Matahari sudah agak terik ketika mobil yang memboyong Aini, memasuki halaman salah satu rumah di kawasan elite. Rumah paling megah layaknya istana yang pagar rumahnya saja sangat tinggi.
Menyaksikan semua itu, Aini sudah langsung merinding. Terlebih, alasannya dibawa ke sana karena ia akan bekerja, menjadi ART atau itu pembantu. Aini takut, di rumah bak istana dan pastinya dihiasi banyak barang mewah sekaligus mahal itu, ia justru melakukan kesalahan. Hingga bukannya mendapat gaji untuk membayar segudang hutangnya di kampung dan menjadi alasannya nekat mengadu nasib di Jakarta, ia justru harus merelakan gajinya dipotong untuk membayar ganti rugi.
“Pantas penawaran gaji di sini tinggi. Sebanding dengan keadaan yang harus dijalani. Ya sudah bismillah, semoga berkah, betah, dan orang-orangnya juga baik atau minimal manusiawi. Banyak kan, kasus majikan yang semena-mena ke ART hanya karena mereka merasa sudah bayar,” batin Aini yang membulatkan tekadnya untuk tetap semangat bekerja di sana.
“Mbak Aeni, tolong diingat, ya. Di rumah yang akan menjadi tempat kerja Mbak, ada pak Helios dan ibu Chole. Itu nama bos besar. Pak Helios dan ibu Chole punya 5 anak, dan dua di antaranya kembar. Anak pertama itu laki-laki, namanya Kim. Biasa dipanggil mas Kim, dan statusnya sudah menikah. Nama istri mas Kim itu Ryuna. Pokoknya di sini manggil ke anak-anak, yang ke laki-laki Mas, yang ke perempuan mbak. Karena memang, Pak Helios asli orang Jawa dan sudah dibiasakan panggil begitu.” Setelah menjelaskan panjang lebar, pak Santoso selaku sopir yang membawa Aini, menyerahkan sebuah buku agenda dan dibilang pria paruh baya itu wajib Aini hafal.
Bersama pak Santoso, Aini yang sudah turun dari mobil, melewati jalan aspal yang kanan kiri merupakan hamparan rumput hijau, dan sekitar pagar rumah merupakan taman. Itu benar-benar keadaan depan rumah mewah tempat Aini akan bekerja. Halamannya luas dan ada setengah bagian dari lapangan golf pada kebanyakan.
Keadaan di sana membuat Aini seperti sedang di taman kerajaan royal yang juga sangat terawat. Semua tumbuhan termasuk rumputnya benar-benar terawat. Meski hanya mengawasi sekilas dengan tatapan takjub, kedua mata Aini tak menemukan satu pun rumput liar meski baru sekadar bibit.
“Yang perlu dan paling diperhatikan itu mas Brandon yah, Mbak. Dari semuanya, Mas Brandon terkenal paling dingin. Beliau sangat irit bicara dan tidak akan pernah mengulang ucapannya. Beberapa pekerja sudah mas Brandon pecat hanya karena mereka tidak mendengar ucapan Mas Brandon ....” Pak Santoso masih sibuk menjelaskan, tapi Aini mendadak tidak bisa fokus hanya karena nama yang tengah pria itu bahas.
“Brandon ...? Dingin, irit bicara?” batin Aini langasung jadi menerka.
Aini yang awalnya sudah tak lagi merinding, jadi mendadak kembali merinding hanya karena sosok yang tengah mereka bahas. Karena bersamaan dengan itu, di ingatan Aini langsung dihiasi sosok pemuda sangat tampan berekspresi dingin. Pemuda sangat tampan yang baru akan tersenyum dan itu sangat sedikit, jika Aini memaksa sambil merengek manja.
Untuk sejenak, Aini yang teringat sosok Brandon dalam hidupnya, refleks tersenyum. Senyum yang langsung usai hanya karena tatapannya yang menatap ke depan, tak sengaja mendapati sosok pria sangat tampan mirip patung hidup, dan itu sangat mirip dengan Brandon kekasihnya. Kini, di depan sana, sosok tersebut masih menuruni anak tangga.
Detik itu juga dunia Aini mendadak berputar lebih lambat. Dunia Aini hanya tertuju kepada sosok yang mendadak menjelma menjadi nyata, padahal biasanya, sosok tersebut dan amat sangat ia rindu kehadirannya, hanya bisa muncul di benaknya.
