"Kamu yakin tidak mau menjadi istri kedua ku, Adifa? Ini tawaran yang kesekian kalinya aku berikan padamu," ucap seorang laki-laki tampan berjas biru dengan dalaman putih. Ia berdiri menyender di tepi mejanya dengan tangan dilipat didepan dada, menatap wajah wanita cantik yang berdiri di depannya.
"Yakin, Pak," jawab wanita tersebut tegas tanpa keraguan dan ketakutan.
Laki-laki itu menengadah sambil melipat bibir menahan geram karena ini yang kesekian kalinya ia ditolak oleh Adifa Narendra. Dulu waktu masih duduk di sekolah menengah atas dia pernah menyatakan cintanya pada Adifa, saat itu Adifa masih duduk di sekolah menengah pertama. Karena predikatnya yang merupakan murid playboy, Adifa menolak menjadi pacarnya.
"Kamu, coba perhatikan baik-baik wajah ku, Difa," ujarnya menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk. "Aku tampan, kaya, tidak ada kekurangan apapun, apa yang membuat kamu tidak bisa menerima aku menjadi suami mu?" tanya laki-laki berusia lima tahun diatas Adifa dengan begitu percaya diri. "Kalau kamu bisa menjadi istri ku, aku janji akan memberikan apapun yang kamu mau. Mobil mewah, tas mahal, rumah yang besar, usaha minimarket, aku juga akan mengistimewakan mu dan memprioritaskan kamu jika sudah menjadi istri kedua ku." Jelasnya panjang lebar merayu.
Halah prioritas, seperti tagline iklan sebuah kartu seluler saja, gerutu Adifa dalam hati.
Adifa menghela nafas berat. "Tetap tidak, Pak. Salah satu alasannya, karena Bapak pria beristri, saya tidak ingin menyakiti hati wanita lain."
"Dulu waktu saya belum menikah juga kamu selalu nolak saya. Kamu terlalu naif dan banyak alasan."
"Dulu Bapak juga playboy," balas Adifa mengungkit masa lalu.
"Tapi kalau kamu mau menjadi pacar ku dulu, aku pasti sudah insaf."
"Sayangnya saya bukan Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati manusia, Pak. Jadi saya tidak mau berharap lebih dari manusia yang berpeluang bisa menyakiti hati saya."
Laki-laki itu mengubah posisinya bertolak pinggang menghadapi wanita angkuh didepanya. Dia sudah coba menurunkan harga dirinya, tapi tetap saja Adifa bersih keras dengan keputusanya.
"Aku tanya pada mu. Apa menurut mu Tuhan tidak pernah menyakiti hati manusia?" tanya laki-laki yang tidak memiliki iman dan amin itu. "Nyatanya sampai sekarang kamu masih miskin padahal aku yakin kamu sering berdoa pada Tuhan mu agar kamu bisa diberi kekayaan, kan? Juga Tuhan tidak memberi mu laki-laki kaya untuk jadi suami mu."
Adifa menahan nafas sepersekian detik demi meredam amarah di dadanya yang ingin meledak. Ini salah ketiga alasan Adifa menolak Dirga. Laki-laki arogant yang selalu bertingkah seenaknya, selain tidak setia, sombong, juga suka menghina orang yang derajatnya lebih rendah darinya.
Sialnya, setelah sekian tahun tidak bertemu, mereka dipertemukan lagi dikehidupan setelah dewasa. Dan sialnya lagi, Adifa malah bekerja ditempat laki-laki itu. Memang pepatah dunia selebar daun kelor begitu adanya bagi Adifa. Tahu tentang Dirga sudah menikah, Adifa mendengar cerita dari beberapa teman wanita semasa kuliahnya yang patah hati mengetahui pernikahan Dirga melalui instagram istri Dirga.
Dan kini laki-laki itu menawarkan untuk menjadi istri yang kedua, Adifa tidak sudi. Lebih baik dia menjomblo seumur hidup dari pada harus mendapat cap pelakor seumur hidup.
