NovelToon NovelToon

Pengantin Cadangan

BAB 1. Takut Salah Memilih Lelaki.

“Kak, kalau kamu Mama jodohkan, mau?”

Pertanyaan itu langsung membuat Aira Anjana menoleh kepada ibunya yang duduk di sampingnya. Gadis berusia 26 tahun itu mengernyit heran dengan ucapan sang ibu.

“Maksud Mama apa? sekarang sudah tidak jaman main jodoh-jodohkan begitu, Ma,” jawab Aira sambil menyisipkan rambut lurusnya ke belakang telinga.

“Ada teman Mama, dia sedang mencari pasangan untuk anak semata wayangnya.”

“Memangnya dia tidak bisa mencari pasangan sendiri sampai di carikan oleh orangtuanya? Aneh sekali. Apalagi dia lelaki. Tidak cocok seperti itu. Mendengar saja, sepertinya dia anak yang manja,” keluh Aira.

Mendengar ada lelaki yang seperti itu, di benak Aira terlintas pasti lelaki itu adalah orang yang manja. Bahkan sampai jodoh saja di atur oleh keluarganya. Sama sekali bukan tipenya. Aira yang berjiwa bebas sama sekali tidak cocok dengan perjodohan semacam ini.

“Tapi anaknya ganteng, lho. Sudah mapan juga. Kamu tau kan kalau teman-teman Mama itu orang-orang hebat semua?” Eva masih berusaha untuk merayu putrinya.

“Mau ganteng, kalau manja, Aira tidak suka, Ma.”

“Dia tidak manja, sayang. Hanya saja, dia terlalu asyik dengan kesendirian. Jadi mamanya sampai khawatir. Kamu boleh kok bertemu lebih dulu. Setelah itu, baru kamu bisa mengambil keputusan. Mama tidak enak dengan Tante Desi. Mau, ya?” mohon Eva lagi.

Aira melihat wajah memohon sang ibu dan menjadi tidak tega. Hingga tanpa sadar, ia menganggukkan kepalanya perlahan. “Ya sudah. Aira mau. Tapi kalau Aira merasa tidak cocok, Aira boleh menolaknya, kan?”

“Tentu saja. Semua pilihan tetap ada di tanganmu, sayang.” Eva nampak senang dengan jawaban putri semata wayangnya itu. “Nanti Mama konfirmasi dulu sama Tante Desi. Setelah pas waktunya, nanti Mama kasih tau kamu.”

Aira hanya mengangguk sambil memasukkan sendok terakhir sarapan ke dalam mulutnya. “Yasudah, Ma, Aira mau berangkat dulu, ya,” ujar Aira sambil mencium pipi Eva.

“Iya, sayang. hati-hati bawa mobilnya.”

“Siap, Nyonya.” Aira melenggang keluar dari rumah. Mengemudikan mobilnya menuju ke tempat kerjanya.

Sudah sekitar 2 tahun Aira bekerja di sebuah perusahaan properti di ibukota. Dan dia sangat menyukai pekerjaannya. Lingkungan kerja yang nyaman dan teman-teman yang baik, itulah yang membuatnya betah bekerja disana.

Pagi ini ia harus segera sampai di kantornya karna ada meeting penting dengan perusahaan KJPP yang bekerjasama dengan perusahaannya. Sesampai di kantor, Aira segera menemui atasannya dan mereka pergi untuk meeting.

Sebuah gedung menjulang tinggi dengan nama PRAMANA TOWER, itulah yang menjadi tujuan mereka. Sesampainya disana, mereka langsung di arahkan untuk menuju ke ruang meeting.

Pertama masuk ke dalam ruang itu, mata Aira langsung terfokus kepada dua orang lelaki yang duduk di ujung meja. Keduanya tampan. Yang berlesung pipi dan berkaca mata nampak sangat manis. Sementara yang satu lagi nampak sangat mempesona. Gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Rahang tegas dan tatapan yang tajam.

