Senja menggantung di langit kota kecil itu, jingga memudar perlahan seperti lukisan yang kehilangan warnanya. Di beranda rumah kayu yang catnya mulai retak-retak, seorang gadis duduk sambil memeluk buku catatan lusuh. Namanya Putri Ayunda.
Sejak kecil, Putri terbiasa menyembunyikan rasa. Ia tidak pandai menangis di depan orang lain, tidak pandai meminta perhatian. Maka, setiap rasa sakit, setiap rindu, dan setiap doa yang tak pernah terkabul, ia titipkan pada puisi.
Tangannya bergerak pelan menulis di halaman kosong:
“Jika kata adalah pelarian, maka aku sudah melarikan diri ribuan kali.
Jika bait adalah rumah, maka puisi adalah hatiku yang tersisa.”
Ia menuliskan kalimat itu dengan jari yang bergetar, seolah takut huruf-huruf itu akan pecah di udara.
Di dalam rumah, suara pintu kayu berderit. Pak Rahman, ayahnya, baru pulang mengajar. Tubuhnya masih tegap meski usia mulai menua, wajahnya keras seperti batu, dan senyumnya sudah lama terkubur bersama kepergian istrinya.
“Masih menulis lagi?” suaranya berat, terdengar lebih seperti teguran daripada sapaan.
Putri buru-buru menutup bukunya. Ia tahu, bagi ayahnya, puisi hanyalah hal sia-sia. Sejak Bu Sinta meninggal, tak ada lagi ruang untuk kelembutan di rumah itu. Hanya ada aturan, sunyi, dan dingin.
“Belajar yang benar, jangan terus berkhayal,” ujar Pak Rahman singkat, lalu masuk ke kamar tanpa menoleh lagi.
Putri menggigit bibirnya. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di tenggorokan. Ia hanya menunduk, merasakan dadanya sesak. Sore itu, sekali lagi, hanya puisilah yang mau mendengar suaranya.
⸻
Di sisi lain kota, di sebuah kafe kecil dekat kampus, seorang pemuda tengah menekuni majalah sastra yang baru terbit. Namanya Arka Prasetya.
Ia berhenti pada sebuah halaman, matanya berbinar. Ada nama pena yang sudah lama ia kenali: P.A.—singkatan dari Putri Ayunda.
Arka tersenyum kecil sambil membaca bait itu berulang kali. Ada sesuatu dalam puisi Putri yang tak pernah ia temukan di tulisan lain. Kata-kata gadis itu tidak hanya indah, tapi juga menyimpan luka yang dalam, seolah setiap huruf adalah darah yang menetes dari hati.
“Siapa pun dia… dia pasti gadis yang penuh rahasia,” gumam Arka sambil menyesap kopinya yang masih panas.
⸻
Keesokan harinya, kampus dipenuhi keramaian. Festival Sastra Nasional akan segera digelar. Spanduk warna-warni bergantung di gerbang, mahasiswa lalu-lalang membawa brosur, dan aroma hujan semalam masih menempel di udara.
Putri datang dengan langkah pelan, wajahnya tenang tapi hatinya selalu bergejolak. Di tangannya ada selembar puisi yang akan ditempel di papan pengumuman lomba. Ia berdiri agak gemetar, berharap tak ada yang terlalu memperhatikan.
Namun, takdir punya caranya sendiri.
Saat Putri menempelkan kertas itu, seseorang berdiri di sampingnya. Arka.
“Indah sekali,” ucap pemuda itu pelan, nyaris seperti bisikan.
Putri tersentak, menoleh. Matanya bertemu dengan tatapan hangat yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Biasanya, orang hanya melirik karyanya sekilas lalu pergi. Tapi Arka menatapnya seolah setiap kata itu berarti.
“Terima kasih,” jawab Putri singkat, menunduk agar wajahnya tak terlalu terlihat.
Arka tersenyum ramah. “Kamu… P.A., kan? Penulis puisi yang di majalah itu?”