"Memang belum, Pak. Tuhan memang belum mengabulkan doa-doa saya, tapi lagi on the way. Saya percaya Tuhan sangat baik pada umatnya yang menghargai perasaan sesama wanita," jawab Adifa mematahkan argumen Dirga.
"Hem, baiklah jika itu sudah jadi keputusan kamu, ini juga sudah menjadi keputusan saya." Dirga duduk di kursi kebesaranya. "Mulai besok kamu saya mutasi menggantikan Pak Acep Iskandar, belaui saya pecat hari ini."
Pak Acep? Pak Ace Adifa mulai mengingat-ingat nama itu? Mata Adifa membola ketika mengingatnya.
"Pak Acep korlap itu maksud Bapak?" tanya Afifa memastikan.
"Iya, kalau kamu keberatan kamu boleh mengajukan pengunduran diri. Atau kalau kamu berubah pikiran, aku orang baik hati yang selalu memberikan kesempatan kedua pada siapapun yang melakukan kesalahan."
* * *
Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia yang terletak di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelabuhan ini berfungsi sebagai pintu gerbang arus keluar masuk barang ekspor-impor maupun barang antar pulau. Tanjung Priuk juga merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Asia Tenggara. Menangani lebih dari tiga puluh persen komoditi non migas Indonesia, selain itu lima puluh persen dari seluruh arus barang yang keluar atau masuk Indonesia.
Tanjung Priok merupakan sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh dan termasuk salah satu daerah miskin serta kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa mencari penghidupan, supaya mereka dapat tetap hidup di Kota Jakarta. Sama seperti halnya Adifa yang mempertaruhkan nasibnya di tempat yang terkenal panas dan polusinya itu demi keluarga.
Semenjak lulus kuliah, dia menjadi tulang punggung keluarga menggantikan sang ayah yang sudah tidak kuat lagi mencari nafkah untuk keluarganya. Usia kedua orang tua Adifa sebenarnya belum terlalu renta, tapi karena pekerjaannya semasa muda mereka yang melawan terik matahari dan beban berat yang harus mereka pikul demi bertahan hidup, membuat mereka terlihat lebih tua dari usianya.
PT. Berlian Cemerlang, merupakan perusahaan yang bergerak menawarkan jasa transportasi angkut barang dari pelabuhan ke menuju perusahaan yang menggunakan jasa mereka, juga sebaliknya.
Enam bulan yang lalu Adifa melamar pekerjaan ke perusahaan ini atas rekomendasi temanya yang sekarang juga bekerja di sini, sebagai staff junior accounting. Sebelumya Adifa bekerja di sebuah pabrik, dan habis kontrak setelah bekerja setahun setengah lebih. Tapibnasib buruk menimpa Adifa ketika perusahaan ini jatuh ke tangan penerusnya, yang merupakan kakak kelas Adifa, Dirgantara Ashaan.
Hingga pada akhirnya kini Adifa yang biasanya bekerja di dalam ruangan dengan pendingin ruangan yang sejuk membuat kulit kuning langsatnya terlindungi dari paparan sinar tabir surya. Kini harus berhadapan langsung dengan sinar matahari yang membuat kulit menjadi lebih eksotis.
Ya, Adifa di mutasi, bukan mutasi ke luar kota. Tapi di mutasi dari indoor, ke outdoor.
Adifa memilih rela menjadi Korlap, dari pada harus menjadi istri simpanan atasanya yang akan membuatnya mendapat julukan atau gelar wanita pelakor seumur hidup, dan sudah pasti akan mendapatkan cacian dan makian sejagat raya. Adifa tidak mau itu.
Sebenarnya ada pilihan terbaik selain menjadi Korlap, yaitu resign. Tapi Adifa sadar, mencari pekerjaan di zaman sekarang tidaklah mudah. Meski memiliki ijazah S1, tapi belum menentukan seseorang bisa diterima dengan cepat dan mudah. Ada kedua orangtuanya yang harus ia bahagiakan, juga adiknya yang masih duduk di bangku kejurusan yang masih membutuhkan biaya banyak.
