NovelToon NovelToon

Bukan Rindu Yang Terlarang

Satu - Pernikahan Impian

Assalamualaikum ... Pembaca yang author sayangi. Dukung karya Author yang satu ini yuk?

Cek ombak dulu, ya? Kalau banyak yang subcribe, like / tap love, dan komentar, Author akan up kisah Nirmala setiap hari. Terima kasih .... 🙏

Namaku Nirmala Prameswari, hari ini adalah hari di mana aku dipersunting oleh laki-laki yang dijodohkan oleh kedua orang tuaku. Azril Tirta Hariyadi namanya. Mas Azril aku memanggilnya. Bagaimana tidak bahagia, hari ini aku menjadi pengantin, dan suamiku begitu tampan, sesuai dengan kriteriaku selama ini. Selain tampan dia juga sholeh, ia seorang muslim yang taat, meskipun bukan seorang pemuka agama, ustadz, atau trah pesantren. Dia hanya seorang biasa yang taat dengan ajaran agamanya. Bunda dan Ayah memang terbaik, kalau memilihkan apa pun untukku termasuk pasangan hidupku. Aku yakin Mas Azril pilihan bunda dan ayah yang terbaik untukku.

Pelaminan super megah dengan desain klasik sudah terpajang sempurna di halaman rumahku. Nuansa perak dan gold, turut menghiasi pelaminan yang super megah itu. Sungguh ini adalah konsep pernikahan yang aku impikan. Aku duduk diapit kedua kakak laki-lakiku, dan di sana, di tempat untuk mengikrarkan janji suci, aku melihat Mas Azril duduk di hadapan ayah. Aku mendengarkan prosesi akad nikah, dan terdengar suara Mas Azril mengucapkan ikrarnya di depan ayah dengan suara lantang dan lugas.

Suara SAH para tamu undangan menggema di seluruh penjuru ruangan. Aku dipeluk Mas Aqib dan Mas Arsya, seraya mengucapkan selamat padaku.

"Selamat, Nduk. Kamu sudah jadi istri. Solehah, ya? Taat pada suamimu," kata Mas Aqib, mas ku yang pertama.

"Nggih, Mas. Insya Allah Mala taat sama suami. Doakan nggih, Mas," jawabku dengan rasa bahagia.

"Mala adikku, sudah jadi istri kamu, Nduk. Selamat ya? Jadi istri yang taat pada suami. Selalu hormati suamimu," ucap Mas Arsya.

"Nggih, Mas. Pandongane mawon," jawabku.

"Ayo ke sana, mas antar kamu menemui suamimu," ajak Mas Aqib.

Aku berdiri di depan Mas Azril, dia menyambutku, menggamit tanganku, lalu ia menyematkan cincin kawin di jari manisku, dan ia kecup keningku. Aku juga menyematkan cincin kawin di jari manis Mas Azril, lalu aku cium tangannya. Hari ini aku resmi menjadi istri dari Azril Tirta Hariyadi. Seorang Arsitek dan memiliki usaha di bidang properti.

Malam ini setelah selesai acara resepsi, aku langsung diboyong Mas Azril ke rumah baru kami. Aku memang beruntung, mendapat Mas Azril yang sudah mapan dalam segala hal. Bukan hanya itu, dia juga sangat lowprofile orangnya. Meskipun dia orang yang punya, boleh dibilang pengusaha sukses, tapi dia berpenampilan sederhana sekali.

"Nirmala pamit, Bunda," ucapku dengan memeluk bunda, saat akan dibawa suamiku ke rumahnya.

"Baik-baik di sana, jaga dirimu. Berbakti pada suamimu. Ingat, Nduk ... Surgamu sekarang ada pada suamimu," tutur Bunda.

"Nggih, Bun. Doakan Mala selalu, Nggih?" Aku mencium tangan bunda, meminta restu padanya. Pada perempuan yang melahirkanku.

"Ayah, Mala pamit." Aku pamit pada ayah, rasanya benar-benar berat untuk meninggalkan kedua orang tuaku. Aku sebagai anak bungsu sangat berat meninggalkam ayah dan bunda, apalagi aku adalah anak perempuan satu-satunya.

