NovelToon NovelToon

Menantu Sampah Ternyata Dokter Genius

Part 1

Boom

Boom

Boom

Suara bom saling bersautan menghancurkan kapal yang sedang berlayar di laut lepas. Teriakan memilukan memekakkan telinga. Puing puing kapal berserakan di lautan. Sebagian sisi kapal sudah terbakar api. Gerumuh petir bahkan ikut bersambaran memenuhi langit malam yang gelap. Air laut pun seperti ikut beraksi dengan menunjukkan ombakknya. Hingga menenggelamkan siapapun yang masih bernyawa. Perlahan langit pun mulai menurunkan butir air. Menjadi saksi hancurnya orang-orang yang berada di dalam kapal.

"Tidak!!!" teriak Steven dengan keringat membasahi wajahnya. Suaranya tercekak, nafasnya bahkan tidak beraturan. Ia mengusap wajahnya seraya dengan cepat menambil air untuk ia minum di atas nakas.

"Huh.... Mimpi itu lagi," gumamnya setelah merasa cukup tenang. Ia melihat ke sisi kiri ranjang yang ia tiduri. Kosong. Itu yang ia pikirkan. Ia segera beranjak dari kasur menuju balkon.

"Kau mimpi buruk lagi?" ucap suara lembut itu seraya membuka matanya melirik Steven.

"Ya, Clara. Seperti yang kau lihat dan dengar," jawab Steven pada wanita yang ia panggil Clara. Ia tau kalau wanita itu sedari tadi memperhatikannya. Tapi seperti biasa, wanita itu terlihat tidak peduli sama sekali.

"Aku sudah mulai terbiasa dengan teriakanmu itu. Ck, sungguh mengganggu tidurku." Clara bangkit dari duduknya, lalu berjalan masuk ke kamar melewati Steven. "Aku sudah menyiapkan pakaianmu. Pergilah mandi. Aku akan menunggumu di bawah," tambah Clara seraya menunjuk satu set pakaian yang berada di sofa samping ranjang. Setelah itu, ia pergi meninggalkan Steven tanpa mau mendengarkannya.

Mata Steven sedari tadi tidak lepas dari Clara. Sampai Clara menutup pintu, ia akhirnya mengalihkan pandangannya pada pakaian yang sudah tersedia. "Istri yang susah ditebak," gumamnya seraya menggelengkan kepala. Tanpa menunggu lama, ia lekas memasuki kamar mandi. Hingga beberapa menit di dalam sana, ia pun keluar dengan handuk yang melilit tubuh sexynya.

Steven baru akan mengambil bajunya, namun tanpa aba-aba pintu langsung terbuka menampilkan wajah cantik yang seketika mematung dengan mulut menganga.

"Sampai kapan kau akan di pintu menganga seperti itu, Clara? Hati-hati dengan lalat yang akan masuk ke mulutmu," tegur Steven yang sempat melihat ke arah Clara yang masuk ke kamar.

Clara yang ditegur begitu tersadar. Ia segera menutup mulutnya. Lalu menutup pintu dan berjalan ke arah Steven yang sedang mengambil pakaiannya. "Oh, aku hanya sedikit terkejut. Ternyata kau lama juga mandi di dalam kamar mandi. Apa yang kau lakukan? Bermain dengan sabun?" ucapnya dengan tersenyum nakal. Ia memperhatikan tubuh atletis yang penuh dengan luka itu. Meski banyak luka, namun kesan sexy tidak bisa lepas dari pria itu.

"Berhenti menatapku seperti itu, Clara. Aku bahkan memiliki istri, jadi buat apa aku bermain dengan sabun? Bukan kah itu sama saja aku merendahkan istriku?" balas Steven tersenyum sinis.

Hal itu membuat Clara kesal. Ia sangat tau kalau pria yang berstatus suaminya saat ini sedang menyindirnya. Niat hati ingin menjaili suaminya, malah dia yang diserang balik. "Huh," dengus Clara kesar sambil mendudukkan tubuhnya ke kasur. Ia melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatap Steven dengan kesal.

