"Kamu harus tampil cantik malam ini," Ucapan Berry Membuat kedua mata Lovi terasa mengembun. Lovi tidak tau lagi harus menyesali nasibnya seperti apa. Hidupnya sudah berubah semenjak Ayahnya menjual Lovi di Rumah Bordil untuk kembali membangun perusahan mereka yang bangkrut. Setiap harinya Lovi dikurung di kamar kumuh untuk menunggu siapapun laki-laki yang mau membelinya dengan harga tinggi.
"Pakailah Pakaian yang lebih terbuka, Lovi! karena malam ini akan banyak lelaki kaya yang tampan. pasti tidak sedikit yang menginginkan kamu untuk jadi jalangnya," Berry tersenyum bahagia membayangkan Limpahan uang yang nanti akan ia dapatkan.
Polesan terakhir yaitu menyapu seluruh permukaan wajah Lovi dengan bedak untuk menyempurnakan penampilannya.
"Selesai, Sekarang kamu makin terlihat cantik" Senyum riang terbit di wajah Wanita tua itu lalu meneliti penampilan Lovi dari kepala hingga kaki. dengan balutan Gaun putih yang terbuka di bagian punggung dan pahanya Lovi memang terlihat cantik dan menawan tapi Lovi merasa jijik dengan dirinya sendiri. ia benar-benar terlihat murahan sekarang. Hampir semua bagian tubuhnya yang mulus sengaja dipertontonkan oleh gaun ini.
Lovi berusaha menahan isak tangisnya yang akan mengundang siksaan dari Berry. sebanyak apapun air mata yang jatuh dari matanya, Berry tidak akan merasa kasihan karena Ia memang sudah diharuskan menjadi bagian dari Rumah bordil itu. Ia harus mencari uang untuk Berry.
*********
"Aku tidak bisa dan aku tidak sudi mencari perempuan di tempat sialan itu,"
"Hey! dengarkan mama, Kamu harus melakukan itu karena undangan pernikahanmu dengan Elea sudah tersebar. Dan sekarang keadaan Elea sudah di ambang kematian. lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghindari rasa malu terhadap Rekan bisnis papamu?" Rena menatap Devan dengan tajam.
"Apa yang salah dari rumah bordil? Disana banyak perempuan yang baik,"
"Baik untuk mendapatkan Laki-Laki berharta maksud mama?"
"Tidak semua perempuan di sana sama, Devan!" Karena mama pun bertemu dengan papamu di rumah bordil . Lanjut Rena dalam hatinya. Ia tidak bisa jujur dengan Devan Dan Rania, Adik Devan. ia belum siap untuk dibenci oleh kedua anaknya. Devan dan Rania sangat membenci Perempuan penjual tubuh karena mereka menganggap keluarga mereka hancur akibat hubungan gelap yang dimiliki Raihan dengan Wanita PSK.
"Apa yang kamu harapkan jika keadaan Elea sudah sekarat seperti sekarang Devan? apa yang masih kamu pertahankan? Cinta? "
"Jaga ucapan mama! Elea pasti segera sadar. sabarlah sebentar, Ma"
"Dokter saja sudah mengatakan bahwa kemungkinan elea hidup sangat sedikit karena kecelakaan pesawat itu. Tapi kamu dengan bodohnya masih mau menunggu,"
"Jika kamu tidak mau mencari perempuan lain yang akan menggantikan posisi Elea di pelaminan nanti, maka mama yang akan mencarinya"
Rena meninggalkan Devan sendirian dengan langkah pastinya. Rena akan berusaha untuk mendapatkan perempuan lain untuk mendampingi putranya di pelaminan besok hari menggantikan Elea yang masih terbaring kaku di Rumah sakit karena kecelakaan pesawat yang menimpanya dua bulan lalu.
Devan mengusap wajahnya kasar. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi perempuan lain sedangkan hatinya sudah milik Elea, wanita yang dicintainya dari masa Sekolah. Elea adalah wanita yang membuat hidupnya berwarna setelah keluarganya hancur lebur karena Raihan, papanya berselingkuh dengan wanita Yang bekerja di Rumah Bordil. Walaupun itu semua sudah masa lalu, namun Devan belum bisa melupakan kebejatan Raihan hingga saat ini. hubungannya dengan Raihan masih dingin walaupun mereka semua sudah kembali tinggal serumah.
