"Kau pergi lah!! tak ada lagi tempatmu disini." Teriak seorang pria paruh baya dengan kedua tangan bertengger diatas pinggangnya.
Tatapan tak bersahabat dilayangkan nya pada sosok laki-laki yang berdiri dihadapannya kini. Laki-laki tampan dengan bola mata sedikit kecoklatan, kulit bersih dan pakaian yang tak kalah rapih. Namun penampilannya tersebut tak juga mampu membuka mata pria paruh baya tersebut.
"Maaf, pak. Saya hanya ingin bertemu dengan Rani sebentar saja. Ada hal yang harus kami bicarakan, saya janji setelah itu akan pergi."
"Halah alasan!! kamu pikir aku tak tahu siapa kamu?"
"Kamu itu anak pembawa sial. Bahkan ibumu pun pasti bersyukur karena mati terlebih dahulu dari pada menanggung malu mempunyai anak berandalan sepertimu. Bajumu tak mampu menyembunyikan jati dirimu sebagai berandalan. Jangan bermimpi untuk bisa mendekati anakku lagi."
Brakk
Rayyan menatap nanar pintu bercat putih tersebut. Hatinya berdenyut nyeri mana kala masa lalunya kembali menjadi bumerang dalam hidupnya yang kini telah tertata rapih.
Sudah 7 tahun lamanya, namun ternyata semuanya tak semudah yang dia bayangkan.
Rayyan Kevlin Sanjaya.
Seorang mantan anak jalanan yang harus berjuang melawan kerasnya kehidupan setelah kepergian sang mama untuk selama lamanya.
Rayyan yang kala itu masih berusia15 tahun harus dihadapkan dengan cobaan yang membuat jiwanya terguncang. Kematian sang mama menjadi puncak pemberontakan pemuda tersebut.
Rayyan memilih pergi dari rumah yang rasa neraka baginya. Satu satunya orang yang peduli padanya telah tiada, tak ada lagi lengan yang mampu memeluknya kala sesak itu kembali menghimpit dadanya.
.
.
.
"Apa kau yakin akan pergi ke sana?"
Raka Aditama, pemimpin perusahaan Aditama Grup yang sekaligus sebagai atasannya itu bertanya tanpa mengalihkan pandangan.
Raka sangat tahu bagaimana perasaan asisten pribadinya tersebut. Kota B, adalah tempat yang sama dimana gadis pujaan sang asisten berada. Bukan tak senang namun Raka sangat tahu pasti bagaimana hubungan keduanya yang kandas hanya karena masa lalu seorang Rayyan.
"Ya, Tuan. Biarkan saya yang pergi, lagipula tuan tak akan bisa fokus disana saat tuan kecil sedang sakit. Nyonya muda pasti sangat membutuhkan anda."
Huuft, Raka menghela nafasnya dalam. Apa yang dikatakan Rayyan memang benar adanya. Dia tak akan bisa fokus dengan pekerjaannya.Saka, putra kecilnya sedang sakit. Bayi menggemaskan tersebut bahkan sedang dirawat dirumah sakit akibat dehidrasi.
"Kalau begitu aku minta maaf untuk kali ini harus kembali merepotkan mu, Ray."
Rayyan tersenyum, Raka dan keluarganya tak pernah merendahkannya sekalipun. Hal itulah yang membuat Rayyan benar-benar mengabdikan dirinya pada keluarga Aditama. Keluarga yang mau menerimanya dengan latar belakang yang buruk. Lahir dari keluarga ternama tak membuatnya menjadi bangga. Rayyan bahkan memilih melepaskan nama sang ayah dalam namanya hingga orang kini hanya mengenalnya dengan sebutan asisten Rayyan.
"Setelah Rico kembali, aku akan menyuruhnya untuk menyusulmu kesana."
"Baik, tuan."
Keduanya kembali terdiam hanyut dalam berkas berkas yang berada di hadapan keduanya. Hingga dering ponsel Raka mengalihkan pandangan lelaki 2 anak tersebut.
Nama sang istri membuatnya tersenyum kecil. Ada bahagia menyeruak dalam hatinya namun juga rasa khawatir mengingat sang putra sedang dirawat.
"Ya, sayang."
"Mas, sudah makan siang?"
Wajah Denisa nampak memenuhi layar ponsel Raka. Ada ketenangan menyeruak dalam hati Raka ketika menatap wajah cantik sang istri.