Adifa juga harus membayar hutang kedua orangtuanya yang rela mengadaikan rumah mereka demi membiayai Adifa untuk bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, agar Adifa tidak hidup kesusahan seperti mereka.
Berteman dengan teriknya matahari, debu dan polusi, serta kerasnya dunia perdriveran yang kadang membuat Adifa harus memiliki argumen yang kuat agar tidak diremehkan.
"Pak, ini surat jalan dan uang jalannya ya. Ini pas, tidak ad istilah kurang-kurang lagi, bahkan sudah saya lebihkan. Jangan lupa, suarat jalan yang putih bawa lagi untuk admin, tembusan yang merah untuk pihak customer, yang kuning untuk saya, dan yang hijau untuk securitynya," ujarnya menjelaskan pada driver yang baru.
"Oh ya, jangan lupa. Tidak boleh tanda tangan pakai pensil atau pulpen selain berwarna hitam dan biru." Ulangnya lagi mengingatkan.
"Iya, siap Bu," jawab supir yang usianya diatas sepuluh tahun dari Adifa.
Huft, dipanggil Bu itu serasa aib bagi Adifa yang masih jomblo ting-ting ini.
Setelah mobil yang mengangkut bahan tekstil itu berjalan, Adifa menghampiri salah satu driver senior yang sering ... Apaya? Hem, agak bingung sebenarnya. Dibilang melecehkan juga tidak, tapi suka menggoda Adifa dengan kata-kata maut mereka, padahal ia juga sudah beristri.
"Hai sayang, hari ini Abang jalan kemana?"
"Kiriman ke Bandung."
"Janganlah jauh sekali Adinda. Nanti Abang lama pula tak jumpa, rindu berat."
"Nih surat jalan dan uangnya. Malam ini harus sampai, karena ini barang urgent." Adifa tidak menanggapi celoteh laki-laki berperawakan tinggi besar itu.
"Tega kali Adinda ku ini, sampai hati kasih Abang kiriman jauh-jauh."
"Ada kiriman ke Sumatera, mau?"
"Tidak, tidak Adinda sayang. Abang tak bisa jauh-jauh dari Adinda. Meriang badan Abang."
Adifa hanya dapat menggeleng kecil, sebulan menjadi korlap, Adifa sudah terbiasa dengan gombalan maut mereka. Bagi Adifa, itu merupakan hiburan tersendiri di kala suntuknya bekerja, dan para driver truk itu senang karena Adifa tidak mudah baper.
* * *
Diantara puluhan kapal kargo yang menyandar di dermaga, seorang laki-laki tampan baru saja keluar dari salah satu kapal tersebut. Setelah ia melewati pemeriksaan bea cukai, akhirnya ia dapat menjajakkan kakinya di daratan tanah air tercinta yang sudah lama tidak ia pijaki.
Laki-laki tampan dengan tinggi badan 183cm itu mengenakan kaca hitamnya untuk melindungi matanya dari terik sinar matahari. Dengan seragam kebanggaan yang ia dapatkan dengan susah payah selama hampir sepuluh tahun itu. Ia berjalan melewati ribuan kontainer yang sedang dipindahkan dari kapal ke atas badan truk dan sebaliknya. Daintara pemandangan yang biasa itu, ada satu pemandangan yang tak biasa baginya. Laki-laki itu berdiam diri ditempatnya berdiri memperhatikan seorang wanita yang nampak serius membagikan tugas diantara kerumunan para lelaki bertubuh tegap dan kekar.
Apa dia tidak salah lihat?
Tugas yang biasa dikendalikan pria itu kini diemban oleh kaum yang terkenal lemah dan lembek. Ketika ia melewati gadis itu, gadis itu sedang membagikan batang rokok kepada para lelaki yang mengelilinginya.
Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa dia turun lapangan yang sangat mengancam keamanannya sebagai seorang wanita.
