Drap...Drap...Drap...
Suara langkah kecil milik Dinda sedang menyusuri koridor Rumah Sakit, dengan derai air mata nya yang terus berjatuhan tak membuat langkahnya bisa terhenti. Bagaimana tidak kabar yang ia dengar telah membuat hatinya benar-benar terasa sakit dan mungkin saja tidak bisa menerima kenyataan yang sedang ia alami.
"Sus dimana keberadaan pasien atas nama Andreas?" Ucap Dinda yang tak kuasa menahan kesedihannya.
"Maaf pasien atas nama Andreas sudah di bawa ke ruang jenazah mba." Ucap seorang suster disana.
"Apa!!" Tubuh Dinda langsung lemas seketika mendengar kata jenazah, kakinya juga tiba-tiba tidak mampu berdiri dia menjatuhkan dirinya di atas lantai Rumah Sakit, dia tidak peduli dengan orang-orang yang kini sedang memperhatikannya.
"Yang sabar ya Mba!!" Ucap Suster itu yang langsung segera berlalu dari hadapan Dinda.
"Dre.....Kamu sudah berjanji akan terus bersamaku, tapi kenapa kamu pergi!!! Kenapa!!! Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi....??? Andreas kembalilah untukkuuuuuu!!!" Dinda berteriak dan menangis histeris disana, bagaimana tidak satu Minggu lagi dia akan menikah dengan Andreas tapi kekasihnya malah mengalami kecelakaan yang sampai merenggut nyawanya.
Disana seorang wanita paruh baya langsung berlari saat mendapati putrinya yang sedang duduk terkulai di atas lantai.
"Dinda sadar Nak!!! Jangan kamu seperti ini sayang, kamu harus kuat...kasihan Andreas disana!" Ucap Ibunya sambil mengoyang-goyangkan badan putrinya, dia berharap putrinya akan segera terbangun. Tapi nyatanya Dinda tak mampu menopang kekuatan badannya yg begitu sangat lemah.
Dinda akhirnya dilarikan ke ruang pemeriksaan untuk mendapat penanganan, disana Ibunya meminta pertolongan agar segera ada Dokter yang membantunya.
"Sus tolong panggilkan Dokter, tolong putri saya!"
"Tunggu sebentar ya Bu, akan segera saya panggilkan!" Dengan cepat seorang suster disana segera menuju ke sebuah ruangan milik Dokter Anton.
"Dok, maaf ada pasien yang mengalami pingsan di ruangan pemeriksaan." Ucap suster di sana Anton pun langsung melihat kearah suster yang sedang berdiri di hadapannya.
"Baiklah saya akan segera kesana!'' Dengan cepat Anton segera mengambil Stetoskop di mejanya yang langsung ia kalungkan dilehernya. Dengan langkah seribu Anton berjalan menuju pasiennya, baginya pasien adalah nomor satu dari pekerjaannya sebagai Dokter.
Keluarga Dinda yang melihat kedatangan seorang Dokter pun langsung berlari menghampirinya.
"Dok, tolong putri saya!"
"Baik Bu, sabar ya, saya akan segera memeriksa putri anda!" Anton pun segera mendekat kearah Dinda yang sedang terbaring di bet tempat tidur Rumah Sakit itu dengan keadaan tak sadarkan diri.
Anton segera memasang Stetoskop ke telinganya dan tangan kanannya mulai memeriksa pasien.
"Kenapa pasien bisa pingsan? Ada yang bisa menjelaskan?"
"Putri saya baru saja mendapatkan kabar bahwa calon suaminya baru saja mengalami kecelakaan dan meninggal dunia Dok!" Dengan suara parau Bu Sinta menjelaskannya.
"Sebentar lagi pasien akan siuman, tolong jangan biarkan pasien sendiri, dia butuh di dampingi agar dia tidak begitu syok nantinya!" Ucap Anton disana.