"Belum, sebentar lagi mas akan makan bersama dengan Rayyan. Bagaimana dengan mu? apa Saka kembali rewel?"
"Tidak mas, hari ini Saka sudah bisa tertawa, badannya juga tak lagi demam."
"Pulang kantor aku akan langsung ke rumah sakit ya."
"Boleh ajak Sara? aku kangen."
Sara, bayi imut kembaran Saka tersebut terpaksa ditinggal dirumah bersama mama mertuanya. Mengingat rumah sakit tak baik untuk bayi berlama-lama disana. Saka yang rewel tentu saja membutuhkan perhatian yang ekstra. Meski begitu bukan berarti Denisa akan mengabaikan putrinya. Setiap satu jam sekali wanita cantik tersebut akan menghubungi mama mertuanya hanya untuk menanyakan tentang putri kecilnya.
"Baiklah, nanti aku akan pulang dulu kerumah menjemput Sara dan mama. Tapi janji hanya sebentar ya sayang." Senyum Denisa terukir disana.
Dua hari lamanya dia tak bisa mendekap sang putri membuatnya rindu berat. Meski Asi tetap tak pernah putus dia berikan. Denisa akan selalu memompa asinya mengingat Saka pun tak lagi bisa meminum Asinya dengan maksimal selama putranya tersebut sakit.
.
.
Lupita Anggraini.
Gadis yang keseharian nya berpenampilan tomboy tersebut nampak mengulas senyum tipis kala melihat penampilannya berubah drastis. Dia yang kembali ke kampung halaman karena paksaan kedua orang tuanya terutama sang ayah kini menjelma menjadi gadis dengan penampilan anggun.
Wajah yang dulu hanya dibalur bedak tipis itu kini mengalami kemajuan. Ada sapuan lipstik berwarna pink di bibirnya juga kedua alis yang kini nampak rapih.
Wajah yang selalu mengumbar senyum manis tersebut membuat orang lain ikut tersenyum. Meski demikian tak pernah ada yang tahu bagaimana gadis 26 tahun tersebut menyimpan lukanya dengan sangat rapi.
Dengan mata dan telinganya sendiri gadis dengan rambut sebahu itu menyaksikan bagaimana sang ayah mengusir bahkan menghina lelaki yang berstatus kekasihnya tersebut.
"Maaf." Hanya kata itu yang sering dia gumamkan saat mengingat sosok Rayyan.
"Sudah siap, mbak?"
"Sudah, ini baru selesai."
"Wow, mbak Rani cantik sekali hari ini." Pekik Laelah, sepupu Rani. Gadis yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA itu nampak heboh. Memandangi Rani dari berbagai sudut membuat membuat Rani berdecak.
"Kenapa nggak dari dulu saja mbak berpenampilan begini, kan lebih terlihat cantik dari pada pakai kemeja dan jeans."
"Itukan kamu, lah. Mbak kan nggak centil seperti kamu. Lagipula lebih nyaman pakai pakaian casual ketimbang pakai beginian." Rani mencebik.
Sangat menyiksa baginya harus berpenampilan feminim meski kodratnya memang demikian. Dia yang sejak kecil lebih suka memakai kaos dan celana tak pernah mau dipusingkan dengan berbagai macam alat make-up dan juga barang barang seperti tas, maupun perhiasan.
Disaat teman teman sebayanya sibuk ber rias disalon, Rani lebih memilih menguncir kuda rambutnya. Tapi semua berubah sekarang, lebih tepatnya 4 bulan yang lalu. Bukan karena keinginannya, namun gadis itu tak punya pilihan lain selain menurut.
"Bahkan hidupku pun tak lagi menjadi hak ku sepenuhnya." Gumamnya kala itu.
Keduanya beranjak pergi. Satu minggu lagi adalah hari dimana pertunangannya dilaksanakan. Sang ayah telah menetapkan perjodohan nya jauh jauh hari tanpa persetujuan Rani. Ingin menolak namun Rani tak punya kemampuan untuk itu. Beberapa fakta mengejutkan tak lagi mampu membuat Rani kembali memberontak seperti dulu sebelum dirinya melarikan diri ke ibu kota.
Rayyan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Waktu telah menunjukkan jam 5 sore ketika tubuh lelahnya berhasil direbahkan diatas kasur dalam villa yang ditempatinya selama berada di kota B.
Pembangunan cottage yang sedang dikerjakan oleh perusahaan Raka tengah berjalan setengah. Kendala kecelakaan kerja yang dialami oleh pengawas proyek dan beberapa pekerja membuat situasi panas di lokasi pembangunan tercipta.
