"Pokonya aku tidak mau. "
Bruk ... Bruk.
Berulang kali Nayla, memukul meja makan dengan kedua tangannya, ia menolak keras keinginan sang papah yang akan menjodohkannya dengan lelaki tua berumur empat puluh tahun.
"Nayla, berani kamu menolak keinginan papah. " Lelaki tua berambut putih itu, tampak sedih mendengar penolakan keras dari anaknya. Ia memijat kening, merasa pusing.
Bagaimana merayu anak satu satunya, agar menuruti keinginannya yang tak lazim itu.
Nayla berdiri, memperlihatkan raut wajah penuh kemarahan, ia membentak sang papah lagi. " kalau tidak mau ya tidak mau. " Sengaja membanting gelas yang ada di atas meja.
Brak.
"Nayla, kontrol emosimu. Bagaimana pun dia ini papahmu. Kamu harus tetap menghormati papahmu, semarah apapun kamu." Timpal wanita tua, berdiri dari tadi di samping suaminya.
" Aku tahu mah, Bapak Handoko yang terhormat ini papah Nayla, tapi keinginannya sangat keterlaluan. Masa ia Nayla dijodohkan dengan bandot tua. " Ucap Nayla, melipatkan kedua tangan, berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang.
"Nayla, dia itu bukan bandot tua yang kamu bayangkan, dia lelaki kekar, tampan. Berwibawa, " wanita tua yang bergelar sebagai ibu itu, membuat anaknya tertawa terbahak bahak.
"Hahhha, hohoho. Hihi. " Nayla mencoba mendekati ibunya, dengan tertawa tanpa henti. Membisikan suatu perkataan. " Bu, kalau orang udah tua ya pastinya peot, keriput kulitnya. Sudah nggak pantas di sebut dengan badan kekar, apalagi tampan. Kalau wibawa ya gimana duitnya sih, kalau menurut Nayla. "
Menggertakan gigi, kesal mendengar perkataan anaknya itu. Bu Risma berusaha tetap tenang, dimana Nayla berbisik kembali, pada telinga sang ibunda. " satu lagi bu, pasti benda pusakanya itu belum di sentuh saja udah ngeriut duluan. Jhahhaha. "
"Nayla, jaga bicaramu. Kamu berkata seperti itu karena belum melihat dengan mata kepalamu sendiri, kalau sudah lihat pasti kelepek kelepek. "
"Apa bu, kelepek kepelek. Ya elah bu, lelaki yang sudah berumur itu pastinya senjatanya udah nggak berfungsi, baru di perlihatkan udah mengerut, "
Pak Handoko mengingat kejantannya, ia melihat ke bawah perutnya sendiri. Menutup dengan kedua tangan. " Nayla, jaga bicaramu. "
Gadis berbola mata coklat itu, mendelik kesal ketika mendengar bentakan sang papah.
"Nayla, mama berharap kamu bisa jadi kebangaan keluarga kita. "
"Kebanggaan, karena menikahi kakek kakek. Gitu. "
"Nayla." Pak Handoko merasakan rasa sakit pada dadanya, ia mecengkram bajunya dengan sangat kuat.
"Pah?"
"Ahk, sakit. "
"Papah, tenangin diri dulu ya."
Berusaha mengontrol diri, agar tetap tenang. Sampai dimana rasa sakit pada dada Pak Handoko sedikit mereda.
"Kamu lihat Nayla, kamu sudah membuat papah kamu sakit. "
"Dih, kok nyalahin Nayla, itu ulah papah sendiri. Yang paksa Nayla nikah sama kakek kakek. "
"Nayla, Pak Daniel bukan kakek kakek, Pak Daniel itu duda keren anak satu. "
"Duda keren, mana ada. Dimana mana umur empat puluh itu sudah Kakek kakek, sudah waktunya nunggu mati, di kubur. "
Bosan mendengar ocehan sang ibu yang terus memuji lelaki tua yang akan dijodohkan dengannya, kini Nayla mulai mengibaskan rambut, pergi tampa berpamitan pada kedua orang tuanya.
