"Apa perempuan dalam foto dan video itu benar kamu?" tanya Ayah dengan suara tinggi. Pria paruh baya itu memperlihatkan foto dan video yang beredar di grup chat tempat tinggalnya.
Dengan tangan gemetar Aisha mengambil ponsel yang ayahnya sodorkan. Dia melihat foto dan video yang beredar itu.
Dadanya terasa sesak melihatnya, karena itu benar dirinya. Aisha tidak percaya jika foto dan video itu bisa beredar. Bukankah Ikhbar sang kekasih mengatakan jika semua itu hanya untuk di simpan saja sebagai kenangan.
"Benar itu kamu!?" tanya Ayah dengan bentakan.
Ayah mendekati Aisha, lalu menarik baju anaknya agar berdiri. Pria itu lalu mengangkat tangannya dan menampar pipi kiri dan kanan putrinya. Tamparan yang begitu keras membuat gadis itu terhuyung dan jatuh.
Ibu yang melihat itu berteriak, dan memegang tangan ayah yang masih ingin menampar pipi putrinya itu. Ibu mengerti jika ayah sangat kecewa dan marah, tapi dia juga tidak tega melihat anak gadisnya di tampar.
Aisha memegang pipinya yang terasa panas. Darah segar mengucur dari sudut bibir gadis itu.
"Apa kamu sudah tidak takut dosa sehingga melakukan hal gila seperti itu? Kamu seperti anak yang tidak pernah di didik agama! Di mana mau ayah taruh wajah ini. Pasti saat ini seluruh kampung sedang membicarakan aibmu ini!" teriak ayah.
"Ayah, sabar. Jangan marah-marah. Ingat, jika ayah memiliki riwayat jantung dan darah tinggi," ucap Ibu berusaha menenangkan suaminya.
Dengan menahan rasa sakit di pipi, Aisha merangkak dan bersimpuh di kaki ayahnya. Dia memegang kedua kaki pria paruh baya itu.
"Ayah, maafkan Aisha. Aisha janji tidak akan mengulangnya lagi," ucap gadis itu dengan suara terbata.
Tanpa di duga, ayah menendang tubuh Aisha sehingga gadis itu kembali tersungkur ke lantai. Ibu menutup mulutnya agar tidak berteriak.
"Sudahlah, Ayah. Jangan lakukan kekerasan. Kita bicarakan baik-baik," ucap Ibu.
"Tidak ada gunanya bicara baik-baik! Semua telah terjadi. Seluruh kampung telah tahu aib anak kita. Aku malu memiliki anak seperti kamu. Jika tahu besarnya kamu akan seperti ini, lebih baik kamu tidak dilahirkan!" ucap Ayah dengan suara lantang.
"Istighfar, Ayah. Tidak baik berkata begitu. Sama saja ayah menyalahkan takdir," ucap Ibu.
Ayah lalu berjalan meninggalkan Ibu dan Aisha. Dia masuk ke kamar dan menguncinya.
Gadis itu lalu mendekati ibunya. Bersimpuh di kaki wanita yang telah melahirkan dirinya.
"Ibu, maafkan Aisha," ucap Aisha dengan terbata karena menangis.
"Kenapa kamu tidak pernah berpikir saat melakukan itu, Nak? Apa selama ini Ibu kurang dalam mendidik dan mengajari kamu? Ibu telah gagal. Semua salah Ibu." Ibu bicara sambil menangis.
"Ibu tidak salah. Ini murni kesalahanku," ucap Aisha.
Ibu duduk dan memijat kepalanya yang terasa sangat pusing. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Sebagai seseorang yang dihormati di kampung, tentu ayah sangat malu dengan apa yang telah Aisha lakukan.
Ayah seorang yang cukup disegani, karena dia salah satu warga yang terkenal taat beribadah. Pasti pria itu sangat terpukul saat melihat kenyataan jika putrinya memiliki aib yang sangat memalukan.
Cukup lama ibu dan anak itu terdiam. Akhirnya ibu buka suara. Dia meminta Aisha kembali meminta maaf pada ayahnya dan segeralah bertaubat. Jauhi zina.
"Baikkah, Bu. Aku akan lakukan apa pun yang ayah pinta nantinya akan aku lakukan," kata Aisha.
