"Aghkkkk"
Semua yang ada di ruangan itu langsung berbalik dan melihat ke arah seorang wanita yang sedang menjerit ketakutan membuat yang lain juga langsung terkejut dengan tangan yang gemetaran.
"Itu dia Malik, itu dia.. aku gak mau lagi ada di tempat ini. Pokoknya aku mau pergi" kata Alya.
Wanita yang tadi berteriak itu bahkan langsung berlari meninggalkan ruangan itu setelah mengatakan hal itu.
Dia tadi melihat sesosok yang menakutkan, sesosok itu yang punya wujud yang begitu mengerikan. Matanya begitu lebar, sampai bola matanya itu nyaris keluar dengan bentuk bulat sempurna dan cairan merah menghiasi semua bola mata putih itu. Tanpa manik mata, dan benar-benar hanya bola putih saja.
Mulutnya begitu mengerikan, mulutnya sangat panjang, lebar dan besar. Dari dalam mulutnya terlihat bayangan hitam, hitam kelam tak berujung.
Alya mengusap ngusap matanya terus karena dari ke lima temannya yang lain yang ada di ruangan ini juga hanya dia yang terus melihat sosok mengerikan itu.
Alya berlari menuju ke pintu darimana mereka datang, tapi dia malah tersandung sesuatu hingga dia terjatuh.
Kelima temannya yang lain begitu terkejut. Tapi belum selesai dengan rasa keterkejutan mereka, tampak bayangan hitam yang menarik kaki Alya yang sudah terjatuh.
"Aghkkkk, tolong aku, lepaskan aku... aaaa tolongggg"
Kelima temannya ingin bergerak maju untuk menolong Alya, tapi tangan dan kaki mereka benar-benar tidak bisa bergerak.
"Aku tidak bisa bergerak, cepat tolong Alya.."
"Aku juga tidak bisa bergerak"
"Huhuhuhu... aku mau pulang. Mami, aku mau pulang" tangis seorang gadis dengan kupluk putih berbulu di kepalanya.
"Alya..." Lirih salah satu wanita yang tampak sangat sedih melihat apa yang terjadi pada Alya.
"Tolong...Sakit"
Sosok hitam itu terus menarik satu kaki Alya, membuatnya tentu saja sangat kesakitan. Karena sosok itu menarik paksa Alya hingga tangan, kepala dan satu kali lagi membentur semua barang yang mereka lewati, terlebih lagi sosok hitam itu membawa Alya memanjat dinding.
Bayangkan saja, Wanita muda itu sudah menabrak meja, menabrak kursi, menabrak lukisan, bahkan paku yang menggantung banyak lukisan dan juga ornamen hiasan dinding lain.
Tangannya, kepalanya, wajahnya tersayat oleh pecahan kaca, dan karat dari paku-paku tajam itu menyayat kulit dan seluruh tubuh Alya membuat Alya berteriak kesakitan dengan mata yang sudah menangiskan, mengeluarkan air mata berwarna merah.
Itu bukan air mata, itu darah. Nurul dan Grace yang melihat itu sangat tidak tega, mereka bahkan menangis sambil memejamkan mata mereka dan mengalihkan pandangan mereka dari pemandangan mengerikan yang terjadi di depan mereka itu.
"Mami..." lirih Grace sambil menundukkan kepalanya tak tega melihat apa yang terjadi pada sahabatnya.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah" Ikbal berusaha untuk terus beristighfar.
Mendengar apa yang di ucapkan Ikbal, sosok hitam yang matanya merah dan nyaris lepas itu langsung melotot ke arah Ikbal.
Ikbal yang bertemu pandang dengan sosok menakutkan itu langsung tersentak kaget, namun entah bagaimana caranya. Dari hidung, telinga dan mata Ikbal keluar cairan merah yang membuat Ikbal langsung jatuh terduduk dengan tumpuan lututnya di lantai.
Saat itu terjadi, sosok itu melepaskan Alya yang sudah berada di dinding yang tingginya 4 meter itu karena memang rumah tua itu adalah rumah dengan dua lantai yang tentu saja sangat tinggi.