Aku pamit juga dengan Mas Aqib dan Mas Arsya. Mereka merelakanku dibawa suami, karena memang seorang istri harus patuh pada suami, asal suami masih di jalan yang benar. Kata Mas Aqib, biar ayah dan bunda menjadi tanggung jawabnya sebagai anak sulung.

Kami pamit juga pada papa dan mama, orang tua Mas Azril. Meskipun Mas Azril anak tunggal, Mas Azril dibebaskan mau tinggal di mana, bukan malah disuruh menempati rumah mama dan papa. Semua mendoakan kami, mendoakan sepasang pengantin baru yang tengah bahagia.

^^^

Kami sudah sampai di rumah baru kami. Rumah yang klasik, modern, dan mewah itu yang akan kami tinggali. Rumah yang nantinya akan menjadi saksi kisah cinta kami berdua dalam membangun rumah tangga yang penuh suka, duka, dan bahagia.

"Ayo Mala, kita masuk. Biar koper kita Mbak Titin yang ambil," ajak Mas Azril.

"Nggih, Mas," jawabku.

Mas Azril menggamit tanganku, lalu masuk ke dalam rumah kami. Tiga orang asisten menyapa kami, Mas Azril mengenalkan mereka padaku.

"Ini Mbak Titin, yang nantinya akan mengurus segela kebersihan rumah, dari nyapu, ngepel, bersih-bersih rumah intinya, kalau sebelahnya Mbak Asih, dia khusus untuk memasak, dan satunya Mbak Yuli, yang nantinya akan mengurus bagian cuci-cuci. Kalau di depan tadi, ada Pak Satpam, Pak Warno namanya, kalau besok pagi yang jaga siang Pak Asep, dan satu lagi Pak Ali itu tukang kebun." Mas Azril mengenalkan semua asisten di rumah padaku.

"Halo mbak, salam kenal, saya Nirmala, panggil saja Mala," ucapku ramah.

"Aduh masa panggil Mala? Ya ibu dong?" ucap Asih.

"Iya, harus ibu dong manggilnya. Pak Azril pintar cari istri, cantik sekali istrinya," cetus Mbak Titin

"Mbak Titin bisa saja?" Ucapku tersipu malu.

"Memang cantik sekali," timpal Mbak Yuli.

"Selamat datang Bu Mala ... Bu Nyonya kami," ucap mereka kompak.

"Terima kasih atas sambutan kalian," ucapku.

"Kami ke kamar dulu ya, Mbak, tolong koper kami turunkan dari mobil," ucap Mas Azril.

Rumah sebesar ini penghuninya cuma aku dan Mas Azril asistennya banyak sekali? Lalu apa fungsiku jadi istri, kalau pekerjaan rumah semuanya dikerjakan mereka? Atau aku hanya untuk melayani Mas Azril saja di kamar? Senang sih seharusnya, aku dapat tempat ternyaman, dan suamiku benar-benar menjamin hidupku untuk dibahagiakan, tapi tugasku sebagai istri jadi kurang sempurna. Ya sudah mau bagaimana lagi? Aku nikmati saja menjadi Nyonya Azril.

Kami sudah di kamar. Aku benar-benar gugup, tidak berani menatap wajah suamiku malam ini. Mas Azril mendekatiku, tangannya memegangi kedua bahuku, lalu ia mendongakkan kepalaku supaya aku bisa menatapnya.

"Kenapa menunduk?" tanya Mas Azril.

"Gak apa-apa, Mas," jawabku dengn gugup, dan aku alihkan tatapanku dari tatapan Mas Azril, karena aku tak sanggup menatap matanya yang indah.

"Kok nunduk lagi? Ini suamimu. Malam ini kita akan memulai lembaran baru. Apa kamu sudah siap untuk menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri?" Tanya Mas Azril.

"Iya, Mas. Insya Allah saya siap lahir dan batin," jawabku.

"Alhamdulillah," ucapnya lalu ia kecup keningku, sesudah itu ia membaca doa, meniupkannya pada ubun-ubunku, Mas Azril mengecup ubun-ubunku, dan keningku

Malam ini aku persembahkan semuanya yang selama ini aku jaga baik-baik. Aku persembahkan dengan penuh keikhlasan dan cinta untuk Mas Azril suamiku. Kami bergumul dengan peluh berjatuhan. Dinginnya AC kalah dengan panasnya pergumulan kami malam ini. Malam ini aku sudah serahkan semuanya untuk Mas Azril, begitu juga hatiku, karena aku memang sudah jatuh cinta sejak pertama berkenalan dengan Mas Azril.

