NovelToon NovelToon

MY LOVE IS MADAME

DEANDRA MALIK

     Deandra Malik, pemuda berusia 17 tahun. Dia tampan, dengan tinggi badan 174 cm. Hidung mancung, bibirnya yang sexy bagian bawahnya yang tebal dan memiliki belahan. Alisnya yang tebal, dan satu lagi kulitnya yang putih. Jangan kira dia punya darah belasteran. Tidak! Cowok yang lebih akrab di sapa Dean atau Ndra oleh teman-temannya ini asli Pribumi.

"Gilaa! Ganteng banget dia woi!"

"Deandra! Lo mau gak jadi pacar gue?"

"Dih, apa-apaan sih lo! Sama gue aja, Ndra!"

Begitulah yang sering Dean dengar ketika mulai melangkahkan kaki disetiap sudut sekolah. Tak jarang juga dia sering mendapatkan bingkisan berupa makanan dan banyak lagi jenisnya. Bisa dibilang banyak yang menggemari cowok itu.

"Oke! Kalian semua gue pacarin." Teriak Dean lengkap dengan gaya narsisnya.

Plak! Bunyi suara mistar tepat mengenai kepala Dean sehingga membuat empunya tersentak, lantas bangun dari tidurnya.

"Aduh! Kepala gue sakit bego! Siapa yang ngelempar?!" gerutu Dean, sambil memberi sedikit penekanan datar diujung karena melihat para siswa siswi dan guru menatap kearahnya.

"Enak banget kamu, saya lagi menjelaskan di depan kamu malah tidur!" Teriak sang guru.

Beliau adalah Jovanka yang lantas di panggil Bu Anka oleh murid-murid nya. Dia seorang guru Fisika. Guru paling Killer yang paling di hindari dan ditakuti semua siswa siswi di sekolah.

"Anjir! Gue mimpi," Batin Dean.

"Nggak Bu, Maaf." Cicit pemuda itu sambil menyengir, betapa malunya jika berada di posisinya sekarang.

"Kenapa kamu masih diam disitu?! Keliling lapangan sekarang juga. sepuluh kali!" Bentak Jovanka, dia sangat kewalahan menghadapi Deandra. Bisa di bilang Dean salah satu murid bandel di sekolah.

"Ibu juga salah masuk gak bilang-bilang," Dean bergumam wajahnya memelas menyadari akan mendapat hukuman dari guru yang tidak pernah absen menghukumnya.

"Bilang apa kamu? Gak terima sama hukuman nya, iya?!" Pekik Jovanka yang sudah emosi di buatnya.

"Dia bilang, salah ibu juga masuk gak bilang-bilang. Itu katanya bu." Adu Gara lantas memberikan cengiran kepada Dean, yang langsung jadi pusat perhatian semua pasang mata di kelas itu.

Gara Mahesa! Cowok dengan wajah yang dominan imut nan tampan itu adalah salah satu sahabat baik Dean. Matanya yang sedikit sipit membuatnya seperti anak laki-laki yang berasal di Negri Ginseng, tapi dia juga asli Pribumi.

Deandra memutar bola mata jengah. "Gini punya temen? Bukannya nolong malah ngaduin,"

"Jadi Kamu nyalahin saya? Mau saya tambah hukuman nya?" Dengan cepat Dean menggeleng. "Cepat sana keluar!!"

Lagi, Bentakan dari Jovanka membuat para murid dikelas itu bergidik ngeri, mereka sungguh ketakutan.

"Iya Ibu, ini saya mau keluar." Sahut Dean dengan nada lesu.

Setelahnya dia keluar dengan kesal meskipun tidak dia tujukan. Tadinya, Deandra sedang bermimpi indah. Yaitu jadi seorang pangeran disekolah. Tapi itu bukan sepenuhnya mimpi, dirinya memang mempunyai penggemar.

Sedangkan di tempat lain, satu Keluarga yang sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Rumah bak istana megah yang lantas selalu jadi idaman manusia pada umumnya.

"Good Morning! Mami, Papi, Kak Irene!" Sapa wanita yang baru akan bergabung untuk sarapan bersama. Wanita itu sedang menapaki turun anak tangga.

Jihan Sempani, yang lebih akrab di panggil Jihan. Di usianya yang sudah menginjak 25 tahun lantas membuatnya menjadi wanita karier. Orang-orang sering mengatakan jika kecantikan Jihan sungguh tidak manusiawi, bak dewi kayangan. Dia adalah seorang CEO di salah satu perusahaan Ayahnya. Anak kedua dari Ario Sempani.

Sedangkan Ayahnya, Ario Sempani adalah seorang Pengusaha besar. Ario memiliki empat anak perusahaan yang masing-masing di kelola oleh kedua putrinya. Ario sendiri memiliki istri keturunan Korea-Australia, yang bernama Aryna. Lantas pernikahan mereka membuahkan tiga orang wanita cantik.

"Papi! Jadi kapan bungsu pulang? Aku udah kangen banget sama dia." Ucap manja Irene.