“Masa iya itu beneran mas Brandonku?” batin Aini seiring kesedihan sekaligus kerinduannya yang membuncah. Bukan hanya hatinya yang mendadak teriris, tapi juga air matanya yang sibuk berjatuhan. Terlebih ketika akhirnya tatapan mereka bertemu, layaknya dirinya, pria tampan di tengah anak tangga sana dan akan turun ke jalan aspal keberadaan Aini, juga menghentikan langkah.
Aini dan si pria yang kiranya berusia dua puluh tujuh tahun itu terus bertatapan. Tatapan tak percaya yang juga diliputi banyak kesedihan. Terlebih baik di ingatan Aini maupun si pria tampan yang memang Brandon, mendadak dihiasi adegan masa lalu mereka.
“Kamu pacaran sama anak pesantren yang bibit, bebet, dan bobotnya saja tidak jelas seperti dia? Mau jadi apa kamu? Mau makan apa? Dikiranya cinta dan wajah tampan bisa bikin kenyang!” ucap pak Safar, selaku bapak dari Aini.
Iya, Brandon masih sangat ingat itu. Alasan yang juga membuatnya berlinang air mata, seiring langkah kakinya yang berangsur mendekati Aini. Langkah pelan nan berat seiring tatapannya kepada wanita berhijab moka itu, yang cenderung dipenuhi rasa tidak percaya.
Delapan tahun lalu, Brandon yang kala itu masih berusia sembilan belas tahun, memang sengaja menyembunyikan jati dirinya sebagai tuan muda kaya raya yang juga merupakan anak dari pemilik pesantren dirinya bernaung, di sebuah desa kecil. Namun, keputusannya menyamar menjadi orang biasa, membuat cintanya kepada Aini sang kembang desa, kandas terhalang restu dari pak Safar. Karena demi menjauhkannya dari Brandon juga, pak Safar hendak menikahkan Aini dengan anak juragan tanah setempat.
Pak Safar tak sedikit pun memberi Brandon kesempatan. Yang pria itu berikan hanyalah caci—maki. Bahkan pak Safar tak segan menyeret sekaligus memukuli Aini yang kala itu nekat membela Brandon. Hingga Brandon yang tak mau merusak hubungan Aini dan sang bapak, sengaja pamit dengan baik-baik. Kala itu, Brandon berjanji akan membawa orang tuanya ke sana untuk melamar Aini dengan baik-baik. Namun, pak Safar tetap menolak dan tak segan mengusir Brandon.
“Saya didik anak saya susah payah, bukan buat diserahkan ke orang yang bibit, bebet, dan bobotnya saja tidak jelas seperti kamu! Saya punya anak tidak untuk dijadikan orang susah! Jangan pernah datang lagi karena Aini sudah dilamar oleh anak juragan tanah! Dalam waktu dekat, Aini benar-benar akan menikah!” marah pak Safar kala itu sebelum akhirnya buru-buru menutup pintu dengan kasar, agar Brandon yang ia usir, tak bisa masuk ke rumahnya lagi apalagi sampai bertemu Aini.
Seolah takdir tak menginginkan mereka bersama, kabar kecelakaan keluarganya di Jakarta kala itu membuat Brandon kembali ke Jakarta tanpa sempat pamit kepada Aini. Yang Brandon tahu, Aini sudah menikah, hingga akhirnya Brandon juga menyerah dan mau-mau saja dijodohkan dengan seorang perempuan cantik dari kerabat orang tuanya. Namun kini, di hadapannya, Aini justru mendadak hadir sebagai pembantu baru di rumahnya.
“Mas Brandon, ini Mbak Aini, pembantu baru yang nantinya akan bantu-bantu di rumah Mas Brandon, setelah Mas Brandon dan non Tera, menikah. Ibu Chole menyiapkan pembantu secara khusus biar nanti langsung bisa bantu-bantu Mas,” jelas pak Santoso sangat santun, meski kenyataan Brandon dan Aini yang sama-sama menangis sekaligus sudah sampai berhadapan, membuatnya sangat bingung.
“Ini si Aini ngapain malah nangis, sih?” batin pak Santoso yang kemudian meraih sebelah tangan Aini, setelah sebelumnya, ia juga meraih buku agenda maupun ransel Aini yang wanita itu jatuhkan begitu saja.
