"Allea, dengarkan aku dulu! Kamu hanya salah faham, aku dan Gwen tidak ada hubungan apa-apa, itu hanya kecelakaan, oke. Tolong percaya padaku!" Jelas Arkan, dia sudah tak tahu lagi harus dengan cara apa dia meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara dia dan Allea sang istri.
"Salah faham kamu bilang, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalian sedang berpelukan, apa kau pikir aku ini buta?!" Teriak Allea histeris, air mata sudah membanjiri wajahnya.
"Sayang, itu hanya kecelakaan. Dia tidak sengaja menabrakku, tanganku refleks nahan tubuh dia, sungguh aku tidak bermaksud meluk dia." Arkan membela diri, nada suaranya terdengar putus asa.
"Jika ini hanya sekali, mungkin aku akan percaya pada kebohonganmu Arkan, tapi ini sudah yang ke tiga kalinya aku melihat kejadian seperti ini antara kamu dan Gwen, mau percaya pun rasanya sulit," isak Allea lirih.
Bruk!!!
Seketika Arkan berlutut di hadapan wanita yang sudah dua tahun Ia nikahi tersebut, sebetulnya malam ini adalah hari Universery pernikahan mereka yang ke 2, namun diluar dugaan ada kejadian seperti ini, dan mereka berakhir dalam pertengkaran. Sifat Allea yang mudah cemburu dan keras kepala membuat Arkan sulit membujuknya.
"Sayang, terserah kamu mau menghukum aku dengan cara apa, tapi tolong maafkan aku. Setelah ini aku janji, aku akan menjaga jarak dengan wanita mana pun." Ujarnya dengan telapak tangan terangkat.
"Baiklah kalau begitu, sudah ayo bangun." Pada akhirnya Allea pun kembali luluh karena melihat ketulusan di mata Arkan.
"Terimakasih sayang!" Arkan pun bangun dengan wajah sumringah, kemudian memeluk tubuh Allea penuh kerinduan.
Mereka mulai makan malam, saat ini mereka tengah berada di dalam ruang VIP sebuah restoran mewah yang di sengaja di pesan untuk merayakan Universery pernikahan mereka.
'Kenapa harus ada drama dalam pernikahan kita? Padahal, aku hanya ingin pernikahan biasa yang berjalan apa adanya, tapi selalu saja ada masalah tak terduga yang terjadi, sungguh menjengkelkan.' Batin Allea bergumam.
"Kenapa, apa makanannya tidak enak?" Tanya Arkan, karena melihat sang istri terlihat tak napsu makan, dia hanya memainkan makanan dengan Pisau dan garpu di tangannya.
"Tidak, ini enak. Aku pergi ke kamar kecil dulu, kau lanjut makan saja." Allea pun bangkit, membuat raut ke khawatiran kembali di wajah Arkan.
"Sayang, apa kau masih marah?" Tanya Arkan lagi.
"Tidak, aku hanya ingin buang air kecil, kau ini. Apa aku harus melakukannya disini, agar kau percaya," keluh Allea kesal.
"Hehe, kalau kau mau aku akan menyuruh orang membawa baskom kecil kesini," kekehnya pelan.
"Hmph, bercandamu gak lucu," Allea langsung pergi karena memang sudah tak tahan dengan panggilan alam.
Setelah melakukan rutinitasnya, Allea lalu mencuci tangan di whastaple dia baru ingat, kalau sudah satu bulan dia telat datang bulan, "apa mungkin? Sebaiknya, aku pastikan dulu sebelum mengatakannya pada Arkan, atau nanti dia akan kecewa karena ternyata aku tidak hamil." Gumamnya pada diri sendiri.
Allea pun bergegas kembali ke ruangan tempat Arkan menunggunya.
Ceklek...!!
Deg...Deg... Mata Allea melebar sempurna kala melihat Arkan kini tak sendirian, dia bersama, Gwen.
"Arkan!!!" Teriak Allea histeris, saat melihat Arkan kembali berduaan dengan Gwen yang tampak tengah menangis di sampingnya.
Seketika Arkan menoleh dengan raut wajah sulit di artikan, "Allea sayang, tenanglah ayo masuk dan kita bicara." Arkan berusaha bersikap tenang kali ini dia tak ingin kembali ke keadaan sebelumnya dengan Allea.
"Tenang kamu bilang! Kali ini aku benar-benar kecewa!" Allea pun berlari pergi meninggalkan Arkan dan Gwen yang masih ada di ruangan itu.
