Sudah 2 Bulan lamanya aku dan adikku Rini kembali dirumah kontrakanku didaerah Rempoa Jakarta Selatan. Tidak terasa waktu begitu cepat berjalan, dan aku masih ingat dengan jelas ketika Gandung sahabatku melepaskan pelukan eratnya .
"Jangan terlalu lama kalian disana, cepatlah kembali, Raden Parapat sudah menyiapkan semuanya untuk dik Rini. Jangan sia siakan kesempatan emas ini" Ucapnya sambil mengusap matanya yang basah.
Aku tidak bisa berkata apa apa hanya menganggukan kepalaku, sekali lagi aku tarik tubuh Gandung dan memeluk pundaknya.
"Jangan kawatir sahabat! Kita hanya sebentar disana dan langsung kembali kesini.."
Laki laki tegap itu kemudian berjalan kearah Rini, ia mengeluarkan sebuah kain selendang pendek berwarna ungu kemerah merahan. Gandung Meraih tangan kanan Rini dan meletakkan kain itu ditelapak tangan adikku.
"Kain ini bukan sembarang kain, ketika kalian kembali Mohon ikatkan kain ini dipinggangmu. Kain ini semacam identitas bahwa kamu adalah warga kami"
Gandung dan ayahnya pak Hasbulah mempersilahkan kami berdiri didepan sebuah Batu besar. Pak Hasbulah kemudian mengangkat satu tangan, secara tiba tiba sisi batu dibelakang kami terbuka. Layaknya sebuah lift, kami dipersilahkan masuk dan duduk bersila.
Yang kami rasakan hanya sebuah hentakan kecil, tiba tiba kami sudah berada disebuah lapangan bola. Aku ingat waktu itu keadaan sekeliling lapangan gelap gulita. tidak ada satupun orang yang berada disana.
Dari arah lapangan bola itu kami berjalan kaki, tidak lama kemudian kita sudah berada dijalan besar dekat daerah Organon didepan arah masuk Bintaro Jaya. Beberapa tukang ojek menawarkan jasa mereka, aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Didepan tempat cuci mobil aku sempat melihat jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 3 pagi.
"Ayok Rin, kita cepet pulang" Rini menyambut dengan senyum manisnya.
®®®®
Dari semenjak pagi daerah Rempoa terus diguyur hujan lebat, setelah shalat magrib ahirnya hujan deras itu berhenti. Suasana sejuk dan basah terasa dimalam hari itu. Kulangkahkan kaki dan berdiri diteras belakang rumah. Dikegelapan malam aku menatap kelangit, mataku mencoba menerawang dan mengingat ingat pengalaman mistis yang sudah aku dan adikku alami.
"Mas, awas masuk angin lho..lagi ngapain?" terdengar suara Rini, pikiranku berhenti sejenak ketika suara adikku menyapa.
"Hmm..ga apa apa aku senang berdiri disini sambil merasakan angin yang sepoi sepoi, weh kamu bawakan aku kopi panas?"
"Mau minum disini atau didalam?"
"Disini saja, Rin duduk sini yuk aku mau bicara"
"Oke, bentar ya aku pake sweater dulu"
Tidak lama kemudian Rini keluar lagi, dan menarik kursi kayu disamping meja. Aku mendekatkan kursi dan duduk didepannya.
"Hmm..bau Kopi enak sekali,makasih Rin"
"Pasti enak apalagi sama rokok kretek ya mas"
"Kamu tau aja kesukaanku,aneh ya waktu kita didesa Pudi sama sekali aku tidak tertarik dengan rokok bahkan keinginan untuk merokok juga tidak ada..tapi waktu kembali kesini, kebiasaanku kembali untuk ngrokok..kenikmatan itu balik kembali"
"Aneh memang, tapi yang lebih aneh selama disana aku juga tidak merasakan lapar, sekali aku makan buah anggur perasaan perutku sudah kenyang sekali dan itu aku makan hanya dipagi hari, ketemu makanan yang berat hanya pada keesokan harinya. Berarti satu hari penuh hanya makan beberapa anggur sudah cukup, aneh" ucap Rini.
Aku mendekatkan kursiku dan aku memegang telapak tangan kanan adikku.
"Apa mas? Ada yang penting?"
"Rin, minggu depan kita akan kedesa Pudi dan kamu akan menikah disana. Apakah kamu sudah siap dan yakin? Sebab, setelah itu kamu akan menjadi warga disana selamanya" Kataku dengan serius.