Darah Putri berdesir. Ia tak pernah suka saat identitasnya ditebak, karena baginya menulis adalah dunia rahasia. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu di mata Arka yang membuatnya tidak ingin berbohong.
“Hanya orang iseng yang menulis,” ucap Putri, mencoba merendah.
Arka tertawa kecil. “Kalau itu iseng, aku harap semua orang bisa iseng sepertimu.”
⸻
Hari-hari berikutnya, Arka selalu menemukan cara untuk mendekati Putri. Ia bertanya tentang buku, membicarakan penulis favorit, bahkan sekadar menyapa ketika bertemu di lorong kampus. Putri, yang biasanya menghindari keramaian, untuk pertama kalinya merasa tidak keberatan ditemani seseorang.
Namun, bayangan lain mulai muncul. Celine Maharani, sahabat Putri sejak kecil, mulai memperhatikan kedekatan mereka. Senyum Celine tetap hangat, tetapi matanya menyimpan sesuatu.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman kampus, Celine menatap Putri dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Put, aku mau jujur. Kamu jangan salah paham,” katanya pelan.
Putri menoleh, heran. “Tentang apa?”
Celine menarik napas panjang. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya kalimat itu keluar:
“Arka… aku suka dia sejak lama.”
Malam itu, Putri tak bisa tidur.
Kata-kata Celine masih bergema di kepalanya: “Arka… aku suka dia sejak lama.”
Kamar kecilnya yang dindingnya mulai pudar terasa semakin sesak. Di meja belajarnya, buku catatan puisi terbuka, menunggu disentuh. Putri mengambil pena, mencoba melarikan diri ke dunia kata-kata, tapi bahkan puisinya terasa hampa.
“Apa arti kata kalau hatiku tak lagi bisa jujur?
Apa arti sahabat jika aku harus mengorbankan diriku?
Apa arti cinta, jika harus menyakitkan sejak awal?”
Ia menulis dengan tangan bergetar, matanya panas menahan tangis.
Di luar, terdengar suara ayahnya batuk keras. Pak Rahman baru saja selesai membaca kitab usang di ruang tamu. Ia selalu duduk sendirian malam-malam, seperti orang yang sedang menunggu sesuatu yang tak akan pernah kembali.
“Putri, sudah tidur?” tanyanya dari luar kamar, suaranya berat tapi tidak penuh kasih.
Putri buru-buru menutup bukunya. “Sudah, Yah.”
Hening sejenak. Lalu suara ayahnya berkata pelan, tapi tajam, “Jangan lupa, hidup ini bukan tentang menulis. Kau harus jadi orang nyata, bukan penyair melamun.”
Putri memejamkan mata. Kalimat itu menancap lebih tajam daripada pisau. Seakan semua yang ia cintai, semua yang membuatnya bertahan, dianggap tidak ada artinya.
⸻
Keesokan harinya, Putri berangkat ke kampus dengan langkah berat. Celine sudah menunggunya di gerbang, tersenyum cerah seperti biasa, seolah tidak ada apa-apa yang diucapkan kemarin.
“Put, nanti sore ikut rapat panitia festival, kan?” tanya Celine riang.
Putri mengangguk, meski hatinya penuh ragu. Ia ingin menanyakan banyak hal—kenapa Celine memilih waktu itu untuk mengaku, kenapa tiba-tiba bicara tentang Arka—tapi lidahnya kelu.
Di tengah percakapan itu, tiba-tiba Arka muncul. Ia membawa setumpuk kertas, terlihat sibuk tapi tetap menyapa dengan senyum ramah.
“Pagi, Putri. Pagi, Celine,” ucapnya.
Senyum Celine melebar, menyahut cepat. “Pagi juga, Arka.”
Putri hanya mengangguk kecil. Ada rasa canggung yang mengikatnya, seolah ia sedang mencuri sesuatu yang bukan miliknya.
Arka menoleh ke arah Putri, matanya teduh. “Aku semalam baca lagi puisimu. Tentang ‘rumah yang hilang’. Itu… luar biasa.”