“Beliau Mas Brandon, bos kita! Nunduk, jangan menatap begitu. Enggak sopan!” bisik pak Santoso yang menarik Aini untuk mundur sekaligus minggir, menjaga jarak dari Brandon dan sebisa mungkin bersikap sangat santun.
“Dulu pacar, tapi sekarang malah jadi pembantu, dan mas Brandon, mau menikah?” pikir Aini yang sudah langsung menunduk takut. Selain itu, ia juga segera menyeka air matanya menggunakan ujung jilbabnya.
Aini terus menunduk patuh, membiarkan kedua telinganya mendengar panggilan sayang dari seorang wanita yang tengah menuruni anak tangga di lantai atas sana, kepada Brandon. Pak Santoso mengabarkan bahwa itu Tera atau Lentera. Wanita cantik yang akan menjadi istri Brandon.
💗 Merupakan novel anak-anak dari novel : Mempelai Pengganti Ketua Mafia Buta yang Kejam 💗
“Sayang, tungguin. Ini tadi mamah kamu siapin bekal khusus buat kita makan siang,” ucap Lentera benar-benar manis.
Dari suaranya saja, wanita yang terus memanggil manja Brandon, terkesan sangat cantik. Keadaan tersebut sudah langsung membuat Aini merasa hin*a. Hati Aini makin teriris, terlebih jika Aini teringat keadaannya yang sekarang.
Aini yang sekarang bukanlah Aini yang dulu dan sempat digadang-gadang sebagai kembang desa. Aini yang sekarang tak lagi memiliki kulit bersih yang lembut. Kulit Aini sudah jadi hitam dan kusam akibat kesibukannya bekerja di sawah. Selain wajah Aini yang otomatis menjadi tampak jauh lebih tua karena perubahan drastis kulitnya.
“S-sayang, kamu kenapa sih?”
Suara lembut Lentera masih menjadi satu-satunya suara manusia di kebersamaan mereka. Melalui lirikannya, Aini mendapati sebelah lengan Brandon yang tampak jauh lebih kekar dari terakhir kali mereka bertemu. Terlepas dari kenyataan itu, Aini juga tidak beda dengan Lentera. Karena dalam diamnya, Aini juga bertanya-tanya, kenapa Brandon masih ada di sana? Kenapa Brandon terus saja menghadap pada Aini. Namun ketika Aini memberanikan diri untuk memastikan, ternyata Brandon tengah menatapnya dengan tatapan sangat tajam penuh kebencian. Rahang tegas pria itu jadi terlihat jauh lebih tegang.
Jika sudah seperti sekarang ini, tampang Brandon benar-benar menyeramkan. “Apa maksudmu hadir di saat aku sudah mulai bisa menata kehidupanku? Apa maksudmu, tiba-tiba datang, ketika aku sudah mulai terbiasa tanpa kamu?” batin Brandon yang tentu saja ia tujukan kepada Aini. Meski detik berikutnya, ia yang masih menatap sengit Aini justru berkata. “Sebentar, aku sedang melihat pembantu baru untuk kita. Dia yang nantinya akan membantu kita di rumah baru kita!” Tak lupa, ia juga sengaja balas mendekap tangan Lentera yang sudah mendekapnya. Ia sengaja melakukannya untuk balas dendam kepada Aini yang memilih mencampakkannya tanpa mau berjuang sebentar saja.
“Ya Allah, ... orang ini memang Mas Brandon. Orang yang benar-benar masih sama, tapi hati dan cara pikirnya berbeda,” batin Aini refleks makin menunduk sedih. Dadanya bergemuruh sekaligus pegal menahan kesedihan yang bertubi-tubi ia dapatkan, termasuk itu dari Brandon.
“Kamu becus kerja, enggak? Kalau memang enggak becus kerja, mending enggak usah kerja di sini!” tegas Brandon lagi.
“S-sayang, ih ... jangan kasar-kasar gitu. Baru juga datang, nanti yang ada Mbaknya takut. Sekarang, cari Mbak itu susah banget loh,” tegur Lentera dengan suara masih lembut. Terlebih, ia memergoki Aini sudah langsung berlinang air mata meski posisinya, wanita berkerudung kusam itu terus menunduk dalam.