"Nayla, mau kemana kamu?" Teriakan sang ibunda, tak di dengar sama sekali oleh Nayla. Ia berjalan tampa menoleh sedikit pun ke arah kedua orang tuanya.
"Anak itu. "
Pak Handoko, hanya bisa menghela napas, setelah melewati rasa sakit pada dadanya yang mendadak, ia berusaha menenangkan pikiran untuk tidak marah.
"Sudahlah, mah. Sebaiknya kita pikirkan cara lain untuk bisa menikahkan anak kita dengan Pak Daniel."
"Cara bagaimana lagi, pah. Papah sudah lihat sendirikan, anak itu keras kepala, tidak mau menurut pada kita. "
Pak Handoko mulai merangkul bahu sang istri, berusaha tersenyum, menyembunyikan Rasa kecewanya. " Ya papah tahu, sebaiknya kita tenangkan dulu hati kita ini. Agar tidak stres memikirkan anak kita itu. "
"Hah, benar juga pah. "
Keduanya begitu kesulitan, membujuk Nayla untuk dijadikan umpan demi perusahan yang semakin hari semakin menurun pendapatanya. Sedikit lagi, perusahaan mereka akan mengalami kebangkrutan, karena kurangnya investasi, begitu pun penolakan kerja sama dari beberapa perusahaan lainnya.
*******
Nayla yang baru saja keluar dari dalam rumah, kini menghampiri mobil mewah berwana biru muda miliknya. Mobil satu satunya pemberian sang papah saat umurnya baru saja memasukki dua puluh lima tahun. Umur yang pas untuk menikah.
Membuka pintu mobil, Nayla masuk dengan hati yang tak karuan, ia duduk. Membenarkan posisi kaca mobil, " Aku ini cantik. " Mengerutkan kedua bibir. " Kenapa papah dan mamah tega baget, jodohin aku sama tua bangka yang umurnya empat puluh ta-hun, iw, nggak kebayang malam pertama, baru masuk, eh malah mengerut di dalam. Nggak asik banget kan. "
Memukul kedua pipi dengan telapak tangan, Nayla berusaha melupakan bayangan lelaki tua yang dijodohkan dengannya.
"Ayolah Nayla, untuk apa kamu cape cape mikirin wajah bandot tua itu. Walau kamu belum tahu wajahnya, tetap sajakan, lelaki kalau udah berumur empat puluh tahun. Sudah ketebak mukanya kaya kakek kakek. Yang ada kamu stres," Berulang kali menggerutu dalam hati.
Nayla mulai menyalakan mesin mobil, ia berencana menemui sahabatnya, bernama Leora.
Di taman, dimana keduanya seperti perangko yang tak terpisahkan. Selalu bersama dalam senang dan duka.
Sampai di tempat tujuan.
"Ah, bestiku. Apa kabar? "
"Nayla sayang. "
Berpelukan, keduanya mulai duduk di kursi.
"Hey, beby ku. Sayangku, kenapa? Kok wajahnya kayak nggak semangat gitu. "
Nayla yang terlihat mengerutkan kedua bibir dari tadi, menatap ke arah Leora.
"Ah, kalau aku ceritakan kesedihan ini padamu. Mungkin kamu akan mentertawakanku, besty!"
Membulatkan mata, terkejut dengan perkataan sang sahabat. " Hey, kok kamu ngomongnya gitu sih beby, kita ini sudah temenan sejak lama, dari kandungan ibu kita, sampai berojol jadi orok. Dan ketemu pas gede. Jadi ayo ceritakan padaku kenapa?"
Nayla tak berani, ia hanya memainkan tali tasnya dengan jari jemarinya, menundukkan pandangan. Membuat Leora semakin penasaran.
