Kediaman keluarga Atmaja, ruang bersantai keluarga.
"Ayah tidak mau tahu, bulan depan kamu harus sudah menikah. Titik!" Suara bariton mengisi ruangan, dengan mata nanar dan jari telunjuk yang tegak lurus.
"Bulan depan?" Seorang gadis tiga puluhan tahun hampir tersedak napasnya sendiri saat pria enam puluhan tahun, mendesaknya untuk segera menikah.
"Ayah jangan memaksaku seperti ini. Ayah kira mencari suami semudah membeli ikan di pasar, yang bisa kita pilih di tempat? Tentunya aku harus melihat calon suamiku ini dari Bibit, Bebet dan Bobot, seperti yang Ayah selalu katakan padaku."
"Tentu saja itu benar, kamu harus mencari calon suami yang jelas dari segi pendidikannya, keluarganya dan pekerjaannya. Ayah mengatakan itu agar kamu mendapatkan suami yang terbaik. Jangan seperti berandalan di luaran sana atau pengangguran yang akan hanya menghabiskan semua harta keluarga!"
@@@@$$$
"Aku tahu itu, tapi ..."
"Tapi, apa? Ayah sudah mengenalkan banyak pria padamu. Mulai dari anak Mentri, Pejabat Tinggi Pemerintah, sampai pengusaha muda sudah Ayah kenalkan padamu, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang kamu pilih. Sebenarnya pria seperti apa yang kamu inginkan, sehingga kamu bertahan sampai di usia ini?"
"Semua pria itu sama saja, Ayah. Sama-sama hanya bisa menyakiti hati wanita! Mereka datang dengan kata-kata yang manis dan setelahnya mereka pergi dengan meninggalkan luka. Cover mereka boleh saja bagus. Akan tetapi, isinya busuk. Pria hanya bisa meninggalkan luka tanpa tahu cara untuk menyembuhkannya!"
Niken Angelista Atmaja, terpaksa meninggikan suaranya di depan sang Ayah. Bahkan matanya membulat sempurna saat Bambang Adi Atmaja terus memaksanya untuk menikah. Bagi Niken, pria di luaran sana sama saja. Dari luar mereka tampak sempurna, tetapi hati mereka sangat busuk.
Niken sendiri tidak dapat menyembunyikan kekesalannya karena setiap hari selalu ditanya kapan nikah? Sedangkan Bambang Adi Atmaja hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar, merasa pusing karena setiap hari harus saja berdebat seperti ini.
"Pokoknya, Ayah tidak mau tahu. Bulan depan kamu harus menikah. Jika kamu tidak ingin menikah juga, maka jangan salahkan Ayah kalau perusahaan AP Grup jatuh ke tangan Cristie. Ini sudah menjadi keputusan Ayah dan kamu tidak akan bisa mengubahnya."
Mata Niken semakin melebar saat nama Cristie disebut, "Aku keberatan. Aku menolak keputusan Ayah ini! Apa-apaan ini, anak manja seperti dia dijadikan pewaris AP Grup. Apa Ayah ingin seluruh karyawan kita tidak mendapat gaji karena pemimpin mereka manja dan tidak kompeten?" Dia mengangkat tangannya merasa bahwa keputusan ayahnya diambil secara sepihak tanpa ada perundingan bersama.
Niken mengenal sangat baik siapa itu Cristie dan menurutnya Cristie tidak cukup pantas untuk mengelolah AP Grup. Maka dari itu dia protes akan keputusan sang Ayah.
"Kalau begitu, cepat cari suami dan menikah! Jika memang kamu tidak ingin perusahaan AP Grup jatuh ke tangan Cristie."
Bambang Adi Atmaja, terus mengelah napas dari waktu ke waktu. Di usianya yang tidak lagi muda membuatnya cepat merasa lelah, ditambah harus menghadapi keras kepala sang putri tercinta membuat kepalanya kerap dilanda sakit yang luar biasa. Dia menjatuhkan diri ke sofa, seraya mengatur pernapasan agar emosi tidak kian memuncak.
Niken beringsut dari tempat duduknya, "Baik, kalau ini yang Ayah mau. Aku akan menikah, bukan bulan depan. Akan tetapi, Minggu ini aku akan menikah. Aku sendiri yang akan memilih priaku dan Ayah tidak boleh menolak keputusanku ini. Titik!"