Selesai ritual kami, Mas Azril mengecup keningku, pipi, dan bibirku. Lalu ia merebahkan tubuhnya di sampingku dan mendekapku, kita sama-sama mengatur napas kita yang masih belum beraturan seperti habis lari maraton. Beginilah nikmatnya surga dunia. Beginilah rasanya dipeluk, dicium, dan dicumbu suami? Sungguh ini adalah nikmat yang tiada tara. Apalagi ini yang pertama bagiku.

Dua - Siapa Farah?

Tiga bulan berlalu begitu cepat, mungkin karena kehidupan rumah tanggaku ini penuh dengan kebahagiaan. Seminggu setelah menikah, Mas Azril mengajakku bulan madu ke Amsterdam, Belanda. Memang kami ke sana karena Mas Azril ada pekerjaan di sana. Selama satu bulan kami di sana, menikmati indahnya kota Amsterdam, dan tentunya menikmati hari-hari bahagai setelah pernikahan kami.

Mas Azril sosok suami yang romantis dan penuh kejutan. Aku bahagia memilikinya. Ternyata hal yang aku takutkan karena dijodohkan, semua dijauhkan. Termasuk dengan hal tidak diterimanya keberadaanku sebagai istri Mas Azril. Karena, aku diterima sebagai istrinya, aku disambutnya dengan penuh cinta. Aku dicintainya dengan penuh kasih sayang, meskipun Mas Azril jarang sekali mengungkapkan cintanya padaku. Tidak perlu setiap hari mengumbar cinta, karena tindakan Mas Azril yang  setiap hari dilakukan adalah bentuk cintanya padaku, jadi aku tidak perlu mendengar Mas Azril berkata I Lover You, atau apalah, di depanku. Aku sangat percaya bahwa dia mencintaiku dan menyayangiku dengan tulus.

Tidak mungkin jika Mas Azril tidak mencintaiku, karena dia memberikan semuanya untukku dengan tulus, tanpa menuntut apa pun dariku. Dia melakukannya dengan penuh kasih dan kelembutan. Sekarang, benih Mas Azril tumbuh di dalam rahimku. Usianya masih sangat muda, baru beberapa minggu saja. Kebahagiaan yang dinantikan bagi setiap pasangan suami-istri, dan kami sudah mendapatkanya. Betapa bahagianya Mas Azril saat tahu aku hamil, dia memelukku, dia menciumiku dengan penuh cinta. Mengusap perutku, mencium perutku yang masih datar, menangis dengan penuh kebahagiaan di depan perutku, seraya membacakan doa karena hadirnya buah hati di dalam rahimku.

Namun, semuanya sirna, karena Tuhan belum mengizinkan aku dan Mas Azril menjadi orang tua. Di usia kandunganku yang baru memasuki minggu keenam, janinku dinyatakan tidak berkembang, aku harus menjalani kuret, janinku harus diangkat. Aku benar-benar down saat itu. Baru saja aku akan merasakan menjadi ibu, ternyata Tuhan belum mengizinkan. Mas Azril pun demikian. Namun, kami tetap tidak mau berhenti berusaha. Mungkin Tuhan punya rencana lain untuk aku dan Mas Azril. Agar aku dan Mas Azril lebih sabar dan ikhlas menghadapi semuanya.

Di sepertiga malam, aku lihat Mas Azril sedang menghadap kiblat, duduk di atas sajadahnya. Dia tidak pernah meninggalkan salat malam, pun denganku. Tapi, aku selalu bangun setelah Mas Azril selesai salat. Tidak seperti malam ini, aku terbangun saat Mas Azril sedang berdoa khusyuk sampai terisak-isak. Entah doa apa yang ia lantunkan ke langit, hingga ia sampai terisak, bahkan sampai sesegukkan. Samar kudengar Mas Azril menyebutkan nama seseorang dalam doanya, nama perempuan, entah siapaa nama perempuan itu. Aku pura-pura masih tidur saja, sambil terus mendengarkan rintihan Mas Azril yang sedang mencurahkan semua kegundahannya pada Sang Maha Kuasa. Doanya terus ia langitkan, memohon agar terus diijabah. Aku tersenyum dalam getir, tubuhku kaku, bahkan air mataku menyeruak membanjiri bantal dan selimut tebal.