Brukk
Swish
Nurul yang merasa sesuatu yang mengekang tangan dan kakinya sudah tidak ada lagi langsung berlari menghampiri Alya yang terluka sangat parah.
Saat Nurul mencoba menyentuh Alya, temannya itu sudah batuk darahh dan langsung tidak sadarkan diri.
Sedangkan Malik dan Jovan tampak langsung membantu Ikbal yang juga terluka.
"Ini sudah gak lucu, ini sudah gak seru. Kita harus keluar dari tempat ini" pekik Jovan yang begitu ketakutan.
"Dari awal juga aku sudah bilang jangan ke tempat ini" kata Nurul yang sangat sedih melihat kondisi Alya.
Namun Nurul tetap berusaha untuk membawa tubuh Alya ke sebuah kursi yang ada di dekat Ikbal.
"Ikbal, kamu bagaimana?" tanya Malik yang merasa ketakutan.
"Kita tidak akan bisa keluar dari sini..."
Kata Ikbal yang lantas tak sadarkan diri juga sama seperti Alya.
Grace menangis tersedu-sedu, meski kaki dan tangannya sudah terlepas dari kekangan yang menahannya tadi. Tetap saja dia tidak bisa beranjak dari tempatnya berdiri karena terlalu takut. Dari ujung kepala sampai ujung kaki Grace semuanya merinding dan lemas. Tak bisa bergerak sama sekali.
"Mami.." lirih Grace yang sudah sangat putus asa setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Ikbal.
"Bagaimana ini?" gumam Nurul sambil menangis dan berusaha mengikat bagian tubuh Alya yang terluka dan mengeluarkan banyak darah dari setiap lukanya.
Jovan yang pada awalnya selalu menganggap semuanya adalah lelucon. Kini pemuda itu juga menangis karena putus asa.
Malik juga hanya bisa menunduk, melihat satu persatu temannya yang datang jauh-jauh dari kota untuk menemaninya menjenguk neneknya di desa yang sedang sakit parah.
Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di dalam hatinya karena sudah membuat teman-temannya berada di tempat ini.
Flashback On...
24 jam sebelumnya, Malik yang sedang berada di kafe bersama dengan teman-temannya setelah pulang kuliah, setelah hari terakhir ujian mereka, menerima sebuah panggilan telepon dari ayahnya.
Setelah bicara cukup lama dengan ayahnya. Malik langsung melihat ke arah Jovan dan berkata.
"Sorry Jo, aku gak bisa ikut kalian mendaki ya besok. Nenek ku sakit guys, aku harus pulang ke desa bersama kedua orang tuaku" kata Malik.
"Masih punya nenek kamu?" tanya Jovan.
"Ya masih lah" jawab Malik sambil memalingkan wajahnya ke arah Alya.
"Sayang, kamu jalan aja sama mereka. Aku harus pulang ke desa" kata Malik pada Alya, pacarnya.
"Gak seru dong sayang kalau kamu gak ada. Aku mau ikut kamu aja deh ke desa, aku mau tahu gimana desa kamu. Aku ikut ya sayang" kata Alya, gadis berusia 20 tahun yang adalah pacar dari Malik itu.
"Ide bagus tuh, gimana kalau kita ikut ke desa Malik saja. Sekalian kita jenguk neneknya, kalau ketemu cowok ganteng kayak aku. Pasti tuh nenek si Malik langsung sembuh" kata Jovan yang memang tidak pernah serius orangnya.
"Boleh tuh.." kata Malik antusias.
"Malik nanti repot tidak?" tanya Ikbal yang memang paling dewasa di antara ke enam orang itu. Selain usianya memang paling tua, yakni 22 tahun. Ikbal memang paling serius dan paling mengerti sopan santun di banding teman-temannya yang lain.
"Ijin dulu sama ayah kamu Malik" kata Nurul, setidaknya Nurul adalah orang kedua paling normal di geng ini setelah Ikbal.
***
Bersambung...