Setelah berkata demikian, Niken pun menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja dan dia meraih tas branded miliknya yang ada di sofa. Dengan langkah yang tergesa-gesa, dia meninggalkan ruangan dengan perasaan kesal, marah dan lain-lainnya.
"Setiap hari memerintahkanku untuk menikah. Kalau begitu, kenapa dia saja yang seharusnya menikah? Memang Ayah kira mencari suami itu mudah?" gerutunya selama berjalan menuju pintu dan semua yang dikatakannya dapat didengar jelas oleh Bambang.
"Dasar anak itu, sungguh keras kepala," umpatnya kesal, seraya menatap wanita yang baru saja datang ke ruangan tersebut, "Dia sangat keras kepala, sudah tentu ini gara-gara sifatmu yang keras. Sifat keras kepalamu itu menurun langsung pada anak itu, sehingga dia berani menentang keputusanku," tuduhnya pada wanita yang usianya tidak lagi muda itu, tetapi tetap terlihat awet muda.
"Apa katamu?" bentaknya dengan mata membulat sempurna. Ia yang baru tiba di sana tidak terima akan perkataan yang Bambang lontarkan, sehingga ia meletakkan cangkir berisikan teh itu dengan kasar dan hampir tumpah.
Bambang Adi Atmaja menatap manik cantik dari wanita yang telah dinikahinya selama tiga puluh tahun tersebut, "Aku mengatakan, kalau sifat Niken menurut dari sifat ibunya yang keras kepala, yaitu kamu!" tunjuknya tanpa ragu.
Wanita, bernama lengkap Rosmita Citra Atmaja yang biasa akrab disapa Mama Mita itu berdengus kesal, saat sang suami mengarahkan tuduhan padanya yang sebenarnya tidak tahu menahu akar permasalahan tersebut?
@@@#$$
Mita pun menjatuhkan dirinya pada sofa, dia terus menatap Bambang dengan perasaan kesal dan tidak suka. Merasa mendapatkan tatapan tajam membuat Bambang, menegurnya. "Mengapa menatapku seperti itu? Aku tahu, kalau aku ini sangat tampan, tetapi tolong kita sedang membicarakan tentang Niken dan bukan mengagumi ketampananku."
Biarpun sudah berusia di atas enam puluh tahun, tetapi kenarsisan seorang Bambang Adi Atmaja tidak pernah hilang ditelan zaman. Mita yang mendengar hal tersebut, seolah ingin mengeluarkan Kembali isi perutnya.
"Bagaimana bisa di usiamu sekarang, masih sempat-sempatnya kau memuji diri sendiri. Kalau kata anak zaman sekarang tuh, 'Kepedean banget'. Kamu itu terlalu percaya diri, sampai-sampai aku ingin muntah. Apa tidak malu dengan rambut yang hampir putih semua itu?" sindirnya dengan memicingkan mata dan membuang pandangannya ke sembarang arah.
Bambang pun terkekeh geli, "Sudah lupakan masalah ketampananku yang tidak ada tandingannya ini. Sekarang, kita bahas tentang putrimu yang keras kepala itu."
"Putriku? Putrimu juga, Tuan Bambang Adi Atmaja. Dia darah dagingmu. Bahkan dirimu sendiri yang menginginkan anak perempuan dibandingkan laki-laki. Jadi, dia itu anakmu juga." Mita mencemoohnya dengan tatapan tajam.
Bambang pun tidak mau kalah, "Tapi, dia lahir dari rahimmu jadi dia putrimu dan Niken sungguh mewarisi sifat keras kapalamu," balasnya berbalik menyindir, seraya menyandarkan tubuh yang telah rapuh itu pada sofa dan memejamkan mata dengan kedua tangan sebagai bantalan.
Mita semakin kesal dibuatnya, "Sifat seorang putri sudah tentu diturunkan langsung dari sifat ayahnya. Jika ayahnya keras kepala, maka putrinya pun akan sama keras kepalanya," paparnya yang tidak mau kalah.
Faktanya, seorang ayah adalah cinta pertama bagi seorang putri. Jika Niken bersikap keras kepala dan sulit diatur, pertanyaannya kembali pada Bambang, yang tidak lain adalah ayahnya.
Bambang pun merasa tersinggung atas ucapan Mita, dia sudah membuka mulutnya dan ingin mengutarakan pendapatnya. Namun, Mita menyergapnya dengan sindiran Kembali.