Musik klasik saxophone yang sedang diputar disebuah restoran hotel bintang lima itu mengalun indah menemani para pengunjung yang sedang menyantap makan malam.
Walau tanpa kata, musik klasik selalu terdengar romantis ditelinga siapapun yang mendengarnya. Alunan indah nada yang lembut dan santai itu mampu menghipnotis pendengar seolah mampu membawa jiwa mereka tenggelam dalam lautan bunga asmara.
Momen ini sangat mendukung bagi Mahawira Mahardika setelah sekian lama tidak bertemu sang pujaan hati. Maklumlah, profesinya sebagai seorang pelaut membuatnya jarang sekali pulang. Paling cepat enam bulan, dan bisa bertahun-tahun tidak bisa berkumpul dengan keluarga tercinta meski hari-hari besar.
"Your like this, food. Sweety?" tanyanya menatap lembut wanita cantik dihadapanya.
Wanita yang merupakan kekasihnya itu menghela nafas, meletakkan garpu dan pisau, merasa jengah dan lelah dengan sikap pacarnya ini.
"I'm sorry to have to say this, Wira. But I can't hold it in anymore. I want to get married, now."
"Yes I know, we will get married soon. Tapi tunggu kontrak aku selesai dalam setahun ini."
"No, aku tidak memaksa kamu untuk berhenti dari pekerjaan mu. Aku tahu kamu berjuang sangat keras hingga bisa berada di posisi ini. Its your dream dan aku tidak mau menghancurkanya. Kita jalani hidup kita masing-masing, kamu dengan dunia mu, dan aku dengan dunia ku."
Selera makan Mahawira seketika hilang, ia langsung menelungkupkan sendok dan garpunya. "Setelah empat tahun yang kita lalui dan kamu menyerah begitu saja?"
Gadis cantik dihadapanya itu menunduk dengan mata terpejam. "Mama aku sakit, dan aku anak satu-satunya, beliau ingin segera memiliki cucu."
"Kita bisa melakukannya jika kamu mau, ayo aku akan menghadap orang tua mu sekarang."
Wanita itu menggeleng. "Aku tidak ingin berekspektasi tinggi karena setelah ini kamu akan pergi bertugas dalam waktu yang lama."
Mahawira mendesah dengan alasan yang dibuat-buat Jingga, kekasihnya.
"Aku tahu bukan itu alasan utamanya, kan? Kamu takut aku memiliki hubungan dengan wanita di luaran sana untuk sekedar pelampiasan? Setidak percaya itu kedua orang tuamu padaku, Jingga? Berkali-kali aku menjelaskan pada mu, jangan termakan berita hoax diluaran sana yang mengatakan jika pelaut itu suka jajan setiap kali kapal bersandar, aku setia dan aku yakin kamu pasti tahu itu."
"Tapi kebanyakan seperti itu 'kan?" ucap Jingga mengakui.
Mahawira tersenyum masam, ia pikir itu hanya alasan orang tua Jingga yang tidak menyetujui hubungan mereka. Namun Jingga malah mengatakan itu membuat hatinya perih.
"Baiklah, aku hargai keputusan mu. Aku harap kelak kamu bahagia dengan laki-laki pilihan mu," doanya tidak tulus. Bagaimana bisa tulus ketika hatinya sangat menginginkan sang gadis. "Jangan khawatir, aku tidak sakit hati sama sekali, karena ada wanita penghibur yang mampu menghibur ku." Setelah mengatakan itu, Mahawira bangkit dan meninggalkan Jingga yang beberapa detik lalu resmi menjadi mantan pacarnya.
Jingga, hanya dapat menatap nanar Mahawira yang menjauh dan menghilang di balik pintu kaca resto. Matanya berkaca-kaca ikut merasakan luka yang Mahawira rasakan meski tadi Mahawira mengatakan tidak sakit hati, dan wanita penghibur yang Mahawira bilang tadi. Jingga yakin itu hanya alasan Mahawira saja untuk menutupi sakit hatinya. Mereka sudah bersama selama empat tahun, bukan waktu sebentar untuk mereka memahami sifat satu sama lain.