Setelah mendapatkan ijin dari ayah dan ibu Malik. Kelima teman Malik itu pun pergi ke desa. Mereka bahkan tidak pergi bersama dengan kedua orang tua Malik karena mereka menggunakan mobil milik Alya. Yang memang sudah punya mobil sendiri dan dia pergi dan pulang dari kampus selalu menggunakan mobilnya bahkan Alya tak jarang menjemput Malik ke kampus dan mengantar Malik pulang ke rumahnya.
Sudah empat jam lebih mereka berkendara, membuat Nurul yang merasa kalau tempat atau jaringan yang mereka lewati itu sangat sepi bertanya pada Malik yang sedang mengemudikan mobil milik kekasihnya itu.
Di antara ke enam orang itu. Hanya Alya dan Malik saja yang memiliki hubungan asmara. Yang lain, benar-benar hanya teman yang berasal dari satu kelompok yang saat itu melakukan pendakian bersama atau Mapala di kampus mereka.
"Lik, gak salah ya? kenapa kayaknya tadi kita tuh sudah lewatin pohon besar itu deh, sama kebun Nanas itu? aneh gak sih?" kata Nurul yang memang sedari tadi sibuk memperhatikan jalan.
"Di sini kan memang kebun nanas semua Nur, gak ada yang aneh kok, di jalan depan itu nanti kita bakal lewatin jembatan sama sebuah rumah yang besar rumah itu sudah tidak ada penghuninya lagi. Nah, nggak jauh dari situ nanti kita bakal ketemu sama desanya nenekku" kata Malik menjelaskan dengan santai kepada teman-temannya.
Nurul pun mengangguk, karena penjelasan sahabatnya itu terlihat meyakinkan. Dan memang sejak tadi dia hanya melihat kebun nanas saja juga pohon-pohon besar sepanjang jalan.
"Nurul sayang, sudah deh percaya saja sama yayang beb akooh" kata Alya dengan gaya tengilnya.
Nurul hanya mengangguk sekilas dan kemarin memperhatikan jalanan.
Ternyata, apa yang dikatakan oleh Malik itu benar. Tak lama bahkan belum sampai setengah jam Malik berkata mereka benar-benar melewati sebuah jembatan. Dan dari jembatan itu, sekitar berjarak kurang lebih dua ratusan meter mereka bisa melihat sebuah bangunan yang tampak dari jauh begitu tinggi dan saat mata mereka melihat ke arah bangunan itu, mata mereka seperti terpaku.
"Nah, kita sudah mulai masuk di perkebunan tebu artinya rumah nenekku sebentar lagi sampai" kata Malik membuat kelima temannya yang langsung menoleh ke arah Malik.
"Hah.."
"Hah.."
Malik pun menoleh ke arah teman-temannya, termasuk kekasihnya Alya.
"Kalian kenapa?" tanya Malik heran.
Ikbal yang memang firasatnya selalu lebih tajam daripada yang lain mengatakan kalau sebaiknya jangan ada yang melihat ke arah bangunan tua itu lagi.
"Guys, jangan ada yang lihat ke rumah tua itu lagi ya. Hawanya gak enak" kata Ikbal.
Batu saja Ikbal berkata begitu. Jovan langsung terkekeh begitu keras.
"Ha ha ha, Hawa emang gak enak, gak bisa di makan kali Bal. Ck... Masih percaya sama yang begituan. Ini sudah tahun berapa? kuno kamu Ikbal" kata Jovan yang memang selalu menganggap semua itu seperti lelucon.
Dia adalah orang yang paling sering, dan paling banyak mematahkan mistis tentang apapun di pendakian. Jadi saat Ikbal mengatakan hal itu padanya, jiwa dan naluri pemecah mitosnya bergejolak dan tidak terima kalau ada hal semacam itu.
"Ha ha ha, bapak ustadz Ikbal. Plus deh, makanya nggak usah kebanyakan nonton film jadul, mana ada sih yang begituan. Itu tuh cuma karangan orang-orang aja, biar kalau buat film, filmnya laku" kata Alya yang memang anaknya sangat angel tapi punya pemikiran yang sebenarnya sangat realistis.