"Aku siap mas, aku telah jatuh cinta sama Raden Parapat. Semua jiwa ragaku sudah kusiapkan untuk semua itu, bukankah itu yang mas ingin?"
Aku menganggukan kepalaku menyetujui, pikiranku kembali melayang mengenang ayah dan ibuku yang telah tiada, tapi selain itu aku juga teringat kepada sosok Siti Daniah istri kedua ayahku yang menyebabkan kematian ayahku setahun yang lalu.
"Ya sudahlah apabila kamu sudah yakin dan bulat dengan keinginanmu, aku merestuinya. Sebelum kita pergi sebaiknya kita kemakam ayah bunda dulu, pamitan kepada mereka"
"Ya mas, sebaiknya besok kita kesana agar kita bisa nyekar disana...Mas..."
"Apa Rini?"
"Mas ga usah pikirkan bu Siti ya..lupakan dia"
"Baik Rini, aku akan melupakannya" ucapnya sambil tersenyum. Rini tidak tau bahwa sebuah rahasia aku simpan rapat rapat dalam hatiku, aku tidak mau adikku mengetahui rencanaku terhadap wanita jahanam itu.
"Menurut mas Gandung, kita harus berangkat jam 3 pagi minggu depan. Mas, sudah siap?"
"Ya aku sudah siap, lusa aku akan bayar kontrakan rumah, dan pamitan sama bu Surya bahwa kita akan keluar kota selama sebulan. Kamu jadi pakai baju kebaya putih?"
"Ya mas, soalnya pernah Pak Hasbulah pesan bahwa nanti waktu masuk kedesa Pudi lagi, pakailah kebaya warna putih putih. Atas putih dan bawah putih bahkan ia juga menjelaskan..pakailah pakaian dalammu berwarna putih"
"Oo..ya sudah, Kalau begitu besok setelah dari makam kamu kepasar beli kain dan lain lainnya"
"Ya, dipasar mungkin susah carinya, aku mau langsung ketoko kebaya di Kebayoran lama"
"Hmm..baiklah"
Beberapa saat kami duduk sambil memandang rintik rintik hujan yang masih turun membasahi bumi.
Masih jelas teringat peritiwa 3 tahun yang lampau, ketika ibuku wafat karena sakit gula yang dideritanya. Ayah kemudian mengajak aku dan adikku pindah ke ibu kota Jakarta. Rupanya ayah ingin melupakan kesedihan atas wafatnya ibu kami.
Awal awalnya, semua berjalan sesuai rencana ayahku. Aku mulai masuk kuliah dan adikku Rini menyelesaikan kelas 3 sekolah menegah atas didaerah Bintaro Jaya. Ayah yang seorang pedagang memindahkan semua aset usahanya dan memulai semuanya dari nol di Jakarta.
Singkat cerita selama satu tahun penuh semenjak kita pindah ke Jakarta dengan seluruh keahlian dan kemampuannya ayah berhasil menembus pasar ibu kota dengan sukses. Usahanya booming dan karyawannya banyak.
Namun dipertengahan tahun lalu ia berkenalan dengan seorang wanita yang juga seorang pengusaha juga.
Entah bagaimana, dalam waktu yang singkat mereka telah menjadi pasangan kekasih yang tidak terpisahkan. Aku dan Rini tidak ingin mencampuri urusan ayah, selama ia bahagia itu sudah aku sukuri.
Awal tahun lalu secara tiba tiba ayah mengabarkan bahwa ia akan menikahkan wanita itu.
Kami sempat kaget, tapi ayah meyakinkan kita bahwa ia sangat mencintainya dan keluarga kita akan menjadi bahagia.
Permasalahan timbul ketika lewat 2 bulan semenjak pernikahan, ibu baruku yang bernama Siti Daniah mulai memperlihatkan perangai aslinya.
Beberapa kali ia sering membentak bentak adikku dan bahkan ia pernah menjambak rambut adikku. Sudah tentu ini dilakukan ketika ayah tidak ada dirumah dan aku sedang kuliah.
Pada mulanya, aku kaget ketika satu malam aku mendengar suara tangis dari dalam kamar adikku.
"Rin..Ada apa?" Bisikku didepan pintu kamar tidurnya. Beberapa kali aku ketuk tapi dia tidak membukakan pintu. Oh mungkin saja dia teringat ibunya..itu yang ada dipikiranku. Ya sudah, besok aku akan cek lagi.