Tuntutan dari para keluarga korban yang menuduh perusahaan Raka melakukan kecurangan mau tak mau harus dihadapi. Rayyan yang menjadi wakil dari Raka tentu telah membawa beberapa bukti autentik yang bisa digunakan untuk menyangkal tuduhan tersebut. Meski begitu, dia yang memang pernah berkecimpung di dunia keras bisa menarik kesimpulan lain. Adanya niat sabotase dan juga pencemaran nama baik perusahaan Aditama maupun nama baik Raka membuatnya bergerak cepat.
Dia yang merupakan salah satu mantan anak buah Frans tentu tak lagi asing dengan hal itu. Persaingan bisnis kerap terjadi dikalangan pengusaha. Mereka akan berlomba untuk bisa saling bersaing dan menjatuhkan tak peduli meski jalan yang mereka tempuh tak lagi sehat.
Kembali ke kota B dengan tujuan yang berbeda membuat seorang Rayyan hanya terfokus pada pekerjaannya saja.
Kejadian 6 bulan lalu semakin membuka mata hatinya untuk tak lagi berharap tentang hal baik dalam hidupnya. Baginya, keberuntungan telah didapat setelah keluarga besar Aditama menerimanya bahkan memperlakukannya layaknya manusia.
Kota B syarat akan makna baginya. Awalnya dia sangat terkejut ketika mengetahui jika gadis yang menjadi kekasihnya selama setahun belakangan terlahir di kota ini. Kota yang menyimpan banyak kenangan buruk tentang kenakalan nya semenjak hengkang dari keluarga Sanjaya.
Meski waktu telah lama berlalu namun dadanya masih terasa sesak kala masa itu kembali hadir dalam ingatannya. Masa dimana 12 tahun silam dirinya mendapati sang mama meregang nyawa didepan matanya sendiri. Fakta yang diketahuinya hingga membuat wanita yang amat disayanginya tersebut memilih jalan bunuh diri lebih membuat hatinya sakit.
Hingga hari ke 3 kepergian sang mama Rayyan mulai memberontak. Dia yang tak pernah melawan selama ini berubah menjadi anak pembangkang. Puncaknya, amarah Rayyan tak lagi bisa terbendung kala menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sang ayahnya sedang bercumbu dengan seorang wanita yang diakuinya sebagai saudara sepupu itu.
Rayyan yang kecewa memilih pergi meninggalkan rumah besar tempatnya selama ini berlindung. Tak ada yang dia bawa kala itu, bahkan sang ayah memblokir semua fasilitas yang miliknya.
Rayyan yang kecewa semakin mengila setelah dirinya bergabung dengan genk jalanan. Lima tahun lamanya Rayyan menjadikan jalan sebagai rumahnya berpijak hingga suatu hari dia bertemu dengan lelaki 32 tahun yang bernama Javier Alando Gemas yang tak lain adalah kakak dari Frans Alando Gemas.
Javier yang kala itu tengah mengunjungi makam kedua orang tuanya berniat untuk singgah di kota B. Ketua mafia yang tengah menanggalkan kekuasannya kala berkunjung ke negara kelahiran sang momy itu mengalami kecelakaan tunggal. Javier yang tak paham medan hampir meregang nyawa andai saja Rayyan dan teman temannya tak menemukan lelaki itu.
Banyaknya pandangan miring tentang anak jalanan membuat mereka malah dicurigai sebagai penyebab kecelakaan yang menimpa Javier. Beruntung, nyawa lelaki itu bisa tertolong dan dengan kesaksiannya pula Rayyan dan teman temannya bisa bebas dari kurungan penjara.
Javier yang sedang merintis usaha di ibu kota tentu tak tinggal diam. Meski dalam keadaan lemah, dia memerintahkan anak buahnya untuk memantau Rayyan dan kelompoknya. Dari sana lah awal mula Rayyan bekerja di perusahaan Javier yang dikelola oleh Frans sebagai penyedia jasa bodyguard, detektif dan juga pengawalan.
Dua tahun berada dalam biro tersebut membuat Rayyan mempelajari banyak hal. Dunia jalanan dia tinggalkan dan memilih menjalani hidup yang lebih baik. Hingga mengantarkannya bertemu dengan seorang Raka Aditama.