Irene Sempani, sang putri sulung. Usianya dengan Jihan hanya berjarak satu tahun. Mitosnya, anak pertama itu selalu jadi bahan percobaan kedua orangtuanya. Jadi, jika tidak berwajah rupawan artinya akan memiliki wajah yang bisa dibilang standar. Tetapi di Irene sepertinya mitos itu tidak sepenuhnya benar, wajah cantiknya bahkan terpahat sempurna. Mungkin berkat darah dari kedua orangtuanya yang tidak bisa di ragukan lagi.

"Iya Pi! Kuliahnya juga udah lama selesai," Komentar Jihan, tangannya sibuk dengan garpu makanan.

"Papi sama Mami rencananya mau suruh dia pulang besok atau lusa," Ujar Aryna memberitahu kedua putrinya.

"Iya, Mami benar! Nanti rencananya Papi mau kasih Surprise,"

"Serius? Yaudah, gimana kalau hari ini aku sama Jihan bantuin siapin surprisenya?" Tawar Irene penuh antusias.

Ario menggeleng cepat. "No! Ini bukan Surprise kayak biasanya. Jadi biar Papi sendiri yang nyiapin,"

"Maksud—" Belum selesai Jihan berbicara langsung dipotong oleh Aryna.

"Mendingan kalian sekarang berangkat ke kantor! Ini udah hampir siang, lho!" Perintah Aryna dengan lembut.

"Iya Mami," Gemas Irene, dia menegguk air yang sudah disiapkan dalam gelas. "Kita berangkat sekarang,"

Irene berdiri dan lantas meraih pergelangan tangan Jihan. "Han, Ayo!"

Jihan dengan sigap berdiri. "Ayo! Kami berangkat. Mi, Pi!"

Tidak lupa mereka berdua menciumi pipi kiri kanan Ario dan Aryna karena sudah menjadi kewajiban dan rutinitas menurut mereka.

"Mi, sebaiknya kamu telepon putri bungsu kita! Bilang sama dia sudah waktunya pulang." Perintah Ario yang hanya di jawab dengan anggukan mantap oleh Aryna.

Kembali ke Sekolah.

"Woi! Bagi jawabannya, elah! Gue belum nomor 5 sama 7." Bisik Iyan kepada teman di depannya. Dia sedari tadi sudah melirik kesana kemari untuk mencari kunci jawaban.

Iyan Erlangga. Dia adalah salah satu sahabat Deandra yang tingkahnya sangat Absurd. Iyan cowok tampan dengan sifat Clingy, yang meskipun begitu tidak membuat gadis-gadis di sekolah merasa ilfeel.

"Ibu cantik! Ini ada yang mau menyontek," Teriak Dean sambil tersenyum puas. Membuat teman sekelasnya sontak menoleh kearahnya.

"Njir! Awas aja lo, tunggu pemabalasan gue!" Gumam Iya sambil melirik tajam Rajendra yang sekarang tersenyum penuh kemenangan.

"Sudah diam, kerjakan tugasnya! Mau cepat pulang kan?" Titah sang guru dengan intonasi lembutnya.

Gistara Gia, yang lantas di panggil Bu Gia atau Bu cantik; Itu adalah nama panggilan dari Dean dan teman-temannya karena Gia adalah guru muda yang sangat cantik dan anggun. Dia mengajar sebagai guru Matematika, usianya yang masih 24 tahun membuatnya menduduki sebagai guru termuda setelah Jovanka yang berusia 25 tahun. Gia sendiri termasuk bersahabat baik dengan Irene dan Jihan.

"Bu, yang udah boleh di kumpulin?" Tanya seorang murid yang sedari tadi sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Dia adalah Alvin Mandalika. Cowok kutu buku dengan otak jenius, Alvin tidak kalah tampan dengan sahabat-sahabatnya yang lain; Dean, Gara, Iyan dan Jose. Meskipun Alvin termasuk cowok culun tetapi wajah Charmingnya tidak bisa di ragukan lagi.

Gia menoleh kearah Alvin. "Boleh, bawa sini!"

"Woi Alvin! Kita belum ini," jerit Dean.

"Gue juga belum, Alvin!" Gemas Gara, mereka saling memberikan kode lewat jari.

"Tapi nanti ketahuan Bu cantik," cicit Alvin yang sambil memperhatikan sekeliling, takut kalau-kalau ada yang melihat mereka. Setelah dirasanya aman, Alvin memberikan kertas lembar jawaban miliknya kepada Gara tetapi pada saat itu juga langsung di rampas oleh Dean.

"Woi! Gue juga sekalian," Jerit tertahan seorang murid dari arah ujung pojok belakang yang hampir tidak terdengar.

Jose Perdana, sahabat Dean yang tidak kalah Cinglynya. Matanya setengah sipit menyerupai Gara. Jose bisa terlihat cantik dan tampan secara bersamaan, tetapi dia tetaplah cowok Tulen.

"Guys! Jose bilang apa? Gak jelas banget," Bisik Gara kepada ketiga sahabatnya. Matanya tertuju kepada Jose yang keberadaannya sangat jauh dari teman-temannya yang lain. Sedangkan Jose sedari tadi sudah memberikan kode ingin menyalin jawaban Alvin.

"Lo mau apa?" Iyan bertanya seraya keningnya mengerut dan mengangkat satu alisnya meminta penjelasan.

