Perjodohan tanpa cinta dan desakan orang tua sudah menjadi hal yang biasa. Harta dan tahta seringkali menjadi hal yang utama. Namun, terkesan tabu di zaman yang serba maju seperti saat ini. Tapi nyatanya masih banyak orang tua yang melakukan hal yang demikian.
Berawal dari sebuah keterpaksaan yang lambat laun menjadi sebuah kebutuhan. Berharap memiliki pasangan yang mampu mencintai dan mengasihi dengan sepenuh hati. Namun, realitas menunjukkan hal yang bertolak belakang. Dipertemukan dan dijodohkan dengan pasangan yang tak sesuai dengan harapan. Kenyataan itu seakan membangunkannya dari alam mimpi yang terlalu jauh berangan-angan.
Tapi percayalah satu hal bahwa Allah tidak akan pernah salah dalam memilihkan pasangan untuk setiap hamba-Nya. Dia Maha Mengetahui atas segalanya sedangkan manusia? Hanya seorang hamba biasa yang tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk menentang kehendak-Nya. Cukup dengan menerima dan menjalankannya saja.
"Saya terima nikah dan kawinnya Shandra Aulia Rahmansyah binti Rahman dengan maskawin tersebut dibayar tunai." Suara lantang seorang pria menggema di setiap sudut ruangan yang menjadi tempat berlangsungnya akad pernikahan.
"Sah?"
"Sah!"
Suara saksi dan para tamu undangan terdengar begitu bahagia menggaungkan satu kata keramat itu. Acara yang digelar sederhana dan hanya dihadiri beberapa tamu penting itu terasa begitu khidmat dan penuh kekeluarga. Tak ada pelaminan megah untuk sang mempelai pengantin, apalagi berdiri berjam-jam hanya untuk menyalami para tamu undangan. Semuanya sangat-sangat sederhana karena memang mereka hanya melangsungkan akad pernikahan saja. Bukannya tidak mampu, hanya saja tak ingin menggelontorkan banyak dana hanya untuk sebuah kesenangan sementara. Cukuplah Allah dan para malaikat saja yang menyaksikan kedua insan manusia itu bersatu dalam ikatan sah dan halal.
Suasana seketika menjadi hening kala sang mempelai perempuan yang terlihat begitu ragu pada saat akan mengambil tangan suaminya untuk disalami. Para tamu undangan yang hadir dibuat greget oleh tingkahnya. Sangat terlihat dengan jelas bahwa sang mempelai perempuan tak pernah bersentuhan dengan makhluk yang bernama kaum adam.
Suara riuh dan tepuk tangan gemuruh begitu menggema setelah sang mempelai laki-laki berhasil mencium kening perempuan yang kini sudah sah menjadi istrinya. Shandra, perempuan itu menegang sempurna saat ada sesuatu yang kenyal mampir di pelipisnya. Sepanjang sejarah hidupnya dia tidak pernah berdekatan ataupun melakukan kontak fisik dengan makhluk bernama laki-laki. Suaminya adalah laki-laki pertama untuk dia. Hatinya berdetak hebat tak tentu arah, pikirannya melanglang buana entah ke mana.
"Loe emang bukan wanita pertama di hati gue. Tapi gue harap loe jadi wanita terakhir yang menutup kisah percintaan gue," bisiknya setelah menyematkan sebuah cincin bertahtakan berlian di jari sang istri.
Deg! Ada perasaan sakit kala mendengar kejujuran suaminya. Namun, dia harus siap untuk menerima semua kekurangan suaminya. Ini sudah menjadi konsekuensi yang harus dia terima.
"Saya akan menerima kamu dengan apa adanya dirimu. Baik itu berupa kekurangan ataupun kelebihan," tutur Shandra membalas bisikan suaminya.