Benar saja lambat laun Dinda sudah mulai siuman, dia mulai mendengar orang-orang di sampingnya sedang berbicara, matanya sedikit demi sedikit mulai terbuka. Walau samar-samar kini Dinda sudah melihat dengan jelas siapa saja orang-orang di sekelilingnya.
Akhirnya dia pun mulai tersadar kembali dengan apa yang telah terjadi dia pun langsung terbagun dari tempat tidurnya.
"Andreassssssss!!!!! Jangan tinggalkan aku, aku tidak sanggup hidup tanpamu!!! Dengan teriakan kerasnya Dinda melepaskan semua kepedihannya. Tatapannya sangat kosong, air matanya tak luput mengiringi kesedihannya, suara Dinda sungguh menyayat hati, disana Dinda langsung menoleh ke arah Ibunya.
"Ibu, Andreas akan bangun lagi kan Bu? Dia akan bangun untukku? Dia sangat mencintaiku Bu, dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa berpamitan denganku!!! Bu tolong, bawa aku menemui Andreas!!"
Semua orang disana sungguh tak tega melihat keadaan Dinda yang mulai sudah kehilangan kendali tak terkecuali Ibunya, disana Anton masih berdiri menatap ke arah pasien yang bernama Dinda, dia tahu perasaan Dinda bagaimana saat ini. Dia sering melihat pemandangan di depannya bahkan hampir disetiap harinya.
"Sus, tolong berikan suntikan penenang untuk pasien!"
"Baik Dok!" Segera suster itu mengambil suntikan untuk memberikan obat penenang untuk pasien.
Benar saja, setelah di beri obat penenang Dinda langsung merasakan ngantuk dan mulai tertidur, disana dia terlihat seolah lepas dari kesedihannya.
Semua orang disana mulai bisa bernafas lega untuk sesaat, dan harus memikirkan bagaimana nanti yang akan terjadi pada Dinda setelah siuman.
Anton pun segera meninggalkan pasien, dia harus menangani pasien yang lainnya. Dalam langkahnya menuju ke ruang prakteknya dia mulai teringat pada wanita yang tadi sangat histeris memanggil nama kekasihnya yang sudah tiada.
"Bagaimana dengan aku, melepas cinta Tania saja sungguh sangat berat bagaimana dengan wanita itu yang setiap hari harus meratapi kepergian orang yang dia sayang dan bahkan dia tidak akan bisa bertemu denganya lagi?
"Dok, sudah banyak pasien yang menunggu anda!" Ucap seorang suster yang mengagetkan lamunan Anton.
"Baiklah, kita mulai prakteknya lagi, ada berapa pasien hari ini?"
"Sekitar 20 pasien dok!"
Akhirnya Anton di sibukan lagi dalam tugas rutinnya setiap hari, tanpa lelah dia terus menyelesaikan tugasnya.
Akhirnya praktek hari ini sudah selesai, Anton segera melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan, disana sudah menunjukan pukul 4 sore.
"Sus, sudah tidak ada pasien kah?"
"Sudah tidak ada Dok, semua sudah selesai dan jam praktek Dokter juga sudah habis."
Saat ini Anton masih menyandang sebagai Dokter umum, tapi dia sedang melanjutkan studi spesialisnya, dia mengambil jurusan kedokteran jiwa atau yang kerap disebut psikiatri yang ia cita-citakan sejak dulu.
Akhirnya Anton membereskan peralatan kerjanya, dia ingin segera pulang ke rumahnya, dari semenjak kejadian waktu itu, dia sekarang pindah dari tempat kerjanya yang dulu ketempat yang baru, dia ingin melupakan Tania dan semua yang mengingatkan tentang masa lalunya.
Kurang sedikit lagi studinya juga akan segera selesai, nantinya dia akan resmi bergelar sebagai Dokter Spesialis jiwa.