Celine menatap keduanya, matanya berubah sekejap sebelum kembali menampilkan senyum. Hanya Putri yang sempat menangkap perubahan itu.
“Terima kasih,” jawab Putri pelan, sambil menunduk.
⸻
Sore hari, rapat panitia berlangsung di aula kampus. Suasana riuh, semua orang sibuk membicarakan dekorasi, tata panggung, hingga daftar acara. Putri duduk agak menyendiri, sibuk dengan catatan.
Arka datang menghampiri, duduk di sampingnya. “Putri, aku ada ide. Bagaimana kalau puisimu dibacakan langsung oleh penulisnya saat pembukaan? Itu pasti berkesan sekali.”
Putri kaget, matanya melebar. “Tidak mungkin. Aku… aku tidak bisa.”
“Kenapa?” tanya Arka heran.
Putri menunduk. “Karena puisiku bukan untuk didengar orang banyak. Itu… rahasiaku.”
Arka terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kadang, rahasia yang dibagi justru bisa menyembuhkan.”
Ucapan itu membuat dada Putri bergetar. Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya, tatapannya bertemu lama dengan mata Arka. Ada kehangatan yang nyaris membuatnya lupa bernapas.
Namun, momen itu runtuh saat Celine datang membawa map berisi dokumen. Ia melihat keduanya, lalu meletakkan map di meja dengan sedikit keras.
“Put, jangan dipaksa kalau nggak mau,” ucap Celine, nada suaranya terdengar biasa, tapi ada ketegangan di baliknya.
Arka menoleh ke Celine, tersenyum sopan. “Aku hanya memberi saran.”
“Ya, aku tahu,” jawab Celine cepat, matanya tak lepas dari Putri.
Putri merasakan ada sesuatu yang mulai berubah. Sahabat yang biasanya menjadi sandaran kini seolah menjelma menjadi bayangan gelap yang mengintai setiap langkahnya.
⸻
Malamnya, di kamar, Putri kembali menulis. Kali ini baitnya lebih getir:
“Sahabatku tersayang,
haruskah kita berbagi rasa yang sama?
Jika cinta adalah pisau,
maka akulah yang akan terluka duluan.”
Air matanya jatuh ke atas halaman, membuat tinta meluber. Untuk pertama kalinya, Putri merasa puisi tak cukup kuat untuk menahan badai yang akan datang.
Hari-hari di kampus berjalan seperti biasa: mahasiswa berlarian dengan buku, dosen tergesa-gesa masuk kelas, dan suara pengumuman festival sastra memenuhi lorong. Namun bagi Putri, dunia tidak lagi terasa sama.
Setiap kali Celine menggandeng lengannya, Putri merasa berat. Ia tersenyum, ia tertawa, ia berusaha menjaga keakraban, tapi ada jurang yang perlahan menggali dirinya. Kata-kata Celine tentang Arka masih menggantung di udara, tak bisa lenyap meski mereka berusaha berlagak normal.
Sore itu, mereka duduk bersama di kantin. Celine tampak riang, bercerita tentang dekorasi festival, tentang gaun yang ingin ia kenakan saat malam puncak, bahkan tentang masa depan. Tapi Putri hanya mendengar setengah hati. Pikirannya terjebak pada satu hal: Arka.
“Put, kamu dengar nggak sih aku ngomong?” tegur Celine sambil tertawa kecil.
Putri tersadar, memaksakan senyum. “Maaf, aku kepikiran tugas kuliah.”
Celine menghela napas. “Aku ngerti kamu sibuk, tapi festival ini penting buat kita. Lagian…” ia menatap Putri dengan sorot mata berbeda, “…aku pengen Arka lihat aku di atas panggung. Mungkin itu bisa jadi awal sesuatu.”
Putri tercekat. Senyum di wajahnya runtuh seketika. Ia ingin mengatakan bahwa Arka selalu memandang puisinya, bukan gaun atau penampilan. Tapi bibirnya kelu. Ia hanya mengaduk-aduk jus jeruknya yang sudah hambar.