Sudah satu minggu setelah kejadian itu aku hampir tidak pernah melihat Rini, ia seperti malu ketika bertemu denganku. Setiap malam ia selalu mengunci pintu kamar tidurnya..Ada apakah dengan adikku??
...>>>>>...
Waktu bergulir, meskipun bisnis ayah terlihat begitu maju tapi hubungan antara kita sebagai anak anaknya dan ayah menjadi renggang. Ayah terlalu disibukkan dengan berbagai kegiatannya dan keliatannya ayah telah melupakan bahwa dirumah ini ada kami, selain sibuk sekali dengan bisnis. Hari harinya ia sibukkan dengan bu Siti, istri barunya.
Aku melihat perubahan didalam diri ayah tidak menjadi masalah bahkan sangat senang bahwa ahirnya ia menjadi seorang pengusaha sukses tapi melihat gaya kehidupan bu Situ sangatlah mengganggu pikiranku . Bu Siti tampak sangat manis dan manja didepan umum namun sebetulnya ia seorang yang galak dan kejam.
Tanpa bu Siti sadari, aku sering memperhatikan ketika ia membentak bentak ayah ketika berada dirumah, bahkan ia sering minta dibelikan berbagai macam tas jinjing yang bermerek. Ia akan marah besar apabila keinginannya tidak diberikan ayah.
Dalam satu bulan ada 2 kali ia minta dibelikan tas tas baru dan bermerek. Padahal dalam lemarinya sudah ada sekitar sepuluh tas yang bagus.
Kini bu Siti bergaya bak seorang selegram, semua pakaian dan aksesoris yang dikenakan branded. Dan anehnya ayah tidak pernah komplain sama sekali.
Aku kaget ketika satu hari bu Siti pulang kerumah mengendarai Mobil Honda Civic keluaran terbaru. Siapa lagi kalau bukan ayah yang memberikan mobil baru itu. Katanya malu kalau sedang arisan tidak datang dengan kendaraan baru.
Aku pernah menanyakan tentang perangai ibu tiriku ini. Ayah nampaknya justru merasa terganggu dengan pertanyaanku.
"Ah sudahlah jangan kau tanya itu, dia kan sering bergaul dengan ibu ibu pejabat. Malu dong kalau mobilnya tidak bagus" jawab ayah dengan ketus.
Ketika mendengar peringatan ayah, Rini adikku pun bersikap sama, ia justru memilih diam dan tidak merespon sama sekali.
"Rin, kenapa ahir ahir ini kamu sering dikamar?" tanyaku ketika makan malam berdua. Kebetulan kedua orang tuaku sedang ada acara diluar rumah. Kesempatan ini aku gunakan untuk berdialog dengan adikku.
"Aah ga apa apa mas, Rini banyak pekerjaan rumah saja" jawab Rini singkat.
Aku tau Rini menyembunyikan sesuatu tapi ia enggan mengutarakan.
"Rin, cerita ke aku ya kalau ada apa apa..aku pengganti ibu. Kini 'kan ia sudah tiada..akulah yang menjadi penjagamu sekarang. Lihatlah ayah, ia sudah sibuk dengan dunianya, aku satu satunya tempat untuk kamu berbicara..okay?"
Rini tidak menjawab, ia hanya menganggukan kepala. Aku tau tentang Rini, ia adikku dan ini bukankah sikap dia yang sebenarnya. Biasanya apabila ia pusing kepala saja, pasti mengadu kepadaku.
Sebuah kejadian pun terjadi, hari itu hari minggu dan setiap hari minggu pagi aku biasanya kelapangan badminton dengan beberapa teman kuliah berolah raga. Secara rutin setelah acara badminton biasanya kita akan kewarung bu Narti untuk melepaskan haus dahaga. Entah kenapa kali itu aku punya perasaan aneh pamit pulang duluan.
Baru saja aku mematikan mesin motor dan berjalan masuk dari arah ruang makan belakang terdengar suara teriakan bu Siti, Sepertinya ia sedang menghardik.
Langkahku terhenti ketika mendengar tangisan suara Rini.
"Jawab pertanyaanku! Dimana kamu simpan kalung emasku??"
"Aku tidak tau ibu! Kalung emas yang mana?" terdengar suara Rini sambil menangis.
Tiba tiba...Plak! Jelas sekali aku mendengar suara tamparan keras. Dengan cepat aku berlari dan betapa kagetnya aku melihat tangan kiri bu Siti sedang mencengkram kerah kaos Rini dan tangan kanannya diangkat keatas hendak melepaskan pukulan kedua.