**
Sementara itu Dinda yang sudah mulai bisa tenang sedang mengikuti proses pemakaman kekasihnya, dengan derai air mata yang tak henti Dinda belum bisa merelakan cintanya pergi, separuh nafasnya bahkan belahan jiwanya kini sudah pergi membawa separuh hatinya untuk selamanya.
Tatapannya sungguh kosong menatap kekasihnya yang sudah mulai di semayamkan, tapi dia tiba-tiba tersenyum dalam tangisnya.
"Andreas kamu datang....Kamu tidak meninggalkanku...jadi kamu tidak benar-benar meninggalkanku??" Dinda segera berlari mengikuti halusinasinya yang melihat Andreas ada di sana dan sedang melambaikan tangan pada dirinya.
"Andreas tunggu aku!" Dinda tidak memperdulikan orang-orang yang memanggilnya dia tetap berlari menuju ke Andreas.
"Dinda tunggu!!" suara Ibu Sinta berteriak memanggil Dinda yang berlari tanpa tujuan, dengan susah payah akhirnya Ibunya bisa mengejar putrinya, dengan cepat Bu Sinta segera memegang bahu Dinda untuk segera menyadarkan halusinasi putrinya.
"Dinda sadar Nak....Sadar!! Andreas sudah pergi, relakan dia!"
"Tidak Bu, Andreas masih hidup dia tadi memanggil namaku!! Tadi dia lari kesana, aku akan ikut dengannya!!"
"Sadar Nak....!! Dengan erat Ibu Sinta segera memeluk putrinya, dia tidak tega melihat putrinya seperti itu.
"Sudah sayang....Kamu harus mencoba melupakan Andreas, Dia sudah tenang disana!" Ucap Bu Sinta sambil mengelus lembut punggung putrinya.
Disana Dinda masih terdiam, tatapannya masih kosong, fikirannya masih pada Andreas dia tidak bisa sedetik pun melupakan kekasihnya, Hanya Andreas lah yang menemaninya di setiap hari-harinya.
Tertawa, menangis selalu bersama dengan Andreas. Kini Andreas sudah pergi meninggalkannya bahkan dia pergi tanpa berpesan apapun, sebelum kejadian naas itu terjadi Andreas masih sempat menemui Dinda, dia berjanji akan kembali lagi dengan membawa mawar putih yang Dinda minta.
Tapi kenapa sekarang Andreas malah melupakan janji itu, apa dia tidak menyayangiku lagi? Apa dia sudah punya kekasih lain selain diriku? Dinda kembali tertawa dalam tangisnya, bahkan sekarang Dinda lebih keras tertawa.
"Sayang.....Sudah jangan kamu hanyut dari kesedihan, lupakan semua, kamu harus melanjutkan hidup!" Ucap Bu Sinta sambil memegang erat kedua tangan Dinda.
"Ibu, apa yang Ibu katakan? Bukankah Ibu juga sudah setuju aku dengan Andreas kenapa sekarang Ibu menyuruhku untuk melupakannya? Ayo pulang Bu, nanti malam Andreas akan datang membawakan mawar putih untukku!"
Dinda segera menggandeng tangan Ibunya untuk segera pergi dari pemakaman itu, dia nampak bahagia dan tidak menangis lagi seperti tadi, bahkan dia sekarang semangat sekali. Apa yang terjadi pada putriku?" Telapak tangan Bu Sinta hanya mampu mengelus dadanya.
Sesampainya di rumah, baru saja mereka akan masuk kedalam rumah tiba-tiba Dinda kembali menangis, hatinya tiba-tiba perih mengingat kembali apa yang telah terjadi. Ingatannya kembali pada kekasihnya Andreas.
"Andreas....Aku akan ikut denganmu jangan tinggalkan aku!" dalam posisi berdiri dan dengan tatapannya yang kosong airmatanya tak henti-hentinya kembali menangis, padahal baru saja dia bisa tersenyum sekarang menangis lagi.
"Sayang kita masuk dulu ya.'' Ajak Bu Sinta pada putrinya.