"Tunggu Allea, dengarkan penjelasanku dulu!" Terdengar teriakan Arkan di belakangnya, namun tak membuat Allea menghentikan kakinya, justru temponya semakin cepat dia tak ingin mendengar alasan apa pun yang di katakan Arkan.
'Bohong! Semua yang dikatakannya bohong, Arkan bajingan! Aku tidak akan lagi mendengar alasan yang kau berikan,' batin Allea berteriak. Air mata yang semula sudah kering kini kembali membanjir wajahnya.
Sakit... Rasa sakit yang Ia rasakan membuat Allea mencengkram dadanya sendiri, tiba-tiba semua pikiran buruk berseliweran di kepalanya, Allea menghentikan langkahnya dan berdiri di antara barisan orang yang hendak menyeberang di depan zebra cros, bayangan Arkan dan Gwen yang tengah bercumbu di dalam sebuah kamar tiba-tiba datang begitu saja.
'Tidak, itu tidak mungkin. Arkan tidak akan melakukan hal seperti itu, tidak!' tepis Allea, dia menutup telinga dengan kedua telapak tangannya, berharap suara-suara yang timbul dalam kepalanya menghilang, namun itu hanya sia-sia karena suara itu berasal dari dirinya sendiri.
'Mereka pasti sering melakukan itu di belakangmu Allea, kau saja yang tidak tahu. Mereka sudah berselingkuh, atau jangan-jangan Gwen datang untuk meminta pertanggung jawaban Arkan, karena dia sudah hamil anak Arkan, makanya dia menangis tadi.' Suara-suara itu semakin menjadi-jadi di kepalanya, membuat dada Allea terasa panas.
'Lebih baik kau akhiri saja hidupmu, dari pada terus merasakan sakit berulang kali, dengan begitu Arkan akan menyesali perbuatannya.'
"Diam! Aku tidak ingin mendengarmu lagi, sudah cukup!" Isak Allea lirih, dia menangis sejadi-jadinya, bahkan tanpa Ia sadari orang-orang yang sebelumnya berdiri bersamanya untuk menyebrang jalan sudah tak ada.
Allea mengusap air mata dari wajahnya, bertepatan dengan itu Arkan datang, "sayang, dengarkan aku dulu, tolong dengarkan aku sekali lagi, aku hanya--," perkataan Arkan di potong Allea seketika.
"Tak sengaja bertemu, aku hanya menolongnya, jadi kau hanya salah faham, kami tidak ada hubungan apa pun. Itu kan yang ingin kau katakan, bahkan kata-kata ini sudah aku hapal Arkan, saking seringnya kau katakan padaku. Aku sudah lelah Arkan, aku sudah bosan dengan semua alasan yang kau berikan, dan semua alasan itu berlawanan dengan apa yang aku saksikan." Geram Allea penuh amarah.
Arkan mengepalkan tangannya, matanya tampak memerah menahan sesuatu, entah tangis atau amarah.
"Aku tahu Allea, tapi aku tak bisa mengabaikannya, Gwen dalam masalah suaminya menyiksanya aku hanya ingin membantunya, itu saja. Aku bersumpah, tak ada hal lain yang terjadi di antara kami, tolong percayalah." Bujuk Arkan dengan wajah memelas.
"Entahlah Arkan, sebaiknya kau pergi saja. Aku ingin menenangkan diri dulu, saat ini aku sedang tak ingin melihat wajahmu." Allea membuang muka kearah lain.
"Tidak sayang, kamu mau pergi kemana? Tolong jangan tinggalkan aku," lirih Arkan, bukannya menjauh justru dia malah berjalan mendekat.
"Berhenti Arkan, jangan dekati aku, atau aku akan...," Allea menoleh ke jalanan.
"Tidak apa yang kau pikirkan?!" Bentak Arkan, dia dapat menangkap maksud kata-kata Allea.
"Kalau begitu, berhenti disana! Jangan dekati aku!" Allea mundur dua langkah kebelakang.
"Oke, oke, aku berhenti tapi jangan mundur lagi, itu berbahaya." Arkan terlihat panik, dia takut Allea benar-benar melakukan hal tersebut.
Desiran angin malam, tak membuat rasa dingin sama sekali di kulit Allea, rambutnya yang terburai tampak berhamburan karena angin tersebut.
"Sayang, ayo naik jalanan itu sangat berbahaya," Arkan mengulurkan tangannya, sambil berjalan mendekat secara perlahan.