“S—saya benar-benar niat bekerja, TUAN! SAYA AKAN BEKERJA SEBAIK MUNGKIN!” ucap Aini dengan suara lirih karena sebagian ucapannya tertahan di tenggorokan akibat kesedihan yang susah payah ia tahan. Selain itu, kenyataan Brandon yang tampak begitu dendam bahkan jij*ik kepadanya juga membuatnya memutuskan memanggil pria yang pernah menjadi pacarnya di masa lalu itu, “Tuan”.
“Pak Santoso, tolong catat. Jika dia sampai melakukan kesalahan apalagi malas-malasan, potong saja gajinya atua malah langsung antar saja ke yayasannya agar yayasannya bisa mendidik dia!” lanjut Brandon masih sangat kejam.
“S-siap, Mas!” sanggup pak Santoso yang juga sudah langsung ketakutan. “Aneh, enggak biasanya mas Brandon seganas ini. Tadi, tiba-tiba nangis, nah sekarang kayak enggak suka banget ke Aini. Ini memang ada sesuatu, atau memang Aini yang lagi apes saja?” batin pak Santoso sudah langsung menggandeng paksa Aini untuk pergi dari sana sebelum kembali mendapat siraman rohani dari Brandon. Siraman rohani yang bukannya menyejukkan hati, tapi malah menyakiti.
Namun, pak Santoso juga tak bisa berbuat banyak karena statusnya di sana pun hanya pekerja. Jadi, andai Brandon memang tidak suka kepada Aini, mau tidak mau ia memang harus mengembalikannya kembali ke yayasan. Bahkan meski kini, mencari ART sangat susah layaknya yang Lentera katalan. Daripada Brandon terus marah-marah, dan yang merasakan dampaknya bukan hanya Aini, tapi juga pak Santoso bahkan lebih.
“S-sayang, tadi kamu sudah sangat keterlaluan. Si mbak barunya sampai nangis!” tegur Lentera masih dengan suara lembut. Namun selain tidak menggubrisnya, Brandon juga mendadak menyingkirkan dekapan tangannya dengan kasar.
“Baru juga jadi lembut, mau digandeng bahkan balas gandeng, ... eh cueknya kumat lagi!” batin Lentera yang buru-buru lari menyusul Brandon.
Brandon melangkah sangat cepat meninggalkan Lentera. Tetap begitu dan tak segan masuk mobil dulu meski Lentera sibuk merengek.
“Kenapa dia jadi kurus tak terawat seperti itu? Kenapa dia mendadak jadi pembantu? Suaminya yang anak juragan tanah, sudah enggak bisa kasih dia nafkah, apa bagaimana?” pikir Brandon yang dikejutkan oleh kehadiran Lentera. Calon istrinya yang cantik jelita buru-buru meringkuk di pangkuannya.
“Ya ampun Sayang, capek banget. Kamu jalannya lebih cepat dari kuda yang lari!” rengek Lentera sambil menyibak rambut panjangnya yang tergerai.
Di tempat berbeda, Aini yang akhirnya sampai teras depan pintu masuk, segera melepas sandalnya. Ia mengikuti semua arahan pak Santoso.
Rumah orang tua Brandon benar-benar besar sekaligus mewah. Nuansa dingin sudah langsung menyapa Aini akibat lantai dan sebagian dinding di sana yang berbahan marmer. Semuanya serba bersih termasuk lantai dan dindingnya yang tampak sangat mengkilap. Tak sengaja melihat pantulan dirinya di dinding, Aini jadi melihat penampilannya yang jauh dari cantik. Aini sampai tidak betah melihat penampilannya sendiri.
Kini, setelah mengetahui sebagian besar kehidupan asli seorang Brandon, Aini menjadi bertanya-tanya. Kenapa saat dulu bersamanya, Brandon mengaku berasal dari keluarga tidak mampu, dan sekadar untuk menyambung hidup di pesantren, saat itu Brandon bekerja di bengkel tak jauh dari pesantren?
“Bisa jadi karena memang mas Brandon enggak serius. Buktinya tadi, ... tadi dia begitu keji. Apalagi sekarang, aku memang pembantunya! Iya ... Kisah kami memang sudah usai. Hubungan kami tak lebih dari majikan dan pembantu! Jadi, mulai sekarang juga, sudah enggak usah berharap apalagi berjuang. Bersikaplah layaknya orang yang tidak saling kenal, Ni!” batin Aini lagi, yang lagi-lagi sibuk menyeka air matanya. Karena selain perlakuan Brandon juga kenyataan mereka yang sangat menyakitinya, di tempat kerja barunya, dan itu rumah orang tua Brandon, Aini mewajibkan dirinya untuk bekerja.