Tangan mulus milik Leora mulai bergerak ke arah dagu Nayla, perlahan jari jemari putih bersih itu, mengangkat dagu Nayla.
"Apa sesuatu terjadi pada kamu, beby? Mm, sampai kamu tak berani mengatakan semuanya padaku!"
Nayla tetap saja diam, sampai Leora berdiri, menunjuk wajah sahabatnya.
"Jangan katakan, kalau Reza mutusin kamu beby. Karena selangk*ngan kamu burik dan hitam. "
Nayla mulai menarik tangan Leora, hingga sahabatnya itu duduk. " Ih, kamu ngomong apa sih. Jangan ngaco deh, emang selangk*ngan aku burik, tapi donat aku kan legit. Manis, ke gula. "
Leora tertawa setelah mendengar Nayla bercanda lagi, " lalu, kamu kenapa sedih begitu, beby?"
"Kamu tahukan, sekarang perusahaan papah aku sedang mengalami masa masa kritis. Dan hampir bangkrut. "
" Mm, ya. Lalu. "
"Kerena papah nggak mau kehilangan perusahaan ya itu, ia berusaha menjodohkan aku dengan bandot tua berumur empat puluh tahun. Bisa kamu bayangkan, menikahi kakek kakek. "
"Iw, papah kamu kok jahat banget, bisa bisanya ia menjodohkan anaknya dengan kakek kakek."
Nayla mulai mengacak rambutnya secara kasar, ia menundukkan kembali wajah, terlihat prustasi.
"Kamu yang tenang ya."
Nayla kini mengeluarkan kekesalannya di depan Leora, " BAGAIMANA AKU BISA TENANG, SEKARANG. KALAU AKU KEMBALI LAGI KE RUMAH PASTI MAMAH DAN PAPAH, MENEKANKU LAGI."
Leora merasa kasihan terhadap sahabatnya, ia mengusap pelan pundak Nayla, " gimana kalau kamu sementara tinggal di rumahku saja dulu, ya, untuk sekedar menenangkan diri, gimana?"
Mendengar pertanyaan Leora, membuat Nayla mengusap air matanya, ia memegang kedua tangan sang sahabat. " Boleh, boleh. Aku mau sekali, tapi-"
"Tapi kenapa, Nayla sahabat terbaikku?"
Tangan Nayla mulai menggaruk belakang kepalanya, ia merasa tak enak hati, selalu merepotkan Leora sang sahabat.
"Sudahlah, beby. Aku tahu kamu pasti tak enak hati kan, santai aja. Papi aku pasti bakal nerima kamu di rumah. "
Senang dan sedih bercampur aduk menjadi satu, dalam hati Nayla, dimana wanita berparas cantik itu terlihat ragu.
Sedangkan Leora, berusaha menyakinkan sahabatnya. Ia berdiri, menarik tangan Nayla untuk segera ikut dengannya.
"Ayo, beby. Kita pulang, aku tahu pasti kamu cape."
Melihat Leora begitu bersemangat, Nayla mulai melepaskan keraguannya itu, ia mengikuti langkah Leora untuk segera naik ke mobilnya.
"Apa kamu yakin. " Di dalam perjalanan, Nayla tetap saja mengutarakan keraguan dalam hatinya.
"Beby, kamu masih tanya kayak gitu, aku sudah yakin bestyku. "
Tersenyum. "BERANGKAT."
Hanya menempuh tiga puluh menit perjalanan menuju rumah Leora, wanita berambut pirang itu terburu buru keluar. Ia memukul mukul kaca mobil milik Nayla.
"Ayo cepat keluar, aku akan kenalkan kamu beby, pada papi aku. "
"Ah, iya. "
Keduanya keluar dari dalam mobil, berjalan menuju pintu utama. Sosok lelaki berjas biru dongker keluar, membuka pintu. Ia memakai kaca mata hitam, memperlihatkan sebuah senyuman saat Nayla dan anaknya sudah ada di depan pintu.