Bahkan sepanjang rapat, Aira tak henti-hentinya mengagumi ketampanan lelaki itu. Aira baru tau kalau lelaki berjas hitam itu merupakan CEO di sini. Sudah tampan, kaya pula. Double strike bagi siapapun gadis yang menjadi istrinya kelak.

Perhatian semua orang tertuju kepada Aira, saking terpesonanya kepada ketampanan CEO itu, Aira sampai tidak sadar kalau ponselnya berbunyi dengan kerasnya. Dia lupa mematikannya tadi.

Salah satu rekannya menyenggol lengannya, barulah Aira sadar kalau ia telah mengganggu rapat itu. dengan menunduk dan meminta maaf, ia keluar dari ruangan itu dengan rasa malu yang luar biasa. Ia melipir ke ujung lorong yang dia rasa sepi.

Aira mendengus menatapi nama ‘Nyonya Rumah’ di ponselnya. Harus sekali ibunya menelfon di saat penting seperti ini?

“Ma? Kenapa menelfon? Aku sedang rapat, Ma...” protes Aira begitu telfon tersambung.

‘Kakak sayang, Tante Desi bilang, nanti malam kita makan malam bersama untuk mengenalkan kamu dengan anaknya. Bagaimana?’ suara Eva nampak sangat antusias.

Karna malas menanggapi berhubung ia masih ada pekerjaan penting, Aira hanya menyetujuinya saja tanpa berfikir panjang. “Terserah Mama saja.” Jawabnya singkat.

‘Oke. Sampai ketemu nanti malam, sayang.’ Eva segera mematikan sambungan telfon begitu mendapatkan kepastian dari putrinya.

Setelah menutup telfon, Aira bermaksud untuk kembali ke dalam ruangan, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang lelaki yang juga sedang menelfon di belakangnya. Suara bariton yang terdengar seksi.

“Terserah Mama saja. Aku ikut kemauan Mama.” Suara lelaki yang tak lain adalah CEO Pramana. Lelaki itu langsung menutup ponselnya dan melirik dingin kepada Aira yang berjalan melewatinya. Aira sedikit mengangguk sopan kepada lelaki itu kemudian ia menghilang masuk ke dalam ruangan.

Rapat kembali berlanjut ketika CEO Pramana masuk. Butuh waktu lama kemudian baru rapat itu selesai.

“Menurutmu, apa dia sudah punya kekasih?” bisik Jessy ketika mereka sedang membereskan berkas-berkas dari atas meja.

“Siapa?” Aira bertanya dan melihat kepada Jessy.

“Itu.” Jessy menunjuk dengan dagunya sehingga Aira mengikuti. Sekilas tatapannya bertemu dengan tatapan Pramana.

“Kenapa kamu ingin tau? Naksir?” tanya Aira.

“Bolehkah?”

“Terserah.”

“Hehehe. Tidak. Hanya mengagumi saja. Semuda itu tapi sudah menjadi CEO. Rasanya tidak mungkin kalau dia belum punya kekasih,” gumam Jessy kemudian.

Sebelum keluar dari ruangan, sekali lagi Aira melirik dan bertemu pandang dengan Pramana.

“Nanti malam, mau jalan-jalan?” tanya Jessy.

“Maaf, Jess, aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Ada acara makan malam dengan Mama dan temannya.”

“Makan malam? tumben sekali kamu mau ikut. Biasanya juga selalu menolak.”

“Mama bilang kamu menjodohkanku.”

“Hah?!!” tanpa sadar Jessy berteriak. Suaranya memenuhi lorong.

“Sstttt. Jess. Pelankan suaramu.”

“Apa kau ini titisan Siti Nurbaya? Di jodohkan?”

“Belum pasti. Ini hanya sekedar perkenalan saja. Kalau tidak cocok, aku boleh untuk menolak,” jelas Aira kemudian.

“Kalau cocok?”

“Berarti aku akan menikah dengannya.”