Carilah pasangan yang menerima kita apa adanya bukan ada apanya kita. Jangan menuntut kesempurnaan dalam sebuah hubungan karena kita pasti akan menemukan kecacatannya. Jangan mencari kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga karena hal itu hanya akan membuat kita kecewa. Cukuplah dengan menerima serta menjalankannya dengan penuh kelapangan dan keikhlasan.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Komunikasi adalah hal utama yang harus ada dalam sebuah hubungan rumah tangga."
▪▪▪
Dipertemukan, dipersatukan, dan disandingkan dengan seseorang yang mencintai dan dicintai dalam sebuah hubungan pernikahan adalah hal yang sangat membahagiakan. Tapi tidak semua orang mendapatkan apa yang diinginkan. Ada kalanya kenyataan hidup menentang dan saling bertolak belakang. Tak ada satu orang pun manusia yang mampu melawan kehendak Sang Khalik, Tuhan Semesta Alam. Dia memberikan apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya bukan apa yang diinginkan hamba-Nya. Maka bersyukur adalah kunci utamanya.
"Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanyanya pada sang suami yang kini tengah duduk di sofa dengan sebuah laptop berada di atas pangkuan.
Laki-laki itu menoleh sekilas ke arah sang istri yang kini masih betah dengan posisi berdiri. "Enggak, mending loe duduk aja sini temenin gue."
Perempuan dengan balutan gamis khas rumahan itu mengangguk dengan ragu dan segera duduk di sofa kosong samping suaminya.
"Bagaimana jika saya membuatkan kopi?" tawar Shandra yang duduk dengan hati resah dan gelisah. Rasa canggung masih sangat jelas perempuan itu rasakan.
Jari-jemari Farhan yang menari di atas keyboard laptop seketika terhenti. "Terserah loe aja," ucapnya dan kembali fokus menatap sejumlah pekerjaan yang sedang dia selesaikan.
Begitulah hubungan rumah tangga sepasang kekasih halal itu. Walau masih terbilang pengantin baru tapi di antara keduanya seperti ada sekat tinggi dan besar yang menghalangi. Hanya sebatas obrolan singkat saja keduanya terlibat perbincangan.
"Silakan diminum," kata Shandra setelah segelas kopi dia suguhkan kepada suaminya.
"Thanks," sahut Farhan.
"Saya harus ke kafe besok pagi. Saya harap kamu mengizinkan," tutur Shandra dengan kepala tertunduk. Dia takut sang suami tidak memberikan izin.
Selama statusnya berubah menjadi seorang istri dia tidak lagi berkecimpung di dunia bisnis. Namun, tadi staf-nya memberitahu bahwa ada sedikit kendala yang harus dia tangani sendiri.
"Ok," singkatnya tanpa mau repot-repot melihat ke arah sang istri.
"Terima kasih," ujar Shandra.
Tanpa sepasang suami istri itu ketahui ada empat pasang mata yang tengah memonitor gerak-gerik keduanya.
"Hubungan mereka masih datar-datar aja. Padahal pernikahan mereka udah satu bulan," adu wanita paruh baya dengan sendu bernama Sekar, ibunda Shandra.
"Bersabarlah. Mereka masih dalam tahap pengenalan satu sama lain," sahut sang suami yang berada di sampingnya. Rahman, begitulah nama laki-laki yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah mulai menua.
"Ya, tapi mau sampai kapan?"
"Sudahlah, biarkan saja mereka menyelesaikan persoalan rumah tangganya sendiri," ujar Rahman.
Sekar mendengus kasar. "Kalau kaya gini terus kapan kita bisa dapet cucu!" katanya dan berlalu begitu saja.
Rahman tersenyum simpul mendengar gerutuan dan keluhan istrinya. Dia pun menginginkan hal yang sama seperti sang istri namun apa boleh buat jika pada kenyataannya harapan itu belum bisa terealisasikan.
"Sudah malam, sebaiknya kalian segera istirahat," tutur Rahman menghampiri putri dan menantunya.