"Kalian kenapa sih? kan maksud Ikbal baik" kata Nurul lagi.
"Tapi Alya itu benar loh Nur, kan waktu Grace masih kecil, aunty Grace suka bawa Grace ke pasar malam ya, dan di sana itu ada rumah hantu. Grace sudah ketakutan bukan main, aku sampai nangis. Tapi apa kalian tahu, waktu itu topi kesayanganku ketinggalan di dalam rumah hantu itu, dan ternyata saat aku di temani aunty dan penjaga karcis masuk untuk mengambil topi, kami sedang melihat para hantu yang tadinya menakuti aku tuh, poci poci yang pakai kain putih merah-merah terus miss K, yang rambutnya kayak gak pernah keramas satu dekade, terus kakek cangkul yang bawa cangkul sama singkong rebus, ternyata lagi pada touch up. Hem... dari situ, Grace nggak pernah lagi tuh takut nonton film horor karena Grace tahu kalau semua itu fake, alias palsu" kata Grace. Seorang gadis yang begitu manja dan feminim sekali.
"Nah dengerin, anak mami aja gak percaya sama hal konyol begitu" kata Jovan lagi.
Ikbal hanya diam, meski rasanya tarikan atau sebuah aura itu begitu kuat menariknya untuk melihat ke arah bangunan tua tersebut. Namun Ikbal rasanya benar-benar tidak ingin melihat ke arah sana. Rasanya dia benar-benar ingin muntahh dan tubuhnya menjadi sangat berat.
Tingkah tengil Jovan dan Alya bahkan tidak berhenti sampai di situ, mereka yang memang duduk di posisi dekat dengan jendela mobil. Lantas membuka kaca jendela mereka dan melihat ke arah rumah tua itu.
"Jo, pelototin Jo. Berani gak?" tanya Alya.
"Siapa takut" kata Jovan yang langsung melotot ke arah rumah tua itu, saat mobil mereka berjalan perlahan.
Mobil mereka berjalan perlahan karena memang jalanan persis di depan rumah tua itu berada jalanan itu rusak. Sudah beberapa kali para petugas Desa mencoba untuk memperbaiki jalan tersebut namun tetap saja tidak bisa melakukannya dengan baik. Ada-ada saja pokoknya, yang alat berat mereka tiba-tiba rusak dan tidak bisa digunakan. Atau material yang harus dipakai untuk membenarkan jalan tiba-tiba salah kirim di tempat lain bahkan di desa lain. Dan kejadian yang lebih aneh lagi, saya jalanan itu sudah dirapikan sudah diperbaiki, tiba-tiba keesokan harinya jalanan itu kembali seperti semula.
Jovan melotot bahkan menjulurkan lidah ke arah rumah tua itu. Tangannya bahkan menunjukkan sikap yang kurang ajar. Tangannya menunjukkan simbol atau isyarat yang artinya sangat kurang ajar dan tidak sopan sekali. Alya juga ikut-ikutan. Gadis itu bahkan mengacungkan jari tengahnya ke arah rumah itu dan setelah melakukan semua perbuatan tidak baik itu keduanya malah tertawa terbahak-bahak lalu melakukan tos.
"Sudah... sudah, kalau masuk. Ini jalanan rusak, kalian mental, jatuh pula nanti" kata Malik yang tidak ingin Alya dan Jovan terluka.
Semakin Jovan tertawa, Ikbal bisa merasakan bulu kuduk di seluruh tubuhnya meremang.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah" Ikbal terus beristighfar dengan suara yang pelan.
Sementara Alya yang baru akan menutup kaca jendela mobil pun seperti sangat kesulitan melakukannya.
"Ih kok gak bisa di tutup" kata Alya.
"Mobil baru kan? ini kaca jendela bagian aku gampang" kata Jovan yang duduk di kursi belakang bersama dengan Ikbal. Sementara Grace dan Nurul ada di bagian belakangnya lagi.
"Gak bisa" kata Alya panik.
"Ya sudah sayang gak usah di tutup" kata Malik yang tidak mau ambil pusing.