"Dia kayaknya mau bilang kalau mau nyalin jawaban," Ucap Alvin sambil sibuk melirik sekeliling, berharap tidak ada yang memergoki kegiatan mereka.

"Itu dia bilang udah selesai, terus ngajakin kita buat langsung ngumpulin sama-sama," Kata Dean mengalihkan, sambil mengulum senyum. Tangan nya fokus menyalin jawaban. Sementara dia tahu jika Jose ingin menyalin jawaban. Dean memang suka mengerjai para sahabatnya itu.

"Ayo kumpulkan udah waktunya pulang! Kita hari ini mulai pelajaran baru di semester awal Jadi diwajibkan untuk pulang dibawah jam satu siang." Beritahu Gia.

Murid-murid di kelas itu pun mulai mengumpulkan pekerjaannya. Begitu juga dengan Dean dan teman-teman nya, yang biasa dipanggil lima serangkai disekolah. Bagaimana tidak karena mereka selalu berdampingan berlima. Setelah bel pertanda jam pulang sekolah di bunyikan, mereka langsung keluar sambil menenteng tas berjalan menyusuri koridor sekolah.

"Heh! Tega kalian ya ninggalin gue," Celoteh Jose, nafasnya sedikit terengah-engah karena berlarian mengejar para sahabatnya.

"Salah lo sendiri kenapa duduknya jauh dari kami," Ujar Dean lantas terkekeh karena puas mengerjai Jimi.

"Bener banget, lo salah besar!" Iyan ikut menertawakan sehingga membuat Jimi mendengus berkali-kali.

"Yaudah besok gue pindah. Sekalian deh tuh, duduk di depan, puas?!" Gerutu Jose, wajahnya memelas.

"Udah deh, jangan pada debat!" Gara yang sedari tadi jengkel akhirnya bersuara. "Oyiya, Ndra! Lo ntar malem ada waktu gak?"

Deandra menoleh cepat kearah Gara yang berada di sampingnya, cowok itu nampak sedikit berfikir. "Hum, ntar malem ya? Kayaknya gue ada orderan deh,"

"Dewasa area! Diharapkan bagi yang tidak cukup umur segera meninggalkan tempat!" Ucap Alvin yang seakan-akan menirukan pembawa acara berita di televisi. Membuat Dean mengusap-usap rambut Alvin dengan gemas.

"Lo kalau ngomong suka bener. Sini, gue sayang-sayang dulu. Ututu.." Alvin kalang kabut karena Dean dengan sengaja menyosornya. Dean sudah memonyong-monyongkan bibirnya, berusaha mencium Alvin, mengerjai sahabatnya. Dengan cepat Alvin mendorong dada cowok itu.

Tingkah mereka berdua menjadi bahan tawaan. Bahkan membuat siswi-siswi yang sedari tadi memperhatikan mereka berjalan sambil bercanda-ria ikut senyum, terkagum-kagum dengan visual kelima serangkai itu.

"Gak kok! Gue ntar malem mau nemenin kakak yang udah order gue kemarin tapi waktunya di undur jadi hari ini," Jelas Dean kepada teman-temannya.

"Lo mah enak tiap hari bisa pegang melon," Ledek Iyan, memberi istilah melon kepada salah satu yang tidak ingin mereka sebut karena terlalu vulgar.

"Kemarin gue habis makan melon." Ucap polos Alvin menyombongkan diri. Tetapi tidak tahu Melon yang teman-temannya maksud itu apa. Sehingga membuat yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau dijelaskan juga Alvin tidak akan mengerti jadi harap dimaklumi saja, pikir mereka.

Sedangkan di tempat lain. Bunyi getaran telepon mengalihkan kesibukan seorang Wanita cantik keturunan Korea-Australia. Grace adalah Keponakan dari Aryna, dia bekerja sebagai Manager untuk Sepupunya sendiri. Grace melirik Handphone yang sedari tadi bergetar, dia melihat siapa nama yang meneleponnya.

"Ini ada telepon dari Mami," Grace menyodorkan benda pipih itu kepada seorang wanita yang sedang duduk membelakanginya.

"Mami? Tumben banget nelpon," Gumam wanita itu, tangannya menyambut Handphone yang diberikan Grace.

Janessa Sempani. Putri bungsu dari pasangan Ario Sempani dan Aryna, Jane sapaannya. Wajah cantiknya yang memiliki Gummy Smile dan tatapan mata tajam, lantas membuatnya menjadi Model terkenal di New Zealand. Jane sendiri sudah tinggal di New Zealand kurang lebih sepuluh tahun. Setelah menyelesaikan Sarjana tingkat dua, dia memutuskan untuk menetap di Negara itu. Usianya juga masih tergolong muda, yaitu 24 tahun.

"Hello Mami! How are you?" Sahut Jane dengan manja.

"Fine! Sayang malam ini kamu harus pulang ke Indonesia! Sudah waktunya kamu tinggal disini," Ucap Aryna dari seberang sana.

Jane terkesiap, jujur dia belum ingin untuk tinggal di Indonesia. "Tapi Mam! Pekerjaan aku disini gimana? Jadwal pemotretan ku juga masih penuh,"

Terdengar suara helaan nafas dari Aryna. "Kamu lupa? Disini juga kamu bisa banyak job pemotretan."