Steven mulai memakai pakaiannya, tanpa mempedulikan istri yang terpaksa ia nikahi itu. Wanita yang saat ini sudah pasti menampakkan wajah cemberut karena tersindir balik dengan ucapannya.

"Apakah ayah yang meminta aku ikut lagi denganmu?" tanya Steven seraya merapikan pakaiannya.

Sementara Clara yang sedari tadi memperhatikan Steven memakain pakaian segera sadar. "Begitulah," jawabnya singkat seraya berdiri ke arah Steven. "Biar aku bantu kancingkan kemejamu, Stev. Biar kau tampil memukau," tawarnya sambil tersenyum yang membuat Steven seketika mematung kala tangan lembut itu menyentuhnya. Namun Steven tetap membiarkannya tanpa penolakan.

Steven diam saja dengan mata yang tak lepas dari Clara. Wanita yang sudah menjadi istrinya selama 1 minggu ini selalu membuat jantungnya berdetak kencang. Namun ia tidak bisa melampiaskan apapun yang ia rasakan wanita ini. Wanita yang ia temui saat membuka mata lagi. Wanita yang bahkan tidak boleh ia sentuh karena pernikahan mereka hanya karena terpaksa. Meski selama sebulan ini, ia selalu merasa ingin menjadikan pernikahan ini sungguhan. Tapi ia juga merasa itu tidak mungkin. Karena Clara hanya menerimanya sebagai suami sementara. Bahkam ibu mertuanya sangat membencinya karena ia dianggap sampah yang tal berguna. Sampah yang dipungut oleh wanita itu di jalan. Jadi bisakah ia berharap lebih pada istrinya ini? Namun selama seminggu bersama dalam satu kamar pun, ia belum bisa memahami watak asli wanita di depannya ini. Apakah salah jika ia benar-benar menaruh hati pada istri yang hanya menganggapnya suami sementara?

"Hei, kenapa kamu melamun? Aku sudah merapikan pakaianmu," ucap Clara sambil menepuk kedua pundak Steven.

"Tidak, aku tidak melamun. Terima kasih sudah merapikan pakaianku," sangkal Steven. Ia segera mengalihkan pandangan dari istrinya itu. Sambil menggeleng kecil, ia berjalan ke arah pintu. "Ayo lekas berangkat. Aku pikir orang-orang sudah menunggu kita untuk sarapan," ucapnya menghilangkan kegugupannya.

"Baiklah, ayo. Ayahku tadi sudah pergi duluan. Ia berpesan agar kita menyusulnya." Clara langsung mengaitkan tangannya ke tangan Steven. Membuat Steven menatap ke arah tangan yang bertautan itu. Clara yang tau maksud Steven, segera menjelaskan. "Kita harus memperlihatkan kepada ibuku kemesraan kita," ucapnya sambil tersenyum manis. Membuat Steven mengangguk kecil. Namun dalam hati dan pikirannya sedang berkecamuk. Haruskah ia memainkan peran lagi? Ia sungguh tidak suka berada di posisi ini. Namun kejadian itu sudah terjadi. Hingga akhirnya ia harus terjebal dalam pernikahan terpaksa ini.

Mereka pun akhirnya berjalan seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Senyuman tidak lepas dari wajah cantik Clara. Bahkan Steven sampai heran melihatnya. Harus ia nilai apa sifat istrinya yang sebenarnya? Namun ia hanya bisa mengikuti kemauan istrinya itu, sampai ia benar benar tau tujuan sebenarnya ia ada di sini.

Kaki mereka baru saja menuju ruang makan. Namun suara gaduh langsung menyambut mereka.

Prank!

Gelas itu terlempar ke arah Steven. Bahkan kulit tangannya tergores karena pecahan gelas itu yang langsung menyebar ke lantai.