Aisha berjalan ke kamar ayahnya. Mengetuk sambil memanggil. Cukup lama melakukan itu tapi tidak ada sahutan.
Ibu lalu mengajak Aisha untuk makan malam. Setelah itu Ibu memanggil ayah, tapi tetap tidak ada sahutan.
Hingga tengah malam ayah tidak juga keluar dari kamar. Ibu dan Aisha yang menunggu di ruang keluarga menjadi gelisah dan kuatir. Kembali wanita yang telah melahirkan Aisha itu memanggil, tidak juga ada jawaban.
"Ibu, bagaimana jika kita buka paksa saja. Aku kuatir dengan ayah," ucap Aisha.
"Ibu juga memiliki rencana yang sama denganmu. Kita minta bantuan siapa?" tanya Ibu.
"Kita minta bantu sama Mas Adam saja. Dia pasti masih jualan jam segini," saran Aisha.
"Betul, Nak. Kamu coba temui Adam sana," ucap Ibu.
Adam tetangga Aisha yang membuka warung nasi goreng. Dia berjualan hingga pukul tiga pagi. Aisha berlari menuju warung Adam dan meminta bantuan pria itu.
Kebetulan warungnya baru saja di tutup. Adam lalu berjalan menuju rumah Aisha.
"Nak Adam, tolong bantu Ibu. Bapak Mengunci pintu dari dalam. Ibu kuatir karena dari sore tidak keluar dari kamar," ucap Ibu terbata.
"Apa ibu ada obeng untuk membuka gagang pintu ini?" tanya Adam.
"Ada, Mas. Biar aku ambilkan," jawab Aisha. Dia berlari menuju dapur lalu mengambil obeng yang ada di laci dekat lemari dapur. Setelah itu Aisha menyerahkan pada Adam.
Adam mencoba membuka gagang pintu dengan obeng. Cukup sulit juga dia membukanya. Setelah sepuluh menit mencoba, akhirnya pintu terbuka. Ibu dan Aisha langsung masuk dan berteriak saat melihat tubuh ayah yang tergeletak di lantai.
"Ayah, bangun. Aisha mohon maaf, Yah. Bangun, Yah!" teriak Aisha sambil mengguncang tubuh pria paruh baya itu.
Adam mendekati tubuh ayah Aisha dan menggendongnya. Dia lalu memeriksa denyut nadinya. Pria itu menggelengkan kepala.
"Maaf Bu, Aisha, sepertinya ayah kamu telah tiada," ucap Adam pelan dan hati-hati.
Ibu dan Aisha yang mendengar ucapan Adam sangat terkejut. Mereka lalu mendekati tubuh ayah.
"Tidak mungkin. Ayah pasti hanya pingsan. Ayah tidak mungkin pergi," ucap Aisha.
"Aku panggilkan Dokter Wati dulu. Untuk memastikan semuanya," ujar Adam.
Pria itu lalu berlari keluar rumah, dia menggunakan motor Aisha menuju ke rumah Dokter Wati. Aisha dan Ibu menangis di samping tubuh ayah.
"Ayah, bangunlah! Ayah tidak mungkin pergi'kan? Ayah tidak mungkin meninggalkan Aisha dan Ibu," ucap Aisha dengan suara terbata karena menangis.
Aisha mengguncang tubuh ayah dengan pelan. Ibu hanya menangis tanpa bisa mengucap sepatah kata pun.
"Ayah, bangun! Ayah boleh menamparku. Menendang ku, bahkan kalau perlu membunuhku karena telah membuat malu. Tapi ayah tidak boleh pergi. Jangan menghukum ku seberat ini," ucap Aisha.
Setengah jam menunggu, akhirnya Dokter Wati datang. Dia lalu memeriksa keadaan ayah. Setelah beberapa saat dia menghentikan pemeriksaan.
"Maaf Bu, Bapak telah pergi mendahului kita sekitar dua jam lalu," kata Dokter dengan suara pelan.
Aisha yang berdiri di samping tempat tidur sangat terkejut mendengar ucapan Dokter itu. Tubuhnya terasa lemah, dan dia terjatuh ke lantai.
...----------------...
Aisha tidak bisa berucap sepatah katapun. Dadanya terasa sesak menahan sebak. Adam langsung membereskan rumah untuk semayamkan jenazah.