Di sepertiga malam ini aku mendapatkan kejutan dari suamiku, tapi bukan kejutan yang membuatku bahagia, melakinkan membuatku tercengang dan tidak percaya sama sekali suamiku mengatakan hal yang tidak pernah aku duga. Tiga bulan lebih dua minggu kami bersama, memadu kasih dan cinta dengan penuh kebahagiaan, merajut hari-hari indah, bahagia, penuh cinta, namun semuanya sirna dalam sekejap. Malam ini aku saksikan, dan aku mendengar sendiri dari mulut suamiku, bahwa dia tidak mencintaiku, bahkan di dalam doa sepertiga malamnya nama perempuan lain yang ia sebut, bukan aku. Sama sekali aku tidak mendengar dia menyebut namaku, bahkan ibunya pun tidak ia sebut dalam doanya. Ia hanya menyebutkan satu nama perempuan, yaitu Farah!

Dengan isakkan dan deraian air mata di atas sajadahnya, ia menyebutkan nama perempuan lain. Ia mengutarakan perasaannya yang begitu dalam, bahwa ia sangat mencintai perempuan itu. Perempuan yang bernama Farah. Aku tidak pernah tahu siapa perempuan itu. Perempuan di masa lalunya, atau baru saja dia kenal? Sungguh aku tidak tahu.

Aku masih pura-pura tertidur. Aku usap mataku yang basah karena aku menangis. Mas Azril beranjak dari tempat peraduannya tadi. Ia melipat sajadah, menaruh kopyah, selanjutnya ia berjalan mendekat ke arah ranjang kami. Aku merasakan Mas Azril naik ke tempat tidur, ia beringsut merapatkan tubuhnya untuk memeluk dan menciumku. Pandai sekali dia memainkan dramanya, pandai sekali ia menyembunyikan rasa yang menyakitkan itu, andai saja aku tahu sejak awal, aku takkan memberikan sebongkah hati dan jasad yang telah kujaga kesuciannya untuk laki-laki yang menikahiku kelak. Sayangnya, dia menyambutku dengan penuh kasih sayang dan cinta. Namun, itu hanya pura-pura. Bukan aku yang dia cintai, melainkan perempuan tadi yang ia sebut dalam doanya.

Baru kali ini aku mendengar Mas Azril mengeluh, mengadu, dan itu ia adukan langsung dengan Tuhan-Nya. Tidak ia adukan pada siapa pun. Kenapa tidak bilang saja dari awal kalau dia masih mencintai perempuan di masa lalunya? Atau mencintai perempuan lain? Kenapa langsung diadukan pada Sang Pemilik Hidup, dan Sang Maha Mengabulkan? Apa supaya Tuhan mengabulkan dia untukmu, untuk jadi istri keduamu, Mas Azril? Oh Allah ... sungguh malangnya nasibku? Ternyata selama ini aku tidak dicintai suamiku, ternyata selama ini aku hanya dianggapnya istri saja. Aku hanya seorang istri yang hanya dinikmatinya saja, bukan karena dia mencintaiku. Jelas kudengar tadi, Mas Azril terpaksa menikahiku, Mas Azril hanya cinta dengan Farah, Mas Azril tidak mencintaiku. Malang nian nasibmu, Nirmala ....

“Mala, Sayang .... bangun, kamu tidak salat malam?”

Mas Azril membangunkanku, lalu ia kecup pipiku, ia peluk aku, dengan lembut ia memperlakukan aku. Tapi, dengan kejam ia menyembunyikan sesuatu yang nantinya akan menjadi bom waktu jika terus ia simpan sendiri.

Aku menggeliatkan tubuhku, mengerjapkan mataku, samar aku melihat wajah tampan suamiku, tepat di depan wajahku.

“Ayo bangun, kamu tumben dibangunin agak lama?” ucapnya.

“Iya, aku ngantuk sekali, mungkin karena semalam aku sampai malam cek laporan keuangan dari satu bulan kemarin,” jawabku.