“Kamu benar-benar sudah siap menikah?” tanya Jessy memastikan. Dia sangat tau betapa temannya ini sangat trauma dengan pernikahan. Kegagalan kedua orangtua Aira adalah alasan utamanya. Di tambah, ketika berpacaran, Aira tidak pernah menemukan sosok lelaki yang baik. Dia selalu di pertemukan dengan sosok lelaki yang menyakitinya. Entah itu ia di buat taruhan, atau sekedar coba-coba saja. Tidak pernah ada yang tulus padanya.

Aira hanya terdiam saja. Ia memandangi tombol di lift dengan fikiran yang melayang-layang. Jujur ia takut. Apalagi untuk menikah. Bukan takut menikah, tapi ia takut salah memilih lelaki. Pengalamannya selama ini sudah cukup membuatnya trauma.

Tapi, ketika melihat harapan besar ibunya semalam, ia tidak kuasa untuk menolaknya. Ia akan melihat seperti apa lelaki itu, baru ia akan memutuskannya nanti. Apa dia akan menerima atau menolak perjodohan ini.

selamat datang di karya terbaru mak. jangan lupa tinggalkan komentar, like, subscribe, vote, dan juga hadiahnya yaaa...

selamat membaca...

BAB 2. Menolak.

“Sayang! apa sudah siap? Jangan lama-lama. Tante Desi sudah menunggu kita!” teriakan Eva terdengar dari lantai bawah.

“Iya, ma. Sebentar.” Aira buru-buru menyelesaikan berdandan. Mematut dirinya di depan cermin lebih dulu dan memastikan penampilannya sempurna, baru setelah itu ia bergegas menemui ibunya. “Ayo, Ma.” Senyum Aira merekah.

“Waw. Anak Mama cantik sekali.” Puji Eva dengan bangga.

Bangga karna sudah mampu membesarkan kedua anaknya seorang diri. Aira adalah putri sulung Eva. Aira punya seorang adik laki-laki yang sedang kuliah di luar negeri, Arion. Setelah di hianati oleh sang suami, Eva bekerja sangat keras untuk menghidupi kedua anaknya. Ia punya sebuah toko roti yang cukup terkenal dan punya beberapa cabang.

“Ma? Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Aira di tengah fokusnya mengemudikan mobil.

“Mama hanya membayangkan, kalau nanti Mama dan Tante Desi menjadi besan, pasti hidup Mama seru sekali.” Jawab Eva dengan tatapan menerawang.

Kalau begini, bagaimana Aira akan menolak keinginan ibunya? Lihatlah tatapan harapan itu, sungguh, Aira sangat tidak tega melihatnya. Karna Aira sangat tau betapa sulitnya Eva membesarkan ia dan adiknya seorang diri.

“Ma, kalau nanti Aira tidak cocok dengan anak Tante Desi, apa Mama akan kecewa?”

Mendengar pertanyaan putrinya itu Eva justru tersenyum. Mengusap kepala putrinya dengan lembut. “Sayang, Mama sudah bilang, semua keputusan ada di tanganmu. Yang akan menjalani pernikahan adalah kamu, Mama hanya memfasilitasi kalian untuk bertemu. Selebihnya, kamu yang akan menentukan pilihanmu sendiri. Tidak usah terlalu memikirkan Mama. Kalaupun kamu menolaknya, Mama tidak apa-apa.” jelas Eva panjang lebar.

Aira juga tersenyum mendengar ucapan ibunya. Dalam hati ia sangat bersyukur karna ibunya tidak memaksanya untuk menerima perjodohan ini. Kalaupun nanti dia menolaknya, ibunya pasti akan tetap berbesar hati menerima keputusannya.

Mobil Aira sudah memasuki halaman sebuah restoran mewah yang ada di kawasan pusat kota. Setelah mobil terparkir sempurna, Aira dan Eva turun dari mobil dan masuk ke dalam bersama. Seorang pegawai menyambut kedatangan mereka dengan hangat.