Prok... Prok... Prok...

"Liatlah siapa yang datang ini. Menantu sampah yang menjijikan," ucap wanita tua yang berdandan menor itu sambil bertepuk tangan.

"Ibu! Apa yang kau lakukan?! Dia suamiku! Tidak sepantasnya kau melempar gelas kearahnya!" seru Clara seraya melihat tangan Steven yang terluka.

"Kau bela saja suami sampahmu itu terus terusan. Pria yang kau pungut di jalanan, meski kau pakaikan pakaian berkelas, tidak akan merubah statusnya yang memang sampah!" maki Ros yang merupakan ibu dari Clara.

"Jaga ucapanmu, Ibu. Kau taukan, aku menikah juga karena ayah yang mengingkannya!" jawab Clara seraya menarik Steven untuk duduk di kursi ruang makan. "Duduklah dulu. Aku ambilkan obat untuk tanganmu. Biar pelayan yang memberekan kekacauan ini," ucapnya pada Steven seraya beranjak mencari obat.

Steven hanya menurut dengan mata yang menatap ibu mertuanya. Wanita tua itu benar benar tidak menyukainya sejak ia menginjakan kaki di kediaman ini.

"Cih... Kau sihir apa suami dan anakku? Jangan karena mereka menerimamu, aku pun juga akan menerimamu. Ingat, sampah tetap sampah. Dan tempatnya bukan di istana, tapi di tempat sampah! Aku tidak nafsu makan gara gara menantu sampah sepertimu! Segeralah menyingkir dari kehidupan suami dan anakku!" sarkas Ros seraya meninggalkan Steven di ruang makan ini.

Sementara Steven hanya diam. Ia tidak bisa membalas cemoohan ibu mertuanya dengan ikut bersuara. Bukankah lebih baik ia membuktikan dengan tindakan? Tapi apa yang bisa ia lakukan? Bukankah ia memang benar benar sampah? Ia bahkan tidak bisa melakukan apa apa. Hatinya sedikit sedih dengan kekurangannya. Namun sikap istrinya yang nampak panik dan selalu membelanya, membuatnya menyingkirkan kesedihan itu. Entah mengapa ia merasa bahagia melihat sikap istrinya yang terlihat seperti istri seutuhnya untuknya. Mau itu sandiwara, ataupun tidak.

.

.

.

.

.

Part 2

Ruangan makan sudah bersih dari pecahan gelas yang berhambur di lantai. Para pelayan sudah membersihkan semuanya ketika Ros meninggalkan ruang makan. Tinggal Clara dan Steven yang berada di ruang makan itu.

"Jangan terlalu memikirkan ucapan ibu. Ia masih belum bisa menerima kehadiranmu yang baru saja menikah denganku," ucap Clara seraya membalut tangan Steven dengan perban.

"Tidak apa apa, lagi pula yang ibumu katakan memang benar bukan? Aku hanya pria malang yang kau temukan dalam keadaan yang tidak layak di pinggir pantai saat kau berada di pulau itu—"

"Apa yang bicarakan? Mengapa mengatakan hal seperti itu? Aku memang terpaksa menikah denganmu, tapi jaangan benarkan perkataan ibuku!" potong Clara berseru tidak terima dengan ucapan Steven. Ia seraya meletakkan jari telunjuknya ke bibir Steven.

"Terima kasih," ucap Steven dengan tulus seraya mengambil jari Clara, lantas ia mengusapnya lalu menciumnya dengan lembut.

Pipi Clara bersemu merah karena perlakuan lembut Steven. Ia langsung menarik tangannya dari Steven karena tidak ingin ketahuan. Padahal Steven sudah melihat semu merah di pipi istrinya itu. Dan itu sangat menyenangkan baginya. Seperti ada kupu kupu menggelitik perutnya. Apakah istrinya juga merasakan hal yang sama?