⸻
Malam itu, Putri membuka kotak kayu kecil di bawah tempat tidurnya. Di dalamnya ada foto lama: dirinya kecil bersama Bu Sinta, ibunya. Wajah ibunya teduh, matanya lembut, senyumnya hangat.
“Bu, kenapa harus pergi cepat sekali?” bisiknya lirih.
Sejak ibunya meninggal, dunia Putri berubah. Ayahnya, Pak Rahman, yang dulu hangat, menjadi dingin. Ia tak lagi tahu cara bicara lembut. Ia tak lagi memberi pelukan. Putri tumbuh dengan keheningan, mencari tempat lain untuk berlindung—dan menemukannya pada puisi.
Sambil memegang foto itu, Putri menulis lagi:
“Ibu,
andai kau masih ada,
aku tak perlu berpura-pura kuat di depan sahabatku.
Aku tak perlu menahan cinta yang datang tiba-tiba.
Aku tak perlu merasa bersalah hanya karena ingin bahagia.”
Air matanya menetes, membasahi kertas.
⸻
Keesokan harinya, latihan untuk festival berlangsung di aula. Putri duduk di bangku deretan belakang, mencatat beberapa hal. Dari kejauhan, ia melihat Celine sedang mencoba berdiri di atas panggung, berbicara dengan suara lantang. Semua orang memuji ekspresinya yang percaya diri.
Arka, yang duduk di samping Putri, berbisik pelan, “Dia memang berbakat bicara di depan orang banyak.”
Putri hanya mengangguk, menatap kosong.
Tiba-tiba, Arka menoleh ke Putri. “Tapi aku lebih penasaran kalau kamu yang membaca puisi. Kata-katamu… harusnya didengar langsung dari suaramu sendiri.”
Jantung Putri berdebar kencang. Ia menoleh, ingin menolak lagi, tapi tatapan Arka membuatnya tak bisa berkata-kata. Ada sesuatu di sana—ketulusan, rasa ingin tahu, dan mungkin… cinta.
Namun sebelum ia sempat menjawab, Celine turun dari panggung dan menghampiri mereka. Senyumnya lebar, tapi matanya sekejap melirik Putri dengan tajam.
“Aku lihat kalian serius banget ngobrol. Tentang apa?” tanyanya ringan, tapi nadanya menyimpan sesuatu.
“Puisi Putri,” jawab Arka jujur. “Aku bilang dia harus coba tampil di panggung.”
Celine terdiam sepersekian detik, lalu tertawa. “Putri? Membaca puisi di depan umum? Ah, dia kan pemalu. Nggak mungkin mau.”
Putri merasakan dadanya ditusuk. Kata-kata Celine memang terdengar seperti gurauan, tapi juga seperti meremehkan. Ia menunduk, pura-pura sibuk menulis di catatannya.
Arka menatap Celine sebentar, lalu berkata pelan, “Justru itu yang membuat puisinya jujur. Karena ia menulis bukan untuk dipamerkan, tapi untuk bertahan.”
Celine terdiam. Senyumnya memudar tipis, tapi cepat-cepat ia kembalikan. “Ya, mungkin.”
⸻
Malamnya, di kamar, Putri menulis lagi.
Kali ini, baitnya lebih tajam, seolah ia sedang berbicara langsung pada sahabatnya:
“Sahabatku,
kau ingin cinta yang sama denganku.
Tapi aku bukan pencuri,
aku hanya penjaga kata-kata.
Jika cinta ini salah,
biarlah aku yang menyimpannya diam-diam.”
Tangannya berhenti. Ia menutup buku, menatap langit-langit. Ada perasaan getir yang tak bisa ia redam. Untuk pertama kalinya, ia takut kehilangan seseorang: bukan hanya Arka, tapi juga Celine.
Dan jauh di kamar sebelah, Pak Rahman terbatuk lagi, suara seraknya menggema di rumah yang sunyi. Putri tahu, dunia luar bisa menuntut banyak hal darinya, tapi rumah ini pun tak pernah benar-benar jadi tempat ia pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!