"Berhenti disana Arkan, atau aku akan--," ancam Allea kembali, dia mundur selangkah lagi, kali ini kakinya benar-benar menginjak jalanan.
"Oke oke! Aku berhenti, aku berhenti!"
Tit...tit...
"Allea awas!" Belum sempat Allea menoleh, sebuah truk melaju cepat kearahnya, kemudian...Brak...!!!
Arrgghhh!!!
"Allea!!"
Jeritan Arkan terdengar keras, tubuh Allea melayang dan menghantam jalanan beraspal.
Bruk...!! Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tulang-tulangnya mungkin sudah remuk karena kerasnya hantaman kendaraan besar beroda empat tersebut.
"A-Allea sayang, tolong tolong!" Lolongan Arkan terdengar pilu, dia tampak panik, tangannya merengkuh membawa kepala Allea kedalam pelukannya.
'A-arkan...," Lirih Allea, namun suaranya tak dapat keluar, hanya gerak mulut lemah yang terlihat.
Uhuk...uhuk... Darah segar meleleh dari mulut Allea, belum lagi di seluruh tubuhnya hingga warna baju putih yang Ia kenakan kini berubah warna menjadi merah karena darah.
'Sebetulnya, aku tak rela mati dengan cara begini, kamu pasti bahagia kan Arkan? Kini kau dan wanita sialan itu akan bisa bersatu.' Batin Allea, bisa-bisanya dalam keadaan sekarat semacam ini pun pikiran itu masih belum hilang dalam benak Allea.
Detik berikutnya, pendengaran Allea pun mulai hilang, dan pandangannya pun menggelap.
***
'Kenapa ini sangat silau? Ini di surga, atau neraka?' mata Allea mengerjap perlahan. Tirai putih dan sebuah jendela kaca yang pertama Ia lihat saat matanya terbuka.
'Ternyata di akhirat pun sama seperti di dunia,' Allea menghela napas ringan.
Ceklek... Pintu pun terbuka, seketika mata Allea menatap ingin tahu siapa yang masuk, orang atau malaikat, pikirnya.
Dia ternyata seorang Pria, dia tersenyum sambil mendekat.
"Kamu sudah bangun, lihat Kakak bawakan kamu makanan, ayo makan dulu," ujarnya sembari menaruh nampan berisi mangkuk bubur dan segelas air putih di atas nakas.
"Hah, kenapa di akhirat juga ada bubur?" Gumam Allea pelan.
"Ada apa? Kenapa kamu diam saja, apa masih ada yang sakit?" Tanyanya tampak cemas, agaknya dia tak mendengar gumaman Allea tadi.
'Tunggu, aku bisa merasakan tubuhku, apa aku masih hidup? Tapi dimana Arkan?'
"Siapa kau, dimana Arkan?" Kata-kata itu yang justru keluar dari mulut Allea.
"Arkan?" Pria itu berbalik dengan alis berkerut.
"I-iya." Jawab Allea, entah mengapa dia jadi gugup.
"Apa kau lupa siapa aku?"
Allea mengangguk pelan masih dengan wajah bingung, "sepertinya kepalamu terbentur saat terjatuh semalam," gumam Pria itu, dia membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Allea.
Pria ini cukup tampan, usianya mungkin sekitar dua puluhan, "tapi kau bisa ingat Pria itu, tapi kau tidak ingat pada Kakakmu sendiri, kau sangat kejam, Rania," ucapnya sambil kembali berdiri tegak, "tapi ya sudahlah, asal kau baik-baik saja.
"Tunggu, siapa namaku tadi kau bilang?" Mata Allea melebar sempurna.
"Rania dan aku Randy, Kakakmu."
'Itu berarti, a-aku... Hidup kembali dalam tubuh orang lain?! Tapi apa itu mungkin? Selama ini aku hanya tahu cerita itu di dalam buku dan komik saja, tapi kini aku mengalaminya sendiri, sungguh sebuah keajaiban.' Batin Allea.
"Rania, kau baik-baik saja? Aku akan panggil dokter dulu." Ucap Ran tampak cemas.
"Tidak usah, aku baik-baik saja," cegah Allea.
"Tapi kau hilang ingatan, bagaimana kau bilang baik-baik saja. Tunggu, Kakak akan panggilkan dokter untuk memastikan," ujarnya bersikukuh.