Nama Rayyan kembali dikenal dengan konten yang berbeda dari nama yang melekat pada dirinya 7 tahun silam. Selama 5 tahun terakhir Rayyan dikenal sebagai asisten Rayyan, seorang asisten dengan tatapan tajam dan sikapnya yang dingin. Senyum seorang Rayyan adalah hal mahal yang tak semua orang bisa melihatnya.
.
.
"Siapkan semua berkasnya karena besok pagi pagi sekali kita akan berangkat ke lokasi. Aku sendiri yang akan turun lapangan guna menyelidiki semuanya. Pada saat itu, aku minta tak seorangpun diijinkan masuk lokasi sebelum ada perintah dariku." Ucapnya tegas pada seseorang disebrang sana melalui ponselnya.
Setelah mendapatkan jawaban yang diinginkan, Rayyan menutup panggilan dan kembali berkutat dengan laptop yang menyala di depannya.
Tok tok tok
Ketukan di pintu mengalihkan fokus Rayyan. Pemuda 27 tahun tersebut segera mematikan laptopnya setelah yakin semua berkas yang dikerjakannya tersimpan. Rayyan adalah pemuda dengan kewaspadaan yang tinggi, karena itulah dimanapun dia berada maka keamanan segala pekerjaannya adalah hal utama. Hal itu dia lakukan guna membalas segala kebaikan keluarga Raka padanya kini.
"Iya Pak tyo, ada apa?"
"Ada tamu menunggu diluar, Den. Katanya beliau sudah ada janji dengan Den Rayyan." Pak Tyo, lelaki berusia 50 tahun yang bekerja sebagai penjaga villa yang dibeli Raka tiga tahun lalu tersebut berucap pelan sambil menundukkan pandangannya.
"Oh, iya. Minta tolong bapak suruh masuk ke ruang tengah ya pak. Nanti saya menyusul kesana."
"Baik, den. Bapak permisi."
Rayyan mengangguk sebelum kembali menutup pintu kamarnya. Langkah panjangnya berhenti dipinggir meja dimana sebuah amplop coklat telah disiapkan nya disana. Rayyan kembali melangkah keluar dengan amplop tersebut ditangannya.
Di ruang tengah, nampak duduk seorang pemuda dengan usia tak jauh dari Rayyan. Penampilannya sederhana. Namun tatapan matanya yang tajam membuat orang yang menatapnya bergidik ngeri.
"Sekian lama tak bertemu kau tak berubah sedikitpun."
Pemuda dengan kaos berwarna hitam itu menoleh ke asal suara. Dimana Rayyan nampak melangkah menuju ke arahnya.
"Ckck, kau mau ngeledek atau apa? mentang-mentang sudah jadi orang terkenal kau melupakan kawanmu."
"Hei, kalau aku melupakan mu tidak mungkin hari ini aku menghubungimu."
"Itu karena kau sedang butuh bantuan, si@lan."
Rayyan tergelak, keduanya menyatukan kepalan tangan sebagai tanda persahabatan sebelum saling memberikan pelukan singkat sebagai tanda persaudaraan.
"Bagaimana kabarmu?" Rayyan menjatuhkan bokongnya pada sofa singgel yang berada disamping pemuda yang bernama Vino.
"Beginilah, benar katamu kalau tak ada yang berubah. Aku masih begini berbeda dengan mu."
Rayyan kembali tergelak sambil menggelengkan kepalanya. Vino adalah temannya sewaktu masih menguasai jalanan. Vino juga ikut tergabung dalam biro yang dikelola Javier.
"Bagaimana kabar keluarga mu? putramu pasti sudah besar ya."
"Dia sudah masuk kelas 2 SD, kalau nakalnya jangan ditanya lagi. Mungkin ini karma bagiku yang dulu selalu membuat ibu sakit kepala." Vino tergelak, putranya memang nakal namun bocah 8 tahun tersebut sangat pintar.
Vino sendiri bingung dari mana sang putra mewarisi kepintaran tersebut sedangkan dirinya dulu hanya sekolah sampai tingkat menengah. Selain tak adanya biaya juga karena Vino memang malas untuk melanjutkan pendidikannya. Dia lebih suka berjulaan koran atau sekedar membantu sang ibu mencari rumput untuk dijual. Hidup tanpa ayah sejak lahir membuatnya tak ingin menjadi beban bagi ibunya.
"Jadi ini yang harus aku lakukan? atau ada hal lainnya?" Vino menatap Rayyan dan berkas ditangannya secara bergantian.