"Hai stop! Ada apa ini?!" teriakku dengan kencang, aku menghampiri mereka dan langsung mendorong tubuh bu Siti. Wanita paruh baya itu kaget dan hampir saja jatuh karena doronganku.
"Hehe berani sekali kamu kurang ajar sama aku!" teriak bu Siti.
"Sabar ibu! Ceritakan Rini ada apa??"
Rini mengelus pipi kanannya yang kini menjadi agak merah, ia memandangku dengan penuh belas kasihan. Rini menundukkan tubuhnya dan memelukku.
"Mas..ibu menuduh aku mencuri perhiasannya"
Kaget atas peringatan Rini, aku langsung memalingkan wajahnya kearah bu Siti seakan meminta penjelasan darinya.
"Adikmu telah mencuri kalung emasku! Tadi aku baru pulang dari senam pagi dan melihat dia keluar dari kamar tidurku!" ucap bu Siti dengan nada tinggi.
"Apa benar itu? Ngapain kamu dikamar ibu?"
"Lho kan, memang itu permintaan ibu. Hari minggu pagi minta kamarnya dibersihkan" Rini mencoba menjelaskan, dan sebetulnya terus terang penjelasan ini baru pertama kali aku dengar.
"Bersihkan kamar? Sejak kapan?"
Aku memang tidak tau bahwa ternyata ada sebuah permintaan khusus kepada Rini untuk setiap minggu pagi membersihkan kamar tidur orang tuaku. Kurang ajar! Emangnya Rini seorang pembantu rumah tangga??
"Sudah lama mas aku kerjakan itu, mas ga tau karena kalo minggu pagi mas olahraga badminton"
"Ayah tau tentang ini?"
Rini menganggukan kepalanya dengan lemas.
"Kenapa ibu menyuruh Rini bersihkan kamar tidur? Rini bukan pembantu disini!" aku menghardik dengan keras.
"Lho dia kan anak gadis, dia harus dilatih untuk hal hal kaya gitu! Nah, tadi aku cek kalungku yang biasanya aku taro disamping tempat tidur sekarang ilang!"
"Mulai Hari ini Rini tidak usah bersihkan kamar ibu! sekali lagi Rini bukan pembantu! Mengenai kalung mungkin saja jatuh dibawah tempat tidur apa sudah diperiksa tempat lain? Satu lagi,. jangan pernah mukul Rini lagi!" uneg uneg yang aku simpan selama ini aku keluarkan dengan keras. Aku memang sudah males liat gaya wanita ini.
Memang kejadian pagi itu merupakan awal perpecahan diantara kita. Bahkan disiang hari itu ketika ayah pulang dari pertemuan dengan rekan bisnisnya, ayah juga ikut ikutan menyalahkan Rini.
"Kalau memang kamu menginginkan kalung, tinggal minta saja nanti ayah akan belikan. Sekarang kembalikan kalung ibumu!" ucap ayah dengan nada kasar.
Darahku naik seketika, bagaimana bisa ayah berpihak kepada bu Siti dan seakan akan mengarahkan bahwa pencuri kalung itu adalah Rini. Lalu,..bagaimana dengan penganiayaan tadi?
Aku kehilangan kata kata, sempat aku melirik kearah bu Siti. Wanita itu tersenyum sinis kepada diriku.
Tanpa basa basi aku menarik tangan Rini dan beranjak dari suasana yang sangat toxic itu.
"Kalian mau kemana?" Tanya ayah kaget.
Langkah kaki aku hentikan dan memutar tubuhnya menghadap ayah.
"Bagaimana ayah bisa menuduh Rini? Dia anakmu ayah! Mana mungkin Rini bisa menjadi seorang tukang nyuri!"
Kembali aku menarik tangan Rini dan beranjak meninggalkan mereka.
"Manto! Kembali sini!" Aku kaget, ayah memanggil nama asliku, bukan nama panggilan yaitu Gandung.
Tapi aku sudah marah dan muak akan semuanya.
"Rin, Ayo ganti baju..aku mau ngobrol diluar rumah"
"Mas...jangan, sudah lupakan saja.."
"Rin! Kamu tidak dengar tadi bagaimana ayah menganggapmu sebagai seorang pencuri! Aku tidak terima itu"
"Sudah mas, aku mau dikamar saja, terima kasih mas"
Aku Jadi bingung sendiri, ya sudah aku mengalah..aku antar Rini kedalam kamarnya. Darahku masih bergolak, dengan langkah cepat akupun masuk kekamarku.