"Papih."
"Leora."
Leora tampa banyak basa basi, kini mengenalkan Nayla pada sang papah, dengan mempelihatkan kemanjaannya Leora memegang lengan sang papah. " Papih, bolehkah. Nayla tinggal di rumah kita. "
Lelaki tua itu mulai membuka kaca matanya, ia melihat Nayla, gadis polos yang terlihat lugu itu. Berucap pelan, " ternyata kamu cantik juga. "
Nayla terkejut lalu bertanya. " Ya om, kenapa?"
"Ah, tidak. " Mengalihkan pembicaraan dari Nayla, lelaki tua menatap anak semata wayangnya. " Papi izini teman kamu ini tinggal di sini. "
"Wah, papih memang baik deh. "
Memeluk sang papih, Leora menarik tangan Nayla untuk masuk ke dalam rumah. Dimana Nayla merasa sesuatu tidak beres saat ini.
Ada apa ya?
"Nayla, kamu kenapa?"
"Mm, a-ku!"
Leora tiba tiba mendekat, berbisik pada telinga Nayla, " kamu terkesima dengan penampilan papih aku ya. "
Mengerutkan dahi, mendorong pelan tubuh Leora, " Dih, Papih kamu itu sudah tua. "
Leora melipatkan kedua tangan, menyunggingkan bibirnya sambil berkata." Walau pun umurnya sudah tua, dia tetap keren dan tampan. Aku bangga punya papih seperti dia."
"Ya, ya. Kan kamu itu anaknya. "
"Ahk, sudahlah beby. Kenapa juga kita bahas papih aku. Gimana kalau kita tiduran sambil main game?"
"Ide yang bagus!"
Saat kaki mereka melangkah menuju kamar, sosok seorang lelaki tua memanggil anaknya. " Leora. "
Lelaki berparas rupawan, dengan jas yang begitu rapi mendekat pada keduanya, Leora membalikkan badannya. Merasa malas akan panggilan sang papih" ya pih, ada apa?"
"Papih, minta tolong sama kamu. Ambilkan tas papih ya. "
"Tumben amat pih, nyuruh Leora, kan ada Mbok Sri. "
"Sebentar saja sayang, tasnya ada di meja kerja. "
" Ih. Baiklah."
Nayla mulai mengikuti langkah kaki Leora, dimana ia tak menyangka jika tangan kekar milik lelaki tua itu menarik tangan Nayla.
"Nayla, itu nama kamu kan?"
Lelaki berbibir tipis itu semakin mendekatkan wajahnya pada Nayla, " ya! Memangnya kenapa?"
Mengusap kasar dagu, lelaki berwajah rupawan mulai mengenalkan dirinya pada Nayla. " Perkenalkan nama saya-"
"Papih."
Terkejut dengan suara Leora, lelaki tua itu berusaha menghindar dari hadapan Nayla. Berpura pura bersikap dingin dan acuh.
"Nih, tasnya. Lain kali jangan lupa lagi, " ucap Leora terlihat begitu terpaksa mengambilkan tas milik papihnya.
"Oke."
Pergi dari hadapan Leora, lelaki tua itu sedikit memandangi wajah imut milik Nayla.
"Mm."
"Good bay. Sayangku. "
Setelah kepergian sang papih, Nayla mulai mengusap pelan bahunya, merasa geli. Saat sentuhan tangan lelaki berwajah rupawan itu menyentuhnya.
Melihat sang sahabat melamun, Leora dengan sengajanya menyenggol bahu Nayla. " Eh. "
Mentertawakan Nayla, Leora kini bertanya. " Kamu kenapa sih beby, dari tadi ngelamun terus. Ah, jangan jangan kamu suka sama papih aku. "
"Ih, najis. Siapa yang mau sama kakek kakek. "
Berjalan dengan seenaknya, Nayla masuk ke kamar Leora.