Tak lama seoarang laki-laki muncul dari meja lain, cepat-cepat Jingga mengusap kelopak matanya tidak ingin kesedihanya diketahui oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.
"Kamu sudah memutuskan hubungan kalian?" tanya pria itu setelah menjatuhkan pantatnya di sebelah Jingga.
Jingga mengangguk. "Terima kasih. Aku lega mendengarnya karena akan menikahi wanita yang tidak memiliki hubungan dengan orang lain," ucapnya menggenggam tangan Jingga begitu erat.
* * *
Setelah mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan tinggi, Mahawira tiba di sebuah club dimana dia sudah janjian dengan teman-temanya. Langkah Mahawira langsung menuju tempat vip yang sudah dipesan para temanya itu untuk menghibur diri. Ketika masuk, pandangan Mahawira langsung disambut adegan ciuman kedua temanya dengan wanita penghibur.
"Bisa usir para wanita ini? Aku tidak nyaman." Pintanya yang memang tidak suka pada wanita penghibur. Kedua temanya itu saling pandang, kemudian mereka mengusir para wanita yang baru beberapa menit menemani mereka setelah memberikan beberapa lembar uang.
"Kenapa muka suntuk sekali?" tanya temanya yang bernama Sultan menenggak minuman bersodanya diatas meja.
"Jingga memutuskan hubungan kami," jawabnya menyenderkan kepala di sandaran sofa.
"Pacaran putus itu hal biasa, Bro. Cari lagi lah yang baru, banyak wanita yang lebih cantik dari Jingga." Sahut Romeo memberi solusi agar temanya tidak galau.
"Ck, tidak semudah itu. Aku sangat mencintai Jingga. Dia wanita yang aku idam-idamkan untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak, dia wanita baik yang tidak neko-neko. Tapi mau bagaimana lagi, aku tahu dia pasti dijodohkan oleh orangtuanya dengan laki-laki pilihan mereka."
Jingga pernah menceritakan padanya jika orang tua Jingga ingin menjodohkan Jingga, namun tadi Mahawira enggan membahasnya karena dia malas untuk berdebat.
Kedua teman Mahawira itu hanya bisa menggaruk kepala mereka tak tahu harus berkomentar apa. Diantara mereka bertiga, hanya Mahawira yang sangat setia pada pasangannya meski ia berprofesi sebagai kapten laut yang terkenal suka jajan.
"Daripada kita sedih-sedih, lebih baik kita rayakan patah hati kapten kita dengan pesta minum sepanjang malam, bagaimana?" ujar Sultan memberi ide untuk menghibur temanya yang sedang galau karena putus cinta.
Mereka bertiga pun setuju dan bersulang, hingga akhirnya mereka menghabiskan malam dengan pesta minuman hingga menjelang fajar.
Mahawira pulang sekitar pukul delapan pagi setelah mabuknya mereda. Ketika tiba dirumah, suasana rumahnya terasa begitu sepi. Mahawira menghampiri Bi Sumi, pembantu rumahnya yang sedang memasak.
"Eh Den Mahawira sudah pulang? Maaf Den masakanya belum selesai," ucapnya memutar kepala menatap Mahawira yang muncul dari pintu ruang tengah.
"Tidak apa-apa, Bi. Amam sama Apap kemana? Kok rumah sepi?"
"Tadi Tuan membawa Nyonya ke rumah sakit, Nyonya besar sakit lagi."
Mahawira menghela nafas, menyesali perbuatanya yang lebih mengutamakan menemui pacarnya daripada menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya. Padahal dia sulit memiliki waktu quality time, bahkan harus menunggu waktu bertahun-tahun untuk bertemu, namun setiap kali dia free, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Jingga.