"Sebaiknya kita makan. Ayah pasti sudah menunggu kita di perusahaan," ucap Clara mengalihkan pembicaraan. Ia menyiapkan makanan untuk Steven dan dirinya.

"Baiklah. Tapi aku tulus berterima kasih padamu, Clara." Steven masih kekeh mengucapkan rasa terima kasihnya seraya mengambil makanan yang di siapkan Clara.

"Lagipula, untuk apa berterima kasih? Justru aku yang harus minta maaf karena membawamu ke dalam keluargaku," tutur Clara sedikit menyesal. Apalagi perlakuan ibunya yang tidak menerima kehadiran Steven. Ia menunduk sambil memakan sarapannya.

"Tidak apa-apa, bukankah kau hanya ingin ini berlangsung sementara?" ucap Steven santai. Namun membuat Clara sedikit tersentak melihatnya.

"Yah, hanya sementara." Clara bergumam seraya melanjutkan sarapannya. Ia merasa sedikit terganggu dengan ucapan Steven barusan.

Setelah mereka memakan sarapan, mereka pun lantas berangkat bersama ke perusahaan karena permintaan ayahnya Clara—Ben.

Di perjalanan, Steven dan Clara saling membisu. Mereka duduk saling berjauhan. Tidak ada yang memulai percakapan. Bahkan supir yang mengantar mereka merasakan kesunyian. Bukankah seharusnya pengantin baru itu terlihat romantis? Tapi yang dilihat sang supir tidak sesuai yang seharusnya. Dan ia akan melaporkan ini pada Tuannya.

Clara yang masih merasa hatinya tak tentu, memilih melihat ke arah jendela. Beda halnya dengan Steven yang menatap lurus kedepan dengan pikiran bercabang. Ia kembali membayangkan awal mula kejadian yang menimpa dirinya hingga terjebak dalam pernikahan terpaksa dengan Clara. Dimana ia bertemu dengan Clara pertama kali saat ia benar benar tidak berdaya. Mungkin bisa dibilang, Clara adalah penyelamatnya. Karena hanya Clara yang lihat saat ia kembali membuka mata setelah melalui masa krisis.

Flashback

"Tolong..." suara lirih Steven yang berada di pinggir pantai dengan pakaian yang penuh dengan darah, melilit tubuhnya. Kepalanya juga terluka namun Stevan masih terus berusaha mencari pertolongan saat kondisinya sudah diujung kematian. Mungkinkah akan ada yang menolongnya? Ia sedikit putus asa melihat dimana ia terdampar dengan keadaan yang memprihatinkan. Pulau ini nampak terawat, tapi tidak seperti berpenghuni. Pulau ini lebih mirip dengan pulau pribadi.

Steven berusaha merangkak ke dekat bebatuan besar di pinggor pantai. Ia melihat luka di sekujur tubuhnya akibat ledakan di tengah laut yang tidak terkira. Ia memegang kepalanya yang makin lama makin terasa sakit. Ia merasa sudah tidak bisa bertahan. Sambil melihat sekitar, ia masih terus bersuara. Tenggorokannya terasa kering meski sudah mengarungi lautan. Meski terasa sakit akibat ombak yang menghantamnya, ia merasa bersyukur karena sampai ke daratan meski harus dalam keadaan sekarat.

Ini sudah hampir masuk fajar. Ia berharap, akan ada seseorang yang melihatnya saat terang. Dan ia sangat berharap bisa selamat. Seketika saat matahari terbit sedikit, samar samar ia melihat seorang wanita yang tengah berlari ke arahnya.

"Clara!" teriak seseorang memanggil wanita yang berlari itu hingga membuat pergerakan ke arahnya berhenti.

"Clara," ucap Steven lirih menyebut nama wanita yang ia dengar dan sudah pasti akan menolongnya. Ia tersenyum sebelum akhirnya kesadarannya hilang sepenuhnya. Setidaknya ia bersyukur, Tuhan masih mengirimkan wanita itu untuk menolongnya.