Jane berfikir sejenak, dia menoleh kepada Grace dan mendapati Managernya itu mengangguk yang artinya jika Jane harus menerima perintah dari Ibunya.

"Huft! Iya malam ini Jane pulang. Tutup dulu telepon nya Mam! Jane harus selesaikan pemotretan dulu, bye Mami!" Setelah mengatakan itu, Jane langsung memutuskan telepon secara sepihak.

"Kita pulang?" Tanya Grace karena belum sepenuhnya yakin dengan keputusan Jane.

Jane mengangguk lesu, mau tidak mau dia harus pulang. "Ayo kita selesaikan pemotretan dulu," Ucapnya sambil lantas berdiri, Jane berjalan menuju tempat pengambilan gambar. "Kak Grace, Kamu pesan tiket aja dulu! Biar nanti kita bisa langsung packing dan berangkat." Lanjutnya, Grace sebagai Manager dengan segera melaksanakan apa yang Jane katakan.

Keesokan Harinya, di Sekolah.

"Ndra! Lo mau di lempar pengaris lagi, Humh?" Pekik Gara, tangannya sibuk menggoyang-goyangkan badan Dean karena sedari tadi menikmati acara tidurnya.

"Hmph! Yaa, ni gue bangun," Jawab Rajendra dengan lesu, khas orang baru bangun tidur. Dia mengucek-ucek kedua matanya untuk segera menetralkan pengelihatan.

"Njir! Malah di bangunin sama si Gara. Biarin aja tadi, dia lagi mimpi indah pasti. Kan lucu kalau dia di lempar lagi," Gerutu Iyan, dia sampai tertawa terpengkal-pengkal membayangkan jika sahabatnya itu dilempar mistar atau lebih parahnya spidol, untuk yang kesekian kalinya.

Deandra bingung sendiri, sejurus dia menyadari jika dirinya sedang bermimpi kemarin. "Sialan lo! Ujung-ujungnya mimpi berakhir buruk yang ada," Kesal Dean membuat yang lain menertawakan kecerobohannya itu.

Jose yang baru saja masuk karena menyelesaikan ritualnya dulu di kantin. "Kenapa deh pagi-pagi begini udah pada ketawa, lo pada? Noh! Sampe di luar sono kedengarannya." Dumbelannya tidak mendapatkan respon sama sekali.

"Murid-murid, duduk dulu yang benar!" Titah Jovanka yang masih berjalan menuju meja guru.

"Saya cuma mau memberitahu jika hari ini kalian bebas karena para dewan guru dan staff sekolah sedang mengadakan rapat, dan besok kalian masuk seperti biasa tapi langsung pergi ke Auditorium, ada pengumuman penting disana!" Tandas beliau dengan tegas.

Karena hanya ingin memberikan pengumuman, Jovanka langsung meninggalkan ruangan kelas 12 IPA B itu. Seluruh murid dikelas itu serentak berdiri untuk memberi penghormatan kepada sang guru. Setelah guru Killer benar-benar sudah hilang dari pandangan, kelas kembali riuh. Ada yang heboh karena tidak harus belajar dan bisa pulang cepat, ada yang sedih, ada yang sudah keluar ingin segera ke kantin dan lain sebagainya.

Deandra meraih ranselnya. "Guys! Gue cabut dulu yaa, kebetulan ada orderan nih!" Teriak Dean sambil memberikan kedipan kepada teman-teman nya, yang artinya mengisyaratkan.

Orderan yang dimaksud Dean adalah pekerjaan nya yang hanyalah sebatas menemani wanita wanita cantik. Contohnya; Menemani Shopping, Nonton, mengobrol di Cafe, Dinner, Traveling. Bisa di bilang Rental boyfriend. Pelanggannya yang dominan wanita dewasa dengan karier bagus membuat Dean selalu mendapatkan bayaran yang sangat tinggi. Dean tidak bodoh untuk ukuran wanita, dia selalu memilah terlebih dahulu dan selalu menerima yang memiliki wajah cantik saja.

     Siang itu, terlihat sebuah mobil mewah melewati pintu gerbang yang bisa otomatis terbuka sendiri di kediaman Keluarga Ario. Mobil itu mulai melintasi jalan aspal yang kanan kirinya di penuhi pepohonan rindang, serta taman bunga yang terawat.

"Tuan! Non Jane, sudah datang." Ucapan ketua pelayan, sontak membuat semua orang yang sedang bersantai diruang tamu berlarian keluar rumah untuk menyambut kedatangan Jane dan Grace.

"Adik-adik ku, welcome home..." Antusias Jihan dan Irene. Mereka berlari dan langsung menghambur memeluk Jane dan Grace.

"I am coming home!" Teriak Jane sambil memeluk kedua kakaknya.

Kedatangan Jane langsung membuat satu rumah geger. Bagaimana tidak, dengan penampilannya yang sekarang ini akan membuat wanita diluar sana iri melihatnya. Mereka berbincang-bincang cukup lama dan hingga tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul enam belas tepat.