*************
Di sinilah Devan berada. Ia menatap jijik ke arah gedung besar di hadapannya. Bentuk bangunan yang mempesona tidak akan membuat orang mengira kalau tempat tersebut adalah naungan bagi para perempuan yang menjajakan tubuhnya.
Setelah mendapat berbagai serangan bertubi-tubi dari Rena, Devan akhirnya menyerah. Ia akan bertemu dengan seorang perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Shit !
Rahang Devan mengeras. Ia menatap Ferro yang mengisyaratkannya untuk masuk. Ketika kakinya masuk ke dalam, suasana temaram langsung menyambutnya. Tiap sudut ruangan di penuhi dengan suara-suara menjijikan.
Devan benar-benar mengutuk takdirnya ini. Dia tidak akan menerima sepenuhnya pernikahan itu.
"Gadismu ada di lantai atas," ucap Berry dengan senyum menggoda. Diam-diam Devan bergidik. Oh sial!
"Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Cepat bawa kemari gadis itu,"
"Dia sedang menyempurnakan penampilannya. Tuan bisa naik, menghamprinya."
Kenapa begitu sulit hanya untuk bertemu seorang jal*ng ? Memangnya siapa dia hingga Devan yang harus menghamprinya?
Tak ingin lebih banyak menghabiskan waktu, Devan memasuki lift yang akan membawanya ke lantai atas.
Suasana di sana lebih tenang. Tidak seperti tadi. Suara dentuman musik dan erangan seolah hilang ketika Devan sampai di lorong gelap yang ada di lantai atas. Devan melirik satu persatu ruangan yang tertutup. Ia yakin kalau semua ruangan itu adalah kamar para jal*ng yang bekerja di sana.
"Dimana dia?"
Ferro menoleh dan menunjuk salah satu ruangan paling pojok yang sangat jauh dari penerangan. Devan saja yang melewati lorong itu sedikit merasa tidak nyaman. Ketika sampai di depan ruangan yang dimaksud Ferro, Devan melihat seorang perempuan dan lelakinya keluar dari kamar yang berada tepat di sebrangnya. Keduanya menatap Devan dan Ferro dengan kening berkerut.
Gadis itu menatap Devan dari ujung kaki hingga kepala.
"Oh jadi Tuan ini yang akan menikahi Lovi?" Ia mengatakannya seraya berdecak kagum.
"Lovi beruntung sekali," lanjutnya. Lelaki di sampingnya seolah tak terima kalau gadisnya memuja lelaki lain secara tersirat. Ia menarik tengkuk sang gadis lalu mengecup bibirnya.
Devan dan Ferro membuang wajah mereka. Kembali fokus pada pintu yang ada di depan mereka.
'Benar-benar murahan! tidak tahu tempat,' gerutu Ferro dalam hatinya.
"Biar saya yang mengetuknya, Tuan."
Ferro berdiri satu langkah di depan Devan. Tentu saja Devan tidak akan mengetuk pintu itu. Sudah Ia katakan bukan kalau ini semua bukan keinginannya?
Ferro membuka pintu tersebut ketika tidak ada jawaban dari sana. Ia menatap Devan dan beralih pada sepasang kekasih yang juga penasaran dengan kegiatan Ia dan Tuannya.
"Kalian boleh pergi!" usir Ferro pada mereka. Setelah mendengus kesal, sepasang manusia itu pergi meninggalkan Devan dan Ferro.
Ferro memasuki kamar yang sangat kecil itu. Hanya ada kasur sempit yang terkapar di lantai. Tidak ada ranjang yang nyaman. Begitu masuk pun, suasana berubah menjadi panas. Ia harus berkeringat. Bukan apa-apa, Ferro sudah terbiasa tinggal di mansion Devan dimana seluruh ruangan menggunakan pendingin udara.
Ferro menatap punggung seorang gadis yang sedang menatap jendela. Pakaiannya sangat terbuka hingga getaran halus dari punggung kecil itu dapat terlihat dengan jelas oleh Ferro.
