"Kenapa sih kamu tuh ngeyel banget dek? Apa kamu nggak sayang kalau harus pindah sekolah, padahal baru juga semester dua" heran saja Vee pada adik bungsunya, Alina, yang rela meninggalkan sekolahnya yang baru saja berjalan satu semester.
"Aku butuh tempat baru, kak. Suasana yang baru agar aku juga punya semangat baru" jawab Alina Jovanca Putri, bungsu dari tiga bersaudara. Anak dari pasangan Jovan dan Vani.
"Ya nggak seharusnya juga kamu tiba-tiba datang ke Jakarta tanpa izin dari ayah dan bunda" kata Vee yang tak habis pikir dengan kelakuan nekat adiknya itu.
"Kakak nggak rela ya kalau aku numpang hidup di rumah kakak? Kalau kakak memang keberatan, aku bisa kok mencari tempat kos yang murah. Yang dekat dengan sekolah gitu" jawab Alina, padahal baru saja anak gadis itu disemprot habis-habisan oleh bundanya. Masih saja dia keukeh untuk tetap sekolah di Jakarta.
Vee hanya bisa menarik nafas panjang. Keras kepala sang adik ini sudah melebihi prediksi BPOM.
"Bukannya kakak keberatan, tapi kasihan bunda sudah mahal membayar biaya sekolah kamu, malah kamu menyia-nyiakan itu semua" kata Vee melunak.
"Kalau hanya karena kepindahan Rifat yang katanya ke Papua itu kan bisa terlupakan seiring berjalannya waktu, Lin. Kamu bisa mencari teman baru untuk melupakan Rifat. Sebenarnya hubungan kamu sama dia itu bagaimana sih? Kenapa kamu sampai merasa begitu kehilangan saat dia pergi? Pantas saja pak ustadz memindahkan Rifat. Pasti pak ustadz takut kalian bertindak macam-macam" kata Vee sambil memicingkan matanya.
"Kak Rifat itu sudah seperti kakak buatku. Kak Varo dan kak Vee sibuk dengan urusan sendiri, kan. Dan Kak Rifat itu yang ngemong aku selama ini. Ditinggal dia pergi tentu aku merasa sangat kehilangan. Dan jalan satu-satunya ya dengan suasana baru" kata Alin tetap pada pendiriannya.
Bukan tanpa alasan bunda Vani memarahi gadis itu. Pasalnya, Alin pergi seorang diri ke Jakarta dan berencana melanjutkan pendidikan SMA nya di kota itu. Dan sesuai rencananya, Alin akan tinggal di rumah kakaknya selama dia belum berpenghasilan sendiri.
"Sudahlah sayang, biarkan saja Alina disini. Sekalian saja dia sekolah di Mahardika. Dulu saya juga sekolah disana, kan. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari rumah kita" ucap Seno, suami Vee, kakak ipar Alina.
"Cuma kak Seno yang mengerti perasaanku. Aku sayang kak Seno banyak-banyak" kata Alin bahagia.
Vee hanya bisa memegang kepalanya yang terasa kian berdenyut. Tadi bundanya berharap agar Vee bisa membujuk adiknya agar mau pulang. Kini malah suaminya sendiri yang memberi Alin lampu hijau untuk meneruskan rencananya.
"Tapi kak kak.." belum lagi Vee menyelesaikan ucapannya, Seno sudah menyuruhnya diam.
"Untuk urusan biaya biarkan saya yang menanggungnya. Sekalian saya akan mengganti uang bunda yang telah digunakan untuk biaya sekolah Alin di Malang" ucap Seno, memang keluarga Widjojo masuk deretan sepuluh keluarga terkaya di negri ini. Jadi urusan uang tentu hal yang remeh untuk mereka.
"Ini bukan urusan uang kak. Tapi kalau dia selalu dituruti kemauannya, dia akan menjadi anak yang melunjak nantinya. Main kabur saja saat terkena masalah" geram Vee pada suaminya yang nampak memanjakan si bungsu.
"Sudahlah sayang, biarkan dia memilih suasana baru daripada dia tak mau sekolah. Suatu saat nanti dia akan menjadi lebih kuat dengan pilihannya saat ini" ucap Seno yang sedikit banyak memang bisa membaca masa depan orang lain semenjak jiwanya telah tertukar.