“Kami datang atas reservasi Ibu Desi,” ujar Eva.

Pegawai itu mengangguk mengerti kemudian mempersilahkan Eva dan Aira untuk menuju ke sebuah ruangan khusus yang ada di dalam.

“Silahkan.” Pegawai itu mempersilahkan mereka untuk masuk setelah mengetuk pintunya.

Eva membuka pintu dan mandapati Desi yang sudah ada di dalam bersama dengan suami dan putranya. Sementara Aira berjalan di belakang ibunya dan tidak berani mengangkat wajahnya.

“Maaf kami terlambat, Des. Putriku ini, kalau berdandan sangat lama.” Seloroh Eva dan di sambut gelak tawa oleh Desi.

“Tidak apa-apa. Namanya juga anak gadis. Jadi kamu Aira?” Desi beralih kepada Aira. Mau tidak mau, Aira mengangkat wajahnya dan menyalami Desi dengan hormat. “Kamu cantik sekali. Ayo, duduk.”

Mereka kemudian duduk dan mulai berbincang. Eva memperkenalkan Aira kepada suami Desi yaitu Guntur.

Aira semakin tidak nyaman ketika putra Desi bahkan tidak mau menatapnya dan malah sibuk dengan ponselnya. Di lihat sekilas sih, tampan. Tapi tunggu, Aira seperti pernah bertemu dengan lelaki itu.

“Aira, ini anak Tante. Namanya Maham.” Desi mulai memperkenalkan Aira dengan putranya.

“Maham.” Guntur memperingatkan agar putranya itu tidak mengabaikan Aira.

Maham menutup ponselnya dan menaruhnya di atas meja. Kemudian ia mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan Aira yan duduk di hadapannya. Aira dan Maham sama-sama mengernyit.

“Pak Pramana?” tanya Aira yang terkejut.

Maham hanya diam saja dan nampak berusaha menetralkan ekspresi wajahnya.

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Desi.

“Tidak, Tante. Maksudku, belum. Kami hanya bertemu satu kali.” Jelas Aira. Entah kenapa degup jantungnya menjadi tidak karuan.

“Oh ya? Baguslah. Jadi, bagaimana kesan pertama kamu ketika bertemu dengan Maham?” tanya Guntur yang ternyata tidak kalah antusias dari istrinya.

Aira bingung hendak menjawab apa. Itu hanya petemuan untuk pekerjaan. Dia tidak punya kesan apapun kepada lelaki itu.

“Ehm, Aira tidak tau, Om. Kami hanya bertemu sekilas karna pekerjaan,” jawab Aira lagi.

Maham masih belum membuka mulutnya. Ia hanya terus memperhatikan Aira sampai membuat gadis itu salah tingkah sendiri.

Obrolan terus berlanjut di antara para orang tua. Begitu banyak hal seru yang mereka bicarakan hingga lupa kalau Aira dan Maham hanya diam saja sejak tadi. Semakin lama, Aira semakin merasa bosan.

“Mau keluar?” suara pertama Maham dan kalimat itu tertuju kepada Aira.

Aira mendongak dan menatap Maham yang juga tengah menatapnya. “Boleh.” Jawab Aira sambil mengangguk.

“Ma, Pa, Tante, kami mau keluar dulu.” Pamit Maham kepada para orangtua.

Sepeninggalnya Aira dan Maham, para orangtua tertawa puas. Ternyata itu strategi mereka untuk menguji seberapa pekanya Maham dan Aira. Dan mereka berhasil membuat Maham mengajak Aira untuk pergi.

Maham mengajak Aira untuk pergi ke rooftop. Duduk berdua di pinggir dengan pemandangan kota yang indah. Untuk malam ini kabut tidak menyelimuti kota seperti biasanya sehingga kerlap-kerlip lampu nampak indah memanjakan mata.