Dengan langkah gontai dan dengan tatapan kosongnya Dinda mengikuti Ibunya masuk kedalam rumah, dia pun langsung menaiki tangga menuju ke kamarnya, Ibunya hanya mampu memandang nya dengan penuh iba.
Sesampainya di dalam kamarnya Dinda langsung menjatuhkan tubuh kecilnya di atas tempat tidur, dia masih menangis mengingat tentang Andreas.
Sementara di ruang bawah Bu Sinta sedang berbicara pada suaminya, mereka sangat menghawatirkan keadaan putrinya.
"Mas bagaimana ini, kita harus membawa Dinda ke Psikiater, jiwanya benar-benar terguncang, aku tidak mau terjadi apa-apa pada putri kita!"
"Iya Bu, putri kita sangat depresi dia belum bisa menerima kenyataan. Kita tunggu sampai seminggu ini semoga anak kita bisa pulih kembali seperti Dinda yang kemarin."
"Tapi mas??"
"Sudah kita bantu dulu Dinda dan kita hibur agar Dinda bisa melupakan semua yang terjadi."
Sebenarnya Bu Sinta sangat keberatan dengan keputusan suaminya, dia malah mengulur waktu padahal Dinda sudah seperti itu.
**
Hari ini selesai sudah studi Anton dalam meraih gelar sebagai Dokter spesialis jiwa, perjalanan yang sangat panjang hingga sampai di titik ini, dia sangat bersyukur atas segala pencapaian yang sudah ia dapat, dari dukungan, usaha serta doa dari kedua orang tuanya kini dia bisa meraih cita-citanya.
"Selamat ya sayang, semoga apa yang kamu dapat hari ini bisa berguna untuk orang lain!" Ucap Bu Mega yang bahagia melihat putranya sudah mempunyai gelar yang selama ini Anton inginkan.
"Terimakasih Ma, ini semua juga berkat doa Mama, Papa yang tak henti-henti mendoakan aku." Ucap Anton yang matanya sedikit terlihat berkaca-kaca.
Wisudawan, Wisudawati terlihat nampak gembira atas kelulusan mereka, mereka saling berfoto bersama dengan teman dan keluarga mereka. Tidak jauh berbeda dengan Anton yang juga sedang berbahagia namanya sudah tertera sebagai dr. SpKJ sesuai yang dia cita-citakan.
Sementara itu dari semalam sampai siang ini Dinda tidak pernah keluar dari kamarnya, Ibunya benar-benar sangat khawatir pada keadaan putrinya, pintu kamarnya saja terkunci dari dalam sehingga menyulitkan Ibunya untuk bisa masuk.
"Dinda buka pintu sayang, kamu belum makan. Ibu bawakan makanan kesukaanmu!'' ucap Ibunya yang masih Menunggu di depan pintu tapi nyatanya pintu itupun tidak ada pergerakan sama sekali, rasa cemas kini bertambah menjadi was-was Ibu Sinta tidak bisa membayangkan apa sebenarnya yang terjadi pada putrinya di dalam.
Bu Sinta pun segera meminta pertolongan satpam di rumahnya, dia menyuruh satpam itu untuk segera mendobrak kamar milik Dinda. Tapi nyatanya satpam itu juga tidak bisa.
"Bu, bagaimana kalau kita congkel saja jendela yang di dekat balkon kamar anda, pintu ini susah sekali di buka."
"Ya sudah kamu masuk lewat balkon kamar saya saja kalau begitu, segera kamu buka jendela kamar Dinda ya cepat!"
Akhirnya Satpam dan Bu Sinta segera masuk lewat balkon kamar utama, satpam itu berusaha membuka paksa jendela di sana sampai akhirnya.
Brak...Suara jendela itu akhirnya bisa di buka dan dengan segera Satpam itu mencoba masuk, meskipun dengan sedikit kesulitan karena jendela itu memang berukuran sedikit kecil, satpam itu berhasil masuk dengan memiringkan badannya.