"Hey Nayla, jangan seenaknya mengatakan kalau papih aku itu kakek kakek ya. Dia itu baru berumur empat puluh tahun, dan kamu tahu, dia seorang janda tampan."
Bukannya menjawab perkataan Leora, Nayla malah tertawa terbahak bahak, " tadi kamu bilang apa?"
" Janda!" memegang bibir, baru menyadari jika Leora salah berucap.
"Eh, sorry beby. Maksudnya duda. "
Nayla menggelengkan kepalanya, setelah mentertawakan Leora, ia merasa suatu kebahagiaan sedang menghampiri dirinya saat ini.
Duduk di atas kasur empuk milik Leora, Nayla mulai bertanya dengan nama lelaki tua itu.
"Oh ya nama papih kamu?"
Leora perlahan duduk di samping Nayla, ia menyipitkan kedua mata." Ngapain kamu tanya nama papih, nggak penting banget.
"Mm, ya pengen tahu aja. Soalnya umur papih kamu, sama kayak bandot tua yang dijodohkan kedua orang tuaku, Leora."
Mendengar ucapan sang sahabat, Leora malah tertawa, " aduhh, beby. Nggak mungkin lah, papih pake acara cari jodoh. Kamu harus tahu, semenjak kepergian mami, papih tidak mau menikah lagi."
"Ya aku hanya asal menebak saja. "
Leora mulai menunjuk jari tangan pada wajah Nayla, " cie cie, ya kalau tebakan kamu benar. Nanti kita jadi ibu dan anak. Hahahha. "
Memukul pelan pah* Leora, Nayla kini berucap. " Jangan ngaco kamu, kalau pun aku tahu si bandot tua itu papah kamu. Akan ku tolak mentah mentah. "
"Wah, wah, hati hati loh, ucapan kamu bisa berbalik pada diri kamu sendiri."
"Bodo amat. "
Terlihat Nayla merasa bad mood dengan topik pembicaraan, mengenai perjodohannya dengan lelaki tua yang belum ia kenal sama sekali. Leora berusaha menghibur kembali sahabatnya. Berdiri, menarik tangan Nayla." Sebaiknya kita main game saja, yuk beby. "
"Malas, aku pengen tidur. "
Nayla merebahkan tubuhnya, sedangkan Leora hanya mendengus kesal pergi dari hadapan sang sahabat.
"Kadang kamu ini nyebelin juga beby. "
"Bodo amat. "
Leora mulai keluar dari kamar tidurnya, menutup pintu kamar.
"Nona."
Terkejut dengan suara sang pembantu di rumah, gadis berambut pirang itu mengusap pelan dadanya. " Mbok Sri, bikin kaget saja. "
"Nona tumben tumbenan kaget, oh ya non, makan siang sudah mbok siapkan di atas meja. Mau makan sekarang."
Mengibaskan tangan, Leora menjawab. " Nanti saja lah, mbok. Nggak napsu. "
"Ya sudah kalau gitu. "
"Eh, tunggu mbok. "
"Kenapa Non?"
"Siang ini aku mau beli make -up, tolong jaga sahabatku ya, kalau butuh apa apa layani dia!"
"Baik, non. "
Leora bergegas pergi dari hadapan Mbok Sri, ia tak mengucapkan pamit sama sekali pada Nayla, karena alasan tidak mau mengganggu.
Memberi kesempatan pada sang sahabat untuk beristirahat.
Baru saja masuk mobil.
Suara ponsel berdering, Leora melihat nama dari layar ponselnya. " Papih. "
Mengangkat panggilan dari sang papih, "ada apa, pih?"
"Mm, tidak ada!"
"Ish, papih ini nggak jelas banget. "
Pada sambungan telepon, lelaki tua bergelar seorang ayah itu malah tertawa terbahak bahak. Membuat Leora anak satu satunya menggerutu kesal.