“Waaah, indahnya...” gumamnya tanpa sadar. Entah kenapa ia tidak pernah melihat sisi indah kota selama ini. Padahal ini bukan kali pertama ia ada di tempat tinggi.

“Jadi Aira, bagaimana pendapatmu?” kalimat itu membuyarkan lamunan Aira yang sedang menikmati pemandangan kota. Ia mengalihkan pandangan kepada lelaki tampan di hadapannya.

“Tentang apa?”

“Aku.” Jawab Maham singkat. “Apa kau akan menerima perjodohan ini?”

“Aku tidak tau. Kalau kau?”

“Aku tidak masalah. Kalau kamu mau, ayo kita menikah. Tapi kalau kau menolaknya, aku juga tidak apa-apa.”

Apa itu? apa arti kalimatnya itu?

“Apa kau menyukaiku?” selidik Aira kemudian. Karna baginya, pernikahan tanpa cinta hanyalah sebuah kebohongan. Yang saling mencintai saja bisa berpisah, apalagi yang tidak.

“Kita bisa melakukan itu setelah menikah.” Jawaban tepat dari Maham.

“Kau benar-benar ingin menikahiku?” tanya Aira lagi. “Bahkan tanpa perasaan apapun?”

“Kalau boleh jujur, saat ini aku tidak mencintaimu. Karna kita baru bertemu. Tapi siapa yang bisa mengira apa yang akan terjadi selanjutnya?”

“Kau punya kekasih?” Aira mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya.

Kali ini, Maham hanya diam saja. Ia memilih untuk menenggak minumannya.

“Jadi kau punya kekasih. Lantas untuk apa kau ingin menerimaku?”

“Aku tidak punya yang seperti itu. Saat ini statusku single dan aku akan menikah denganmu.”

Raut wajah Maham nampak aneh. Dan Aira bisa membacanya. Gadis itu menyimpulkan, mungkin orangtua Maham tidak menyetujui hubungan Maham dengan kekasihnya sehingga mereka menjodohkan Maham dengannya. Tapi single?

“Aku minta maaf tuan Maham. Tapi aku tidak mau menikah dengan orang yang melakukan ini demi keterpaksaan.”

“Siapa bilang aku terpaksa?”

“Wajahmu. Wajahmu mengatakan kalau kau terpaksa dengan perjodohan ini. Jangan khawatir, aku yang akan bicara dengan para orangtua kalau aku menolakmu.” Aira berkata dengan senyuman. Latas ia segera berdiri dan pergi meninggalkan Maham di sana.

BAB 3. Masih Terjebak Dengan Masalalu.

Maham sama sekali tidak berusaha untuk mencegah kepergian Aira. Ia hanya memandangi punggung Aira yang menjauh darinya.

Sementara Aira segera kembali ke ruangan semula. Namun, tidak ada siapapun disana. Baik itu kedua orangtua Maham, atupun ibunya. Kemana semua orang? Bahkan tasnya yang tadi tergeletak di atas meja juga sudah tidak ada. Padahal disana ada kunci mobil dan ponselnya juga. Sekarang, bagaimana dia akan menghubungi ibunya?

Aira berjalan keluar dan berencana untuk meminjam telfon pihak restoran. Namun langkahnya berhenti ketika Maham tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

“Kenapa tidak jadi masuk?” tanya Maham.

“Mereka sudah pergi. Bahkan Mama meninggalkanku disini. Ya ampun,” keluh Aira kesal tapi berusaha untuk tidak menunjukkan kekesalannya itu karna malu kepada Maham. “Maaf, tapi, apa aku boleh meminjam ponselmu sebentar?” Aira memberanikan diri walau dirinya sendiripun menganggap itu sangat tidak sopan.

Maham hanya diam namun tetap memberikan ponselnya kepada Aira. Dengan wajah yang malu, Aira menerima ponsel Maham dan segera menghubungi ibunya. Untuk Aira hafal nomor ibunya.

“Ma? Ini aku. Mama dimana?” tanya Aira ketika telfon sudah tersambung.