Adam juga memberi tahu kepala desa hingga tetangga. Setelah sholat subuh para tetangga satu persatu mulai berdatangan. Aisha masih syok tidak percaya dengan yang terjadi.
Aisha teringat video yang tersebar di grup wa warga sekitar tempat tinggalnya. Video saat dia berhubungan badan dengan kekasihnya Ikhbar. Pria itu membujuk dan merayu hingga dia rela menyerahkan kehormatannya pada sang kekasih.
Dalam video yang beredar, wajah Ikhbar tidak begitu terlihat. Namun, wajahnya tampak jelas. Apa lagi foto-foto itu. Terpampang sempurna mukanya Aisha. Foto saat dia hanya menggunakan pakaian dalam.
Aisha memukul dadanya yang sesak. Mengingat ayahnya sampai meninggal karena syok dan malu atas perbuatan yang dia lakukan.
Aisha mengambil jilbab yang dibelikan ayahnya. Dia ingin Aisha menggunakan hijab tapi gadis itu selalu berkata 'tunggu dulu'.
"Ayah, Aisha mulai hari ini janji, akan menggunakan hijab sesuai keinginan ayah," gumam Aisha.
Setelah berpakaian tertutup, Aisha keluar dari kamar. Semua mata pelayat tertuju pada gadis itu. Hingga dia menunduk karena malu. Dia duduk di samping jenazah ayahnya.
Aisha membuka kain penutup wajah ayahnya. Air matanya kembali tumpah. Gadis itu memeluk tubuh kaku sang ayah.
"Ayah maafkan Aisha," ucap Aisha dengan terbata. Dia terus memeluk tubuh kaku sang ayah.
Di belakang Aisha ibu-ibu tetangga membicarakan dirinya. Gadis itu mendengar jelas apa yang mereka gunjingkan.
"Pasti ayahnya jantungan setelah melihat video Aisha yang berzina itu," ucap Ibu A.
"Pastilah. Orang ayahnya seperti ustad, kelakuan anaknya memalukan," ujar Ibu B.
"Sama saja dia yang membunuh ayahnya sendiri," ucap Ibu C.
Dada Aisha semakin terasa sesak mendengar ucapan ibu-ibu tetangga itu. Dia menarik napas berat. Mengingat apa yang dikatakan mereka ada benarnya.
"Aku memang yang membunuh ayahku. Karena aku dia meninggal," gumam Aisha dalam hatinya.
Seorang tokoh agama lalu memandikan jenazah ayah. Aisha tidak sanggup melakukan itu. Tubuhnya terasa lemah.
Setelah dimandikan dan dikafani, lalu jenazah ayah di solatkan. Semua telah dilakukan hingga tiba saatnya di bawa menuju pemakaman. Aisha dan ibunya berada di ambulans bersama jenazah ayah.
Pemakaman dilakukan oleh pemuda setempat. Aisha merasakan tubuhnya semakin lemah melihat jenazah ayah dimasukan ke liang lahat.
Saat tanah akan diturunkan untuk menutupi liang lahat, Aisha tidak bisa menahan diri lagi. Dia berlari dan ingin masuk ke kubur ayahnya. Beruntung tubuhnya di tahan Adam.
"Lepaskan aku, Mas. Aku ingin ikut dengan ayah. Ayah ... jangan tinggalkan aku! Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku," ucap Aisha sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
**
Aisha terbangun saat mendengar suara orang-orang yang sedang mengaji. Dia langsung berjalan keluar dan melihat banyak orang sedang mengaji. Barulah dia tersadar apa yang telah terjadi.
Tubuhnya kembali terasa lemah. Dia terduduk teringat kepergian ayahnya. Air mata kembali membasahi pipinya. Apa lagi saat melihat ibunya yang terdiam di antara para pelayat.
Aisha mengambil hijab dan mengenakannya. Dia harus meminta penjelasan Ikhbar atas beredarnya video mereka. Dengan melangkah pelan, Aisha keluar dari rumah lewat pintu belakang.
Dengan menggunakan ojek motor, Aisha menuju rumah Ikhbar. Sepuluh menit perjalanan dia tiba di rumah kekasihnya. Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah pria itu.