"Ibu tunggu di pintu Non Dinda saja Bu, saya akan segera membuka pintunya!" Ucap Satpam itu, akhirnya Bu Sinta segera lari keluar dari kamarnya menuju pintu kamar Dinda, kini dia sudah berdiri di depan pintu milik Dinda menunggu satpam itu membuka pintunya.
Akhirnya Pintu kamar putrinya bisa terbuka, dengan segera Bu Sinta langsung masuk kedalam kamar itu, disana sudah siang tapi karena lampu kamar yang di matikan sehingga menjadikan ruangan itu menjadi gelap, dengan segera Bu Sinta membuka tirai jendela di kamar itu agar mendapat penerangan.
Bu Sinta melihat Dinda sepertinya masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi badannya, dengan pelan-pelan Bu Sinta mendekati putrinya yang sedang tidur tengkurap dengan selimut yang membungkus tubuhnya.
"Sayang sudah siang, bangun yuk...Kamu belum makan!" Sambil mengelus lembut rambut kepala putrinya, tapi disana Dinda tak bergeming sama sekali, Bu Sinta semakin heran kenapa putrinya tak meresponnya sama sekali, dia akhirnya membalikan tubuh Dinda agar bisa terlentang. Alangkah kagetnya Bu Sinta setelah melihat mulut Dinda yang penuh dengan busa.
"Dindaaaaaaaaaaa!!!! Apa yang kamu lakukan?" Bu Sinta berusa menepuk-nepuk wajah Dinda tapi tetap Dinda tak terbangun, dia melihat di tangan Dinda masih menggenggam sesuatu, dia berusaha membuka genggaman itu dari Dinda.
"Obat????? Obat apa ini?? Pak tolong saya!!!! Satpam yang masih menunggu di luar pintu pun segera berlari kedalam. Dengan tergopoh satpam itu pun segera masuk, dia juga ikut kaget melihat keadaan Dinda yang mulutnya penuh dengan cairan putih seperti busa
"Kenapa Non Dinda Bu!!"
"Saya juga kurang tahu, Pak tolong bawa Dinda ke bawah saya akan menyiapkan mobil!"
"Baik Bu, dengan sangat pelan dan sopan satpam itu pun segera membopong tubuh ringkih milik Dinda.
Sesampainya di bawah Dinda segera di masukkan ke dalam mobil, dan dengan cepat Bu Sinta segera menjalankan mobilnya menuju ke Rumah sakit. Di jalan Bu Sinta baru ingat kalau dia blm memberi tahu suaminya.
"Mas, nanti saja aku ngasih tahunya ya...Aku mentingin keselamatan putri kita" gumam Bu Sinta dalam hati.
#Tinggalkan jejak kalian yuk Readers....#
Sesampainya di Rumah Sakit Dinda langsung ditangani oleh seorang Dokter, denyut nadi Dinda sedikit melemah, mungkin karena dia terlalu banyak mengkonsumsi obat sehingga mengakibatkan overdosis dan mengganggu beberapa organ-organ di tubuhnya, dia mengalami kesulitan bernafas, dan kesadaran yang mulai menurun.
Bantuan pernafasan pun di lakukan untuk membantu melonggarkan pasien bernafas, seharusnya cairan obat itu harus di keluarkan dan bisa dimuntahkan dari dalam perut Dinda, tapi karena pasien pingsan jadi sulit untuk mengeluarkannya.
Akhirnya Dokter hanya bisa memberikan obat untuk menetralisir obat yang sudah terlanjur masuk di tubuh pasien. Disana selang infus pun sudah di pasang di tangan Dinda berharap pasien bisa mendapat bantuan cairan pada tubuhnya.
Usaha dari Dokter pun tidak sia-sia Dinda akhirnya terbangun dari kesadarannya setelah membuka matanya dia merasakan mual yang tidak tertahankan dan???