Ferro menoleh dan meminta Devan untuk masuk. Ia tahu kalau itu merupakan hal yang tidak sopan. Mereka masuk tanpa izin dari penghuni kamar tersebut. Tapi Ia harus melakukannya karena gadis ini tidak memberikan respon sama sekali ketika Ferro mengetuk pintunya.
Devan menghela napas sebelum masuk.
"Aku tidak nyaman berada di sini," ucap Devan.
'Aku juga merasakannya, Tuan.' Ferro menggigit lidahnya yang ingin menjawab. Ia saja tidak nyaman apalagi Devan? di sini sangat kumuh sangat jauh dari kata layak huni.
Begitu Devan sampai di depan pintu, Ia dapat melihat pemandangan yang sama dengan Ferro. Devan tidak tahu harus melakukan apa. Ingin berdehem pun, lelaki dingin dan kejam itu mendadak tidak punya keberanian. Gadis itu terlihat sangat menikmati kesendiriannya.
Melihat Devan yang tidak juga mengucapkan apapun, Mereka hanya memandang perempuan yang akan menjadi istri Devan. Ferro memilih untuk berdehem, barang kali bisa menyita perhatian gadis itu.
"Nona, kami perlu bicara dengan anda,"
*****
Devan keluar terlebih dahulu dari tempat menyeramkan itu. Sementara Ferro masih berbincang untuk yang terakhir kalinya dengan Lovi.
"Berbahagialah untuk hari pernikahan anda yang akan datang sebentar lagi,"
"Terima kasih sudah membantuku,"
Dan mulai esok keadaannya tak lagi sama. Kehidupan Lovi akan berubah. Ia akan berada di bawah kekuasaan Devan.
Lovi berharap Ia mampu menjalani takdirnya. Dibeli oleh lelaki tidak pernah dibayangkan Lovi selama ini. Risiko inilah yang harus diterimanya ketika menapakkan kaki di rumah bordil.
Devan memasuki kamar Elea dengan langkah tenang. Ia akan memberi kekasihnya kecupan sebelum Ia meminang perempuan lain yang tidak Ia inginkan.
Devan mengecup kening Elea yang masih tenang dalam tidurnya. Air mata tak terbendung lagi. Ia merasa sangat bersalah pada gadis lemah itu. Devan tidak bisa membayangkan seberapa sedihnya Elea nanti ketika mengetahui semuanya.
Devan tidak akan pernah siap melihat wajah cantik itu bersedih, menangisi hubungan mereka yang goyah karena Ia harus menikahi seorang jal*ng.
"Maafkan aku, Sayang. Kamu tetaplah segalanya bagiku," bisik Devan di tengah kehancurannya. Sebentar lagi Ia akan mengucap janji sucinya bersama dengan pengantin pengganti Elea. Atas nama Tuhan dan di hadapan seluruh keluarga besarnya.
"Kita akan menikah setelah kamu bangun. Aku selalu menanti itu,"
*************
"Dimana Devan?"
Ferro menunduk sejenak pada Rena.
"Di kamar Elea?" tanya Rena sekali lagi.
Ferro mengangguk. Tentu saja, Ia sudah diperintahkan oleh Devan untuk menunggunya sebentar di depan kamar Elea sebelum mereka pergi ke tempat berlangsungnya acara.
Rena menghela napas pelan. Ia sudah panik, saat tidak menemukan anaknya yang belum pulang juga. Ternyata lelaki itu kembali ke mansion hanya untuk menyapa Elea.
"Aku akan pergi lebih dulu, Ferro."
Tak lama punggung Rena menghilang, pintu kamarpun terbuka. Menampilkan wajah Devan yang terlihat sangat letih. Lelaki itu menghabiskan waktunya selama dua hari di kantor demi membunuh perasaan sedihnya.
"Berangkat sekarang Tuan?"
Devan mengangguk lalu berjalan lebih dulu. Ferro tersenyum bahagia menatap punggung tegap Tuannya yang Ia ikuti sejak kecil. Ia terharu karena sebentar lagi Devan akan menjadi seorang suami, penopang hidup untuk keluarga kecilnya.
**************
"Usai mengucap janji suci keduanya, Devan mengecup dahi dan bibir perempuan yang baru saja dipersuntingnya. Hal itu mengundang riuh tepuk tangan semua orang yang menyaksikan betapa manisnya sikap Devan pada istrinya.