Menyangkut masalah itu membuat Vee tak bisa lagi berkata-kata. Baiklah, tugasnya kali ini adalah meyakinkan sang bunda jika Alina akan baik-baik saja dalam pengawasannya.
"Huft, baiklah. Terserah kalian saja" akhirnya Vee mengalah sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ya, Vee yang baru saja menjadi seorang sarjana itu tengah hamil tujuh bulan. Penantian cukup lama bagi Seno untuk bisa menjadi seorang ayah.
"Yee, terimakasih kak. Aku sayang banget sama kalian" ucap Alin dengan girangnya, memeluk satu per satu kakak dan kakak iparnya dengan manja.
Satu Minggu berlalu, Alin yang diantar supir menjelajahi mall terbesar di kota Jakarta untuk melengkapi peralatan sekolahnya.
Berjalan seorang diri menyusuri padatnya mall untuk berburu peralatan sekolah karena besok Senin sudah mulai masuk sekolah.
Alina Jovanca Putri, berjalan dengan selalu menerbitkan senyum saat berpapasan dengan orang yang juga memasang senyum padanya.
Wajah cantik berbalut hijab itu terlihat semakin elegan dan memancarkan cahaya di wajahnya.
Alin yang kurang awas karena sibuk melihat peralatan sekolah yang lucu, membuatnya tak sengaja menabrak seseorang yang juga sedang sibuk memilih barang.
Troli belanjaannya menabrak troli milik orang lain hingga terguling.
Brugh!
"Ah, maaf. Aku tidak sengaja" ucap Alin sambil membantu memunguti satu per satu belanjaan dari troli yang terguling karena kecerobohannya.
"Maaf-maaf, Lo pikir dengan minta maaf bisa menyelesaikan masalah?" ketus si pemilik troli sambil bersedekap tangan di dada dan menatap tak suka.
Dia adalah Alisa Permata Yudha, anak dari Aryudha Astama Putra yang merupakan pebisnis handal di bidang perhotelan.
Latar belakangnya yang merupakan keturunan orang kaya membuat tabiat Lisa, panggilan dari Alisa, menjadi agak sombong dan tak mau disaingi.
Alin yang selesai memunguti belanjaan orang itu segera mendekati Lisa untuk kembali meminta maaf.
"Oh, gadis yang cantik. Maaf ya aku sudah menabrakmu tadi. Tapi semua sudah aku kembalikan ke tempatnya kok" ucapan Alin yang semakin melemah di akhir ucapannya karena melihat wajah gadis yang dia tabrak nampak begitu mirip dengannya, hanya saja dia terlihat ketus.
"Nggak usah sok dekat sama gue. Pergi sana lo" ucap gadis itu mengusir Alin, dia tak suka jika ada yang menyamai penampilannya, tapi Alin malah menyamai wajahnya. Hatinya bertambah marah.
"Bentar deh Lis. Lo ngerasa nggak sih kalau nih cewek mirip sama lo?" tanya Via, teman satu geng Lisa yang menyadari hal itu.
"Nggak ada yang bisa menyamai gue. Bagaimanapun, gue adalah cewek paling cantik dimanapun berada" kata Lisa bertambah jengkel.
"Pergi sana lo" usir Lisa tak suka.
"Ah dasar bodoh. Biar gue saja yang pergi" kata Lisa yang melihat Alin tetap stay cool di tempatnya berdiri.
Malas saja jika kedua temannya semakin menyamakan dirinya dengan gadis yang baru mereka temui ini.
"Culture shock yang pertama" kata Alin lirih dengan senyum simpulnya.
"Tidak boleh sembarangan ramah pada orang yang baru kita kenal" ucap Alin pada dirinya sendiri sambil mengamati punggung Lisa dan kedua temannya yang masih sesekali menoleh padanya saat menjauh darinya.
Alin melanjutkan kegiatannya, dan segera ke kasir untuk melakukan pembayaran setelah dirasa semua keperluannya sudah terpenuhi.
Seno sudah memberikan sebuah kartu ATM untuk memenuhi semua kebutuhan bulanan Alin tentunya atas seizin Vee dan orang tuanya.
Seno hanya berharap dengan melakukan kebaikan akan berbalik pada dirinya sendiri dan juga keluarga kecilnya semua kebaikan sebagai buah dari perbuatannya.
"Sudah neng belanjanya?" tanya Supir keluarga Seno dengan logat Sundanya saat melihat Alin dengan kantongnya keluar dari pintu mall.