Mahawira menghubungi nomor kakaknya namun nomornya langsung di blokir begitu saja oleh Marsha. Kakak sulungnya itu jika sudah marah sangat menakutkan bahkan bisa merobohkan tembok rumahnya, Mahawira ingat ketika Zidan melakukan kesalahan yang dia tidak tahu kesalahan apa yang Zidan lakukan, Marsha menghancurkan tembok kamar mereka.
Kali ini Mahawira harus menyiapkan diri jika ia di smakdown oleh kakaknya. Walau takut akan bertemu sang kakak, Mahawira tetap menyusul ke rumah sakit yang biasa untuk keluarga mereka.
* * *
Padahal tadi Mahawira sudah mempersiapkan diri untuk bertemu sang kakak, namun ketika melihat sang kakak yang sedang berdiri di depan ruangan dimana Amamnya dirawat sambil memainkan ponselnya, Mahawira mengurungkan niatnya. Dia memilih kembali ke lobby rumah sakit.
"Gaji aku belum turun, aku boleh minjem duit kamu dulu nggak? Nanti kalau sudah gajian langsung aku bayar. Mama masuk rumah sakit lagi," ucap seorang perempuan berbicara melalui sambungan telepon dengan wajah suram.
Mahawira menguping dibalik tembok.
"..."
"Aku tidak mau pinjam ke perusahaan ah, males."
"..."
"Makasih ya, aku janji kalau aku gajian nanti langsung aku transfer ke kamu." Wajah suratnya langsung berubah ceria setelah ia mendapatkan pinjaman dari orang yang dihubunginya.
Saat wanita itu berjalan menuju administrasi, Mahawira mencoba mengingat karena merasa tidak asing dengan wajah itu. Karena tidak bisa mengingatnya, Mahawira memutuskan pergi ke kantin mengisi perutnya yang keroncongan karena belum terisi makanan sama sekali setelah semalaman dia mendzalimi lambungnya dengan alkohol begitu banyak, sambil menunggu kakaknya pergi.
Bughhh
"Dasar Malin Kundang, anak Durhakam. Udah tau Amam lagi sakit menunggu kedatangan anak kesayanganya, Eh Si Malin Kundang malah enak-enakan ngopi disini."
"Aduh, Kak. Sakit," ringis Mahesa melindungi kepalanya yang menjadi sasaran amukan kakaknya.
"Biarin tahu rasa kamu." Marsha begitu emosi. "Lagian pulang seabad sekali, bukannya temani Amam dan Apap, ini malah menemui pacarnya."
Bughhh
Bughhh
Marsha terus memukuli adiknya membabi buta. "Kak udah, malu dilihatin banyak orang," ucap Mahawira masih mencoba melindungi kepalanya dari dari tas mahal milik Marsha.
"Bodo amat. Ini hukuman untuk adik tidak tahu diri kayak kamu." Marsha menghentikan aksinya setelah merasa puas. Aksi brutalnya itu menjadi tontonan orang-orang yang ada disekitar kantin.
Tapi Marsha tidak perduli, dia selalu suka jadi pusat perhatian. Jika tindakannya ini ada yang merekam dan viral, Marsha justru merasa akan sangat diuntungkan sebagai pengusaha. Dia akan semakin dikenal, otomatis perusahaanya juga akan ikut naik.
"Kakak kenapa bisa tahu sih aku ada disini?" tanya Mahawira sambil menahan malu karena masih ada orang yang melirik kearah mereka.
"Hei kamu lupa siapa Kakak kamu ini?"
Mahawira mendesah, entah kenapa bisa dia memiliki seorang kakak perempuan yang begitu mengerikan? Lihatlah, padahal dia sudah menghindari bertemu kakaknya dengan nongkrong di kantin rumah sakit tetap saja ketahuan. Marsha seperti memiliki cctv didalam kepalanya.
Marsha yang baru saja merapikan penampilanya bertolak pinggang menatap Mahawira yang malah melamun.
"Kenapa bengong, huh?" Marahnya memukul lengan Mahawira. "Cepat, temui Amam sekarang dan jagain Amam sampai pulang. Aku ada meeting penting."