Lovita Anandyasya Kini telah resmi menjadi bagian dari hidup Seorang pengusaha muda yang sukses dan tampan Devandra Vidyatmaka.
"Semuanya baru akan dimulai, ****** Sialan," Lovi menutup matanya takut saat bibir suaminya tepat dihadapan wajahnya membisikkan kata-kata menakutkan yang membuat Lovi merinding.
Lovi berharap ini mimpi. Sayangnya, Yang baru saja terjadi adalah kenyataan pahit yang lagi-lagi harus diterima oleh Lovi dengan lapang dada. menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak di kenalnya, yang membelinya dengan harga tiga Milyar.
Mulai detik ini juga, kehidupan Lovi akan berubah.
*******
Rena membawa sepasang suami istri yang baru menikah itu ke lantai atas dimana kamar Devan berada.
Begitu sampai di depan pintu, Ia tersenyum menatap Devan dan Lovi bergantian.
"Lihatlah kejutan dari Mama!" seru Rena seraya membuka pintu kamar Devan. Devan melihat kamarnya telah dipenuhi bunga, suasana didominasi warna putih, serta dekorasi lain yang terlihat sangat anggun dan elegan khas pengantin baru.
"Kenapa Mama merubah kamarku menjadi seperti ini? aku tidak menyukainya, Ma!" ujarnya dengan penuh penekanan. Mengekspresikan kekesalannya saat ini.
Rena memutar bola matanya seraya bersedekap dada. Ia terlihat santai, Seolah tidak melakukan apapun. Devan merasa tidak dihargai sebagai pemilik kamar. Rena merubah kamarnya tanpa persetujuan terlebih dahulu.
"Mama rasa ini bukan suatu kesalahan. Jadi kamu tidak perlu menatap mama layaknya singa yang siap menerkam mangsa!!"
Lovi hanya menjadi pendengar yang baik. Perdebatan ini untuk pertama kalinya Ia lihat.
Devan berdecak seraya mengusap kasar wajahnya. Ia tidak habis pikir dengan Rena.
"Kapan Mama merubah ini semua?"
Devan memang tidak berada di mansion dua hari ini. Lelaki itu menghabiskan waktunya di kantor. Devan tidak menyangka kalau Rena bisa melakukan semuanya dalam waktu yang sangat singkat.
"Tidak penting kamu bertanya seperti itu,"
Bagaimana mungkin Rena mengatakan hal ini tidak penting? Devan masih belum terima ketika kamarnya di rubah seperti ini.
Kemana perginya aura teduh dan mencekam dari kamarnya? kemana suasana serba abu itu? sekarang semuanya telah di dominasi dengan warna putih.
"Kamu bukan lagi lelaki yang sendiri, hargailah istrimu. Hilangkan sikap aroganmu, Devan!!" Rena mengingatkan Devan agar lebih hati-hati selama menjalin hubungan rumah tangga.
"Mama pikir dengan merubah semua ini, kamu bisa belajar untuk lebih mengerti bagaimana suasana hati seorang wanita. Mama tahu kalau Lovi kurang nyaman dengan suasana kamarmu yang menyeramkan,"
Mata Devan menatap sinis Mamanya. Menyeramkan? memangnya apa yang Ia simpan dalam kamar itu?
"Lelaki memang lebih menyukai warna gelap, itu normal. Yang seram itu saat Mama melihat kamarku berwarna merah muda seperti kamar Vanilla,"
Lovi sedikit terhibur melihat pemandangan didepannya. Rena menarik telinga Devan karena kesal. Mulut lelaki itu selalu tak ingin kalah berdebat. Ada saja kalimat yang membuat Rena kesal.
************
"Siapa yang menyuruhmu kesana?" Lovi yang sedang berjalan ke arah Ranjang besar didalam kamar mewah itu langsung berhenti dan menoleh pada Devan.
"Kamu keluar dari sini, tempatmu bukan disini." Tangan Devan menunjuk pintu kamarnya.
Bentakan Devan membuat Lovi terkejut. Ia segera mundur dan keluar dari kamar Devan dengan langkah pelan.
********
"Kamu mau kemana Devan?" Rena mengerinyit bingung saat melihat Devan yang keluar dari kamarnya sudah rapi dengan pakaian kerjanya pagi ini.