"Andai dirimu tidak memaksa Niken untuk menikah, maka dia tidak akan keras kepala seperti ini. Aku yakin, dia berani berkata kasar padamu karena kau terlalu memaksakan kehendakmu. Apa itu bukan disebut keras kepala?" hardiknya tanpa sedikitpun keraguan.
Bambang sudah mengacungkan jari telunjuknya, dia hendak membalas semua perkataan Mita. Namun, mendadak seluruh kalimatnya tertahan di tenggorokan, "Kau ..." Dia hanya bisa mengatakan satu kata, tanpa ada kelanjutannya.
Dia berdiri mematung untuk sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, "Dari pada aku terus berdebat denganmu di sini, sebaiknya aku pergi saja ke kantor. Mengurus pekerjaan di sana, dibandingkan harus berdebat dengan wanita yang keras kepala," cemoohnya seraya beringsut, menjauh dari Mita.
Mita menaikkan sebelah alisnya, sulit baginya untuk bisa menang dari Bambang yang tidak pernah mau mengalah itu. Pada akhirnya, dia hanya bisa menahan senyumannya karena melihat ekspresi Bambang yang marah sekaligus kesal.
"Supri! Siapkan mobil! Aku ingin pergi ke kantor!" teriaknya, pada supir pribadinya.
Bambang sempat melirik ke arah Mita yang tengah menahan tawanya, "Supri! Aku harap kau tidak memiliki istri yang keras kepala, atau hidupmu akan sangat menderita," sindirnya yang sangat jelas diperuntukkan untuk Mita.
Mita ingin mengumpat, tetapi dia menahannya dan memilih diam. Setelah puas menyindir istrinya sendiri, barulah Bambang membawa langkahnya pergi dari sana. Biarpun demikian, Mita bisa mendengar suaminya yang masih menggerutu.
"Walau sudah kepala enam, tetapi sifatnya masih saja seperti remaja. Dasar!"
Mita menggelengkan kepalanya, setiap pagi dia selalu disuguhkan drama perdebatan antara Niken dengan ayahnya. Ini sudah berjalan sejak lama, drama dimulai saat usia Niken menginjak tiga puluhan tahun.
Mita sendiri dapat memahami kegelisahan yang ada pada suaminya karena dirinya pun merasakan hal yang sama. Usianya dan Bambang sudah tidak lagi muda. Dia juga ingin melihat Niken berkeluarga dan sudah tidak sabar ingin menggendong seorang cucu.
Mita kerap kali merasa sedih karena di antara semua teman-teman sosialitanya, hanya dirinya yang belum memiliki cucu. Teman-temannya memang tidak menyinggung hal tersebut, tetapi Mita selalu sedih saat yang lain membahas tentang menantu dan anak cucu mereka.
"Semoga saja, Niken menemukan pria yang benar-benar menyayanginya. Aku hanya ingin dia bahagia. Ya Tuhan, pertemuan dia dengan jodoh terbaiknya. Amin."
Mita mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dia hanya bisa berharap bahwasanya Niken bisa mendapatkan pria yang tulus mencintainya. Dia juga tidak henti-hentinya berdoa pada Sang Maha Esa untuk segera mempertemukan Niken dengan jodoh terbaiknya.
Niken pergi dari rumah dengan perasaan kesal. Dia masih menggerutu bahkan di dalam mobil, "Memang Ayah kira mencari suami itu mudah seperti membeli ikan di pasar? Kita bisa memilih langsung di tempatnya, tentu saja tidak. Mencari suami itu, seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Nah, itu yang benar."
Sepanjang perjalanan, Niken terus berceloteh tanpa henti. Dia masih kesal dengan ayahnya yang selalu memaksanya untuk menikah.
"Kenapa si, wanita tuh harus menikah muda? Bukankah lebih enak kalau menikah di usia empat puluhan tahun, di saat semua yang diinginkan telah tercapai?" ungkapnya tanpa sedikitpun menurunkan intonasi suaranya.
"Aku lihat orang-orang di Korea, terutama para wanitanya. Ada yang sudah usia empat puluh tahun, tapi mereka belum menikah. Lah, aku ... Baru juga tiga puluh tahun, tapi setiap hari selalu ditanya kapan nikah? Sebal banget. Aku kesal sama Ayah," celotehnya yang seakan-akan tidak mau berhenti.