Beberapa saat kemudian, seseorang membuka pintu. Terlihat wajah ibunya Ikhbar.
"Selamat malam, Bu. Apa ada Ikhbar?" tanya Aisha.
Bukannya menjawab pertanyaan Aisha, justru dia menatap gadis itu dengan mata tajam. Dia keluar dari rumah. Saat ini mereka sudah saling berhadapan.
"Untuk apa kau cari Ikhbar? Apa kau yang ada di video itu?" tanya ibunya Ikhbar dengan suara sedikit tinggi.
Aisha menarik napas dalam. Berarti ibunya Ikhbar telah mengetahui tentang video itu, pikir gadis itu. Dia harus meminta pertanggungjawaban dari pria itu. Aisha akhirnya mengangguk sebagai jawaban. Wajah ibunya Ikhbar tampak menegang menahan amarah.
"Untuk apa kau cari Ikhbar lagi. Gara-gara kau, kami harus menanggung malu. Seluruh tetangga jadi tahu kelakuan Ikhbar. Aku yakin semua ini karena hasutan kamu. Kamu yang mengajaknya berzina, bukan?" tanya ibunya Ikhbar.
"Bu, aku dan Ikhbar sama-sama mau. Tidak ada yang benar, kami berdua salah karena melakukan itu. Cuma aku ingin tahu, kenapa video itu bisa tersebar," ucap Aisha dengan suara pelan.
"Jangan pura-pura baik. Aku tahu kaulah yang menyebarkan semuanya. Dengarkan aku! Jangan pernah temui Ikhbar lagi. Dia telah dimasukan ke pesantren. Sekarang kau pergi dari rumahku!" usir Ibunya Ikhbar.
"Aku tidak akan pergi sebelum mendapatkan penjelasan dari Ikhbar. Ayahku sampai meninggal karena melihat foto itu," ucap Aisha.
"Kenapa jika ayahmu meninggal? apa semua itu salah Ikhbar juga? Kamu seharusnya ngaca. Ayahmu meninggal karena malu memiliki anak gadis seliar kamu! Sekarang pergilah dari rumahku. Jangan pernah mencari anakku. Dia telah taubat atas perbuatanmya. Saat ini ada di pesantren!"
Setelah mengucapkan itu ibunya Ikhbar masuk ke rumah dan menguncinya. Aisha akhirnya berjalan meninggalkan rumah kediaman orang tua Ikhbar.
Dengan langkah pelan dia berjalan. Tidak ada niat memanggil ojek. Berjalan tanpa henti. Langit yang gelap akhirnya menurunkan air matanya. Hujan turun membasahi bumi.
Aisha tetap berjalan walau tubuhnya basah kuyup. Air matanya jatuh membasahi pipi.
"Ayah, maafkan aku. Apa ayah kedinginan? Aku akan datang menemani, Ayah," gumam Aisha pada diri sendiri.
Aisha memanggil ojek dan meminta mengantarnya ke pemakaman. Suasana hujan membuat tempat itu mencekam. Namun, tidak ada rasa takut pada wanita itu.
Dia duduk berlutut di samping kuburan ayahnya. Memeluk nisan ayahnya.
"Ayah, bangunlah! Kembali pada kami. Aku rela ayah memukulku hingga mencambukku, dari pada ayah pergi begini. Kenapa ayah menghukumku begitu berat. Kenapa ayah tidak bunuh saja aku. Kasihan ibu yang harus kehilangan ayah. Bangunlah, Ayah," ucap Aisha dengan suara terbata.
Cukup lama dia di kuburan. Teringat ibunya yang seorang diri di rumah. Aisha bangun. Meninggalkan kuburan ayahnya.
Sampai di rumah, Aisha melihat ibunya menangis sambil memeluk baju yang terakhir ayahnya gunakan. Hati Aisha menjadi remuk melihat pemandangan itu. Dia masuk dan bersimpuh di kaki ibunya.
"Ibu, maafkan aku!" Hanya itu yang Aisha bisa ucapkan.
"Pergilah dari hadapan ibu, Nak. Ibu belum siap bertemu kamu. Melihat kamu mengingatkan pada ayahmu," jawab Ibu dengan suara datar.
"Jika memang kepergianku bisa membuat Ibu lebih baik, baiklah. Akan aku lakukan," ucap Aisha.