"Aku harus ke Italia hari ini, Ma"
Mata Rena membulat lalu ia bangun dari kursi yang yang sedang di dudukinya.
"Kamu akan pergi? Bahkan kamu menikah belum dua puluh empat jam, Devan. sekarang kamu sudah harus bekerja?"
"Pekerjaanku lebih penting daripada Pernikahan ini,"
"Kamu tidak bisa menghargai istrimu?"
Devan tertawa sinis lalu menatap Rena dengan dingin.
"Aku tidak salah dengar? Memangnya wanita seperti apa dia hingga aku harus menghormatinya?"
Rena menghela napas panjang. Devan benar-bebar keras kepala. Devan tidak main-main dengan ucapannya bahwa ia tak akan pernah bisa memperlakukan istrinya dengan baik.
Devan menyesap kopi hangatnya yang sudah tersedia di atas meja makan. lalu mengisyaratkan Mamanya untuk kembali duduk di hadapannya.
"Aku sudah memenuhi permintaan mama untuk menikahi wanita selain Elea. Dan sekarang aku minta mama untuk menghargai apa yang sudah seharusnya aku lakukan. "
Rena menggeleng tak setuju.
"Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kamu lakukan, Devan. Lovita adalah istri kamu. Tidak seharusnya kamu memperlakukan dia seperti semalam."
Devan langsung menatap mamanya.
"Mama tau kamu mengusir dia semalam setelah pesta pernikahan kalian selesai."
Devan bangkit lalu menatap mamanya dengan pandangan dingin.
"Mama terlalu ikut campur,"
"Kamu anak mama. Mama hanya melakukan kewajiban mama sebagai orang tua,"
"Kenapa sekarang mama membela wanita sialan itu? Mama lupa Wanita seperti dia yang sudah menghancurkan keluarga kita. perlu aku ingatkan lagi?"
Tidak! Tidak! Rena tidak mau kilas masa lalu itu menghantuinya lagi. Ia sudah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang kembali hangat dengan Raihan. Tapi dia tidak bisa menghakimi semua perempuan seperti yang dilakukan oleh Devan. Ia bisa menilai bahwa Lovi tidak seperti itu. Ia juga pandai memilih wanita manakah yang pantas untuk mendampingi putranya. Pemilik Rumah bordil itu mengatakan bahwa Lovi lah yang baru menjadi pekerja disitu. belum ada laki-laki yang membeli Lovi karena Harga yang di pasang oleh Berry terlalu tinggi. Wajar, Karena Lovi masih berusia belia dan belum pernah mengenal dunia kelam seperti itu.
Jika melihat mata sendu Lovi, ia merasa kembali ke masa mudanya dulu. dimana nasibnya sama seperti Lovi. Ia dijual karena ego yang dimiliki oleh orang tuanya. Ia tak bisa menyalahkan dan membenci Lovi sama seperti membenci wanita yang hampir merebut suaminya. karena Lovi berbeda. Gadis itu tidak tau apa-apa. Lovi hanyalah gadis belia yang seharusnya masih menikmati masa mudanya dengan kebahagiaan tanpa harus dikorbankan karena sesuatu yang tidak dia lakukan.
"Perasaanmu akan berubah, Devan. Lihat saja nanti,"
Rena menatap punggung anaknya yang mulai menjauh, meninggalkan kehidupan pernikahannya entah sampai kapan.
Beberapa hari setelah kepergiannya, tadi malam Devan sudah kembali ke mansionnya.
Dan pagi ini Ia akan menjalani aktifitas seperti biasa.
Lovi sedang membersihkan meja yang berada di lantai atas tak jauh dari kamar suaminya. Ia melihat Devan yang keluar dari kamarnya dan memerintahkan salah satu pelayan untuk mengambil pakaian kerjanya.
Lovi bimbang dengan kata hatinya. Apakah Ia harus melakukan tugasnya mulai saat ini? seperti menyiapkan segala keperluan Devan.
Setelah yakin semuanya telah sempurna, Lovi menghampiri Desy yang sedang mengambil pakaian Devan di walk in closet. Kini Lovi tahu kalau pakaian formal lelaki itu berada di luar kamarnya. Sepertinya hanya pakaian santai saja yang ada di lemari kamar Devan.