"Kalau begitu terserahlah," gumam Allea, "aku ingin melihat wajahku yang sekarang, dimana cermin?" Allea mengedarkan pandangannya sembarang arah, namun dia tak menemukan benda tersebut, lantas ia pun turun menuju toilet yang ada di ruangan itu pula, Allea pun masuk dan benda yang tertempel di dinding ruangan itu yang menarik perhatiannya.
Deg...Deg...
"Ini aku yang sekarang?" Allea menatap tak percaya, wajah imut dan cantik dengan tubuh mungil, tapi sayang wajahnya tampak pucat mungkin karena sedang sakit.
"Rania! Dimana kamu?!" Suara Ran memanggil.
"Aku di kamar mandi," sahut Allea, lantas dia pun keluar. Tampak Randy sudah datang dengan seorang dokter Pria di sampingnya.
"Kau bilang adikmu sakit lagi, tapi aku lihat adikmu baik-baik saja," cibir sang dokter sambil menyilangkan tangan di dada.
"Benar dok, tadi Rania bahkan sempat lupa siapa aku, tolong periksa dia sekali lagi, aku takut dia gegar otak atau bahkan sampai amnesia." Ucapnya terlihat dramatis.
Dokter itu berdecak kesal, "adikmu hanya anemia dan kelelahan, selebihnya kondisinya baik-baik saja, cukup istirahat dan makan secara teratur, dia akan pulih seperti biasa, bahkan mungkin dia akan bisa mengangkat beban seberat 100 kilogram," ucap sang dokter.
"Hah, apa benar begitu dok? Tapi ayolah, periksa Rania sekali lagi untuk memastikan kondisinya, aku benar-benar khawatir," Ran bersikukuh dengan keinginannya.
"Anak ini," Dokter itu menggetok kepala Ran pelan, namun Pria itu hanya nyengir kuda.
Dokter Pria kisaran usia lima puluh tahunan dengan tinggi badan tidak lebih dari seratus lima puluh cm itu pun dengan terpaksa memeriksa keadaan Rania, "sudah," ucapnya, "tak ada hal serius yang terjadi pada adikmu, dia sehat." Ucapnya sambil menyimpan kembali stetoskop nya kedalam saku jas putih yang Ia kenakan.
"Aku akan menuliskan resep obat, kau tebuslah, jika kau tidak punya uang, kau bisa mengatakan kalau kau keponakanku," tambahnya, dia menyerahkan secarik kertas tersebut pada Ran.
"Tidak perlu, aku masih punya uang, aku tidak akan merepotkan Dokter," ujarnya seraya berlalu.
Rania hanya diam sambil duduk di pembaringan, ternyata Ran dan Dokter itu saling mengenal, pantaslah sikapnya pada Ran begitu tadi, jujur Allea atau Rania sangat terkejut tadi.
"Apa yang kau rasakan?" Tanya Dokter itu setelah Ran berlalu.
"Hanya sedikit pusing dan ada rasa nyeri di dadaku," jawab Rania jujur, memang itu yang saat ini ia rasakan.
Dokter itu kembali memeriksa keadaan Rania, "apa ada yang lain? Seperti sesak napas atau mual?"
"Tidak ada," Rania menggeleng pelan.
"Baguslah kalau begitu, seperti yang aku katakan tadi, kondisimu baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir. Apa kau ingat siapa aku?" Pertanyaan terakhir ini yang membuat Allea sulit menjawab, dia benar-benar tak tahu apa pun, dia tak memiliki ingatan apa pun tentang Rania dan keluarganya.
"Ma-maaf, sepertinya aku melupakan beberapa hal, termasuk Dokter," jawab Rania, dia mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Baiklah tidak papa, perlahan kau pasti akan ingat semuanya, aku pergi dulu makanlah dengan teratur agar kau cepat pulih, atau Kakakmu akan terus menerorku untuk menanyakan kondisimu." Ujarnya sembari berlalu, namun langkahnya terhenti saat Rania buka suara.
"Sebenarnya aku sakit apa? Tidak mungkin hanya karena Anemia Ran, err... Kakak sampai terlihat panik begitu."
"Dulu kamu punya penyakit jantung, namun itu sudah sembuh, mungkin Ran takut sakitmu akan kembali kambuh, tapi aku lihat kini kau sangat sehat, jadi kau bisa tenang." Jelasnya, kemudian pergi.
'Jadi karena itu Rania meninggal, jika Ran tahu kalau adiknya memang sudah meninggal apa yang akan dia lakukan? Sepertinya dia sangat menyayangi adiknya ini.' Allea menghela napas dan membaringkan diri kembali di atas ranjang.