‘Sayang, maaf Mama pulang lebih dulu.’

“Kenapa Mama pulang lebih dulu? Mama bahkan tidak meninggalkan tasku. Bagaimana Aira akan pulang?”

‘Kamu minta saja Maham mengantarmu.’

Aira hanya mendengus kesal mendengar jawaban ibunya itu sambil melirik kepada Maham. bagaimana dia akan meminta Maham untuk mengantarkannya? Dia baru saja menolak pria itu.

Aira memutus sambungan telfon dan mengembalikan ponsel kepada Maham. Lelaki itu meneliti wajah kesal dan kebingunan dari Aira. Satu-satunya solusi yang terlintas di fikiran Aira adalah, ia akan pulang naik taksi dan akan membayarnya di rumah nanti.

“Terimakasih.” Ujarnya kepada Maham. Lelaki itu hanya mengangguk. “Kalau begitu aku permisi.” Pamit Aira kemudian pergi keluar restoran. Ia berdiri di pinggir jalan untuk mencari taksi.

10 menit sudah berlalu dan Aira belum menemukan taksinya. Ia masih berdiri di pinggir jalan dan menunggu, sampai sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depannya. Aira memperhatikan kaca mobil yang turun sehingga ia bisa melihat Maham yang duduk di balik kemudinya.

“Masuklah. Aku akan mengantarmu,” tawar Maham.

“Tidak perlu. Aku naik taksi saja.”

“Malam-malam begini bahaya. Masuklah.” Maham setengah memaksa. Pria itu bahkan membukakan pintu mobil untuk Aira dari dalam.

Rasanya ingin terus menolak tawaran Maham. Tapi ia teringat dengan berita beberapa hari yang lalu, bahwa ada seorang perempuan yang di lecehkan oleh supir taksi. Sepertinya, menerima tawaran Maham saat ini, itu lebih baik.

“Baiklah.” Akhirnya Aira masuk juga ke dalam mobil Maham.

Maham segera melajukan mobilnya. Aira menunjukkan arah ke rumahnya. Setelah itu, mereka lebih banyak diam. Rasa canggung menyeruak memenuhi ruang mobil. Tidak ada bahan pembicaraan yang bisa mereka obrolkan.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Aira lumayan tertarik dengan Maham. Sayang sekali lelaki itu tidak benar-benar menginginkan perjodohan ini. Walau begitu, sama sekali tidak ada perasan kecewa atau sejenisnya.

“Itu rumahku.” Tunjuk Aira pada sebuah rumah berpagar putih yang ada di depan mereka. Maham kemudian menepikan mobinya di depan rumah. “Terimakasih sudah mengantarku,” ujar Aira lagi.

Maham hanya mengangguk saja tanpa menjawab. Setelah memastikan Aira turun dari mobilnya, ia lantas langsung pergi tanpa sepatah katapun kepada gadis itu.

Aira hanya memandangi mobil Maham yang perlahan menghilang dari pandangannya. Setelah menghela nafas ia lantas masuk ke halaman rumahnya. Nampak mobilnya sudah terparkir rapi di garasi yang berarti ibunya sudah ada di rumah.

Eva sedang bersantai menonton TV di ruang tamu. Ia tersenyum melihat kedatangan putrinya. Sementara Aira mendudukkan diri di samping ibunya.

“Bagaimana kencan pertamanya, Kak?” tanya Eva masih dengan mengu lum senyum.

“Tega sekali Mama meninggalanku disana sendirian?” kesal Aira.

“Maaf, sayang. Kami hanya ingin memberi kalian waktu untuk mengenal lebih dekat satu sama lain. Jadi, apa kalian bersenang-senang tadi?”

Terdengar Aira menghela nafar dalam. Kemudian memutar tubuhnya untuk menghadap sang ibu. “Ma, aku rasa, kami tidak cocok. Bolehkan kalau aku menolak perjodohan ini?” hati-hati Aira bicara.