Dia berdiri dan meninggalkan ibunya seorang diri. Aisha masuk ke kamar dan mengambil tas kopernya. Mungkin kepergiannya akan lebih baik bagi sang ibu, pikir Aisha.
...----------------...
Aisha keluar dari kamar dan kembali menemui ibunya. Dia berlutut dihadapan wanita itu.
"Ibu, aku mohon untuk malam ini saja aku menginap di rumah. Besok aku janji akan pergi. Aku takut keluar, sudah sangat malam," ucap Aisha dengan suara memohon.
"Terserah," ucap Ibu. Wanita itu berdiri dan masuk ke kamar. Di dalam tangisnya pecah. Dada Aisha terasa sesak mendengar tangisan sang ibu. Dia masuk ke kamar dan memukul kepalanya.
"Dasar bodoh. Kau memang anak yang tidak berguna. Bisanya hanya membuat kedua orang tau malu. Kau pembunuh," ucap Aisha pada dirinya sendiri. Dia juga memukul dadanya yang terasa nyeri, mendengar suara tangisan sang ibunda.
Di dalam kamar ibu Aisha masih menangis sambil memeluk bantal yang biasa ayah gunakan. Dia merasa sangat kehilangan suaminya.
**
Pagi menjelang, setelah melaksanakan solat subuh, Aisha keluar dari kamar dengan pakaian yang tertutup. Sangat berbeda dengan penampilan dirinya dahulu.
Aisha mengetuk pintu kamar ibunya. Beberapa kali mengetuk, tapi tidak juga dibukakan. Akhirnya dia pamit dari balik pintu saja.
"Ibu, maafkan aku. Aku tahu semua ini karena salahku. Ibu bisa menghukumku dengan apa saja. Aku terima. Termasuk mengusirku dari rumah ini. Aku akan pergi sesuai keinginan Ibu. Jaga kesehatan Ibu. Aku sangat menyayangi, Ibu. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku akan tetap memberi kabar, walau mungkin ibu tidak menginginkan semua ini," ucap Aisha dengan suara serak menahan tangis.
Aisha menyeret kopernya menuju halaman rumah. Taksi yang dia pesan telah menunggu. Gadis itu selama ini bekerja sambil kuliah. Dia memiliki uang tabungan yang cukup. Uang itu awalnya untuk menambah biaya pernikahan kelak.
Aisha memandangi rumahnya hingga hilang dari pandangan. Air mata jatuh membasahi kedua pipinya.
"Aku hanya bisa menyesali kegagalan yang aku alami. Aku yang seharusnya bisa menjadi seseorang yang kalian banggakan, justru mengecewakan kalian. Hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan atas kegagalanku untuk membahagiakan kalian. Beribu kata maaf yang aku ucapkan kepada kalian, tidak akan pernah bisa menghapus segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku yang selama ini sibuk dengan dunia sendiri, hanya bisa menyesali apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku lupa bahwa ada yang lebih penting dibandingkan kebahagiaan diriku sendiri yaitu kebahagiaan kalian berdua. Ayah dan Ibu, maafkan anakmu ini."
Dari balik jendela ibu mengintip kepergian putrinya. Dia memegang dadanya yang terasa nyeri.
"Maaf, Nak. Untuk saat ini, perpisahan mungkin jalan terbaik bagi kita. Semua untuk mengobati luka hati ini. Bukannya ibu tidak sayang denganmu, tapi ibu tidak bisa harus berdekatan denganmu. Setiap melihatmu, ibu teringat ayah. Doa ibu tetap menyertai setiap langkahmu. Semoga kau bertaubat dan mendapat hidayah," ucap Ibu dalam hati.
Aisha turun dari taksi dan meminta supir menunggu. Dia masuk ke pemakaman umum. Duduk di samping kuburan sang ayah.
"Ayah, walau pun kata maaf dari mulutku tidak ada artinya, tapi aku akan tetap mengucapkan itu setiap saat. Maafkan aku, ayah. Maafkan anakmu yang penuh dosa ini. Tidak ada kata yang bisa ku ucapkan selain maaf, maaf dan maaf atas semua yang aku lakukan. Aku akan pergi. Semoga nanti kembali setelah aku berubah seperti yang ayah dan ibu inginkan. Tenang di sana, Ayah," gumam Aisha pada dirinya sendiri sambil memeluk nisan sang ayah.