'Aku ingin tahu, bagaimana keadaan di rumah, apa Arkan sedih dengan kematianku, atau justru dia bahagia?'
Brak...!!
Suara pintu yang di buka seketika membuat Allea terkejut, ternyata itu adalah Ran, dia nampak ngos-ngosan seperti kehabisan napas, entah mengapa dia lari seperti di kejar anjing.
"Adik, Pria itu, hah...hah...dia...," Ran masih berusaha mengatur napasnya, kemudian duduk di kursi.
"Jangan bicara, minumlah dulu." Ucap Rania, gadis itu tampak tenang.
"Hehe, terimakasih adik, kau memang paling mengerti Kakak." Ujarnya, dia langsung menyambar gelas berisi air putih yang ada di atas nakas.
Hah...Ran terlihat lebih baik sekarang, "kamu tahu, Pria itu istrinya meninggal semalam," ujarnya terlihat antusias.
"Siapa maksud Kakak?" Rania mengernyitkan dahi.
"Arkan, Pria yang kamu sukai itu, istrinya meninggal karena tertabrak truk." Jelasnya.
'Arkan? Mungkinkah Arkan yang dia maksud adalah suamiku? Tapi mana mungkin?'
"Arkan?"
"Iya Arkan yang itu, Kakak seniormu dulu, apa kau lupa dia juga?"
"Ti-tidak, aku ingat," Rania meyakinkan disertai senyuman tipis.
"Aku dengar sebelumnya dia bertengkar dengan istrinya karena ketahuan berselingkuh, benar-benar Pria tidak tahu diri. Rania, sudah cukup jangan menyukai Pria seperti itu lagi, meskipun di tampan, tapi dia tidak cocok denganmu Pria tukang selingkuh seperti dia tak layak untuk adikku." Racaunya tak karuan.
"Darimana Kakak tahu soal ini?"
"Beritanya viral di media sosial, kau ingin lihat?" Rania lekas mengangguk karena penasaran.
Ran mengeluarkan ponsel dari saku celananya, "nah ini dia." Dia menunjukkan layar ponselnya padan Rania.
Di layar ponsel tersebut, tampak foto Arkan tengah duduk sambil memeluk tubuh Allea yang sudah tak bernyawa lagi.
"Kata orang istrinya itu meninggal karena bunuh diri, dia melemparkan dirinya pada truk yang melaju kencang, itu karena si Arkan ini ketahuan berselingkuh. Ck, dasar Pria brengsek, padahal istrinya itu sangat cantik, masih saja tergoda cewek lain benar-benar bajingan yang sudah tidak tertolong lagi." Rutuk Ran, dia nampaknya ikut kesal melihat berita tersebut.
Allea diam dengan wajah suram, tangannya mengepal kuat, bukan Arkan dan tubuhnya yang menjadi pusat perhatiannya, tapi wanita yang menyentuh pundak Arkan, dia adalah Gwen.
'Wanita sialan itu, bahkan dia tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendekati suamiku walau dalam keadaan berkabung,' Allea meremas ponsel Ran yang ada dalam genggamannya tersebut.
"Eeh adik, Kakak tahu kamu sangat marah, tapi jangan remas lagi ponsel Kakak, nanti rusak, Kakak mana mampu lagi beli ponsel baru, harga ponsel sekarang sangat mahal." Keluh Ran dengan wajah mematut bodoh.
"Ma-maaf, aku tidak bermaksud begitu," Allea lekas menyerahkan benda pipih tersebut pada sang pemiliknya.
"Tidak papa, ayo makan obat dulu, lalu setelah itu kita pulang, Paman Dokter sudah mengijinkan kamu pulang." Allea mengangguk menurut dengan kata-kata Ran.
Sore harinya, Ran dan Rania sudah berada di luar gedung rumah sakit, mereka hendak pulang.
"Emh adik, sebenarnya Kakak sudah tidak punya uang untuk kita naik taksi, uang Kakak sudah habis di pakai nebus obat kamu tadi," ucap Ran, dia nampak merasa bersalah.
"Tidak papa, aku bisa jalan kaki, tubuhku sudah lebih baik sekarang," ujar Rania.
"Tidak, mana boleh kamu pulang jalan kaki, kamu baru sembuh, Kakak tidak ingin kamu jatuh sakit lagi," sergah Ran.
"Tapi Kakak kan sudah tidak punya uang, tidak papa aku kuat ko jalan sampai rumah." Rania bersikukuh.