"Kalau nggak ada urusan penting, jangan telepon."
Leora mematikkan panggilan telepon sang papih, " papih ini ada ada aja, nggak jelas. "
"Aduh, lupa lagi. Minta duit, telepon lagi. Kirim pesan aja lah. "
(Pih, minta duit. Mau sopping sekarang.)
Lelaki berwajah rupawan itu, melihat pesan dari anaknya, "Kalau urusan duit, nomor satu. "
(Oke. Kamu pergi sama siapa?)
(Sendiri, memangnya kenapa!?)
(Oh.)
"Cuman oh doang, emang ya. Di usia papih yang ke empat puluh tahun ini, dia agak aneh. Nggak jelas banget."
Tring.
Leora tersenyum manis, melihat saldo dalam rekeningnya bertambah lagi. " Gini dong. "
Ia kembali mengirim pesan pada sang papah. (Makasih papih, love you.)
Lelaki tua itu tertawa, menggelengkan kepala membaca pesan dari anak satu satunya. Ia menyenderkan punggung pada kursi, menghela napas. Tampa sadar ia malah membayangkan wajah manis milik Nayla.
"Kenapa aku bisa teringat dengan gadis itu ya. Mm, dia menarik, setelah kematian Gabriel, istriku. Aku merasa sesuatu yang baru hadir dalam hidupku. " Mengusap wajah," aku bicara apa lagi, jelas jelas. Dia pastinya menolak pejodohan itu. "
Kembali menatap layar ponsel, dimana Pak Handoko mengirim pesan. ( Saya akan berusaha membujuk Nayla menikah dengan Pak Daniel. Hanya saja saya butuh waktu, karena seharian ini Nayla belum pulang ke rumah, maafkan saya Pak Daniel.)
"Jadi Nayla, akan menginap di rumahku. Mm, ini menarik, sebuah tantangan. "
Daniel, lelaki berumur empat puluh tahun itu berdiri, mengambil kunci mobil. Sang sekertaris yang melihat kepergian atasanya kini berucap. " Pak, anda tak boleh pergi, ada meeting dengan klain hari ini. "
Menatap tajam, lalu berucap dengan nada ketus. " Batalkan saja. "
Sang sekertaris, berusaha membujuk Daniel, " tapi pak, ini penting. Demi-"
Belum ucapan sekertaris itu terlontar semuanya, Daniel mendekat, " kamu berani melawan saya. "
Sang sekertaris mulai menundukkan pandangan, " maaf pak. "
Daniel membenarkan jasnya, lalu berucap. " Saya pergi dulu. "
"Hoam, berapa lama aku tidur. " Menggeliatkan badan, mengacungkan kedua tangan ke atas. Kedua mata bulat milik Nayla menatap ke arah jam kecil yang tak jauh dari hadapannya.
Menguap berulang kali, Nayla terkejut. Tiga jam ia tidur tak sadar jika dirinya sendirian di dalam kamar. " kemana Leora?"
Bangkit dari tempat tidur, tangan kanan Nayla mengacak rambutnya secara kasar. Ia merasa kehausan, berencana untuk pergi ke dapur.
"Rumah semewah ini, nggak di sedian air minum apa? Minum pun harus ke dapur. Menyebalkan, " gerutu Nayla setiap kali melangkahkan kakinya. Untuk sekedar mencari makanan dan air minum.
Sampai di dapur, Nayla tak melihat satu orang pun di sana, ia mengambil air dalam kulkas. " Wah, banyak makanan, kebetulan sekali. "
Mengambil beberapa makanan dan cemilan, Nayla terlihat begitu senang, ia berencana membawa semua makanan yang dipilihnya ke dalam kamar.
Menutup pintu kulkas, Nayla dikejutkan dengan sosok lelaki berwajah rupawan. Lelaki itu tersenyum tipis, menyapa Nayla. " Hai, cantik. "
Nayla hanya menundukkan pandangan, berusaha menghindar dari lelaki tua itu.