"Sampun pak. Ayo pulang" jawab Alin dengan logat Jawanya.
"Hayuk lah neng" jawab sang supir membuat Alin terkekeh pelan.
Beragamnya negriku, ah... Gus Rifat, kenapa sih kamu malah memilih untuk pegi ke Papua?
Batin Alin masih tak mengikhlaskan kepergian teman terdekatnya itu. Sosok ustadz muda yang dia kagumi sedari dulu.
"Sudahlah kak, tenang saja. Aku bisa berangkat sendiri, kakak di rumah saja ya. Aku yakin tidak akan nyasar kok" keukeh Alina pagi ini sambil memakan nasi goreng buatan kakak iparnya.
"Memangnya kenapa sih dek? Ini kan hari pertama kamu masuk sekolah, kalau sampai nyasar kan bisa terlambat, dan kalau terlambat kamu bisa dihukum sama guru kamu. Kan nggak lucu kalau telat di hari pertama sekolah" ucap Vee meyakinkan adik cantiknya, dia hanya khawatir jika adiknya akan salah jalan karena Alina hanya sekali saja datang ke sekolahnya saat pendaftaran kemarin.
"Ingatanku ini masih sangat bagus, kak. Pasti nggak kesasar kok" kata Alina yang juga bersikeras untuk tak mau diantar ke sekolahnya.
"Ehm, bagaimana kalau kamu diantar supir saja. Kami tidak khawatir, kamu juga tinggal duduk manis saja di dalam mobil sampai tiba di sekolah" akhirnya Seno bersuara, tak tahan juga mendengar perdebatan yang sama dari kakak beradik di hadapannya itu.
"Tidak usah, kak. Sayang kan motorku yang jauh-jauh dipaketkan dari Malang ke Jakarta malah nganggur di garasi. Sudahlah kak, kalian tidak usah khawatir. Aku sudah besar, tidak perlu memperlakukan aku seperti anak SD" keluh Alin.
Vee hanya bisa menghela nafasnya dalam-dalam. Adiknya yang satu ini memang sangat cantik, tapi keras kepalanya sudah tingkat nasional. Diapun hanya bisa mengalah, seperti biasanya.
"Baiklah. Tapi ingat, Lin. Kalau sampai kamu nyasar segera hubungi kakak dan jangan off kan ponsel kamu" akhirnya Vee mengalah dan membiarkan adiknya pergi sendiri.
Alin tersenyum riang, dia hanya tidak enak hati pada kakaknya jika terlalu merepotkan mereka. Sudah diizinkan untuk tinggal di rumah kakaknya saja Alin sudah bersyukur. Selebihnya dia akan berusaha untuk bersikap mandiri.
"Alhamdulillah, terimakasih kakakku yang cantik jelita" ucap Alin lega.
Sarapannya sudah selesai, setelah mencuci piring bekas makannya, Alin segera mengambil tas punggungnya dan segera mengambil tangan dari kedua kakaknya untuk berpamitan.
"Alin pergi sekolah dulu, kak. Assalamualaikum" pamit Alin seraya mencium tangan kedua kakaknya satu per satu.
"Waalaikumsalam, hati-hati Lin" jawab Vee dan Seno bergantian.
Alin segera menuju garasi di rumah kakaknya. Sepeda motor matic milik ayahnya dulu lah yang dia gunakan sebagai alat transportasi untuk pergi dan pulang sekolah di Jakarta.
Motor itu terlihat sangat jadul bersisian diantara mobil-mobil keren kakaknya. Ya, kakak Alin, Veronica adalah seorang influencer terkenal. Karya-karyanya berupa video dari tempat-tempat unik telah membuat namanya melambung tinggi, banyak followers yang sangat menyanjungnya.
Begitupun kakak iparnya, Senopati OW yang juga merupakan seorang artis ternama yang kini lebih fokus pada bisnis tembakau milik keluarganya.
Keduanya masih sangat terkenal, mereka sering diundang di banyak acara podcast maupun di acara TV Nasional.
Dan Alin pun adalah pengagum dari seorang Senopati OW, sebelum pria itu menjadi kakak iparnya.
Setelah memakai helmnya dengan benar, gadis cantik dengan hijab di kepalanya itu segera melajukan motornya perlahan keluar dari garasi dan kembali menutup pintu garasi sebelum meninggalkan halaman luas di rumah kakaknya.