Aku usap pipi Mas Azril, aku pandangi lagi wajahnya. Wajah yang menyembunyikan dusta padaku. Iya, dia berdusta. Di depanku ia melakonkan perannya sebagai suami yang bertanggung jawab. Menyayangi dan mencintai istrinya, selalu lembut tutur katanya, hingga aku setiap hari dibuatnya jatuh cinta. Tapi, di balik layar, dia melakonkan perannya sendirian, dalam duka dan tangis yang mungkin setiap malam ia adukan pada Allah dalam setiap sujudnya dan dalam sepertiga malamnya. Pantas saja, saat sebelum ia tidur, ia salat di musholah belakang, lama sekali dia terpekur di atas sajadah. Aku kira dia mendoakan keluarga ini agar selalu bahagia dalam lindungan Allah, ternyata dia mendoakan perempuan lain, seperti tadi yang aku dengar.

Ternyata malam ini Allah membukakan semuanya, Allah memberikan aku kesempatan untuk tahu semuanya, sebelum semuanya terlambat, dan sebelum kami jauh melangkah. Atau sebelum Mas Azril juga jauh melangkah untuk mengejar perempuan itu.

“Besok lagi, jangan sampai malam, ya? Ayo ambil air wudhu, kamu belum salat malam, mas keluar dulu, ya? Mau siapkan dokumen yang harus mas bawa ke kantor untuk meeting nanti,” ucapnya.

“Iya, aku ambil air wudhu dulu, Mas,” jawabku.

Mas Azril keluar dari kamar, aku kembali menangis di tepi ranjang. Tubuhku benar-benar lemas sekali, setelah mendengar semuanya. Tapi, aku harus kuat, aku ini istri sahnya Mas Azril, aku memang tidak dicintai, tapi aku yang sah memilikinya. Aku harus bisa membuat Mas Azril jatuh cinta dan melupakan perempuan yang sampai membuat dia meneteskan air matanya.

^^^

Selesai salat malam, aku berniat menyusul Mas Azril ke ruang kerjanya. Daripada aku sendiri di kamar, aku susul saja suamiku, karena biasanya dia mengaji sampai menjelang subuh, tapi dia malah memilih untuk mempersiapkan dokumen untuk dibawa ke kantor, padahal selepas subuh juga masih bisa ia siapkan.

Sampai di depan pintu ruang kerja Mas Azril, aku berhenti melanjutkan niatku untuk membuka pintunya, karena samar kudengar suara Mas Azril sedang menelefon seseorang di dalam ruangan itu. Seperti sedang berbicara pada seorang perempuan, tutur kata Mas Azril begitu lembut sekali.

Farah!

Lagi-lagi nama itu yang disebut Mas Azril. Apa Mas Azril sedang menelefon Farah melalui telefon rumah yang ada di ruang kerjanya. Aku dengarkan Mas Azril bicara apa dengan perempuan itu sepagi ini. Darahku mulai mendidih saat mendengar Mas Azril mengungkapkan rasa cinta pada perempuan itu, bahkan Mas Azril berkata ingin menikahinya, dan akan berusaha pamit denganku? Ya Allah, sakit sekali hatiku panas rasanya, tapi apalah dayaku, kalau Mas Azril seperti itu.

Sebetulnya apa hubungan Mas Azril dengan Farah? Apa mereka sudah menjalin hubungan sejak lama? Sejak belum bersamaku? Iya, sudah pasti seperti itu, karena Mas Azril bilang dia menikahiku karena terpaksa, demi mama dan papanya.

“Mala! Sedang apa di sini? Apa kamu dari tadi di sini?”

Mas Azril mengagetkanku yang sedang diam mematung di depan pintu ruang kerjanya sambil memikirkan ucapan Mas Azril yang tadi diucapkan pada perempuan itu.

Tiga - Harus Membuatmu Jatuh Cinta

“Mala! Sedang apa di sini? Apa kamu dari tadi di sini?”

Mas Azril mengagetkanku yang sedang diam mematung di depan pintu ruang kerjanya sambil memikirkan ucapan Mas Azril yang tadi diucapkan pada perempuan itu.

“Ah ... a—aku mau manggil mas, kan sebentar lagi akan subuh? Biasanya mas kan sudah masuk ke kamar, kalau di Masjid sudah mengumandangkan Tarhiman?” jawabku gugup.