Terlihat jelas wajahnya begitu kesal, dengan mata yang memandang ke sembarang arah. Lalu, kedua tangan yang melipat di dada dan napas yang memburu, akibat emosi yang tidak kunjung mereda.
"Jake! Antarkan aku ke Bandung. Hari ini ada pertemuan dengan investor di sana!" perintahnya pada supir pribadi sekaligus merangkap sebagai Bodyguard.
"Baik Nona," balas Jake tanpa penolakan.
Namanya adalah, Muhammad Jayusman. Dari kecil selalu dipanggil dengan nama Ajay. Namun, saat bekerja sebagai Bodyguard Niken, namanya pun berubah menjadi Jake.
Menurut Niken, nama Ajay terlalu kampungan dan tidak cocok untuk sosok pria sepertinya yang bertubuh kekar dan wajahnya juga masuk kriteria standar pria pada umumnya. Maka dari itu, Niken memberinya nama Jake agar terdengar lebih keren.
"Jake. Apa kau sudah memiliki kekasih?" tanyanya penasaran sekaligus menghilangkan rasa bosannya dikarenakan perjalanan ini cukup memakan waktu lama.
Jake pun bergumam seraya mencari kalimat yang sesuai untuk menjawab pertanyaan tersebut, "Belum, Nona. Saya belum memiliki kekasih. Memangnya kenapa, Nona? Apa Nona ingin mengenalkan saya dengan wanita cantik seperti Nona?" tanyanya bernada candaan.
Niken hampir saja mengumpat, tetapi dia mampu menahan dirinya sebab tidak ingin berdebat kembali. Jake pun harap-harap cemas dibuatnya karena takut yang diucapkannya telah menyingung perasaan Niken, yang saat ini sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
"Kau tenang saja, aku sama sekali tidak tersinggung dengan ucapanmu yang membosankan itu," tuturnya santai.
Seolah bisa membaca pikirannya, Niken pun tampak santai seraya menikmati pemandangan jalan yang hanya menyuguhkan gedung-gedung pencakar langit saja.
Jake pun tak menanggapi lebih lanjut karena tidak ingin menyinggung lebih jauh perasaan Niken. Secara diam-diam Jake pun melihat dari balik kaca kecil yang menampilkan langsung sosok gadis ayu di sana.
Niken tampak murung dan sepertinya tidak bersemangat. Jake baru kali ini melihat bosnya itu bersedih seperti sekarang. Sebelum-sebelumnya, dia tahu bahwa Niken kerap kali berdebat dengan ayahnya. Namun, tidak berakhir seperti yang terlihat saat ini.
Fokus Jake terbagi dua dan seolah mengetahui apa yang sedang dilakukan Bodyguard-nya, Niken pun segera menegurnya.
"Apa yang kau lihat? Perhatikan jalan!" bentaknya, yang langsung mengalihkan pandangan pada Jake.
Sementara itu, pemuda yang baru genap dua puluh lima tahun tersebut buru-buru memfokuskan perhatiannya pada jalan di depan. Dia dengan segera bersiul-siul dan mengambil sikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Niken menggelengkan kepalanya, "Dia selalu saja kepo dengan urusan orang lain," gumamnya tanpa diketahui oleh Jake.
Niken Kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan yang terpantau cukup lancar. Memang seharusnya lancar karena dia melalui tol Cikampek.
Setelah menempuh tiga jam lamanya, akhirnya mobil yang Niken kendarai telah memasuki kawasan Bandung.
"Welcome To Bandung. Apakah aku akan mendapatkan jodoh di kota ini? Entahlah?" gumamnya bernada lirih.
Jake tidak lagi berbicara asal ceplos seperti tadi, takut-takut akan menyinggung Niken kembali. "Kita sudah sampai Bandung, lalu apakah Nona ingin langsung ke kantor?" tanyanya perlahan-lahan guna menjaga perasaan Niken.
"Aku ingin melihat-lihat dulu. Lagi pula pertemuannya besok, jadi hari ini aku memiliki waktu untuk berjalan-jalan menikmati kota Bandung ini," balasnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Seolah mengulang memori lama, Niken seperti dibawa masuk pada kenangan-kenangan saat dirinya tinggal di Bandung dulu. Masa-masa kecilnya dia habiskan di kota ini.