Seorang wanita cantik yang hendak menikmati sunset, malah harus menemukan mayat laki laki di dekat bebatuan pinggir pantai. Menyelamatkan dan merawat pria itu tanpa peduli dengan identitasnya.

.

.

.

"Apa yang kau pikirkan, Stev?" ucap Clara membuyarkan ingatan Steven. Ia mengalihkan tatapamnya menatap Clara yang ternyata memulai percakapan dengannya.

"Aku hanya memikirkan tentang pertemuan pertama kita," jawabnya jujur.

Tapi justru jawaban jujur itu membuat Clara sedikit tersipu malu. Apakah suami sementaranya ini selalu memikirkannya?

"Untuk apa memikirkan hal yang sudah berlalu?" ucap Clara mengalihkan suasana.

"Aku hanya penasaran, kenapa aku tidak mengingat apa apa. Dan kenapa aku bisa terdampar di pantai saat itu," ungkapnya mengeluhkan sedikit pemikirannya pada Clara. Mungkin ada baiknya mereka membicarakan hal ini. Karena mungkin, ia akan mengingatnya secara perlahan.

"Jangan khawatir, kau akan mengingat semuanya. Tapi jangan dipaksakan. Itu akan membuat kepalamu kesakitan. Aku berjanji akan mencari tau lebih dalam tentang identitasmu, Stev."

"Ya, kau memang harus membantuku. Kita sudah sepakat untuk hal itu bukan?"

"Tenanglah, kau pasti akan mengingatnya perlahan. Tapi bersyukurlah karena di pakaian yang kau kenakan dulu, ada namamu tercantum dalam sebuah kartu," balas Clara mengingat kartu yang terselip di saku celana Steven yang justru sengaja ia buang agar tidak dilihat Steven. Dengan alasan hilang, Steven pun tidak menuntutnya untuk memberikan kartu yang tertera namanya itu.

"Yah, setidaknya dari namaku, kau bisa membantuku mencari tau identitas asliku."

"Hmm.... Seandainya tidak ada namamu, Kau tau apa yang akan terjadi?" tanya Clara yang tiba tiba memajukan kepalanya mendekat menatap Stevan.

Kening Steven mengeryit bingung. Apalagi melihat tingkah Clara yang sepertinya mencurigakan. Ia lantas berkata, "Memang apa yang akan terjadi?"

Clara menoel hidung Steven seraya berkata, "Mungkin aku harus memberimu nama Sapiiiiii.... Moooooo...."

Clara tertawa mengejek Steven. Hingga Steven ikut menarik hidung Clara. "Apa kau bilang? Kau ingin menyamakan suamimu dengan sapi?" ucapnya hingga membuat Clara minta ampun tapi masih tertawa. Ia menggelitik Clara hingga tawa nyaring memecahkan kesunyian di dalam mobil yang sempat terjadi tadi. Hingga gawa mereka terhenti ketila mobil juga ikut terhenti. Mereka pun segera keluar dan masuk ke perusahan karena Ben sudah pasti menunggu kehadiran keduanya.

Sementara Pak Supir hanya bisa bernafas lega saat menyaksikan pasturi itu bercengkrama. Sepertinya tidak ada yang harus ia khawatirkan. Tuannya pun pasti sudah menunggu kabar darinya.

.

.

.

"Bagaimana?" tanya pria bejas hitam pada seseorang yang ia telpon.

"Selalu awasi pergerakannya. Jangan sampai musuh mengenali!" perintahnya dengan tegas lalu dengan segera mematikan telponnya.

Pria itu menatap dan menggoyangkan gelas wine di tangannya. "Aset berharga harus di jaga. Tapi juga kadang harus dibuang karena membahayakan," ucapnya misterius seraya meminum winenya.

.

.

.

.

.