"Baik, Pah," sahut Shandra begitu sigap dan patuh dengan titah yang diberikan oleh ayahnya.
"Kami permisi dulu, Pah," ucap Farhan setelah membereskan laptop dan beberapa berkas yang tadi berserakan di atas sofa dan meja.
Rahman mengangguk dan menepuk pelan bahu sebelah kanan menantunya dengan menampilkan senyuman simpul yang tak Farhan ketahui arti dan maksudnya.
Farhan masih terlihat canggung dan tidak begitu leluasa saat bersama dengan mertuanya. Dia selalu dibuat gugup dan kehabisan stok kata-kata jika tengah berbincang dengan sang mertua.
▪▪▪
Mentari telah bersinar, pagi pun telah datang saatnya untuk menyambut hari senin yang cerah ini. Menjalankan segala rutinitasnya dengan penuh semangat dan kebahagiaan.
"Shandra!" Teguran sang ibu membuat Shandra terkesiap dan segera mengambilkan piring serta mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk pauk untuk laki-laki di sebelahnya. Yang tak lain dan bukan adalah Farhan.
"Maafkan Shandra, Mah," katanya. Dia belum terbiasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang istri. Termasuk melayani suaminya dalam hal menyiapkan makanan.
"Jangan dibiasakan seperti itu, Shandra. Kamu harus siap siaga dalam melayani semua kebutuhan suami kamu," tutur Sekar memberi tahu.
"Enggak papa, Mah saya bisa ambil sendiri," ucap Farhan merasa kasihan pada sang istri yang hampir setiap hari harus menerima omelan dari Sekar.
Jangan heran mendengar Farhan yang menyebut dirinya 'saya' dia hanya mencoba menghormati mertuanya. Karena dia merasa tidak sopan jika menggunakan kata 'gue' kepada seseorang yang notabene-nya adalah orang tua yang harus dihormati.
"Sudah, lebih baik kita lanjutkan saja sarapannya," ujar Rahman menengahi.
Drama di pagi hari sudah menjadi hal yang tak asing lagi terjadi di kelurga ini. Hal-hal kecil yang tidak perlu diperdebatkan malah sering kali menjadi hal besar yang sulit diselesaikan.
▪▪▪
"Maafkan saya, karena tidak bisa menjadi istri yang baik," ungkap Shandra mencurahkan keresahan dalam hatinya. Dia merasa lalai dalam melakoni status barunya sebagai istri.
Farhan yang tengah fokus menyetir seketika menoleh bingung. "Udah lah. Omongan Mamah jangan terlalu loe pikirin. Gue juga gak nuntut loe buat layanin semua kebutuhan gue. Gue bisa sendiri," ucap Farhan yang masih fokus menatap jalanan yang kini ramai lancar.
Shandra tertegun tak percaya dengan apa yang didengarnya. Mereka memang sangat jarang bahkan tidak pernah membicarakan dengan serius perihal rumah tangga yang mereka bina bersama.
"Kita jalani aja dulu. Jangan dibuat ribet dengan masalah hak dan kewajiban," sambung Farhan.
Shandra tak mampu untuk membalas perkataan suaminya. Lebih baik dia diam dan tak usah repot-repot berkomentar.
"Shan," panggilnya.
"Ya," sahut Shandra seraya mengalihkan pandangannya yang sedari tadi menatap ke arah luar jendela.
"Gue mau bawa loe pindah ke apartemen," ujar Farhan.
"Baiklah," kata Shandra menyetujui.
"Apa loe gak keberatan?" tanya Farhan.
"Tidak. Bukankah itu sudah menjadi keharusan bagi saya? Kemana pun kamu pergi maka saya harus mengikuti," jawab Shandra mantap.
Mendengar jawaban tak terduga keluar dari mulut sang istri membuat Farhan refleks mengulurkan tangannya untuk sekadar mengusap pelan pucuk kepala sang istri.