"Jane! Papi perlu bicara sama kamu, ikut Papi sekarang! Kita ngobrol diruangan Papi, dan Grace kamu ikut juga!" Perintah Ario.

Ario beranjak dari duduknya, dia meletakkan koran yang sempat di baca keatas meja setelah itu berjalan menuju ruang kerjanya. Jane sedikit bingung, tetapi tetap mengekori langkah kaki Ayahnya itu. Sesampainya diruangan, ayahnya langsung menyuruh mereka duduk.

Ario terdiam sejenak, di tatapnya Jane dengan intens. "Jane, kamu tau apa alasan Papi menyuruh kalian untuk menetap di sini?"

Siapa yang tidak akan bingung jika di posisi Jane sekarang. "Maksud Papi?"

"Papi mau kamu selama dua tahun kedepan jadi Kepala Sekolah yayasan yang Papi miliki," Jane ternganga. Sungguh dia tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya.

KEPALA SEKOLAH BARU

"Papi mau kamu selama dua tahun ke depan jadi Kepala Sekolah yayasan yang Papi miliki," Jane ternganga. Sungguh dia tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya. "Papi begini bukan tanpa sebab. Papi pengen kamu memantau anak-anak di sana apakah belajar dengan baik atau tidak,"

"No! Jane banyak kerjaan, Pi. Harus pemotretan! Lagian Jane gak mau jadi Kepala Sekolah, udah pasti banyak anak-anak nakal! Bisa cepat tua aku," Oceh Jane dengan raut wajah judesnya menatap tajam Ario.

Ayahnya mengehela nafas gusar. "Papi gak mau menerima penolakan!" Jika sudah begini, tidak ada lagi yang bisa Jane lakukan.

"Lagian apa susahnya menjabat Kepala Sekolah? Papi gak nyuruh kamu buat mengajar di sana, kamu cuma perlu meneliti perkembangan sekolah aja habis itu terserah kamu mau pergi pemotretan. Intinya besok kamu harus mulai menjalankan tugas mu! Papi udah omongin soal ini tadi sama guru dan staf sekolah, Grace bisa bantuin kamu." Tandas Ario dengan tegas.

Jane mengoceh dalam hati. Wajah judesnya yang sedari tadi dia tunjukkan belum juga luntur. Tanpa memberi komentar lagi, Jane lantas meninggalkan ruangan ayahnya dan langsung di susul oleh Grace yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan Ayah dan anaknya itu.

"Jane, terima aja apa yang disuruh Papi kamu! Ini perintah dari ku," Graceakhirnya mengusulkan. Dia menatap tajam kearah mata Jane.

Jane terdiam seketika, mencoba menimba apa yang harus dia lakukan. "Ish! Benar-benar deh." Kesalnya. Tetapi kepalanya mengangguk, menerima. Karena Jane yang memang terbiasa dengan semua apa yang dikatakan Grace selaku Managernya.

Keesokan Harinya.

Deandra bangun dari tidurnya. Ini sudah pagi, tetapi dirinya masih sangat mengantuk. Deandra meraih telepon genggam yang dia simpan di atas nakas, Deandra lantas terkesiap.

"Njir! Gue telat." Betapa terkejutnya dia setelah melihat waktu sudah menunjukan pukul enam lewat tiga puluh lima menit. Deandra langsung menjelit ke kamar mandi.

Sedangkan ditempat lain, Jane yang kini berjalan menyusuri koridor sekolah di dampingi Grace dan beberapa Staf sekolah sekaligus Wakil Kepala Sekolah. Mereka berjalan menuju Auditorium. Siswa-siswi yang sekarang sudah duduk teratur di ruangan berukuran besar mempunyai podium, teralihkan oleh kedatangan Jane. Siapa yang akan mengira jika Jane akan menjadi Kepala Sekolah baru mereka? Perawakan Jane yang masih bisa di kategorikan gadis imut dengan wajah judes itu tidak nampak seperti wanita dewasa.

"Cantik banget, anjir!"

"Siapa dia? Ngalihin dunia gue aja,"

"Apa dia murid baru disini, yaa?"

Percakapan serta grasak-grusuk beberapa siswa yang sedari tadi tidak berkedip menatap Jane kagum. Sang Wakil Kepala sekolah langsung menuju podium dan mengambil Mikrofon.

"Selamat pagi anak-anak, para dewan guru, staf sekolah dan yang paling utama. Selamat pagi buat Ibu Jane dan juga ibu Winnie!" Sapa pria paruh baya itu, lantas di sahuti oleh semua pasang mata yang berada di Auditorium.

"Beliau ini!" Tunjuknya kepada Jane. "Adalah Kepala Sekolah baru kita," Lanjutnya tanpa babibu langsung memperkenalkan Jane.

Lagi-lagi riuh di bangku para siswa-siswi itu duduk mulai terdengar, lagi. Bersamaan dengan Jane mengambil alih podium, mereka semua refleks bertepuk tangan.

"Terimakasih! Mohon perhatian nya sebentar," Jane melirik kanan kiri, membuat siswa-siswi yang tadinya tersenyum berubah menjadi segan setelah mendapati wajah datar Kepala Sekolah baru mereka.