"Sementara itu saja. Jangan anggap sepele karena aku yakin ada orang besar berdiri dibelakangnya. Satu lagi, Berhati-hatilah."
Vino mengangguk pelan, hanya 1 lembar dengan beberapa catatan ditangannya namun demikian semua tak sesimpel yang dibayangkannya.
Sengketa tanah yang sebenarnya sudah beres menjadi pemicu awal ditambah lagi adanya sabotase yang mengakibatkan kecelakaan kerja menimpa beberapa pekerja termasuk mandor sendiri.
"Kau mau menginap disini, atau..?"
"Pulang lah, disini aku cuma bisa memandangi langit kamar. Kalau dirumah tentu aku punya selimut hangat yang bisa ku peluk dan ku manja. Emang kamu."
"Ckck, mentang mentang sudah punya bini kau ini." Rayyan mendengus.
Vino tergelak mendengar gerutuan sahabatnya tersebut. Sudah sangat lama keduanya tak bertemu meski komunikasi masih terjalin dengan baik meski hanya sekedar bertanya kabar mengingat kesibukan mereka terutama Rayyan.
"Saat semuanya selesai, aku akan merekomendasikan mu untuk menjaga cottage. Jika semua berjalan sesuai rencana, Tuan Raka juga akan mendirikan hotel disini."
Vino menganggukkan kepalanya. Pekerjaan freelance yang dijalaninya selama ini terkadang tak bisa diandalkan. Vino akan berkerja jika ada job,baik itu dari biro yang menaunginya atau hasil pribadi. Makhlum, memilih tetap ditinggal di kota yang belum semaju dan seramai ibu kota tentu ada tantangan tersendiri yang harus dia hadapi. Beruntung dia memiliki istri yang pengertian dan membantu membuka warung sembako guna mencukupi kebutuhan keluarga kecil mereka sehari harinya.
"Baiklah, aku pulang dulu!! Secepatnya aku akan memberikan kabar padamu."
Rayyan mengangguk dan hanya menatap sahabatnya tersebut berlalu sebelum benar-benar hilang di balik pintu pagar villa. Sepeninggal Vino, Rayyan kembali masuk kedalam kamarnya. Membersihkan diri sebelum akhirnya mengistirahatkan badannya yang lelah.
.
.
"Tapi yah, kenapa harus secepat ini? Bukannya waktu itu ayah bilang terserah Rani?"
Rani berujar pelan dengan lelehan air mata di kedua pipinya.
Dia yang mati matian berusaha untuk terlihat baik baik saja selama ini akhirnya runtuh juga ketika sang ayah mengatakan jika acara pernikahannya dipercepat menjadi bulan depan.
"Kenapa? mau bulan depan atau tahun depan hasilnya akan sama saja. Atau kamu sengaja ingin mengulur-ulur waktu untuk menunggu bajingan itu kembali? jangan harap ayah akan merestui mu dengannya."
"Keputusan ayah sudah bulat, dan nak Ardi juga sudah setuju untuk itu. Jadi jangan sampai kamu mengecewakan ayah, apalagi punya pemikiran bodoh untuk menggagalkan semuanya." Pak Dewo menatap tajam putrinya yang kini hanya mampu terisak dalam pelukan sang ibu.
Sejak kecil, Rani anak yang ceria. Bahkan keluarganya sangat bahagia kala itu. Tapi semua berubah saat kakak nya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Polisi yang menangani kasus tersebut mengatakan jika kakak Rani mengemudi dalam keadaan mabok. Namun pihak keluarga membantah keras hal tersebut terutama pak Dewo.
Pria paruh baya tersebut melakukan penyelidikan mandiri. Dari sana dirinya mengetahui fakta jika putranya sering terlibat bersama anak anak jalanan. Bahkan pak Dewo sempat menyatroni tempat mereka berkumpul dan disana pulalah dirinya melihat wajah Rayyan untuk pertama kalinya.
"Kamu harus bersabar, ayahmu melakukan ini semua juga demi kebaikanmu sendiri."
"Tapi Rani nggak mencintai Ardi, bu."
"Ibu tahu. Dulu, ibu juga tidak mencintai ayahmu. Ibu bahkan sangat membencinya kala itu. Ayahmu terus saja datang menemui kakekmu untuk melamar ibu meski ibu tak pernah memberi respon apapun padanya. Sampai akhirnya kami menikah pun, cinta itu belum ibu rasakan. Akan tetapi sejalan dengan waktu cinta itu hadir dan membuat ibu sadar bahwa ayahmu sangatlah berarti."