...>>>>>...
Pada Bulan itu semua berjalan normal hingga pada ahir minggu bulan berikutnya aku dikejutkan karena mendapatkan sebuah kejadian tak terduga dan sekaligus sungguh menyedihkan.
Rini kudapatkan sedang meringkik dipojok kamarnya menangis. Ia memegangi tangan kanannya. Ketika aku pegang ia menjadi kesakitan. Pundaknya ada warna biru gelap dan membengkak.
"Rin! Kenapa??!"
Adikku tidak menjawab, ia hanya menangis. Pelan pelan aku dudukkan dirinya dan kuusap rambutnya yang menutupi wajah.
"Ayok aku antar kamu kerumah sakit, kamu ceritakan nanti. Kita harus kedokter sekarang, aduuh kenapa kamu Rin?"
Setelah menunggu lima belas menit, mobil Grab ahirnya tiba. Dengan pertolongan driver aku menaikkan Rini kedalam Mobil.
"Ayok pak kita kerumah sakit ,cepat ya"
"Siap..kita berangkat" jawab sang driver.
Selain sakit dipundak, kini suhu tubuh Rini tiba tiba memanas, Namun anehnya ia menggigil seperti kedinginan. Aah..Ada apa yang terjadi?
"Sabar ya Rin, kita sudah menuju kerumah sakit" aku mencoba menenangkan, meskipun demikian aku tau Rini sedalam keadaan sakit yang amat sangat. Aku liat ia menahan tangisnya, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar.
®®®®
"Selamat siang saya dokter Anton, mas kakanya pasien yang baru masuk?" Tanya seorang laki laki paruh baya.
"Oh ya dok, Saya kaka satu satunya bagaimana dok?"
"Adikmu harus tinggal disini dan kita akan melakukan operasi. Ternyata ada urat yang putus didaerah ketiak dan pundaknya. Jatuh kah dia?"
"Aduh saya tidak tau ya..waktu saya pulang kerumah mendapatkan adik saya menangis dan satu tangannya bengkak"
"Itulah..Jadi empat urat syaraf disekeliling lengan atas putus dan kita harus segera adakan operasi. Cukup berat operasinya, adikmu harus diam dirumah sakit selama 2 hari"
"Ya Allah! Ko bisa putus ya?"
"Nampaknya ia terjatuh, dan ketika terjatuh secara refleks tangan kanannya mencoba menahan tubuhnya. Namun tidak kuat, ketika menahan itu empat urat syarafnya putus"
"Bisa saya bicara dengan adik saya?"
"Boleh silahkan..sementara ini kita berikan dia injeksi agar tidak terasa sakit dipundaknya. Orang tuanya akan kesini?"
"Hmm..mereka diluar Kota saat ini, tidak apa apa..biar saya saja yang bertanggung jawab"
"Baiklah silahkan anda masuk, Mohon diisi urusan administrasinya dikounter setelah bertemu dengan adiknya ya"
"Terima kasih dok, Iya akan saya isi setelah bertemu dengan adik saya"
Bergegas aku masuk kedalam kamar rawat inap, sukur lah didalam kamar rawat inap hanya ada 2 pasien yg bersama sama jadi tidak terlalu banyak orang.
"Hai Rin, aku disini"
Tiba tiba Rini menangis dan memeluk tubuhku.
"Aduuh..sakit"
"Ya sudah jangan banyak gerak ya, Kata dokter urat syarafmu putus..Hari ini kamu akan dioperasi dan nginep disini 2 malam ya"
"Ya Allah..mas Gandung jangan kemana mana jagain Rini diluar ya"
Aku menganggukan kepala, tidak lama 2 orang suster masuk dan membawa Rini masuk keruang operasi.
"Jangan takut, aku disini terus jagain kamu, cepat sembuh ya" ucapnya sambil mengelus pipinya.
®®®®
"Halo ayah, aku dirumah sakit"
"Lho ko dirumah sakit? Kamu sakit apa?" seperti biasa suara ayah datar tidak ada sedikitpun rasa kawatir hanya suara basa basi saja.
"Bukan aku..tapi Rini, dia jatuh dan putus syaraf tangannya. Hari ini dioperasi kata dokter akan dirawat 2 hari disini"
"Hmm kalo gitu ayah akan kirimkan wang untuk biaya operasi"
"Kapan ayah akan kembali pulang dari luar kota?"