Lovi baru pertama kali masuk ke dalam ruangan itu. Benar-benar luas. Di sudut ruangan terdapat lemari sangat besar. Ia bisa melihat banyak jas tergantung di sana. Di tengah ruangan ada tempat untuk bercermin dan kursi yang halus bagai permadani. Kursi itu seperti ditujukan untuk seseorang menggunakan sepatu. Karena di bawah cermin besar itu pun terdapat lemari kaca yang memanjang, berisi banyak pasang sepatu pantofel. Lovi semakin yakin kalau ruangan ini hanya di khususkan untuk segala keperluan Devan yang berbasis formal.
"Nona, saya kaget." keluh Desy saat Lovi menyentuh bahunya. Ia sedang sibuk mencari kemeja yang akan di pakai Devan.
"Tuan akan memakai yang mana?"
"Biasanya kalau hari selasa, Tuan menggunakan kemeja dan dasi biru,"
"Saya sedang mencari kemejanya. Jasnya sudah ada," lanjut Desy seraya menunjuk jas yang sudah Ia keluarkan dari lemari.
Lovi mengangguk paham. Ternyata dalam menggunakan setelan kerjanya, Devan memiliki jadwal atau kebiasaan sendiri.
"Ini yang kau cari?"
Desy berseru senang ketika mendapatkan apa yang dicarinya. Ia langsung meraihnya dari Lovi.
Desy memperhatikan kemeja di tangannya. Sedikit kusut dibagian lengan dan Devan akan marah besar. Lelaki itu adalah sosok yang perfectionis. Tidak boleh ada celah sedikitpun yang mampu membuat orang lain tidak nyaman ketika melihat penampilannya.
Ketika Desy meraih alat pelicin pakaian, Lovi menahannya.
"Biar aku saja yang melakukan ini,"
Desy menggeleng seraya tersenyum. Berusaha menolak sehalus mungkin. Ia takut istri dari Tuannya itu tersinggung.
"Nona, ini tugas kami para pelayan. Nona tidak perlu melakukannya,"
Lovi tetap mengambil alih alat yang sudah di sambungkan dengan aliran listrik itu. Lovi akan menjalankan tugasnya dengan baik mulai hari ini. Walaupun Ia tahu kalau Devan tidak akan berubah dalam memperlakukannya.
Desy tidak bisa lagi menahan keinginan Lovi. Akhirnya Ia meninggalkan Lovi yang sedang menyelesaikan pekerjaan itu. Devan keluar dari kamar bermaksud untuk menemui Desy yang sangat lama membawa bajunya. Ia yang sudah lama menanti pakaiannya pun mengerinyit bingung. Kenapa Desy tidak membawa setelan jasnya?
"Dimana pakaianku?" tanya Devan dengan nada tak bersahabat. Desy sudah membuat waktunya terbuang sia-sia.
"Lengan pada kemejanya sedikit kusut, Tuan. Sedang di..."
Tanpa mendengar lanjutan kalimat Desy, Devan berjalan ke ruangan walk in closet nya. Matanya menangkap sosok Lovi yang sedang serius menggerakan tangannya di bidang datar yang menjadi tempat melicinkan pakaian.
Ia kembali berjalan ke arah Desy lalu menatap pelayannya itu dengan murka.
"Jangan terbiasa mengalihkan pekerjaanmu pada orang lain!! dia bukan pembantuku, Tapi istriku. Sekarang, selesaikan tugasmu!!" titah Devan dengan tegas. Membuat Desy menelan ludahnya pahit. Wanita itu langsung menjalankan apa yang dikatakan Devan.
Ia menghampiri Lovi dan mengambil kemeja itu dengan cepat. Lovi terkejut begitu Desy terengah di sampingnya dengan wajah ketakutan.
"Nona, biar aku saja yang menyelesaikannya. Nona bisa kembali,"
"Desy..."
"Nona, aku mohon jangan buat aku di singkirkan oleh Tuan Devan. Pekerjaan ini sangat berharga untukku,"
Lovi mengerinyit bingung. Ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Desy. Tapi Lovi tidak akan bertanya. Walaupun rasa penasarannya Sangat menggunung. Kenapa Desy tiba-tiba aneh? padahal ketika keluar dari walk in closet tadi, Ia melihat Desy baik-baik saja.