"Apakah warung Nasi Kang Asep masih buka? Hem, aku ingin sekali makan di sana," racaunya seraya menjilat bibir bawahnya yang mengeluarkan air liur.
"Membayangkannya saja sudah membuatku tergoda," racaunya yang sudah tidak sabar. "Jake kita pergi ke jalan yang di dekat Gedung Sate. Sekarang!" perintahnya.
Dengan segera Jake pun mengangguk dan mengikuti perintah Niken. Sesungguhnya, Niken lupa-lupa ingat dengan warung lesehan yang dulu sering dia datangi bersama ibu serta ayahnya.
Dulu sekali, kira-kira lima belas tahun yang lalu. Entah, tempat itu masih ada atau tidak? Niken pun lupa dengan nama jalannya, yang dia ingat warung Lesehan Milik Mang Asep terletak di dekat Gedung Sate.
Setelah sampai di area Gedung Sate, Niken tidak lupa mengabadikan momen dengan mengambil foto Gedung Sate dengan kamera ponselnya.
Setelah berkeliling dan tidak menemukan apa yang dicarinya, Niken pun memutuskan untuk pergi ke tempat di mana semua kenangannya tumbuh.
Jake pun mengikuti arahan dari Niken. Dia melakukan mobilnya menuju tempat yang Niken ingin datangi sekarang.
"Apakah tempat itu akan masih sama?" gumamnya dengan harapan yang bercampur haru sekaligus senang.
Ada perasaan antusias saat ingin mendatangi tempat itu kembali. Setelah lima belas tahun berlalu, baru kali ini dia mendatangi rumah lama yang dulu dia tinggali bersama ibu serta ayahnya.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya Niken sampai di salah satu kampung yang ada di sana. Saat memasuki batas Desa, seketika memori lama langsung menghias di pikirannya.
"Lima belas tahun telah berlalu, tetapi ini semua masih tetap sama."
Matanya berkaca-kaca saat melihat batas desa, yang masih berdiri kokoh tanpa adanya perubahan. Setelah lima belas tahun, ternyata Desa ini sama sekali tidak berubah. Niken masih sangat ingat bagaimana dirinya melewati batas Desa. Setiap kali pergi sekolah, dirinya pasti melewati batas desa, sehingga tempat ini sangat membekas dalam ingatannya.
"Ayo, kita masuk ke sana!" perintahnya pada Jake, yang juga terdiam melihat Desa yang baru pertama kali dia datangi.
"Sungguh indah, ya Nona, Desanya. Apa dulu Nona tinggal di sini?" tanya Jake penasaran.
Niken mengangguk pelan, seraya menahan kristal bening yang mencoba menerobos keluar. "Aku lahir dan dibesarkan di desa ini. Sungguh, warga-warga di sini sangat menjaga keaslian desa, sehingga tempat ini masih tetap sama seperti lima belas tahun yang lalu," beber Niken, seraya memandang anak-anak kecil yang sedang bermain di sana, yang langsung mengingatnya akan masa kecilnya.
"Ayo, kita pergi ke sana!" pinta Niken.
Jake langsung mengangguk, dia juga segera menyalakan mesin mobil dan menekan pedal gasnya. Mobil pun segera melaju, memasuki perkampungan yang jauh disebut modern.
Kiri kanannya terhampar luas persawahan dan rumah-rumah warganya pun tidak ada yang tingkat, masih berbentuk bangunan lama. Hanya cat temboknya saja yang berubah. Namun, keseluruhannya masih sama seperti ingatan Niken lima belas tahun yang lalu.
***
Mobilnya melaju dengan kecepatan rendah, Jake sengaja melakukan ini agar Niken dapat bernostalgia dengan ingatan-ingatan masa lalunya.
Niken semakin masuk ke desa tersebut. Orang-orang di sana tersenyum pada Niken dan gadis ayu itu membalasnya dengan hangat. Niken sama sekali tidak mengenal orang-orang di desa ini, tetapi dia tetap merasa seperti pupang ke rumah.
Mobil Niken pun melaju pelan menuju perkebunan singkong dan sayur mayur lainnya. Ketika matanya tengah dimanjakan dengan pemandangan asli di sana, tiba-tiba ada hal yang mengusik dirinya.
Dari kejauhan Niken bisa melihat orang-orang berkerumun dengan seorang pemuda yang ditarik paksa dan wajahnya juga babak belur.