Namun untuk kedua kalinya, tangan Nayla di tarik kuat oleh Daniel, membuat tubuh sang gadis terjatuh pada pelukan Daniel.
"Kenapa terburu buru pergi. "
Nayla mencoba menghindar, namun lelaki tua itu dengan sengajanya menggenggam erat lengan Nayla. " Lepaskan. "
Senyum sinis di tampilkan Daniel, tangan kekar miliknya mengusap perlahan, " mm, kenapa. Kamu takut. "
Nayla tak suka dengan pandangan lelaki yang ada dihadapannya, ia membulatkan kedua mata berani menantang Daniel.
"Heh, kakek tua mana ada saya takut dengan anda."
Lancangnya Nayla, membuat Daniel semakin suka dan gemas padanya. " Manisnya. "
Melepaskan tangan Daniel dengan sekuat tenaga, Nayla berusaha menaruh makanan di atas meja. Ia berkacak pinggang di depan sang tuan rumah.
"Apa anda bilang, heh, bandot tua jangan berani merayu saya. "
Daniel hanya diam mendengar ocehan Nayla, ia mengusap dagunya. Tersenyum manis.
"Dih, anda gila ya pak. Atau jangan jangan, anda kurang minum. "
"Nayla, kenapa? Kamu menolak perjodohan kita. "
Deg ....
Mendengar perkataan Daniel, membuat Nayla berucap dalam hati. " Perjodohan, apa jangan jangan-"
"Kamu sedang memikir apa? Cantik, " ucap Daniel, mengangetkan lamunan Nayla.
Jari tangan Daniel, begitu lancang memegang dagu Nayla, membuat sang gadis merasa tak nyaman.
Mencoba melepaskan tangan Daniel, Nayla menatap tajam ke arah lelaki tua dihadapannya. " Perjodohan, jadi anda bandot tua bernama Daniel itu. "
Senyum lebar diperlihatkan Daniel di depan Nayla, lelaki tua itu menganggukkan kepala, lalu berkata, " benar sekali, sebentar lagi kamu akan menjadi istriku. "
"Ih, jijay. Mana mungkin, anda ini sudah kakek- kakek. Jadi saya akan berusaha menentang perjodohan itu sampai kapanpun. "
Menghindari Daniel, lelaki berwajah rupawan itu berucap. " Kamu yakin dengan perkataan kamu itu, atau kamu tidak akan menyesal?"
Nayla terdiam, ia menghentikan langkah kakinya. " Mana ada seorang gadis mau menikahi lelaki yang sudah berumur seperti anda itu. Kalau ada pun, saya yakin saat malam pertama anda akan mati kelelahan. "
Menusuk sekali perkataan Nayla pada hati Daniel, lelaki tua itu tak terima, ia mendekatkan diri, memeluk sang gadis dari belakang.
"Waw, kamu meremehkan, permainan saya sebagai lelaki tua."
Tak nyaman dengan pelukan Daniel, Nayla berusaha menghindar lagi. Menunjuk wajah Daniel. " Anda jangan seenaknya menyentuh saya, apalagi sampai memeluk saya tampa izin, ingat itu. "
Daniel malah sengaja menantang perkataan Nayla, ia meraih telunjuk tangan Nayla menciumnya dengan lembut.
Merasa geli dengan perlakuan Daniel, Nayla pergi berlari.
"Dasar bandot tua. "
Tak ingin menyiakan momen ini, Daniel mengejar. Menangkap Nayla dengan kedua tangannya sendiri. Gadis itu hampir terjatuh, namun tertahan akan dekapan dari kedua tangan Daniel.
"Dasar kakek tua, lepaskan, anda gila ya. "
Melepaskan kedua tangan Daniel dengan kemampuan sang gadis, Daniel malah memutarkan badan Nayla, hingga mereka saling berhadapan satu sama lain.