Tanpa mereka sadari, kaca jendela itu tidak bisa di tutup, karena memang ada yang menahannya agar tidak tertutup.
***
Bersambung...
Setelah tiba di desa, anak-anak kecil terlihat berlarian mengiringi mobil Alya yang di kemudikan Malik.
Nurul dan Grace yang berada di kursi paling belakang juga terlihat senang melihat anak-anak itu seolah sedang menyambut mereka.
"Rumahnya jauh-jauh ya, katak di villa golf" kata Grace yang rumahnya memang di villa golf.
"Tapi gak sebesar di villa golf atau di Hunian Indah kan, tuh kecil-kecil rumahnya. Kayaknya yang paling bagus yang di depan tadi ya, itu yang di jalan depan itu" kata Alya.
"Itu sebenarnya jalan belakang sayang, jalan depan desa ada di sana. Aku cuma mau mempersingkat waktu makanya lewat jalan belakang..."
"Ih sayang, aku traveling nih kamu bilang jalan belakang jalan depan" kata Alya yang langsung berniat merangkul Malik.
Tapi belum juga gadis itu merangkul Malik, dia merasa bahunya begitu berat seperti tidak di perbolehkan merangkul Malik.
"Yuk turun, itu rumah nenekku" kata Malik.
"Eh iya, itu mobil ayah kamu" kata Jovan yang juga langsung membuka pintu mobil dan langsung melipat kursinya supaya Grace dan Nurul bisa keluar juga dari dalam mobil.
Tapi saat semuanya tampak berjalan ke arah rumah nenek Malik. Alya merasa sangat kesulitan membuka pintu.
"Eh, bantuin dong. Ini pintunya susah di buka" kata Alya mengejutkan yang lain, tapi tidak dengan Ikbal.
Ikbal memang sejak tadi merasakan aura yang tidak enak, dan tidak nyaman. Tapi karena dia tidak memiliki six sense, hanya sering beribadah dan membuatnya mempunyai insting lebih tajam saja. Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya ada di mobil mereka.
Tapi melihat Alya yang kesulitan menutup kaca jendela mobil. Lalu kesulitan membuka pintu mobil. Ikbal sepertinya tahu masalahnya dimana.
Malik yang perduli pada kekasihnya itu bergegas menghampiri Alya. Tapi masih juga tidak bisa membuka pintu mobil.
"Sayang, ini kuncinya sudah di buka loh. Kok gak bisa?" tanya Malik heran.
Karena setahunya mobil kekasihnya itu baru di beli beberapa bulan yang lalu. Semuanya masih bagus, masih baru.
Ikbal yang merasa perasaannya semakin tidak enak, lantas meminta Alya keluar lewat pintu sebelahnya.
"Al, keluar lewat sini saja" kata Ikbal yang sebelumnya telah menepuk pintu bagian lain dengan sebelumnya mengucapkan beberapa kalimat yang dia tahu bisa melindungi diri dari hal-hal yang terlihat dan tidak terlihat.
Benar saja, setelah Ikbal menepuk pintu sebelahnya. Alya bisa bergerak kesana dan keluar dari dalam mobil.
"Kak, itu yang satu lagi gak ikut turun?" tanya seorang anak kecil laki-laki yang berkepala pelontos dan memakai kaos kebesaran. Bukan oversize, itu benar-benar kebesaran.
Keenamnya pun mengernyitkan kening, tapi Jovan lantas merubah ekspresi herannya menjadi kekehan kecil.
"Dasar bocil, tuh anak pasti ngerjain kita. Ayo masuk, aku mau ke kamar mandi nih" kaya Jovan yang menyentuh bagian bawahnya tanpa malu padahal di sana ada tiga orang wanita yang langsung memalingkan wajahnya dari sana.
"Jovan ih, kebiasaan. Malu pegang itu depan ciwi-ciwi lah" omel Grace.
Jovan malah terkekeh. Dia pun segera merangkul Malik dan mengajaknya untuk masuk.
"Kak, itu temannya manggil-manggil dari dalam mobil, itu kepalanya nongol" teriak anak yang tadi lagi lalu berlari ke arah jalan kecil mengejar teman-temannya yang sudah lumayan jauh darinya.