"Iya," sungut Mahawira. "Galak banget sih, heran Kak Zidan bucin sama mak lampir ini."
"Aku dengar ya Mahawira Mahardika, mau dijadikan samsak lagi?" Bersiap mengarahkan tasnya ke punggung Mahawira.
Mahawira langsung ngacir tak ingin diamuk singa betina itu lagi, melewati keluarga Adifa yang baru keluar dari rumah sakit.
"Mama sama papa naik gocar sama Angga ya, Adifa mau langsung ke pelabuhan," ucap Adifa pada kedua orangtuanya.
"Iya, maaf Mama Papa ngerepotin kamu," ujar Pak Gunawan papa Adifa.
"Apa sih, Pa. Ini tanggung jawab Adifa." Adifa memutar kepala menghadap adiknya yang memapah sang mama. "Dek, jagain Mama sama Papa, ya. Ini ongkosnya." Adifa memberikan dua lembar uang berwarna pink di telapak tangan Angga, adiknya.
"Beli lauk yang enak-enak sama buah, jangan lupa buat selalu ingetin mama minum obat. Terus kamu kalo nongkrong sama teman-teman kamu jangan jauh-jauh." Pesanya pada Angga.
Angga mengangguk paham.
Tak lama, gocar yang dipesan Adifa datang. Setelah adik dan kedua orangtuanya naik kedalam mobil, Adifa berjalan menuju parkiran untuk mengambil motornya. Saking buru-burunya Adifa tidak fokus, kaki kanan Adifa tersandung standar motor.
"Awww." Adifa melepaskan motornya, menghentak-hentak kakinya yang terasa nyeri bukan main. Ingin menangis rasanya malu, tapi ini sangat sakit.
"Kamu tidak apa-apa?" Tegur seseorang membuat Adifa menoleh. Adifa melongok melihat wajah tampan laki-laki dihadapanya yang mirip artis-artis hollywood, rasa nyeri dikakinya seketika lenyap.
Karena tak ada respon dari Adifa, pria itu melambaikan tanganya diwajah Adifa. "Exuse me, are you okey?" Tegurnya lagi hingga membuat Adifa tersadar.
"Eh, no. Ini tadi ketabrak frog yang jumping. Eh bukan, ada bunglon." Aduh, Adifa jadi gugup saking groginya melihat bule tampan. Bahasa inggrisnya yang pas-pasan membuatnya terlihat semakin bodoh.
Duhhh, malu-maluin.
Tapi yang tak disangka-sangka oleh Adifa, bule tampan itu justru berjongkok dihadapan Adifa.
"Eh Sir. What do you want?" pekik Adifa memundurkan kakinya hingga menabrak badan motor miliknya. Mahawira tak menghiraukan Adifa, dia mengambil kaki Adifa yang tersandung tadi, melepaskan sepatunya, melihat jempol kaki Adifa yang mengeluarkan cairan merah dan memar di ujungnya.
Aduh, untung tadi pagi dia ganti sepatu. Setidaknya Adifa terbebas dari bau yang akan membuatnya malu dan otomatis menurunkan valuenya sebagai wanita karir yang mengutamakan penampilan.
"Kuku kamu terkelupas, ini bisa infeksi kalau tidak segera diobati." Mahawira mendongak menatap Adifa.
Deg, deg, deg.
Oh tidak, jantung Adifa tidak baik-baik saja.
"Kamu mendengar ku?" tanya Mahawira lagi karena Adifa banyak diam seperti kesambet setan bengong.
"No, no what-what. Is normally," jawabnya menggeleng masih dengan bahasa inggrisnya yang belepotan. Tidak sadar jika sejak tadi Mahawira menggunakan bahasa Indonesia saking ingin terlihat pintar dan berkelasnya.
Mahawira hanya tersenyum saja. "Setidaknya ini di beri alkohol dulu, kamu akan kesulitan berjalan."