"Saya Janessa Sempani! Putri bungsu dari Ario Sempani selaku pemilik yayasan sekolah ini. Saya harap murid-murid dan para dewan guru serta staf sekolah bisa bekerja sama dengan baik ke depannya bersama saya. Terakhir untuk para murid, saya harap kalian bisa membanggakan sekolah ini dengan prestasi kalian." Tegas Jane penuh percaya diri. Ruangan itupun di penuhi suara tepukan tangan untuk menyambut Kepada Sekolah baru mereka.

Acara perkenalan pun selesai, para siswa-siswi dan dewan guru kembali ke ruangan mereka masing-masing, tapi tidak dengan Jane, dia di wajibkan dan harus berkeliling ke semua penjuru sekolahan yang bisa di jangkau, terlebih dahulu. Bermaksud memperkenalkan atau membiasakan diri dengan lingkungan nya. Jane sekarang sudah berada di taman sekolah dengan di temani Grace dan juga Wakil Kepala sekolah, bertujuan untuk penunjuk jalan.

Di lain tempat. Deandra putus asa, dirinya kesusahan untuk memasuki pekarangan sekolah karena pagar sudah di tutup rapat dan di kunci. Sudah setengah jam Deanmencari cara agar bisa melewati pagar tembok yang menjulang tinggi itu.

"Udah jam delapan lagi." Gumamnya setelah melihat arloji.

Dean menimba, apakah dia harus masuk sekolah atau tidak? Jikapun dia membolos, hari ini ada pelajaran Fisika. Deandra menggeleng, amit-amit pikirnya jika dia harus mendapatkan hukuman yang lebih berat dari biasanya. Jovanka! Guru Fisika yang Killer itu selalu memberikan hukuman; Tidak boleh masuk di kelasnya selama seminggu jika ketidak hadiran siswanya tanpa keterangan atau jika pun sakit, harus menyertakan surat izin dari dokter.

Tidak mau berakhir sampai disitu, Dean mencari cara untuk masuk sampai kesetiap sudut luar sekolah. Siapa tahu dia bisa mendapatkan jalan pintas.

Benar saja! Dean sumringah, dia mendapati ada pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. "Rejeki anak baik." Ucapnya

Tanpa berfikir terlalu lama Dean langsung memanjat tembok itu sampai mengeluarkan keringat di sekitaran pelipisnya karena cuaca yang cukup panas. Tidak perlu menunggu lama, dia sampai ke atas tembok.

"Wait!" Jane melihat ada seorang siswa yang sedang berada di atas tembok pagar. "Apa begini kelakuan setiap murid di sekolahan ini?" Dia melirik tajam kearah siswa yang sekarang sedang mencoba turun.

Wakil Kepala sekolah itu kebingungan dengan apa yang di maksud Kepala Sekolah baru mereka. "Maksud- " Bicaranya terhenti setelah melihat kearah tatapan Jane. Disana, ada seorang siswa yang masih berusaha turun dari tembok pagar.

Brug!

"Huft! Akhirnya mendarat dengan sel-" Monolog Dean terhenti setelah memutar balik badannya sambil mengusap kasar keringat di wajahnya yang sontak membuat dia tersenyum cengengesan. Perlahan Dean berjalan mundur.

Jane berlipat kan lengan, dia melangkah setapak demi setapak setelah melihat aksi Dean yang mulai berjalan mundur. Dean tidak bisa mundur lagi, ada pagar tembok di belakangnya.

Tidak mau langsung memarahi anak itu, Jane memperhatikan setiap inci wajah Dean. Mulai dari atas sampai bawah, bahkan keringat yang menetes di pipi Dean tidak luput dari pandangan Jane.

Merasa puas, Jane memajukan wajahnya ke sisi kanan wajah Deandra. "Anak nakal apa kamu sudah lari pagi hari ini?" Bisiknya tepat di telingga Dean.

Jane sengaja melembutkan intonasi suaranya. Dia juga menarik bahu Dean pelan, agar menyamai tinggi dengan nya yang hanya sebahu Dean. Sedangkan empunya telingga yang mendengar itu langsung termenung, diam. Mata Dean bahkan sampai terbelalak, jujur jika dirinya merinding di sekujur tubuh. Salivanya sampai-sampai tidak mau di telan, begitu susah payah.

MADAME SEKOLAH

Deandra menggeleng untuk menghilangkan kegugupannya. Dia menghela nafas, seketika Dean sadar jika orang di depannya tidak ia kenali. "Punya hak apa anda bicara seperti itu?" Ketusnya.

Refleks Dean memperhatikan ketiga orang di depannya secara bergantian. Lagi, Jane melihat keringat yang bercucuran di pelipis Dean. "Wakil kepala sekolah! Tolong beri dia lebih banyak keringat hari ini!"

Jane menepuk bahu Dean, pelan. Setelah melakukan itu, ia melanjutkan langkah kakinya untuk segera menjauh meninggalkan tempat itu dan langsung disusul oleh Grace.

Wakil kepala sekolah yang melihat itu langsung mengaruk-garuk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. Ada rasa takut setelah melihat sikap dingin dari Kepala Sekolah barunya, apalagi jika Jane marah besar. Pasti dirinya yang akan kesulitan, pikirnya. Dia menatap malas Deandra, lalu dengan helaan nafas pria paruh baya itu berjalan mendekati siswanya yang setengah bandel.