“Maaf, tadi mas telefonan dulu sama itu, ehm ... orang kantor, Pak Jamal, i—iya Pak Jamal,” ucapnya gugup.

“Oh, iya gak apa-apa,” ucapku. “Kok tumben pakai telefon rumah?” tanyaku penuh selidik.

“Ya, ta—tadi mau ambil ponselku kan di dalam, takutnya ganggu kamu yang sedang salat,” jawab Mas Azril.

Aku mendengarkan semuanya, Mas. Jadi, kamu gak usah berkilah. Aku hanya menunggu waktu, kapan kamu akan bicara jujur denganku soal Farah. Soal perempuan yang sudah membuatmu berubah dalam waktu sekejap. Mungkin kalau kamu bilang dari dulu, kamu punya kekasih dan ingin kamu perjuangkan, aku tidak akan mau melanjutkan perjodohan ini, meskipun aku akui, aku sudah jatuh hati padamu sejak pertama kali kita di kenalkan. Biar aku buang rasa itu, toh kamu memang mencintai perempuan lain. Jadi, untuk apa aku melanjutkan perjodohan ini?

Tapi, kamu bilang waktu itu, kamu tidak punya ikatan apa pun dengan perempuan lain, jadi aku mendengarnya cukup senang dan bahagia, karena ada harapan kita bisa berjodoh. Kenapa, Mas? Kenapa baru sekarang aku dengar semua ini? Ketika aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untukmu? Ketika aku sudah abdikan jiwa dan ragaku untukmu? Kenapa tidak dari dulu, sebelum aku jatuh terlalu dalam mencintaimu? Kalau seperti ini bukan hanya aku yang kamu sakiti, tapi semua orang yang bahagia melihat kita bersama, mereka akan tersakiti juga, Mas.

“Mas tidak sedang bohong, kan? Mas tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Maaf aku bertanya seperti ini. Iya, memang aku baru mengenal mas kemarin, dan kita langsung memutuskan untuk hidup bersama, tapi aku mohon sama mas, jika ada sesuatu, jangan mas sembunyikan sendiri, ya? Bilang sama aku, kiranya aku bisa membantu meringankan beban pikiranmu?”

“Aku tidak bohong, dan sedang tidak menutupi apa pun, Mala? Ya sudah itu sudah adzan subuh, lebih baik kita wudhu lalu salat,” ucap Mas Azril.

Aku mengangguk, menuruti perintahnya. Biar saja, biar ia sembunyikan sendiri, toh apa yang ia tutupi dariku dikemudian hari akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan pun. Cukup! Aku gak mau tahu apa pun lagi. Biar aku hanya tahu soal Farah tadi, aku tidak mau menguliknya, karena semakin menguliknya aku yang akan semakin sakit. Biar saja, aku tunggu Mas Azril kapan akan bicara soal perempuan yang bernama Farah itu.

^^^

Aku membantu Mbak Asih menata sarapan di meja makan. Selesai salat subuh aku juga terjun ke dapur, karena Mas Azril tiba-tiba menyibukkan diri lagi. Mungkin dia sibuk dengan perempuan yang baru ia telefon tadi. Biar sajalah, aku tidak mau mengurusi urusan pribadinya. Toh kalau ada apa-apa biar dia yang menangungnya?

Setelah tiga bulan lamanya aku menjadi istri Mas Azril, baru kali ini aku ikut memasak di dapur. Jenuh sekali rasanya pagi ini, apalagi setelah mendengar Mas Azril menyebut nama perempuan lain di dalam doa sepertiga malamnya. Rasanya aku ini bukan istri yang sempurna lagi. Aku kira aku diratukan oleh suamiku, karena dia mencintaiku? Tapi, ternyata karena dia ingin membawa masuk perempuan lain ke dalam kehidupan rumah tangga kita. Seperti itukah drama yang kamu mainkan, Mas? Kau buat aku percaya, kau buat aku bahagia bagai melayang di udara, kau manjakanku, tutur kata dan perbuatanmu selalu lembut padaku. Ternyata semua itu kamu lakukan supaya aku ini mau menerima madu di rumah ini.