"Ah, kalau begitu ayo Kakak gendong." Ran berjongkok di depan Rania dengan posisi memunggunginya.
"Eh, ti-tidak perlu Kak, aku kuat jalan sendiri ko, beneran," tolak Rania langsung, mana mungkin dia akan setuju di gendong oleh pria asing, walau tubuhnya Rania namun jiwanya adalah jiwa Allea, yang tak punya hubungan darah sama sekali dengan Randy.
"Mana mungkin Kakak biarin kamu jalan dari sini sampai rumah, kamu tahu jarak tempuh dari sini sampai rumah itu hampir satu jam, emangnya kamu kuat jalan sejauh itu?"
"Hah, satu jam? Kakak seriusan?" Rania memekik karena terkejut, selama hidupnya dia belum pernah jalan kaki sejauh itu.
"Iya lah, Kakak kan kalau gak punya uang suka jalan kaki ke tempat kerja. Tapi tenang aja, punggung sama kaki Kakak sangat kuat, pasti bisa jalan sambil gendong kamu pulang." Ran nyengir sambil menoleh ke belakang.
Dengan terpaksa Rania pun setuju dengan keinginan Ran. Ran berjalan perlahan sambil menggendong Rania di punggungnya.
"Dik, kamu inget gak? Dulu kamu juga sering minta Kakak gendong pulang pergi ke sekolah, sampe-sampe kamu gak mau sekolah kalau gak di gendong," Randy tertawa kecil saat dia bercerita, "pernah suatu hari kamu mogok sekolah dan marah sama Kakak karena saat itu Kakak berangkat kerja lebih pagi. Saat itu, Ibu sakit dan Kakak butuh uang yang banyak untuk Ibu berobat, Kakak minta maaf ya." Ucapnya.
Rania mengeratkan cengkeramannya ke masing-masing tangannya yang melingkar di leher Randy, "kenapa Kakak minta maaf, saat itu akulah yang egois, seharusnya aku bisa lebih mandiri dan gak selalu ngerepotin Kakak," ucap Rania pelan.
"Kamu mana ada ngerepotin, justru Kakak seneng karena Kakak punya kamu."
'Entah kehidupan macam apa yang mereka jalani selama ini. Rania kau pasti sangat sedih karena kau meninggalkan mutiara yang berharga di sampingmu, cintanya padamu begitu besar, bahkan dia merasa bersalah untuk sesuatu yang bahkan orang lain pun anggap benar.'
"Tetaplah jadi adiknya Kakak yang imut, jangan jadi Rania yang pendiam, Kakak tidak suka." Keluhnya, dia menundukkan pandangannya.
"Apa maksud Kakak? Aku masih Rania yang sama," sanggah Rania memberi alasan.
'Apa dia menyadari sesuatu?' batin Allea bergumam.
"Ya, kamu Rania yang sama, Kakak hanya asal bicara saja," Ran tersenyum bodoh.
'Dia ini Pria yang polos, sama sekali jauh berbeda dengan Arkan.'
"Kak, apa kau lelah? Sebaiknya kau turunkan saja aku, aku kuat ko jalan sendiri." Ucap Rania lagi.
"Kakak mana ada lelah, tubuh Adik ini kecil, sangat ringan." Ucapnya, saat dia berkata selalu di iringi senyuman polos.
"Kakak ini benar-benar keras kepala," keluh Rania, dia pun akhirnya menyerah dan duduk diam di atas punggung Randy, dan tanpa sadar dia pun terlelap.
Ceklek...
Suara pintu terbuka membuat Rania terbangun, "apa kita sudah sampai?" Tanyanya sembari mengucek mata untuk memperjelas pandangannya.
"Ah, Kakak bikin kamu terbangun ya. Iya kita sudah sampai." Randy menurunkan Rania ke atas sopa yang telah usang pelan-pelan, seakan dia menaruh porselen yang jika terlalu keras menaruhnya dia akan pecah.
"Maaf, rumah agak berantakan. Kakak belum sempat membereskannya, akan segera Kakak bereskan," Randy hendak berlalu, namun langkahnya langsung terhenti karena Rania mencengkeram pergelangan tangannya.
"Biarkan saja, Kakak duduklah dulu, kaki Kakak pasti sakit kan, karena sudah berjalan sambil menggendong aku." Ujar Rania, Randy pun mengurungkan niatnya, kemudian duduk di samping Rania.
"Coba Kakak angkat kaki Kakak." Rania bergeser dan menyisakan ruang yang cukup untuk Randy meletakkan kakinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!