Huek....huek....
Benar saja Dinda akhirnya muntah-muntah parah, Ibunya yang melihat sampai panik dan khawatir.
"Dok, apa yang terjadi pada putri saya!"
"Ibu jangan khawatir kalau pasien bisa muntah malah bagus, jadi dia bisa mengeluarkan sisa-sisa obat yang di dalam tubuhnya."
"Bu aku dimana?" Ucap Dinda dengan suara lirih dan dengan wajahnya yang sangat pucat.
"Kita ada di Rumah Sakit sayang." Ucap Ibunya dengan matanya yang sudah mulai basah oleh tangisnya.
"Bu apa Andreas sudah datang? Kenapa dia tidak menjengukku di Rumah Sakit?" Ibunya tidak bisa menjawab pertanyaan dari Dinda, sungguh air matanya malah semakin deras membanjiri pipinya.
"Ibu kenapa Ibu diam saja!" Dan kenapa Ibu menangis?"
"Tidak apa-apa sayang, mungkin Andreas sedang sibuk." Ucapnya begitu saja, dia tidak ingin membuat depresi Dinda semakin parah. Dia ingin memulihkan kesehatan Dinda saja tanpa harus membebani fikirannya lagi, mungkin dengan pelan-pelan nanti dia akan mulai terbiasa menghadapi hidup tanpa Andreas.
***
Sementara itu Anton sedang mendapat panggilan dari sebuah Rumah Sakit yang sedang membutuhkan seorang Dokter kejiwaan, jiwanya merasa terpanggil disana, dia harus bisa memberikan apa yang dia dapat untuk bisa membantu banyak orang.
"Aku akan ambil, aku akan coba mengasah kemampuanku dalam bekerja dan membantu orang." Ucapnya disana.
Bu Mega yang melihat putranya sepertinya sedang memikirkan sesuatu akhirnya segera mendekati Anton disana.
"Ada apa sayang, sepertinya kamu sedang bahagia?"
"Iya Ma, aku dapat panggilan di salah satu Rumah Sakit besar yang membutuhkan Dokter spesialis kejiwaan Ma!"
"Wah... Bagus itu, kamu ambil kan? Mama akan beri dukungan untuk kamu, Mama berharap kamu bisa membantu banyak orang nantinya."
"Anton ambil Ma, terimakasih banyak ya Mama sudah mendukung Anton sejauh ini."
"Sama-sama sayang."
Sebenarnya Papa Anton adalah seorang pengusaha, tapi Anton yang sebenarnya dia harapkan bisa menjadi penerusnya malah memilih menjadi seorang Dokter, tapi kedua orang tua Anton tidak pernah memaksa putranya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Mereka malah mendukung penuh dengan apa yang dicita-citakan putranya.
Sejak kecil Anton sudah terbiasa melihat Pamannya yang dulu pernah mengalami gangguan jiwa, karena bisnisnya yang bangkrut malah membuat Pamannya gila.
Sebelum kejadian itu Pamannya sangat menyayangi Anton, bahkan Anton sudah menganggap Pamannya sebagai Papa kedua baginya, dia sangat sedih setelah melihat Pamannya menjadi gila. Dia berjanji dalam dirinya sendiri suatu saat dia ingin menjadi seorang Dokter untuk bisa membantu semua orang yang mengalami gangguan jiwa.
Sementara itu Dinda yang sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit tiba-tiba mengamuk, dia ingin melepas selang infus yang berada di tangannya, dia ingin sekali pulang ke rumahnya, dia sudah tidak tahan berada di Rumah Sakit.
Dia tidak bisa bertemu dengan Andreas.
Kadang dia bisa mengingat kembali kejadian yang sebenarnya terjadi, tapi halusinasinya tetap membayangi dalam fikirannya, dia belum bisa melupakan dan mengikhlaskan Andreas dia belum bisa menerima kenyataan. Menurutnya itu semua hanya mimpi, dan tidak benar-benar terjadi. Dia merasa Andreas masih ada di dekatnya.