"Kamu tau apa yang harus kamu lakukan sekarang?" Deandra mengangguk cepat sambil mengigit kuku tangan jari telunjuknya. "Laksanakan sekarang dan jangan lupa sapu semua halaman disekolah ini. Cepat sana!" Dean sampai bergidik ngeri menerima bentakan dari wakil kepala sekolahnya, sampai-sampai ia harus memejamkan mata.

Setelah dirasa puas. Wakil kepala sekolah itu pergi meninggalkan Dean. Berusaha mengejar Jane dan Managernya tersebut. Sedangkan Deandra yang diberi amanah, langsung menuju ke arah lapangan karena ia termasuk murid bandel yang patuh akan perkataan Guru.

"Apes banget dah gue," Kesal Dean.

Di Tempat Lain.

"Huam! Ngantuk banget." Monolog Jihan, ia merenggangkan kedua lengannya, sambil menghirup udara segar lalu menghembuskan nya secara perlahan.

Ketenangannya harus terganggu karena suara deringan telepon miliknya. Melihat nama Irene yang tertera di layar Handphonenya.

"Hallo!" Sungguh, sebenarnya Jihan sangat lelah untuk mengeluarkan suara, terdengar dari intonasinya yang begitu lesu. Bahkan matanya saja sampai terpejam.

"Jihan, gimana kalau hari ini kita pulang lebih awal? Kita ajak Jane pergi jalan-jalan," Antusias Irene dari seberang sana.

Jihan yang tadinya lesu berubah jadi sumringah, karena mendengar akan jalan-jalan. "Serius nih? Oke, aku keluar kantor sekitar jam tiga sore ya kak!"

"Iya, kalau gitu kamu langsung jemput kakak ya! Biar kita perginya barengan. Yaudah kakak tutup dulu teleponnya." Setelah mengatakan itu, Irene langsung memutus panggilan teleponnya.

Di Sekolah. Tepat pukul sepuluh, bel tanda istirahat di bunyikan. Seluruh siswa-siswi berhambur keluar kelas untuk segera menjelajah kantin, mencari persediaan makanan disana.

"Guys! Kalian ke kantin aja dulu, beli minuman sama makanan banyak-banyak! Biar gue yang langsung ke taman nyamperin Dean. Tapi inget! Jangan lama, jangan sambil godain cewek. Awas aja!" Gara mengatur strategi, memberikan tugas untuk ketiga sahabatnya.

"Siap laksanakan!" Iyan, Alvin dan Jose sengaja bersamaan. Bahkan mereka sampai memberikan hormat kepada Gara yang seolah-olah Gara komandan pemandu mereka.

Seperti kebiasaan mereka yang Random dan suka bercanda, Gara memberikan hormat juga yang artinya sang Komandan sudah menerima rasa hormat mereka. Setelah memberi amanah dan hormat, Gara langsung pergi meninggalkan mereka. Ingin Segera melihat keadaan Dean yang sedang menjalankan hukuman.

Gara sampai terkekeh melihat keadaan mengenaskan sahabat karibnya. "Ndra! Mau gue bantuin gak?" Teriaknya dari ujung taman.

Membuat Dean menoleh sekilas kearahnya. Ia memberi satu sapu kepada Gara begitu sabahatnya itu mendekat. "Nih! sapu dari ujung sana," Ucapnya datar. Bibirnya menunjuk kearah dimana Gara akan menyapu.

Gara mengambil sapu itu dengan santai. Betapa bahagianya bagi Deandra memiliki sahabat yang siap sedia membantunya, kalau-kalau ada masalah. Mata Dean memincing ketika melihat apa yang dilakukan Gara.

"Gara! Lo ngapain dah, berdoa? malah duduk disitu," Celetuknya, Dean benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Gara lakukan.

"Sstt! Gue lagi baca doa, jangan brisik dulu! Lagi usaha ini buat bantuin lo," Dean memutar bola mata, sungguh dia jengkel dengan sikap Gara.

Apa lagi setelah menyadari yang di maksud Gara itu; jika Gara membantu Dean dalam doa atau melalui doa, dan tidak benar-benar melakukan dalam pekerjaan.

"Makanan datang!" Teriak Iyan dari ujung taman.

Mereka berjalan mendekat kearah Dean dan Gara. Sedangkan kanan kirinya sudah ada Alvin dan Jose yang masing-masing membawa sekantong besar.

"Astaga Ndra! Lo kasian banget gak liat Kepsek baru kita yang bener-bener cuannntik," Ledek Jose, sengaja ia membuat mimik se imut mungkin. Perlakuannya itu sontak menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Bukannya gemes, malah jijik bagi mereka.

Kebetulan di ujung taman itu terlihat ada Jane dan Grace sedang berjalan dengan Grace mengekorinya. Mereka menuju parkiran, mungkin ingin segera meninggalkan sekolah.

"Tuh! Mak lampir yang udah hukum gue. Dia siapa deh? Perasaan gue baru liat," Adu Deandra, dia sampai tidak berniat memalingkan tatapannya kepada dua wanita yang sedang berjalan dengan anggun diujung sana.