"Hati-hati neng" ucap security setelah menutup pintu gerbang.
"Siap pak. Terimakasih, saya pergi sekolah dulu. Assalamualaikum" teriak Alin sambil melambaikan tangan, security itu hanya tersenyum, sopan santun Alin masih sangat terjaga.
Kini, setelah lima belas menit berkendara Alin terkejut karena seseorang yang menabrak seekor kucing hingga hampir mati di tepian jalan.
"Woi, berhenti. Kucingnya mati nih" teriakan Alin seolah tertelan padatnya suara knalpot dari kendaraan yang sedikit macet di jam berangkat sekolah.
Alin yang berhati lembut itu berhenti, menilik keadaan kucing sekarat yang nafasnya sudah diujung.
Menggunakan jaketnya, Alin menggendong kucing itu. Beberapa orang datang ingin menolong juga, sepertinya mereka juga penyayang binatang.
"Bagaimana keadaannya, dik?" tanya cowok klimis dengan tas punggungnya, sepertinya seorang mahasiswa.
"Sekarat kak" jawab Alin tak tega.
"Dokter hewan di dekat sini dimana ya?" tanya Alin.
"Agak jauh sih, gue tahu tempatnya. Tapi gue nggak punya kendaraan" jawab wanita dengan setelan formalnya, sepertinya seorang karyawati.
"Pakai motorku saja, kak. Nanti aku yang bawa motor, kakak yang gendong ya" ucap Alin.
"Oke. Tapi gue nggak ada duit buat bayar" kata si karyawati.
"Nggak apa-apa kak, nanti biar aku yang bayar" jawab Alin tanpa pikir panjang, padahal uangnya hanya cukup untuk jajan di hari ini. Meski ada kartu ATM pemberian kakaknya, Alin tidak serta merta akan menghamburkan uang kakaknya, bukan.
Jadilah Alin dan si karyawati menuju ke dokter hewan yang ternyata memang cukup jauh. Sementara si kakak berambut klimis segera memasuki bis umum untuk mengantar ke tujuannya.
"Masih jauh kak?" tanya Alin.
"Kagak, sudah dekat diujung tuh" jawab mbak karyawati sambil menunjuk plakat dokter hewan.
"Oh iya" kata Alin sambil membelokkan setirnya ke tempat praktek sang dokter.
Setelah keduanya turun, mbak karyawati itu segera memberikan kucing sekarat itu pada Alin.
"Gue sudah hampir telat masuk kantor, lo bisa kan masuk sendiri?" tanya si mbak.
"Bisa kak, terimakasih ya. Kantor kakak jauh?" tanya Alin merasa tak enak.
"Dekat kok, tuh" tunjuk si mbak yang ternyata bekerja di sebuah konter handphone di seberang dokter hewan yang Alin kunjungi.
"Gue jalan dulu ya" pamit si mbak.
"Iya, terimakasih ya kak" ucap Alin sopan.
"Lumayan, irit ongkos angkot" gumaman si mbak terdengar di telinga Alin.
"Ah, manusia. Masih mencari untung diantara buntung" ucap Alin sambil menggelengkan kepalanya dan bersiap masuk ke tempat dokter hewan.
Alin disambut perawat, dengan cekatan perawat itu mengambil alih si kucing yang sudah hampir mati dari gendongan Alin.
"Kondisinya sangat parah. Penanganannya pasti lama" ucap perawat setelah membuka jaket yang menutupi tubuh si kucing.
"Iya kak. Saya tinggal disini ya kucingnya. Nanti pulang sekolah saya kesini lagi. Saya harus sekolah" kata Alin yang ingat untuk segera sampai di sekolahnya.
"Oh, iya. Dokternya masih di perjalanan, sebentar lagi juga sampai. Kamu bisa tinggalkan kucing ini dulu dan tinggalkan nomor telepon aktif yang bisa kami hubungi" ucap perawat sambil memberikan secarik kertas yang berupa formulir.
Alin mengeluarkan bolpoin dari dalam tasnya. Mengisi formulir dengan data yang benar dan segera mengembalikan kertas itu pada perawat.
"Saya permisi dulu kak. Nanti sore saya kesini lagi. Assalamualaikum" pamit Alin sambil melenggang pergi setelah mendengar jawaban salamnya dari sang perawat.
Segera Alin menaiki motornya lagi, membelah jalan raya dan mengamatinya setelah beberapa meter berkendara.
