat sangat cepat, membuatku begitu terkejut dan spontan berlari menjauh. Aku terus berlari sekuat tenaga hingga mencapai tengah kota, tetapi gumpalan hitam itu berhasil menyusulku. Kami begitu dekat, mungkin sekali lompatan pria dewasa gumpalan itu bisa mengapaiku. Namun, di titik itu aku bisa melihat wujud asli dari gumpalan itu yang membuatku begitu terkejut, ternyata mereka adalah sekelompok koloni tikus yang membentuk sepasang gelombang air laut. Melihat penampakan itu, membuatku menjadi sangat takut. Aku tak henti berlari sampai di sebuah persimpangan, lalu kuberbelok ke dalam sebuah lorong yang dihimpit oleh dua gedung. Membuat segerombolan tikus itu sempat tergocek, tetapi aku tak menyangka jika itu adalah ide buruk, karena tikus-tikus datang dari kedua arah, depan dan belakang.
‘Sial! Aku terpojok!’
Mereka yang paling dekat menjangkau kaki si Gadis Kecil yang sedang tertidur, dan kulihat salah satu tikus berhasil menggigitnya. Membuat Gadis Kecil terbangun dengan amarah seperti hewan liar kelaparan. Saat ini keputusan terakhirku hanya bisa naik ke atas sampah kontainer yang tak jauh dari belakangku. Aku segera berlari membawa Gadis Kecil ke sana dan kami berakhir terpojok oleh tikus-tikus dari segala arah.
“Rargh!” Gadis Kecil menggeram ketika melihat ribuan tikus mulai mengepung tempat terakhir kami berpijak. Dia seperti memaksa ingin lepas dari peganganku, tetapi aku segera mendekapnya agar ia tenang.
Namun, dikarenakan tanganku yang cukup licin oleh keringat, Gadis Kecil pun terlepas, lalu ia dengan bebas melompat, dan menjatuhkan dirinya ke dalam kerumunan tikus-tikus yang mulai menggila.
"Rakun! Tidak ....!"
Aku berteriak sangat histeris ketika menyaksikan lautan tikus perlahan menenggelamkan tubuh si Kecil hingga ke dasar. Walaupun si Kecil sempat melawan dengan tangan dan giginya, tetapi itu sangatlah sia-sia, sampai si Kecil roboh tak berdaya. Sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa, karena rantai kami seperti tertahan oleh sesuatu yang cukup kuat di bawah sana. Aku coba tarik berulang kali sekuat tenaga, tetapi tidak ada pergerakan sama sekali.
‘Bagaimana bisa tikus-tikus ini sekuat ini?!’ pikirku keheranan.
Namun, tikus-tikus ini tidak memberiku banyak waktu untuk berpikir. Mereka perlahan naik ke atas, membuatku tidak memiliki banyak waktu. ‘Kumohon otak! Berpikirlah! Berpikir ….!’ Hanya saja sekeras apapun aku mencoba, aku tetap tidak mendapatkan ide apa-apa. Otakku benar-benar kosong. Aku hanya bisa panik sembari berjalan mundur hingga aku benar-benar terpojok, dan sekarang diriku hanya memiliki satu pilihan, yaitu memohon.
"Tuan! Ampuni aku!" Aku tak habis pikir, mulut ini berteriak sangat keras dengan lutut yang secara spontan menjatuhkan diri. Kemudian kugenggam kedua tangan ini sembari ku goyang-goyangkan. “Kumohon berhenti! Kumohon ….!”
Hatiku sangat berharap mereka berhenti dan tidak memakanku. Hanya saja ini sangat menyedihkan, bahkan air mataku tak berhenti menetes dan terus mengulangi kata, "Maaf! Maaf! Maafkan aku!" Hingga tikus-tikus yang sedari awal sangat ribut menjadi diam dan tenang.
Saat diriku berlutut, aku mendengar suara langkah kaki menggema dari arah belakang gedung. Aku segera menoleh ke arah sana dan terlihatlah sosok yang begitu misterius. Kukira ia monster yang datang dari balik bayangan, ternyata ia hanyalah pria muda kurus berjaket dengan senyuman yang menjijikan.
"Menyedihkan sekali," katanya bernada menyindir, tetapi aku tahu saja perkataan itu ditujukan kepadaku.
Aku hanya bisa terisak dan tertunduk lesu dengan pikiran yang membenarkan perkataan pria itu. "Ya! Aku memang menyedihkan! Dan aku ingin pulang!" Sembari tak henti mata dan hidung ini mengeluarkan cairan yang menyedihkan.
"Apa boleh sesedih itu? Ha! Ha! Ha!" Pria itu tertawa begitu lepas, tampak ia sangat menikmati bertemu denganku.
Namun, tidak untukku, ini adalah pertama kalinya harga diriku terinjak seperti seekor babi yang diburu. Ditangkap dan dipermainkan. Menyedihkan. Akan tetapi, aku harus menahan semua rasa malunya, aku harus tetap hidup! Aku pun sedikit mengangkat kepala ketika ada pergerakan tidak biasa di depanku, dan melihat tikus-tikus di dekat Pria itu membentuk sebuah jalan. Membuatku sangat yakin, jika Pria inilah yang mengendalikan lautan tikus ini.
Kemudian, Pria itu perlahan menaiki tikus tangga yang menuju ke hadapanku, tetapi aku segera menundukkan pandangan kembali. Aku benar-benar tak berani menatapnya, menatap sepatu usangnya saja aku tak berani.