Grace yang mendengar itu langsung merangkul lengan Nurul.
"Ih tuh anak ngomong apaan sih, kita kan sudah turun semua" kata Grace sedikit cemas.
Grace juga berusaha melihat ke arah mobil, dan dia tidak melihat siapapun di sana.
"Anak desa biasanya jujur kan ya, kok anak itu jahil banget sih" kata Grace lagi.
"Halah, pasti sektenya Jovan junior tuh, gak ngotak" kata Alya yang langsung mengikuti Malik dan Jovan.
Nurul juga berusaha melihat ke arah mobil, tapi dia juga tidak melihat apapun. Begitu pula Ikbal. Hingga mereka pun mengabaikan apa yang dikatakan oleh anak kecil itu dan masuk ke dalam rumah Malik.
Di rumahnya, anak kecil tadi berlari mendekati ibunya yang sedang memasak di dapur menggunakan tungku dan kayu bakar.
"Ibu, ibu... itu kakak yang waktu itu datang Magrib Magrib itu yang bawa om Tansil itu, datang lagi. Dia ikut di dalam mobil cucunya nenek Seruni" kata anak itu pada ibunya.
Ibunya langsung mengangkat alisnya dan melebarkan matanya.
"Kamu bilang apa Bejo?" tanya ibunya Bejo yang tiba-tiba tangannya langsung gemetaran.
"Itu ibu, Kakak yang waktu itu marah karena om Tansil buang air sembarangan di rumahnya katanya, lalu om Tansil di tarik pas Magrib itu. Bejo lihat om Tansil di tarik ke jalan menuju belakang desa..."
Mendengar anaknya bercerita seperti itu, sang ibu langsung memeluk erat anaknya.
"Bejo, Bejo gak bohong kan?" tanya ibunya yang baru mendengar hal itu untuk pertama kali.
Pasalnya salah seorang warga desa bernama Tansil itu memang menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Dan tidak ada yang tahu dimana keberadaannya. Karena memang tidak ada yang melihatnya pergi dari rumah selepas magrib dia kembali dari ladangnya di belakang desa.
Bejo menggelengkan kepalanya.
"Gak Bu, Bejo lihat pas mau berangkat ke surau sama teman-teman. Tapi teman-teman tidak ada yang percaya pada Bejo, katanya mereka tidak lihat siapapun di rumah om Tansil" kata Bejo lagi.
"Kakak itu bicara pada Bejo?" tanya ibunya Bejo, Suci.
Bejo pun menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak Bu, tapi Bejo dengar kakak itu berteriak keras sekali. Kamu harus membersihkan kotoran mu sendiri, kamu sudah berani buang air di rumahku. Bersihkan kotoran mu. Begitu katanya, dan dia menarik rambut gondrong om Tansil, di tarik Bu sepanjang jalan. Terus pas Bejo mau lihat om Tansil di bawa kemana, Bejo di panggil sama pak ustad" kata Bejo begitu polos dan tanpa rasa takut sama sekali saat menceritakan semua itu pada ibunya.
Padahal ibunya sudah sangat gemetaran. Ibunya benar-benar ketakutan. Dia memang ingat mitos atau entah apa itu, yang di ceritakan turun menurun oleh keluarganya. Yang mengatakan kalau berjalan di depan rumah tua yang ada di belakang desa, maka berpura-pura lah tidak melihat rumah itu ada di sana. Jangan menoleh, apalagi tertawa.
Selama ini Suci selalu melakukan apa yang di katakan oleh ibunya itu. Makanya dia sama sekali tidak pernah di ganggu. Tapi anaknya itu istimewa, anaknya lahir saat bulan purnama malam ke 15. Suci bahkan sering melihat anaknya tertawa sendiri di pojok rumah atau di kebun, seperti bicara dengan seseorang.
Suci mulai sangat khawatir, apakah cucu nenek Seruni sudah melakukan kesalahan. Sampai penghuni rumah tua itu mengikuti mereka.
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!