Eva nampak terkejut sesaat. Namun ia segera tersenyum dan membelai kepala putrinya. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak menyukai Maham?”

“Nampaknya, Maham tidak mengiginkan perjodohan ini. Aku rasa, dia punya kekasih.”

Sekarang giliran Eva yang menghela nafas. “Kenapa Desi tidak mengatakan kepada Mama kalau Maham punya kekasih?” Gumamnya kemudian.

“Aku tidak yakin, tapi sepertinya ada masalah dengan mereka.”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Mama tidak memaksa. Tapi, apa kamu tertarik dengan dia?”

“Sedikit.” Aira kemudian tersenyum malu. “Ma, aku mau ke kamar dulu, ya.” Pamit Aira kemudian. Eva hanya mengangguki saja.

Aira merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah membersihkan wajahnya. Dia sedang malas untuk mandi. Karna itu dia hanya membersihkan wajahnya saja. Fikirannya menerawang tentang pertemuannya dengan Maham tadi. Dia bisa merasakan pembatas dari lelaki itu.

Di ruang tamu, Eva segera menelfon Desi begitu Aira masuk ke dalam kamarnya. Ia menanyakan status Maham yang menurut cerita Aira sudah memiliki kekasih.

‘Tidak, Va. Itu hanya masalalunya. Mereka sudah lama putus,’ jelas Desi di telfon.

“Begitukah? Maaf, Des, sepertinya putriku tidak ingin melanjutkan perjodohan ini. Karna sejak awal aku tidak ingin memaksanya, jadi sekarang aku menyetujui pilihannya.” dengan berat hati Eva memberitahu temannya itu.

‘Tidak apa-apa. Padahal aku sudah jatuh hati pada putrimu, Va. Aku benar-benar berharap kalau ini akan berhasil.’ Desi terdengar sangat kecewa.

“Mafkan aku, Des.”

‘Tidak, tidak. Mungkin mereka belum menemukan kecocokan. Bolehkan aku meminta nomor Aira? Aku ingin bicara langsung dengannya.’

“Baiklah. Nanti aku kirimkan padamu. Kalau begitu, selamat malam Des.”

‘Malam, Va.’

Sambungan telfon itu terputus tepat setelah Maham masuk ke dalam rumahnya. Desi yang baru saja menelfon Eva hanya memandang tajam kepada putra semata wayangnya itu dengan raut wajah kecewa.

“Mama dengar Aira menolakmu?” tanya Desi begitu Maham duduk di sofa. Maham hanya diam karna tidak tau harus menjawab apa.

“Sudah Mama bilang berkali-kali, Elyen itu hanya masa lalumu. Dia bahkan sudah bertunangan dengan pria lain. Dia sudah melupakanmu, Ham. Mama dan Papa berusaha mencarikanmu pendamping hidup terbaik. Gadis yang lebih baik dari Elyen dan Mama melihat itu pada diri Aira. Tapi apa? kamu malah mengecewakan kami semua. Kamu membuat Aira menolakmu. Padahal dia  gadis yang manis.” Desi mengutarakan kekecewaannya kepada putranya itu.

“Maham harus apa, Ma? Perasaan Maham tidak bisa terbuka untuk Aira.”

“Bukan tidak bisa. Tapi kamu tidak mau. Kamu tidak memberi kesempatan. Kamu tidak mau mencoba untuk membuka hatimu kepada Aira. Mau sampai kapan kamu bergantung seperti itu dengan masa lalu, Ham? Mama mohon, berhentilah berharap pada hal yang tidak pasti. Aira gadis yang baik. Dia di besarkan oleh Mamanya dengan sangat baik. Apa kamu tidak bisa melihat itu?”

“Maafkan Maham, Ma.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Maham. Ia tau ibunya sangat kecewa padanya. Tapi, untuk membuka hati yang sudah tertutup itu, rasanya sangat sulit sekali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!