"Tuan Devan menyayangimu,"
*************
Lovi meletakkan roti bakar buatannya di atas piring. Ia tidak menyadari kedatangan Devan yang baru turun dari lantai atas.
"Kamu sedang mencoba untuk menjadi istri yang baik? hm?"
Suara berat itu membuat Lovi tersentak. Ia menunduk saat ditatap tajam oleh Devan.
"Aku peringatkan kamu sekali lagi, Pernikahan ini tidak ada artinya bagiku. Tidak boleh ada perasaan didalamnya! Kamu jangan berharap lebih. Perempuan seperti kamu sebenarnya tidak pantas berada disini. Kamu harus tau diri!"
Lovi menggigit bibir bawahnya dengan perasaan nyeri luar biasa. Kalimat Devan membuat dirinya hancur lebur. Tidak ada satu manusia pun yang mau di rendahkan seperti itu. Ia Cukup sadar diri bahwa ia hanya seirang gadis yang dibayar hanya untuk menggantikan posisi seseorang. Ia sudah berusaha untuk menerima semuanya. Tapi bisakah Devan sedikit saja memikirkan perasaannya setelah kata-kata menyakitkan itu dikeluarkan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Devan mendorong bahu Lovi hingga gadis itu terhuyung lalu ia berjalan dengan gagahnya keluar dari Rumah dan masuk kedalam mobil mewah berwarna Hitam mengkilap itu.
Lovi tak bisa lagi menahan beban tubuhnya. Ia terduduk dilantai dingin itu seraya menepuk-nepuk dadanya agar rasa nyeri yang singgah di hatinya sedikit hilang. Air mata terus meleleh tanpa henti mengiringi kepergian Devan, Laki-Laki yang sudah berjanji untuk terus menyakitinya.
*******
"Kenapa murung Devan? ada masalah yang sedang kamu hadapi?"
Devan yang sedang memijit dahinya langsung menatap arah datangnya suara. Deni, Sahabat sekaligus rekan kerjanya tampak melangkah memasuki Ruang kerjanya yang serba abu-abu itu.
"Tidak," Devan menggeleng lalu meminum Air putih yang selalu tersedia di atas meja kerjanya.
"aku hanya merindukan Elea,"
Deni menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum miring.
"Kamu sudah menikah? apa kamu lupa?"
"Tentu saja aku ingat. "
"Lalu? Siapa Elea? Dan siapa istrimu? bukankah mereka kedua perempuan yang berbeda,"
"Ya, Tapi yang aku cintai hingga saat ini hanya Elea. Bukan perempuan itu,"
Deni menganggukan kepalanya pelan. Ia duduk di sofa yang ada di hadapan meja kerja Devan.
"Yang aku tau, Kamu bukanlah Laki-Laki brengsek. Dan yang menyakiti dua perempuan sekaligus adalah seorang brengsek. "
Devan terdiam mendengar ucapan telak yang keluar dari sahabatnya. Tenggorokannya tercekat.
"Hanya Elea yang tersakiti disini, Deni. Tidak ada yang lain."
Deni tertawa pelan seraya mengusap dagunya.
"Aku rasa, Lovita yang paling tidak pantas berada di posisi sekarang. Tidak ada keuntungan sedikitpun yang didapatnya saat resmi menjadi istrimu. dia hanyalah gadis yang tidak tau apa-apa lalu dengan kurang ajarnya kamu membawa dia masuk kedalam hidup kamu setelah itu kamu campakkan dia,"
Tidak tau mengapa, Deni merasa begitu emosi ketika mengetahui semua perbuatan Devan pada istrinya dari Rena. Kemarin Rena bertemu dengannya dan menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.
Deni kira pernikahan sahabatnya akan bahagia. pertama kali melihat Lovi, Deni yakin gadis itu adalah yang terbaik untuk Devan. Senyum tulusnya menggambarkan betapa dia sangat amat bahagia dengan pernikahan mereka. bahkan Sampai membuat Deni tak percaya bahwa gadis itu hanyalah pengganti Elea seperti yang dikatakan Rena. Lalu kenapa Lovi masih bisa tersenyum setulus itu? padahal hatinya sudah tak berbentuk lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!