Seorang suster yang mencoba menahan amukan Dinda sampai kuwalahan, entah mengapa tenaga Dinda benar-benar kuat sekali. Sampai-sampai Ibunya meminta bantuan pada orang disana untuk bisa memegangi tangan Dinda.
Tidak menunggu lama akhirnya Dinda bisa di lemahkan kini dia hanya mampu tertidur dengan suntikan penenang yang Dokter berikan.
"Bu, bisa kita bicara sebentar, anda bisa ikut keruangan saya!" Ucap Dokter disana.
"Baik Dok." Akhirnya Bu Sinta mengikuti Dokter itu berjalan menuju keruangannya. Sesampainya di ruangannya Dokter itu pun mulai berbicara serius.
"Maaf Bu sepertinya putri Ibu harus mendapat penanganan khusus, saya melihat kejiwaannya putri Ibu sedang terganggu, maaf saya takut putri anda malah bisa melukai dirinya sendiri seperti tadi kalau tidak segera ditangani, kalau bisa putri anda harus di rehabilitasi di Rumah Sakit jiwa!"
Disana jantung Bu Sinta semakin cepat memompa setelah mendapat penjelasan dari Dokter "Apakah anakku gila?" Ucapnya dalam hati.
"Maaf Bu, rehabilitasi itu untuk memastikan bahwa kondisi pasien dapat dievaluasi lebih ketat. Mendapatkan supervisi agar pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. Semoga dengan dilakukan rehabilitasi putri anda bisa segera di pulihkan kejiwaannya.
"Adakah Rumah Sakit yang terbaik untuk putri saya Dok?"
"Ada Bu, saya sudah banyak merekomendasikan Rumah Sakit itu untuk orang yang mengalami depresi, serta gangguan jiwa lainya. Nanti saya akan memberi tahukan Rumah Sakitnya pada Ibu."
"Terimakasih banyak Dok."
Dengan langkah yang berat akhirnya Bu Sinta kembali ke ruangan putrinya, disana dia mendapati suaminya yang sedang duduk disamping putrinya Dinda.
"Mas, kamu sudah datang?"
"Iya, baru saja. Kenapa kamu tidak langsung memberi tahuku tadi, jadi aku bisa langsung pulang!"
"Maaf, pas kejadian itu aku sangat panik, yang difikiranku hanya menyelamatkan putri kita."
"Ya sudah tidak apa-apa, putri kita tidak kenapa-kenapa kan?"
"Dinda sudah tidak terkendali mas, barusan aku di panggil keruangan Dokter, dan Dokter menyarankan kalau Dinda harus di rehab di Rumah Sakit jiwa."
"Apa!!!! Jadi apakah Dokter itu menganggap putri kita gila!!!"
"Bukan seperti itu mas, Dinda butuh penanganan khusus, tadi saja dia sudah hampir melukai dirinya sendiri, dia berusaha melepas selang infus ditangannya. Dan obat-obatan yang dia minum, dia ingin mengakhiri hidupnya dan ingin bersama Andreas."
Wajah Pak Bagas tiba-tiba terlihat sedih, dia tidak menyangka kepergian Andreas sampai membuatnya ingin mencoba Mengakhiri hidupnya, sebegitu berarti kah Andreas untukmu Nak? Dengan wajah yang berkaca-kaca Pak Bagas melihat ke arah wajah putrinya yang tertidur lemah disana.
"Baiklah, kali ini aku setuju kalau putri kita di rehab Bu." wajah Bu Sinta menjadi lega setelah suaminya mengijinkan Dinda untuk di rehab. Padahal dari kemarin suaminya tidak membolehkannya.
"Kalau begitu aku akan menanyakan pada Dokter dimana Rumah Sakit terbaik untuk putri kita rehab."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!