"Kemungkinan lusa, minta rekening bank rumah sakit nanti ayah transfer kesana"
Aku kaget ayah tidak menanyakan sedikitpun atau punya rasa cemas tentang keadaan anaknya, dengan mudah ia katakan akan kirim wang dan itu saja. Kelakuan ayah memang sudah jauh berbeda, semuanya hanya tentang bisnis. Lalu kemanakah bu Siti waktu kecelakaan itu berlangsung??
Hari itu aku tidak pulang kerumah, aku akan tetap disini sampai adikku diperbolehkan pulang. Pikiranku melayang tidak karuan..kenapa bisa sampai terjadi hal itu?
®®®®
Ternyata ayah tidak kembali dari luar kota dalam waktu beberapa hari kemudian. Dan sedihnya, Rini harus dirawat dirumah secara intensip mungkin untuk beberapa bulan kedepan. Sebuah kain pembalut menutupi hasil operasi dan kini Rini harus memakai gantungan tangan.
Aneh sekali, bu Siti dan ayah nampaknya cuek saja. Ayah hanya menanyakan kesehatan Rini lain tidak sepertinya ia lebih konsen kepada telephone bisnis yang berdering terus menerus.
Bu Siti apa lagi..sedikitpun ia tidak kawatir, bahkan ia sibuk dengan shopping dan bergaya. Ada apakah dengan mereka? Mengapa mereka begitu cuek dengan keadaan kita?
Satu malam ketika kedua orang tuaku tidak dirumah aku menyempatkan ajukan beberapa pertanyaan ke Rini
"Hai..masih sakit ya tangannya?"
"Lumayan mas, mungkin obatnya sudah mulai hilang,sekarang yang ada hanya agak sakit"
"Ya sabar aja ya Rin, aku disini ko..sengaja aku ga kuliah dulu biar tungguin kamu agak sehat. Rin, kamu mau cerita keaku kejadiannya?"
Rini tidak langsung menjawab, ia justru menengok kearah lemari pakaian. Ia menarik nafas dalam dalam. Rini kemudian menoleh kearahku seraya tangan kirimnya memegang tanganku.
"Mas tidak usah marah ya, Rini akan ceritakan semuanya...janji ya mas"
"Ceritakan saja Rin supaya aku tau bagaimana kejadiannya"
"Siang itu ketika mas ga dirumah, tiba tiba bu Siti masuk kamar ini. Dia seperti biasa marah marah, masih sama dengan hal yang dulu dia ributkan. Dia mau periksa tas dan lemariku, dia yakin aku menyimpan beberapa perhiasan yang katanya hilang"
"lho kan dulu sudah dibilang bahwa kamu tidak mengambilnya..lagian ngapain dia pake masuk kesini?!" suaranya mulai naik.
"Mas..kalem dong..Rini mau cerita nih, aku males ah kalo mas Gandung marah marah gitu"
"Ya okelah, teruskan Rin"
"Ya selanjutnya aku ga kasih dong dia periksa periksa apalagi lemari itu kan ada beberapa barang ibu seperti peninggalan tusuk konde, selendang dan lainnya. Tapi dia maksa masuk kesini...kita sampe saling dorong, tanpa sadar tiba tiba dia nampar pipiku! Kali ini aku sudah ga kuat lagi, aku mendorong dia. Mungkin dia ngamuk, langsung dia bangun dan mendorong aku keluar kamar"
"Kurang ajar!" Kataku menggerutu kesal.
Nah diluar kamar, aku berusaha menarik dia keluar tapi entah kenapa dia sudah kesetanan..aku terus dorong sampe ujung tangga kebawah. Aku tergelincir dan glundung kebawah lantai"
"Ya Allah!" aku berteriak.
"Nah waktu aku sampai bawah itu tangan kananku mencoba menahan diriku yang jatuh. Disitulah terjadinya, tanganku ga kuat menahan jatuhnya aku dan mungkin itulah kejadian putusnya urat uratku" Rini ga kuasa, ia menutup wajahnya dengan tangan kiri dan menangis.
"Biadab! Terus dia bagaimana lihat kamu jatuh?"
"Aku ga liat lagi, karena tiba tiba tubuhku Kaku dan sakit yang amat sangat dipundakku"
Aku mengepal tanganku dengan keras, marahku memuncak. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus bicara dengan ayah. Malam ini juga.
"Mas, jangan buat kegaduhan ya"
...>>>>>...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!