Pria itu datang ke hadapanku yang sedang berlutut. "Makan ini brengsek!" serunya seraya menendang wajahku hingga aku jatuh dari kontainer ke jalan.
Kemudian ia datang lagi dan menginjakkan sepatu bau itu ke wajahku. Membuat perutku menjadi mual, tetapi bukan karena bau dari sepatunya, ini karena aku ketakutan setengah mati sampai perut ini terasa mau muntah.
"Hei! Hei! Pria sepertimu pasti banyak suka, ya kan?! Membuat iri saja!" kata Pria itu, sembari menginjak-injakan sepatu bot miliknya ke arah kepalaku. Membuat wajah ini terhempas berulang kali hingga tercium alas jalan.
Namun, aku hanya diam dengan penyiksaan yang Pria itu lakukan kepadaku. Aku tidak berani melawannya, aku benar-benar takut. Terlebih kekuatan supranatural yang dia miliki membuatku tidak bisa melakukan apa-apa, sedikit ceroboh saja aku bisa dijadikan santapan hidup bagi tikus-tikus itu. Akan tetapi, aku tidak bisa terus-terusan begini karena Pria itu mulai lebih gila, ia menendang kepalaku, menginjak badanku, dan semua hal yang bisa disakiti di tubuhku ia lakukan. Dan aku hanya bisa menahan rasa sakitnya dengan harapan ia mengampuniku.
Tak berhenti di sana, Pria itu mulai menarik rambutku dan memaksa mataku menatap wajahnya, lalu ia berkata, "Kau pasti berpikir, kalau bisa menahan semuanya, kau akan selamat, ya kan?"
Aku hanya diam dan tak berani menjawabnya.
"Biar kuberitahu ...." sambungnya, kemudian ia mendekat lagi, sangat dekat hingga tercium bau mulut yang benar-benar menjijikkan. "Kita berada di dalam permainan hidup dan mati. Jadi intinya diantara kita hanya ada satu yang hidup dan satu yang mati."
“A-apa? Mati?” tanyaku.
“Ya!” jawab Pria itu.
Mendengar itu, aku benar-benar putus asa karena pada akhirnya nasibku tetap akan sama seperti Gadis Kecil waktu lalu.
Dan tiba-tiba aku tanpa sengaja terbatuk oleh darah yang menggumpal di tenggorokan, bodohnya dompet di dalam selempangku jatuh, dan tanpa sengaja memperlihatkan isi dompet yang di dalamnya terdapat tampak foto kecil milik adik perempuanku, Sherly. Aku segera mencoba mengambil dompet itu lagi, tetapi wajahku langsung dipukul dengan kepalan tangan. Membuatku terbanting dan tersandar pada dinding gedung. Pria itu pun akhirnya menunjukkan sifat paling menjijikkan. Dia mengambil foto adikku, lalu membasahi foto itu dengan air liur di lidah busuknya.
Dalam keadaan tersungkur aku dengan pelan berkata, "Kembalikan."
Pria itu seakan tidak mendengarku, dan bertanya, “Apa tadi?"
Aku pun kembali berkata lebih lantang. "Aku bilang …! Kembalikan!"
"Wuih! Jadi takut," sahut si Pria itu dengan nada mengejek. "Apa ini kekasihmu? Ini terlalu mirip sih. Kurasa, adikmu? Tidak-tidak. Mungkin adik kita?!"
Mendengar ejekan si Pria itu membuat gigiku tak berhenti bergemeletuk dengan jari-jari tangan yang kugores pada jalan. Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya dan terasa sangat tidak nyaman ketika rasa itu semakin meluap ke arah kepala.
‘Aku tidak tahu kenapa? Tiba-tiba sekarang aku menjadi sangat ingin menghancurkannya. Aku harus menghancurkan orang ini! Sebelum dia bertindak lebih jauh!’
Namun, sebelum aku mewujudkan niat itu dengan tanganku. Secara mengejutkan ….
"Setelah membunuhmu! Aku akan mampir ke tempat adik kita! Dan aku akan merawatnya! Ha! Ha! Ha! Mungkin sesekali juga membantunya tidur dan—Argh!"
Wajahku disiram oleh darah merah yang segar.
Keheranan, aku pun memaksa mata ini mengamati kejadian tak terduga itu, dan ternyata di hadapanku si Pria Kotor sudah terkulai lemas dengan nafas tersengal-sengal karena lubang di dada kirinya. Di dalam lubang dada itu terlihat tangan mungil yang mencoba menarik paksa kembali. Setelah tangan itu tercabut, singgasana tikus itu pun runtuh bersamaan dengan Pria Tikus jatuh sebelum menyelesaikan kalimatnya.
Dan sosok pemilik tangan mungil itu terlihat melompat ke dalam bayangan, aku yang melihatnya hanya terdiam, karena diriku merasa tidak ada ancaman di sana. Mata ini pun menunggunya keluar dari balik bayangan, hingga tampaklah sosok pemilik tangan itu yang tidak lain adalah si Gadis Kecil.
“Kau masih hidup?!” tanyaku dengan bola mata yang mungkin saja terlepas jika tidak dikedipkan, tetapi Gadis Kecil hanya menatapku dengan polosnya.
Terpenting, hatiku benar-benar sangat bersyukur dia masih hidup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!