"Berhenti!" pinta Niken.
Mobil pun langsung berhenti dengan pemandangan kiri dan kanan perkebunan singkong.
"Ada apa Nona?" tanya Jake penasaran.
"Lihat, orang-orang yang di sana!" tunjuknya.
Jake langsung menjatuhkan pandangannya ke arah yang Niken tunjuk, "Memang ada apa dengan mereka?"
"Coba kau perhatikan pria yang wajahnya sudah babak belur itu."
Jake pun memicingkan matanya, ada sesuatu yang tertangkap oleh netranya, "Hem ... Sepertinya dia sedang disiksa oleh para warga, tetapi apa alasannya?" Dia mengelus-elus dagunya dan terus memerhatikan jalannya kejadian di sana.
"Coba kau cari tahu apa yang terjadi di sana," titahnya seraya menaik turunkan alisnya.
"Aku, Nona? Saran saja kenapa kita pergi saja? Jadi, kita tidak perlu ikut campur masalah orang-orang di sini, Nona. Ya, Nona," usulnya dengan menunjukkan deretan giginya yang putih.
Niken menggeleng dengan tangan yang melipat di dada, "Cepat, cari tahu apa yang terjadi di sana! Apa kau mau kupecat, ah?"
Mendengar kata 'Pecat' membuat bulu kuduk Jake berdiri semua. Hal ini nyatanya lebih menyeramkan daripada melihat hantu.
"Ya ... Nona. Aku akan pergi untuk mencari tahu apa yang terjadi di sana."
Tanpa berlama-lama lagi, dia segera keluar dari mobil. Lalu, berjalan cepat menuju kerumunan di sana. Seseksi dia melihat ke belakang. Sesungguhnya dia ragu untuk ikut campur dalam urusan orang lain. Namun, dia takut kalau harus dipecat dari pekerjaan ini.
Niken yang berada di mobil pun tertawa puas, sekaligus merasa penasaran dengan yang terjadi di sana.
****
Tiga puluh menit berikutnya. Niken sudah keluar dari mobilnya. Kini dia berdiri berhadapan langsung dengan pemuda yang tiga puluh menit lalu dikeroyok warga.
"Menikahlah denganku, maka kau akan mampu membalas perbuatan mereka," ungkap Niken tanpa keraguan.
"Ah, menikah?" balas pemuda itu dengan mata melotot.
Niken pun masih menunggu Jake. Jari-jarinya tengah asyik menggerakkan layar ponsel, scroll beberapa media sosial membaca beberapa postingan yang sedang trending. Lalu, memeriksa proposal yang dikirimkan sekretaris ayahnya melalu email.
Pandangannya begitu fokus pada layar ponselnya sehingga Niken tidak menyadari kedatangan Jake. Akhirnya Jake mengetuk jendela mobil agar Niken mau membuka jendelanya.
"Nona ... Nona!" Dia memanggil Niken yang sibuk dengan urusannya.
Niken akhirnya membuka sebagian jendela mobilnya, "Ada apa?" tanyanya belum menyadari sesuatu yang dibawa oleh Jake.
"Nona, aku sudah membawa pemuda yang tadi dipukuli warga," ungkapnya dengan penuh percaya diri, yang disertai senyuman penuh kemenangan karena telah berhasil membawakan buruan yang diinginkan majikannya itu.
Niken melongo ke luar. Pandangannya langsung jatuh pada pemuda yang tidak sadarkan diri di sana. Niken sedikit melirik pada Jake, 'Dia pingsan?' kira-kira itulah pertanyaan yang ingin Niken tanyakan. Namun, dia hanya memberikan isyarat lirikan mata pada Jake.
Segera supir yang merangkap menjadi Bodyguard-nya itu mengangguk cepat, "Aku membawanya memang dengan keadaan pingsan, Nona. Setelah para warga telah puas memukulinya, barulah aku membawanya kemari," akunya demikian.
Niken penasaran dibuatnya. Dia keluar dari mobilnya, berdiri dengan tangan yang melipat di dada. "Segera bangunkan dia!" perintahnya begitu jelas.
"Bangunkan dia, dengan apa Nona?" tanya Jake dengan segala kepolosannya.
Niken menepuk keningnya, lalu memukul kepala Jake, "Dasar bodoh!" umpatnya kesal. "Cari air, lalu siram dia dengan air. Mengerti!"