'Loe emang perempuan baik. Tapi sayang gue enggak bisa memperlakukan loe dengan baik,' batinnya.
Mendapat perlakukan demikian membuat tubuh Shandra menegang. Dengan detak jantung berdebar kencang. Ini adalah pengalaman pertama baginya.
"Sorry," kata Farhan setelah menjauhkan tangannya yang sudah begitu lancang hinggap di pucuk kepala sang istri.
Shandra gugup dibuatnya dengan segera dia berkata, "Ti-tidak apa."
Seketika suasana dalam mobil kembali hening tanpa ada obrolan seperti sebelumnya. Shandra dan Farhan saling bergelut dengan perasaan masing-masing.
"Terima kasih," tutur Shandra saat mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan kafenya. Dengan perlahan dan penuh rasa ragu dia mengambil tangan kanan sang suami. "Assalamualaikum," pamitnya yang langsung keluar dan segera berjalan dengan cepat.
"Wa'alaikumussalam," jawab Farhan menatap linglung kepergian sang istri. Ini adalah kali kedua Shandra mencium punggung tangannya. Yang pertama pada saat setelah akad dan yang kedua adalah sekarang. Biasanya dia bisa mengelak dan menghindari namun tidak untuk sekarang ini.
"Loe terlalu baik buat gue. Loe pantes dapetin laki-laki yang jauh seribu kali lipat dari gue," gumamnya.
▪To be continue▪
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Selagi makanan itu masih bisa dimakan dan gak mengandung racun pasti gue makan"
-Farhan-
▪▪▪
Dengan wajah datar tanpa ekspresi, Shandra menikmati pagi pertamanya menyiapkan makanan untuk dia dan sang suami. Berkutat di dapur dengan berbagai macam perkakas rumah tangga adalah hal baru bagi Shandra. Selama tinggal di rumah kedua orang tuanya sang mamahlah yang bertugas menjadi juru masak tapi sekarang dia harus mengerjakan itu sendiri.
Hanya ada dua piring nasi goreng dan telur dadar hasil karyanya yang terpajang di atas meja makan. Tak ketinggalan satu gelas kopi yang merupakan minuman kesukaan sang suami juga hadir menjadi menu sarapan pagi ini.
"Silakan dimakan. Maaf hanya ini yang bisa saya buatkan," ucap Shandra saat sang suami telah duduk di kursi meja makan.
"Iya gak papa," sahut Farhan dengan sunggingan senyum tulusnya.
"Bagaimana?" tanya Shandra antusias setelah sesuap nasi goreng itu masuk ke dalam mulut suaminya.
Kening Farhan mengernyit merasakan masakan perdana istrinya yang terasa sangat asin dan begitu tak nyaman untuk ditelan. "Enak kok," dustanya setelah dia menenggak habis segelas air putih yang memang sudah tersedia di atas meja.
"Serius?" tanya Shandra tak percaya mendapati ekspresi wajah sang suami yang tak sesuai dengan apa yang diucapkan.
Farhan hanya mengangguk saja. Tak ada niatan untuk dia membohongi istrinya, tapi dia juga tidak mau membuat sang istri sakit hati karena kejujurannya.
Dengan penasaran dan antusias Shandra memasukan satu suap nasi goreng ke dalam mulut. Dan betapa terkejutnya dia saat merasakan rasa asin yang begitu dominan. "Maafkan saya," ungkapnya tak enak hati dan penuh penyesalan.
"Enggak usah minta maaf segala. Lagian nasi gorengnya juga masih bisa gue makan," ujar Farhan lalu kembali melanjutkan ritual makannya.
"Tidak usah dipaksakan seperti itu. Lebih baik kita pesan makanan online saja," katanya tak tega melihat wajah Farhan yang terlihat sangat tersiksa menghabiskan masakannya.