Oh no stop, Adifa bisa meleleh jika dia seperhatian ini.
"No Sir, its okey," jawab Adifa yang memaksa tetap terlihat baik-baik saja.
"Kamu tunggu disini sebentar," ujar Mahawira bangkit dan berjalan kearah parkiran mobil. Tak lama ia kembali membawa plaster dan obat merah. Mahawira kembali menunduk,
Dia mau ngapain? Lihat Difa bule didepanya ini. Jangan gila, apa dia mau bertanggung jawab kalau Adifa jatuh cinta padanya? Ya Allah semoga yang ini belum beristri, mohon Adifa berdoa dalam hati.
Mahawira, tanpa banyak kata menunduk. Hal pertama yang ia lakukan menuangkan alkohol diatas kapas, lalu membersihkan luka Adifa.
"Maaf," ujarnya menatap Adifa.
Ya Allah sopan banget, tak hentinya Adifa memuji.
Adifa meringis ketika cairan alkohol menyentuh kulitnya, gerakan refleks kakinya ditahan dengan lembut oleh Mahawira. Adifa menunduk, memperhatikan Mahawira yang sedang memasangkan plaster ke kakinya. Gilaaa gantengnya nggak ngotak, kulit putih bersih terawat, hidung mancung, wangi.
Ya Allah, bolehkah seperfect ini jodoh orang? Maaf siapapun pacarnya aku ingin menikungnya di sepertiga malam ku. Gumam Difa sibuk sendiri dengan pikiranya.
"Selesai," ucap Mahawira berdiri.
"Thank you, Sir. This is better." Jawab Adifa benar-benar tak fokus.
"Sama-sama, lain kali hati-hati."
Ketika Mahawira menjauh, Adifa baru menyadari jika sejak tadi Mahawira selalu menjawab bahasa Indonesia dengan sangat faseh dan jelas. Dia sendiri saking gugupnya dan ingin terlihat memukau malah mempertunjukkan kelemahannya.
Aaaaaaaaa Adifa, 0on sekali sih.
Tinn.
Mahawira mengklakson saat melewati Adifa yang sedang mengacak-acak rambutnya sendiri sambil menghentakkan kakinya. Melalui kaca spion, Mahawira masih memperhatikan Adifa yang seperti orang stresss, Mahawira terkikik.
"Dasar cewek aneh."
* * *
Terlambat, Adifa sebenarnya sudah sangat terlambat tiba di kantor, untungnya kemarin dia sudah pripare memuat kontainer ke atas truk dan memberikan surat jalan pada supir. Tapi pagi ini dia tidak bisa breifing karena para supir sudah pergi.
Tiba di kantor, Adifa langsung mengalungkan kartu identitasya dan mengisi Absen.
"Gimana kabar mama kamu?" tanya Ririn teman kerja Adifa.
"Alhamdulillah, tadi sudah berobat meski belum terlihat hasilnya," jawab Adifa. "Rin, uang kamu nanti aku ganti pas gajian ya."
"Santai," ujarnya menepuk pundak Adifa.
"Adifa, ikut keruangan saya sekarang." Suara Dirga membuat Adifa dan Ririn menoleh.
Dengan berat hati Adifa menyeret langkahnya menuju ruangan yang penuh dengan aura negatif.
"Iya, Pak."
"Kenapa kamu tidak menghubungi saya jika butu uang buat berobat ibumu?" tanya Dirga.
"Itu urusan saya, Pak. Saya mengharapkan jika hari ini gajian," sahut Adifa.
"Invoice banyak yang belum di bayarkan, Adifa. Kemungkinan besok uangnya baru terkumpul," jelas Dirga yang sudah pasti berbohong. "Jika kamu mau menjadi istri ku, kamu pasti tidak akan kesulitan keuangan."
"Apa?"
Adifa dan Dirga serentak menoleh kearah sumber suara, betapa terkejutnya Adifa melihat wanita yang berdiri didepan pintu ruangan Dirga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!