"Hey, cantik. Kenapa pergi, bukannya tadi kamu menghina saya. "
"Saya bukan menghina, tapi saya berbicara kebenaran. "
Menempelkan telujuk jari tangan pada bibir Nayla, Daniel tersenyum manis. " Kebenaran, dari mananya, cantik. Kamu belum membuktikannya, kalau saya ini lemah dan tak berdaya di ranjang. Apalagi sampai kamu berkata, jika malam pertama bermain dengan gadis akan mati. "
Mendorong tubuh Nayla, hingga punggung gadis itu menyender pada tembok. Daniel memainkan rambut Nayla dengan jari jemarinya, " rambut kamu indah, dan wangi. "
Tak suka dengan kelancangan Daniel, Nayla mengibaskan jari jemari itu, ia berucap. " Anda ini kurang ajar ya. "
Daniel malah sengaja, menempelkan dadanya pada dada Nayla. " Ah, kalau begini bagaimana. "
"Kenapa semakin dekat malah semakin tak karuan, sialan bandot tua ini begitu wangi. Dan lagi wajahnya mulus, senyumnya. Aku berpikir apa sih Nayla, jelas jelas dia itu lelaki yang sudah berumur. Tapi kenapa tenaganya begitu kuat. Membuat aku penasaran dengannya. " Bergumam dalam hati. Daniel menggerutkan dahi, " apa yang sedang kamu pikirkan cantik. "
Nayla mendorong tubuh Daniel sekuat tenaga, berlari pergi dengan perasaan aneh yang ia tak mengerti sama sekali.
Daniel tak lagi mengejar gadis itu, ia malah merogok saku celana, tersenyum kecil. Dan berkata. " Kamu memang gadis menarik."
"Papih."
Terkejut dengan panggilan Leora, kedua pipi Daniel terlihat memerah. " Leora. "
Lelaki tua itu seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, melihat anaknya berusaha menyembunyikan pipi merah.
"Papih, sedang apa di dapur?"
"Leora, kamu sudah pulang!" Daniel berusaha menyembunyikan pandangannya.
"Papih ini kenapa?" Pertanyaan Leora tak di dengar sama sekali oleh Daniel, lelaki tua itu malah pergi dengan terburu buru.
"Papih."
Melipatkan kedua tangan, Leora merasa aneh dengan tingkah papihnya sendiri.
"Mbok Sri. "
Memanggil pembantu rumah, sosok Mbok Sri berjalan keluar dari dalam gudang, tubuhnya terlihat bergetar.
"Mbok Sri kemana aja. "
"An-u ta-di. "
Mbok Sri terlihat kebingungan sendiri, menjawab perkataan yang nona rumah.
Leora yang berada dihadapan Mbok Sri, memegang bahu pembantunya. " Mbok lagi sakit?"
Menggelengkan kepala, Mbok Sri menjawab dengan gugup. " Nggak. "
Leora menggerutkan dahinya, menghela napas lalu berucap, " lalu kenapa Mbok Sri terlihat tak berdaya seperti itu. "
"Nona jangan marahnya, kalau Mbok mengatakan hal ini. "
"Marah." Leora tertawa dengan bisikan Mbok Sri.
"Ya non, soalnya tadi Mbok Sri lihat sahabat nona bermesraan dengan Tuan besar. "
Masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Sri, Leora kembali berucap. " Mbok, bercanda ya. "
"Nggak non, serius. Mbok lihat dengan mata kepala sendiri. "
Tak ingin berburuk sangka, Leora bergegas menghampiri Nayla, menanyakan perkataan Mbok Sri yang melihat Nayla bersama dengan sang papih di dapur.
"Nona."
"Iya kenapa, Mbok. "
"Jangan bilang bilang, kalau Mbok Sri yang bilang ya. "
" Mm, oke. "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!