"Enggak usah. Mubazir kalau makanannya dibuang," larang Farhan. Dia hanya ingin menghargai usaha dan jerih payah istrinya.
Shandra meringis mendengar perkataan tak terduga dari suaminya. "Ya, sudah saya juga akan memakannya," ungkapnya. Hati Shandra seketika berbunga-bunga saat masakan yang dia buat dimakan oleh Farhan.
Sepasang suami istri itu akhirnya menikmati santap pagi dengan menu nasi goreng asin yang mereka habiskan tanpa tersisa. Meskipun memakannya harus diselingi dengan tegukan air putih namun hal itu malah membuat keduanya larut dalam kebersamaan yang belum pernah mereka rasakan.
"Makasih untuk sarapannya," ucap Farhan setelah keduanya selesai sarapan.
"Seharusnya saya yang berterima kasih karena kamu sudah bersedia memakan nasi goreng asin buatan saya," sanggah Shandra.
"Selagi makanan itu masih bisa dimakan dan gak mengandung racun, pasti gue makan," sahut Farhan yang membuat Shandra senang. Namun, masih tetap bertahan dengan wajah dan tampang datar. Dia memang salah satu manusia tanpa ekspresi yang ada di muka bumi ini.
"Saya tidak akan setega itu," katanya. Dia bertekad akan belajar masak pada koki yang bekerja di kafenya.
"Gue berangkat kerja dulu. Loe mau bareng?" tanya Farhan.
"Kamu duluan saja. Saya masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Mungkin nanti siang saya akan pergi ke kafenya," jawab Shandra yang sudah mulai sibuk memindahkan piring-piring kotor ke tempat pencucian.
"Enggak usah. Nanti gue bakal cari orang buat kerja di sini," tutur Farhan.
Shandra menggeleng tak setuju. "Tidak usah, saya bisa mengerjakannya."
"Yakin?"
Shandra mengangguk. "Saya akan berusaha untuk mengerjakan semuanya sendiri," katanya.
"Yaudah terserah loe aja," putus Farhan dan berdiri dari duduknya.
"Gue pamit dulu, assalamualaikum," lanjutnya.
"Wa'alaikumussalam," balas Shandra seraya mencium punggung tangan suaminya. Dia sudah mulai membiasakan diri untuk melakukan hal itu, walaupun masih ada sedikit rasa ragu dan canggung.
Shandra memegang bagian dadanya yang berdegup begitu kencang saat sang suami memberikan kecupan singkat untuk kedua kalinya di kening.
"Perasaan apa ini Ya Allah," gumamnya begitu linglung dan kelimpungan.
Tanpa Shandra ketahui Farhan pun merasakan hal yang sama. Dia terdiam cukup lama di balik kemudi mobil. Merasakan denyutan aneh yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. Terlebih lagi memikirkan tindakan dia yang di luar kendali. Sepertinya Farhan harus segera mengakhiri kegiatan menonton drama dan sinetron, yang mengandung keromantisan antara dua insan manusia yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi.
▪▪▪
Setelah kepergian suaminya, Shandra dengan segera membersihkan piring-piring kotor. Walau sedikit kesusahan karena dia tidak terbiasa, tapi sebisa mungkin dia menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun ada satu piring yang jatuh ke lantai dan pecah sehingga membuat jari telunjuknya terluka, dia tetap bersikeras melanjutkan tugasnya.
Mencuci pakaian, menyapu, dan mengepel lantai menjadi kegiatan selanjutnya. Dengan bermodalkan ponsel pintar dan kuota dia mencari tahu cara menyelesaikan ketiga pekerjaan itu. Mengikuti setiap instruksi yang diberikan oleh seorang ibu-ibu rumah tangga di dalam sebuah video yang menyala di handphone. Tangannya yang terluka sedikit perih saat bersentuhan dengan air yang dia gunakan untuk mencuci pakaian dan membersihkan lantai.