Aisha kembali masuk ke mobil dan meminta supir menjalankan mobilnya menuju terminal. Dari sana dia akan pergi ke luar kota. Dia akan menetap di sebuah pesantren. Dengan uang simpanan yang dia miliki, Aisha yakin bisa hidup di pesantren. Dia akan tetap bekerja dengan berjualan online. Aisha masuk ke pesantren itu. Dia diterima dengan baik.
Awal di pesantren, Aisha merasa sangat sulit beradaptasi. Namun, dia tidak akan menyerah, tekadnya telah bulat untuk berubah menjadi yang lebih baik.
"Untuk sosok yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku, maaf karena belum bisa menjadi anak yang bisa kalian banggakan. Sebagai anak, aku tidak tahu ungkapan maaf apa yang harus kulontarkan. Aku juga tak tahu dari mana harus memulai pembicaraan. Semoga maaf ayah dan ibu masih tersisa untuk anakmu yang terlalu banyak kekurangan ini."
"Ibu dan Ayah, rasa sakit yang aku sebabkan padamu membuatku sangat sedih. Aku benar-benar minta maaf dan aku meminta pengampunan Ibu dan Ayah. Setiap tetes airmatamu biar jadi sesalku serta pengingat bagiku untuk berusaha memperbaiki diri sebagai sosok yang pantas kau sebut buah hati. Hatiku sakit karena aku membuat hatimu sakit, Ibu dan Ayah. Aku minta maaf!"
***
Hari-hari terus berjalan. Sudah tiga tahun lamanya Aisha tinggal di pesantren. Penampilan dan cara tutur katanya telah jauh berubah.
Selama di pesantren, dia selalu mengabarkan ibunya. Hubungan mereka telah kembali membaik. Jika lebaran, ibu yang datang berkunjung, gadis itu belum mau kembali ke desa. Walau warga sudah mulai melupakan semua kisahnya.
Sering ustad di pesantren menjodohkan Aisha dengan anak mereka, tapi gadis itu menolak dengan halus. Dia masih takut memulai berhubungan dengan pria. Aisha juga takut, saat mereka tahu tentang masa lalunya.
Ibu dan Aisha telah memutuskan pindah ke kota yang cukup jauh dari dulu mereka tinggal. Dari hasil penjualan tanah dan rumah, mereka membeli rumah yang mungil.
Di sini tidak ada yang mengenal mereka. Setelah kembali dari pesantren, Aisha rajin ke mesjid mengikuti pengajian. Bisnis online nya makin besar dan terkenal. Dengan uang itu Aisha bisa menghidupi ibunya.
"Bu, aku ingin ikut pengajian di mesjid A. Apa ibu mau ikut?" tanya Aisha.
"Kamu saja pergi, Nak," jawab ibu.
"Baiklah, Bu. Hati-hati di rumah. Lauk dan nasi telah Aisha masak. Ibu makanlah," ujar Aisha.
"Terima kasih, Nak. Ibu bahagia sekali melihat perubahan kamu saat ini. Semoga kamu istiqomah dengan penampilan saat ini," doa ibu.
Aisha saat ini telah menggunakan hijab dan pakaian tertutup. Dia juga selalu mengikuti pengajian di setiap mesjid yang dia tahu. Seperti sore ini, dengan menggunakan motor dia pergi pengajian ke kota.
Aisha memarkirkan motornya di halaman mesjid. Ibu-ibu yang mengenal Aisha karena sering ikut pengajian, tersenyum padanya.
Aisha masuk ke mesjid dan duduk di sudut paling belakang. Ibu-ibu itu mengatakan ustad yang akan memberi tausiah kali ini masih sangat muda dan tampan.
"Ustad nanti itu sangat muda dan tampan. Cocok sama Nak Aisha," ucap salah seorang ibu, membuat Aisha tersenyum.
Tidak berapa lama terdengar suara salam. Aisha merasa tidak asing dengan suara itu. Dia memandang ke arah pintu masuk. Jantungnya berdetak lebih cepat, melihat siapa yang masuk. Seorang ustad muda yang sangat dia kenal.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!