"Dia orangnya, Kepsek baru kita. Cewek cantik yang barusan Jose ceritain. Nah! Dia itu anak bungsu dari pemilik sekolah ini," Bisik Alvin kepada Deandra. Dia juga menjawab pertanyaan Dean dengan intonasi cepat.

Grace yang mulai menyadari jika ada yang memperhatikan mereka. "Jane! Kayaknya dari tadi anak-anak itu ngeliatin kita, "Grace melirik cepat kearah Dean dan teman-temannya menggunakan ujung mata.

"Biarin aja Kak! Namanya juga bocah." Sahut Jane datar, pandangan nya tetap lurus ke depan tanpa menghiraukan cicitan ataupun pasang mata yang menatap kagum padanya.

Dean menangkap kedua bahu Alvin lantas membaliknya dengan cepat. "Lo serius?"

Alvin sampai mengelus data menerima perlakuan dari sahabatnya, dia tahu Dean penasaran tetapi tidak harus mengagetkannya juga.

"Iya Ndra! Kepsek baru kita itu," Secara Refleks Jose menjawab pertanyaan Dean. Tetapi tatapannya masih tertuju kepada Jane dan Grace. Jose sampai terkagum melihat kecantikan kedua wanita itu.

Gara yang sedari tadi diam karena sedang beradu dengan pikirannya. "Kayaknya gue pernah liat Kepsek baru kita deh. Tapi, dimana ya?" Gara lantas berlipatkan lengan, ia setengah mendongkak, mencoba berpikir lebih keras lagi untuk mengingat apa yang pernah ia lihat. "Majalah atau apa gitu, yang jelas dia pake baju beuh. Ngetat cok!"

"Itu yang ada di pikiran gue, njir! Kayaknya dia model," Komentar Iyan, sejujurnya dia juga berpikiran hal yang sama dengan Gara. Karena bukannya apa, Iyan itu suka mengoleksi majalah jadi tidak heran jika dia seperti pernah melihat wajah Jane di beberapa majalah.

"Woi, stop! Bantuin gue buru kelarin ini, sebelum bel." Pekik Dean, di ambilnya sapu yang sempat ia letakkan dekat kursi. Ingin segera menyelesaikan hukuman nya.

Sedangkan sahabat-sahabatnya; Ada yang mencibir, mencaci-maki, mendengus kesal. Tetapi meskipun begitu, mereka tetaplah membantu Rajendra dengan lapang dada, menyapu sisa-sisa sampah anorganik.

"Kak Grace! Kamu gak jengkel liat muka anak-anak di sekolah itu, pas ngeliatin kita?" Tanya Jane, sambil memijit pelipisnya dengan mata terpejam.

Sekarang mereka sedang dalam mobil menuju tempat pemotretan Jane.

"Hum, gimana ya?" Bukannya menjawab, Grace malah bertanya balik. Ia tersenyum sambil memperhatikan jalan karena fokus menyetir.

Jam pulang sekolah pun tiba, semua murid keluar melewati pintu gerbang disekolah itu, Deandra yang kebetulan tidak membawa motornya, cowok itu memilih untuk berjalan kaki, tadinya ia sudah di tawari para sahabatnya untuk menebeng tetapi Dean tetap tidak mau. Menyumpal kedua telinganya mengunakan earphone berwarna hitam. Siapa yang tidak akan tertarik pada cowok ini, auranya sungguh tidak bisa untuk dilewatkan ketika Dean sedang berjalan dengan kedua tangan disaku celananya. Sesekali ia memejamkan mata karena menikmati semilir angin yang berhembus diwajahnya.

Hari ini Dean memutuskan berjalan kaki untuk sampai kerumah. Mungkin tidak peduli sejauh mana baginya. Dean sangat menikmati suasana yang jarang sekali dia dapati. Disebrang jalan ada seorang pria yang sedari tadi  memperhatikan Dean tanpa sepengetahuannya.

"Hallo Tuan! Sepertinya dia baru pulang sekolah, dan sekarang sedang berjalan kaki. Dia juga kelihatan baik-baik aja," Beritahu Pria yang mengikuti Deandra, dia berbicara lewat telepon sambil matanya memperhatikan Rajendra dari atas sampai bawah.

"Bagus! Awasi terus dia dan sekarang kau boleh istirahat dulu!" Setelah mendapat perintah, pria itu lantas pergi. Karena tugasnya hari ini sudah selesai.

Sedangkan dilain sisi, Jihan yang sedang mengendarai sebuah mobil mewah miliknya tidak terlalu fokus dengan jalanan karena sedang menelepon.

"Kak Rin! Aku udah otw ke kantor kamu Nih!" Jihan mengabari Irene lewat telepon.

"Iya! Aku udah nungguin kamu dari tadi," Terdengar suara Irene yang samar-samar.

Brukk! Jihan speechless, mulutnya ternganga setelah menyadari mobil yang dia kendarai menabrak sesuatu.

"Jihan! Itu apa?" Terdengar nada intonasi khawatir dari Irene.

"Kak, gimana ini? Kayaknya aku nabrak orang." Cicit Jihan takut-takut, tangan nya bahkan sampai bergetar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!