Tak segampang itu, Mas Azril! Aku tidak sudi untuk kau madu! Aku hanya perempuan biasa yang mungkin bisa dikatakan serakah, karena aku tidak mau berbagi suami. Bahkan tidak hanya aku saja. Mungkin, di dunia ini dari seribu orang hanya satu saja yang mau dimadu. Pedih sekali rasanya, dilambungkan begitu tinggi, ternyata akan dijatuhkan dengan keras!

Aku mendengar sendiri, kamu akan membawa dia ke hadapanku. Tadi aku dengar itu, Mas. Sekarang aku tahu, pasti kamu sedang bertukar pesan dan bertukar pikir bagaimana caranya bicara kepadaku kalau kalian ingin menikah.

Hanya satu yang harus aku lakukan, supaya Mas Azril tidak bisa melupakanku, dan tidak akan menikahi perempuan itu. Ya, satu-satunya cara aku harus bisa membuatnya jatuh cinta, aku harus bisa membuktikan kalau aku ini perempuan yang berhak atas cintanya, dan satu-satunya perempuan yang harus dia cintai. Aku akan mulai dengan masakanku, pagi ini semua sarapan aku yang membuatnya, bahkan kopi tadi pagi aku juga yang membuatnya untuk Mas Azril. Aku akan tarik hatinya dengan perhatianku, dengan keahlianku memasak, dan membuat Mas Azril jatuh cinta pada masakanku. Pasti dari situ, Mas Azril akan jatuh cinta padaku.

Selesai menata sarapan, aku panggil Mas Azril untuk sarapan. Aku ke ruang kerjanya lagi. Aku lihat dia sedang berdiri di depan jendela sambil melamun, entah memikirkan apa, tapi aku yakin dia memikirkan perempuan yang bernama Farah, yang tadi pagi diajak bicara dia kalau dia ingin menikahinya, dan akan mengajaknya menemuiku untuk pamit padaku.

Hah ... semudah itu, Mas Azril? Coba kalau berani bilang sama mamamu? Yang ada mamamu jantungnya akan berhenti berdetak, kalau kamu bilang akan menikahi perempuan lain?

Astagfirullah ... aku sampai terbawa emosi seperti ini. Aku tidak boleh gegabah bicaranya, aku harus pura-pura tidak tahu apa-apa. Aku ketuk pintu ruang kerjanya lagi, meskipun aku sudah membuka pintunya. Karena, saking asyiknya melamun, Mas Azril tidak mendengar suara ketukan pintu.

“Mas, sedang apa? Kamu melamun? Pantas aku ketuk-ketuk pintunya tidak ada jawaban?” Aku usap lengannya, dia setengah menjingkat. Benar, dia sedang melamun berat, sampai sentuhan lembut saja bisa mengagetkan dia.

“Ah, Maaf, Sayang. Aku memikirkan proyek yang akan jalan hari ini, ribet sekali aku jadi gini, pusing mikirnya,” ucapnya dengan gugup.

“Ya udah, yuk sarapan dulu? Biar nanti ada tenaga buat memikirkan pekerjaan lagi,” ajakku dengan lembut dan manja.

“Iya, memang harusnya perutku diisi dulu, supaya aku bisa mikir,” ucapnya dengan terkekeh.

“Ya sudah, Yuk?”

Aku menggamit tangannya. Aku benar-benar mencintai laki-laki yang berada di sebelahku ini, Tuhan. Jika memang jalan yang terbaik adalah merelakan dia untuk menikahi perempuan itu? Aku ikhlas, asal aku masih bisa bersamanya. Aku sangat mencitainya. Bukan aku bodoh, tapi dia sudah membuat aku jatuh cinta dengan begitu indah.

Aku siapkan makanan Mas Azril di piring, aku menyuruhnya untuk segera mencicipinya, dan aku melihat ekspresi wajahnya yang berbinar, merasakan puas dengan rasa masakannya.

“Mbak Asih, ini kok masakannya enak sekali? Gak seperti biasaya lho Mbak Asih bikin tumis kayak gini tapi enak sekali?” tanya Mas Azril.

“Ah ... anu, Tuan. Yang masak Mbak Mala kok, bukan saya, saya hanya membantu saja,” jawab Mbak Asih.

Mas Azril menatapku seakan tidak percaya aku ini  bisa memasak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!