Gertakan yang sekaligus perintah tersebut, langsung dilakukan Jake tanpa harus membalasnya dengan kata-kata.
Jake segera mencari sumber air terdekat yang ada di sana. Lokasi mereka berada sekarang, di tengah-tengah perkebunan maka seharusnya mudah bagi Jake untuk menemukan sumber air. Namun, yang jadi pertanyaannya, bagaimana membawa air dari kebun ke sana?
Niken pun menunggu, sembari terus memperhatikan pemuda tersebut dari kejauhan. Tidak berselang lama, Jake pun datang dengan satu ember yang terisi penuh air.
"Nona, ini airnya." Jake memperlihatkan ember yang dibawanya.
Niken tersenyum simpul, "Cepat siramkan ke pemuda itu!" perintahnya jelas.
Segera Jake mendatangi pemuda itu. Lalu, mengambil ancang-ancang terlebih dulu sebelum akhirnya.
"Bangun kau!"
BRUSH ...
Jake menuangkan seember air pada pemuda yang tidak sadarkan diri itu. Seketika pria yang diketahui bernama Ardi pun tersadar saat air mulai masuk ke hidungnya.
"Apa-apaan ini," bentak Ardi seraya mengusap wajahnya yang basah.
Niken menyeringai dengan tangan yang melipat di dada. "Sepertinya, dia belum sadar. Siram lagi, Jake!" perintahnya yang langsung mendapat anggukan dari Jake.
Ketika Jake hendak mengambil air kembali karena air yang dibawanya telah habis, saat itu juga Ardi angkat suara. "Hei, Tuan, Nyonya! Hentikan. Aku sudah sadar," ungkapnya dengan terburu-buru agar pria yang hendak mengambil air itu tidak lagi menyiramnya.
Satu ember saja sudah mampu membuat pakaian, hidung serta telinganya kemasukan air. Bagaimana jika ditambah satu ember lagi? Jangan-jangan ia akan mati kehabisan napas. Pikir Ardi.
Niken pun mengangkat sebelah tangannya tanpa mengatakan apa-apa. Jake mengangguk dan dia mundur beberapa langkah, sedangkan Niken maju untuk mendekati Ardi.
"Mengapa kalian hanya menyiramku saja, kenapa tidak membunuhku sekalian?" gerutu Ardi kesal karena pakaiannya basah dan hidungnya pula kemasukan air.
"Oh, begitu." Niken mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf O besar, "Jake! Bunuh dia!" perintahnya tegas dan tanpa keraguan.
Jake pun maju ke depan, sedangkan Ardi yang mendengarnya langsung gusar. "Eh, jangan. Bukan itu maksudku. Aku tidak ingin mati." Buru-buru dia berkata, seraya mengibaskan tangannya tanda penolakan.
Niken pun tersenyum sinis ke arah pemuda yang penampilannya sungguh kacau, "Jika dilihat-lihat lagi, kau cukup tampan," ungkap Niken sambil mengelus dagu. Tatapannya begitu tajam, sebagai tanda keseriusannya.
Dari ucapannya, Niken seperti sedang memilah-milah. Lalu memandang Ardi dari atas sampai bawah. Biarpun wajah Ardi babak belur, tetapi Niken bisa melihat kalau pemuda di depannya memiliki wajah yang cukup rupawan. Hanya saja, perlu sedikit polesan agar tampak kinclong. Setidaknya itu yang Niken pikirkan sekarang.
Ardi pun menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Dia merasa wanita yang berdiri di depannya, sedang berpikir kotor, terlebih lagi pakaiannya basah sehingga lekukan tubuhnya pasti terlihat lebih jelas.
Niken mengernyitkan sebelah alisnya, memandang aneh pemuda yang dipenuhi luka bekas pukulan itu. Jake pun mendekatkan diri pada Niken.
"Nona!" bisiknya, di telinga Niken. "Apa?" Niken pun merasa penasaran. Dia mendekatkan wajahnya pada Jake.
Ardi memicingkan matanya, mendadak perasannya menjadi waspada. Sedikitnya dia penasaran dengan yang mereka akan bicarakan.
Selanjutnya Jake mulai melanjutkan ceritanya. "Nona ... Dia dipukuli karena kepergok tidur di rumah janda kembang," bisik Jake yang bisa didengar jelas Niken.