“Aku butuh banyak uang buat bayar hutang. Jangan sampai aku melakukan kesalahan dan bikin aku harus membayar ganti rugi seperti yang mas Brandon tegaskan!” batin Aini lagi yang sudah langsung sibuk mengawasi suasana sekitar. Bukan perkara keadaan rumah yang benar-benar mewah dan beberapa dinding dihiasi foto keluarga berukuran besar. Melainkan, Aini tengah mengingat setiap ruangan yang tengah pak Santoso jelaskan. Aini tidak mau hadirnya di sana malah sibuk membuatnya membayar ganti rugi.
Ketika akhirnya Aini dan pak Santoso sampai di dapur, di sana ada pemandangan mencolok yang juga sudah langsung membuat jantung Aini berdegup lebih kencang.
Wanita bercadar warna pink salem di sana, dikata pak Santoso sebagai ibu Chole. Yang dengan kata lain, beliau adalah nyonya besar selaku ibu dari Brandon.
“Wah ... assalamualaikum? Namanya siapa?” ucap ibu Chole ramah bahkan manis, tak lama setelah pak Santoso mengenalkan Aini sebagai ART baru di sana.
“Sebentar-sebentar. Ibu cuci tangan dulu, ya. Habis masak sama bumbui ayam buat besok, diungkep dulu, jadi koto*r gini.”
Sikap ramah yang benar-benar hangat dari ibu Chole, membuat Aini sulit untuk percaya. Aini tak hanya menjadi merinding. Sebab ia juga sampai lemas, tak lama setelah pelukan hangat ibu Chole menyapa tubuhnya. Ibu Chole tetap memeluk Aini meski Aini berdalih kot*or sekaligus bau.
“Kot*or, bau, kata siapa? Enggak boleh gitu. Karena jika kamu di sini, berarti kita keluarga. Di sini, Ibu yang dituakan berarti ibarat ibu kamu juga meski Ibu bukan ibu yang melahirkan kamu. Sementara anak-anak ibu yang lebih dewasa maupun muda, itu juga ibarat saudara kamu. Termasuk semua yang kerja di sini, kita semua keluarga, ya?” lembut ibu Chole sembari menggenggam hangat kedua tangan kasar sekaligus kering milik Aini yang ia dapati perlahan berkeringat. Selain itu, kenyataan tangan Aini yang menjadi dingin, juga ia yakini karena ART baru di kediamannya itu terlalu tegang bahkan takut.
Kenyataan kini benar-benar membuat Aini tertamp*ar dengan apa yang sudah sang bapak lakukan kepada Brandon. Karena setelah sempat diusir mentah-mentah setelah Aini mengenalkan Brandon sebagai pacarnya, di kedatangan hari selanjutnya, sang bapak nekat mengguyur Brandon dengan air selokan perkampungan yang warnanya saja hitam pekat. Namun kini, Aini yang bahkan merasa bau pada dirinya sendiri, Aini yang jauh dari kata cantik atau setidaknya menarik, diperlakukan layaknya anak.
Padahal, keluarga Aini bukan keluarga mampu. Aini terlahir di keluarga yang terbilang mis*kin. Alasan Aini berakhir mondok pun lantaran Aini tak punya biaya untuk melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Sementara di pondok pesantren Aini mondok dan ternyata milik keluarga Brandon karena biaya di sana tergolong murah.
“S-saya benar-benar minta maaf, yah, Bu! Pokoknya maaf banget!” ucap Aini menangis tersedu-sedu karena masa lalu yang pernah membuat Brandon diperlakukan semena-mena oleh pak Safar.
Kenyataan Aini yang sampai menjadi berlutut, langsung membuat ibu Chole bingung. “Loh, kok kamu malah minta maaf, Ni? Memangnya kamu salah apa?”
Setelah pertemuan haru di sana, antara orang benar-benar kaya yaitu ibu Chole selaku wanita yang telah melahirkan Brandon, dengan orang misk*in yang sedang terlilit banyak hutang dan itu Aini, Aini dipersilahkan untuk membersihkan diri sekaligus istirahat.
Kamar Aini dan para ART lainnya ada di ruang belakang setelah dapur bersih milik keluarga Brandon. Kendati demikian, fasilitas untuk para ART terbilang mewah. Tak hanya ada kamar yang sampai ber—AC. Karena di depan sekaligus pinggir kamar juga ada taman lengkap dengan meja dan tempat duduk untuk bersantai.