"Setelah ini saya harus segera pulang ke rumah untuk menemui Mamah dan meminta maaf. Karena selama ini saya selalu menyepelekan apa yang Mamah kerjakan," katanya penuh penyesalan. Selama ini dia tidak pernah membantu sang ibu membereskan pekerjaan rumah. Selalu menolak jika Sekar meminta bantuannya, dan menganggap angin lalu setiap keluhan yang dilontarkan oleh sang ibu.
Deringan ponsel berbunyi dengan begitu nyaring membuat sang empunya segera mengangkat panggilan itu.
Shandra menegang sempurna dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Bahkan sendi-sendinya terasa lemas seketika. Pandangannya begitu kosong dengan kedua kaki yang sudah ambruk di lantai.
"Shandra!" Teriakan itu berasal dari ruang tengah apartemen tempat tinggalnya.
Pada saat perjalanan menuju kantor, Farhan terjebak macet parah yang tidak seperti biasanya. Dengan rasa penasaran dia turun dari mobil, dan dia terkejut bukan main saat melihat sebuah mobil yang sudah ringsek tak berbentuk tengah dievakuasi oleh beberapa petugas kepolisian.
Laki-laki itu melangkah lebih dekat lagi pada objek yang mengganggu penglihatannya. Dia menegang sempurna kala melihat mobil yang tak asing baginya. Namun, sebisa mungkin dia menepis jauh-jauh pikiran negatif itu. Kedua bola mata Farhan memicing untuk memastikan apakah dugaan yang bersarang di dalam otaknya itu benar atau tidak.
Cukup lama pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu berdiri kaku, hingga kesadarannya teralihkan oleh sebuah teriakan yang begitu menggelegar. "Hubungi keluarga korban segera!" Salah satu petugas yang menemukan alat komunikasi di dalam tas korban dengan segera mencari nama kontak yang terakhir kali dihubungi. Gerakan tangannya terhenti kala melihat nama, Putriku tertera apik di layar smartphone milik korban.
Ditengah keramaian samar-samar Farhan mendengar. "Apakah benar dengan putri dari Bapak Rahman dan Ibu Sekar?" Mendengar nama mertuanya. Dengan segera Farhan menerobos khalayak ramai untuk segera kembali ke apartemen menemui sang istri.
Dalam hati laki-laki itu berdoa dan berharap, semoga apa yang dia lihat dan dengar bukan ditujukan kepada istrinya. Namun, kuasa Allah berkata lain. Tepat saat dia menoleh ke samping kiri, dia melihat tubuh tak berdaya ibu mertuanya dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Rasanya persendian dalam tubuh melemah seketika, tapi otaknya bekerja dan seakan-akan menginstruksikan kepadanya untuk segera pulang menemui sang istri.
"Shan loe gak papa?" tanyanya cemas dan khawatir saat melihat kondisi Shandra yang jauh dari kata baik.
Shandra mendongak dan mendapati sang suami yang tengah berdiri menjulang tinggi di hadapannya. "Mas...," lirihnya.
Untuk pertama kalinya Shandra memanggil Farhan dengan sebutan 'Mas' hal itu membuat Farhan tertegun dan terpercaya. Sepertinya Shandra tidak menyadari dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
Tanpa kata dan banyak bicara Farhan membantu istrinya untuk berdiri dan mendudukan tubuh lemah Shandra di kursi. Dengan ragu dia merengkuh tubuh bergetar istrinya dan hal itu malah semakin membuat Shandra terisak dengan tangis yang semakin tumpah ruah.
"Semuanya akan baik-baik aja," bisik Farhan pelan di atas kepala sang istri yang begitu erat memeluknya.
"Tapi...." Ucapannya tergantung kala jari telunjuk Farhan menempel apik di depan bibirnya.
"Kita harus ke rumah sakit sekarang," kata Farhan begitu tegas dan hal itu membuat Shandra diam dan kembali menegang.
▪To be continue▪
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!