"Apa?" Niken begitu terkejut dengan informasi yang baru didapatnya. Ardi pura-pura tidak mendengar, walau sebenarnya dia tahu hal yang membuat mereka terkejut.
"Jadi ... Kau ..." Niken menahan diri untuk tidak tertawa. "Kau ... Hahaha ..." Akhirnya dia tertawa juga karena tidak bisa menahannya lagi.
Ardi menunduk, menyembunyikan rasa malunya karena dia yakin wanita dan pria itu mengetahui masalah yang tengah dihadapinya.
Niken tak melanjutkan kalimatnya, tubuhnya dibawa mendekat, kepalanya juga condong ke depan. "Apa kau dipukuli karena terciduk tidur di rumah seorang janda?" bisiknya bernada serius.
Pipi Ardi memerah bukan karena malu, tetapi dia begitu marah dan kesal. Aliran darahnya mendidih tatkala mengingat pengkhianatan wanita yang dicintainya.
Merajut cinta selama tiga tahun, nyatanya hanya dijadikan sebagai lelucon dan main-main saja bagi Melati. Putri kepala desa yang begitu terkenal di sana. Kecantikan Melati yang paripurna, menjadikan ia sebagai kembang desa di sana. Ardi sebelumnya berniat akan menikahinya, satu langkah lagi menuju akad. Di sanalah Ardi mengetahui kalau sebenarnya Melati tidak benar-benar mencintainya.
Hanya sepucuk surat yang Melati tinggalkan di kamarnya. Ardi meredam kala membaca isi surat tersebut. Selesai membacanya, dia langsung meremas surat tersebut dan menginjak-injaknya.
"Oh, jadi kau ditinggalkan calon istrinyamu. Is, is, is. Sungguh malangnya nasibmu," ungkap Niken bernada ejekan. "Pertama kau ditinggalkan kekasihmu, siapa namanya tadi?" lanjut menebak-nebak, sembari memandang langit. Pikirannya dibawa untuk mengingat nama wanita yang pergi di hari pernikahannya itu.
"Melati," lirih Ardi sambil membuang pandangannya.
"Ah, ya benar, Melati. Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali lupa? Usiaku masih tiga puluh tahun, cantik dan pintar, tapi kenapa aku sering sekali lupa?" celotehnya dengan lirikan mata tertuju pada Ardi.
Rentetan kejadian yang dialami membuat Ardi sungguh tidak tertarik dengan lelucon yang coba dibuat oleh Niken.
Jangankan menanggapi, Ardi bahkan tidak memiliki tenaga untuk mendengarnya. Niken pun diam setelah melihat reaksi Ardi yang seolah tidak peduli dengan ejekannya.
Niken mengelah napas panjang, menata hati serta pikirannya lebih dulu. Berusaha meyakinkan diri bahwa keputusan ini tidak akan salah. Setidaknya harus dicoba. Tidak akan diketahui hasilnya, kalau tidak dilakukan.
Setelah melakukan pertimbangan matang, Niken mendekat pada Ardi. Dia duduk berjongkok agar posisinya sejajar dengan pemuda yang baru saja mengalami musibah tersebut.
Ardi membuang napasnya. Kehadiran wanita yang entah siapa namanya itu membuat kepalanya semakin pusing.
Niken siap menyampaikan maksudnya, "Kau pasti ingin membalas pengkhinatan Melati bukan, serta membalas perlakuan mereka terhadap dirimu 'kan?"
Niken menjeda kalimatnya lebih dulu. Ardi tidak langsung menjawab, tetapi kepalanya sedikit mengangguk yang dapat diartikan sebagai tanda setuju.
"Kalau begitu, jadilah suamiku dengan begitu kau bisa membalaskan semua perbuatan mereka atas dirimu!" ajaknya lugas, dengan melipat kedua tangan di dada, dan wajah yang agak sedikit membusung.
Ardi melotot, matanya seperti ingin melompat keluar saat wanita yang sekitar satu jam lalu ditemuinya itu meminta dia menjadi suaminya.
Niken yang semula sudah berdiri, kini berjongkok kembali. "Menikahlah denganku, maka kau bisa membalas perbutan mereka!"
"Menikah denganmu? Apa kau sudah tidak waras?" umpat Ardi tanpa menahan keterkejutannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!