"Sebaiknya kamu beristirahat, percayalah, tak ada satupun orang tua yang mengharapkan anaknya terluka." Ibu mengusap pelan pundak Rani sebelum pergi meninggalkan gadis itu sendiri dalam kamarnya.
Cek lek.
Bu Dewo masuk kedalam kamarnya, menutup pintu dengan pelan sebelum melangkah mendekati suaminya yang sedang berdiri menatap kearah luar dari jendela kamar yang dibiarkan nya terbuka.
"Dia sudah tidur?"
"Belum. Apa tindakan kita ini tak keterlaluan mas."
"Tidak!! hanya ini jalan satu satunya untuk menyelamatkan hidupnya. Aku nggak mau dia terjerumus semakin dalam."
"Tapi apa sebenarnya alasan bapak menolak pemuda itu. Yang ibu lihat dia sangat baik dan sopan."
"Kita sudah mengenal Ardi sejak kecil. Kita tahu bagaimana tabiat serta baik buruknya dia."
"Tapi kita nggak bisa menilai orang dari luarnya saja. Setidaknya kita masih punya waktu untuk mengenalnya. Aku kasihan dengan Rani, mas."
"Sudahlah Aku tak ingin lagi berdebat. Seperti yang ku katakan jika pernikahan mereka akan dilaksanakan bulan depan jadi lebih baik kamu persiapkan segalanya." Bu Dewo tak lagi mengeluarkan suaranya, wanita itu hanya mengangguk dan memilih untuk berlalu.
"Andai kamu tahu jika anak itu adalah anak dari bajingan Sanjaya. Mungkin kamu pun akan punya pemikiran sama denganku." Pak Dewo menatap punggung sang istri yang perlahan menjauh dengan tatapan nanar.
.
.
Rayyan berjalan dengan langkah tegap. Ditemani Pak Yakup, mandor sementara yang ditunjuk untuk menggantikan mandor lama yang sedang cidera. Keduanya berjalan mengelilingi lokasi pembangunan Cottage. Dengan mata elang nya Rayyan memperhatikan sekeliling.
Wajahnya yang datar benar-benar tak menunjukkan gelagat apapun. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Pak Yakup yang sejak tadi mengekori langkahnya sampai dibuat membeku. Lelaki 35 tahun tersebut nampak mengusap peluh dikeningnya beberapa kali. Bukan hanya karena cuaca yang memang sedang panas panasnya ditambah lagi dengan sikap dingin yang ditunjukkan Rayyan membuatnya semakin tertekan.
"Jadi dibagian mana tepatnya bagunan yang runtuh kemarin, pak?"
"Eh.. Anu di disebelah utara Tuan." Gagap, suara Pak Yakup bahkan sedikit bergetar. Meski demikian Rayyan tak juga menunjukkan senyumnya. Hanya sebelah alisnya saja yang tertarik keatas seolah menjadi tanda jika dirinya ingin menuju tempat itu.
Dengan sigap pak Yakup menunjukkan jalan sementara Rayyan mengekor di belakangnya.
Polisi line masih berada disana meski penyelidikan sudah selesai. Pembangunan Cottage pun terpaksa dihentikan untuk beberapa waktu. Meski urusan dengan pihak kepolisian telah selesai dan menunjukkan jika kesalahan bukan berada dipihak perusahaan tapi kelalaian para pekerja itu sendiri tidak serta merta membuat Raka puas.
Para pekerja nya telah melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang ada. Safety dalam bekerja pun sangatlah dianjurkan.
"Pak, boleh minta tolong ambilkan saya minum? sementara saya akan melihat lihat keadaan disini."
"Baik tuan, sebentar saya ambilkan." Pak Yakup segera berlalu setelah Rayyan mengatakan jika dia menaruh botol minumannya di ruangan yang dijadikan kantor sementara.
Sepeninggal pak Yakup, Rayyan mendongakkan wajahnya ke atas. Langkahnya kembali maju, kali ini Rayyan memilih berjongkok disisi reruntuhan.
"Kenapa ada pembatas dan sepertinya diberi tanda. Begitu juga dengan reruntuhan ini seolah memang sedang direncanakan. Seharusnya atap yang sudah di cor selama seminggu juga tak serapuh ini." Gumamnya dalam hati namun posisinya masih disana tak beranjak hingga Pak Yakup kembali datang menghampiri nya dengan botol air mineral ditangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!