Ibaratnya, fasilitas untuk ART di sana, setara dengan keadaan rumah orang paling kaya di desa Aini tinggal. “Di rumah Jaka saja enggak semewah ini,” batin Aini sudah langsung disambut hangat oleh para ART di sana yang jumlahnya ada dua belas orang dengan Aini. Kebetulan, Aini datang bertepatan dengan waktu istirahat sekaligus makan siang. Sementara sosok Jaka yang dimaksud ialah anak dari juragan tanah di desanya, dan dulu sempat akan menikahinya.
“Ini namanya ... janda, janda, janda, janda, dua bulan lagi mau nikah, ini ... ini baru calon janda ...,” jelas Santy yang paling heboh.
Awalnya, Aini tidak percaya ucapan Santy dan Aini pikir hanya bergurau. Namun ternyata, Santy tidak bohong. Mereka yang ada di sana kebanyakan menjadi janda di usia muda karena menjalani pernikahan dini. Yang mana, kebanyakan dari mereka menjadi janda karena korban perselingkuhan sekaligus mertua dakjal. Anak dari Farida yang kiranya berusia tiga tahun lebih muda dari Aini sampai ditahan oleh mertuanya.
“Terus, kamu sudah nikah apa belum, Ni? Apa mau nikah?” ucap Farida yang memang paling pendiam dari semuanya. Namun tampaknya, setelah Aini di sana, Aini akan menjadi sosok paling pendiam.
Aini refleks mesem sambil menggeleng. “Jadi tulang punggung bikin aku lupa buat nikah. Malahan, pekerjaan ibarat suami. Soalnya tanpa kerja, aku beneran enggak dapat nafkah! Oh iya, selain kerja di sini, aku juga kerja secara online. Jadi kalau aku sibuk pegang hape, asal bukan di jam kerja dan kerjaanku maupun kalian sudah beres, oke, kan?”
Balasan Aini langsung disambut hangat oleh semuanya khususnya oleh Santy. Namun mereka kompak, kerja di sana sangat berkah karena bos mereka sering memberi hadiah. Baik berupa makanan maupun barang. Malahan bagi yang sudah bekerja lebih dari lima tahun, akan diajari untuk membeli rumah KPR. Jika yang mau. Namun delapan dari mereka sudah sama-sama memiliki rumah KPR dan sampai sekarang masih jalan setoran. Sisanya termasuk Aini belum punya karena memang belum bekerja ada lima tahun.
“Orang tua mas Brandon beneran berhati malaikat. Mereka enggak hanya berbagi, tapi juga berusaha mengangkat derajat pekerja mereka. Agar pekerja yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka mendapatkan kehidupan lebih layak. Namun, kenapa mas Brandon jadi bengis begitu? Bukankah harusnya dia bahagia, punya keluarga sebaik malaikat, calon istri pun secantik bidadari dan tampaknya, ... bibit, bebet, maupun bobotnya juga setara dengan mas Brandon?” pikir Aini yang benar-benar tidak berniat mengganggu Brandon lagi.
Aini sudah memulai untuk berdamai dengan kenyataan. Aini tak akan pernah berharap kepada Brandon lagi, meski alasannya bisa terlilit hutang karena ia memperjuangkan cintanya kepada Brandon. Ia menolak lamaran Jaka berulang kali, demi seorang Brandon yang kini justru sudah punya calon istri dan itu bukan dirinya.
“Ni, ... yok nyicil susun souvenir pernikahan mas Brandon dan non Tera,” ajak Santy yang didaulat tidur sek*amar dengan Aini.
Intinya karena Santy tipikal orang rame sekaligus kelewat ceria, setiap ada ART baru pasti tidurnya satu kamar dengan Santy agar orang baru itu lebih cepat merasa nyaman.
Aini tidak tahu, kenapa hatinya mendadak teriris, sementara kedua matanya menjadi menghangat sekaligus basah, hanya karena ia diajak untuk menyusun souvenir pernikahan Brandon dan Tera.
“Ayo, Mbak!” Lembut Aini sambil mengangguk-angguk sambil melepas mukenanya. Senyum lembut juga ia berikan kepada Santy yang sungguh jadi sumber kebahagiaannya di sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!