"Aku dimana ini?" gumam Alin yang menepi dan mematikan mesin motornya.
Melihat kondisi jalanan yang berbeda dengan yang dia tahu. Alin belum hafal jalanan di kota ini.
"Yah, masak iya aku nyasar?" gumam Alin sambil melihat jam tangannya.
"Kurang sepuluh menit lagi, apa masih keburu ya?" tanya Alin pada diri sendiri, mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi kakaknya untuk minta dijemput.
Tapi belum lagi dia selesai mengutak-atik layar ponselnya untuk menghubungi sang kakak, terdengar sebuah teriakan.
"Woi, lo sekolah di Mahardika ya?" teriak seorang cowok yang berada diatas motornya, dia juga menepi di dekat Alin berhenti, cowok itu memakai helm full face, Alin tak bisa melihat wajahnya.
"Iya. Kamu kok tahu?" teriak Alin.
"Kelihatan di lokasi lo, tuh di seragam lo" tunjuk si pria ke arah lengan kanan Alin.
"Oh iya. Hehe" kekeh Alin.
"Ayo pergi, malah ketawa. Telat nanti" ajak si cowok.
"Kamu kok ngegas sih? Memangnya kamu siapa?" tanya Alin.
"Gue juga sekolah disana. Ayo buruan" ucap si cowok.
"Oh iya kak. Terimakasih" ucap Alin senang, akhirnya ada penolong yang dikirimkan oleh Tuhan untuknya di kala genting begini.
Cowok itu nampak seperti bukan seorang siswa, karena dia memakai jaket jeans dan motornya itu loh, kenapa besar dan keren begitu.
Alin hanya bisa bergumam. Dengan fokus memperhatikan jalan dan membuntuti si penunjuk jalan dengan seksama.
"Sial! Telat beneran nih" kata cowok itu saat melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat.
"Yah, gimana dong kak?" tanya Alin khawatir.
"Padahal masih belum lima menit" gumam si cowok masih duduk diatas motornya.
"Uwah, Alhamdulillah ada pak satpam. Pak, tolong bukain gerbangnya dong, pak" rengek Alin pada satpam yang sangat terlihat sedang mengejek pria di dekat Alin dengan memutarkan kunci pintu gerbang itu dengan jari telunjuknya.
"Lo telat lagi, tong" kata si satpam seolah tak melihat keberadaan Alin disana.
"Bukan urusan lo. Cepat buka. Kalau enggak, gue tendang juga nih gerbang" kata si cowok ringan.
Tapi, sepertinya Alin familiar dengan nada suara itu. Tapi, siapa ya?
"Hahaha, oke gue bukain karena ada cewek baru di sekolah ini yang datangnya telat barengan sama lo. Coba kalau nggak ada dia, putar balik dah lo ke rumah lo lagi" kata pak satpam sambil membukakan gerbang.
"Terimakasih pak" ucap Alin yang melajukan motornya dengan pelan untuk berterima kasih, sementara si cowok langsung saja ngibrit dan membunyikan knalpotnya keras saat dekat dengan pak satpam.
"Gitu tuh, dasar anak bandel. Heran gue waktu kecil dikasih makan apa sama emaknya sampai jadi nakal model kayak begituan pas sudah gede" gerutuan pak satpam masih terdengar oleh Alin yang tengah menuju ke parkiran.
Setelah memarkirkan motornya dengan rapi dan menggantungkan helmnya dengan aman, Alin segera turun untuk ke ruang guru dan menanyakan letak ruang kelasnya.
Hallo semuanya...
Ini novel ke empat saya yang saya tulis sebagai kelanjutan dari beberapa novel sebelumnya.
Sengaja saya memakai tokoh dari novel sebelumnya agar ada benang merah yang terhubung😁
Di novel KITA KEMBAR? Ini, merupakan kisah dari anak Yudha dan Vani dari novel Sumpah Aku Setia,
Dan juga terusan dari kisah Samuel dari novel My Angel Baby. Juga ada beberapa tokoh dari novel Cantik, kok minder? Yang merupakan novel terlaris dari saya😀
Happy reading, semoga semua berkenan dengan cerita ini.
Silahkan tinggalkan jejak berupa Like setelah membaca. Boleh komentar sebagai bahan penyemangat saya dalam menulis cerita.
Dan terimakasih 🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!