Part 3

Steven berjalan bergandengan tangan dengan istrinya menuju ruangan milik ayah mertuanya. Banyak karyawan yang melihatnya dengan sinis dan remeh. Meski ia terlahir tampan, namun isu tentang ia yang merupakan menantu sampah sudah menyebar sampai ke perusahaan. Entah siapa yang menyebar isu itu. Ia mungkin saja menebak kalau ini perbuatan ibu mertuanya. Namun ia menepis hal itu, karena menurutnya ibu mertuanya tentu tidak ingin citra keluaganya tercemar meskipun keluarga mereka hanya pebisnis biasa yang mempunyai perusahaan kecil. Isu seperti itu hanya akan membuat saham perusahaan anjlok.

"Bukankah itu menantu sampah yang dikatakan menikah dengan putri pemilik perusahaan?" celetuk seorang wanita yaang merupakan karyawan di perusahaan.

"Iya, itu dia. Akhirnya kita melihat menantu sampah yang satu mingguan ini menjadi perbincangan karyawan," ucap karyawan wanita lainnya ikut menimpali.

"Tapi, Bukankah dia tampan?" salah satu wanita justru ada yang mengagumi ketampanannya.

"Percuma tampan kalau tidak bisa apa-apa. Hanya sampah yang dipungut, tidak akan berguna 'kan?" hina yang lainnya ikut masuk ke pembicaraan, seraya menatap putri bos mereka dengan suaminya.

"Hust... pelankan suaramu! Bos sudah meminta kita tutup mulut bukan? Jangan sampai isu ini menyebar keluar perusahaan. Bisa-bisa, kita kehilangan pekerjaan kita. " Salah satu karyawan pria mengingatkan, karena sudah merasa keterlaluan.

Hingga mereka bisa melihat kalau Clara melirik tajam karyawan yang membicarakan tentang suaminya, "Sekali lagi kudengar kalian menghina suamiku, lebih baik langsung keluar saja dari perusahaan in!"

Sementara Steven melihat istrinya hanya bisa tersenyum. Ia sudah mendengar hinaan para karyawan tadi, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah memang kenyataannya seperti itu? Bahkan dia tidak tau siapa dirinya sebenarnya. Asal usulnya benar-benar dipertanyakan. "Tenanglah," ucapnya seraya mengelus tangan istrinya.

"Huh, ini hari pertamamu datang keperusahaan ayah, tapi sambutan yang kau terima malah seperti ini. Maaf, Stev... entah siapa yang menyebar isu itu. Ayo pergi dari sini, aku bisa-bisa memecat mereka semua jika terlalu lama di sini."

"Tidak apa-apa, ayo. Ayah mertua juga pasti sudah menunggu kita," balasnya seraya melanjutkan langkahnya dengan menarik tangan istrinya. Mungkin istrinya benar-benar akan memecat semua orang jika tidak memikirkan perusahan kecil ayahnya yang masih memerlukan para karyawan itu.

"Awas kalian semua!" tunjuk Clara penuh ancaman seraya meninggalkan semua karyawan yang hanya bisa menunduk.

Setelah mereka sampai di depan ruangan Ben, Clara langsung melepas tautan tangannya dengan Steven. Mereka langsung masuk ketika melihat sekertaris Ben mempersilahkan untuk masuk.

"Ayah..." seru Clara seraya berlari kecil ke arah ayahnya. Ia lantas memeluk Ben yang langsung disambut dengan hangat.

"Kenapa lama sekali sampainya? Hm?" tanya Ben. Clara melepas pelukannya kala Steven bergerak menghampiri Ben untuk bersalaman.

"Bagaimana kabarmu, Steven? Duduklah di sana," ucap ben seraya mendudukan dirinya di sofa ruangannya diikuti oleh Clara dan Steven.

"Baik," jawabnya singkat karena merasa masih sangat kaku jika harus memanggil pria itu dengan sebutan ayah.

"Bohong! Steven sangat tidak baik-baik saja tinggal di rumah, Yah. Ibu selalu memusuhinya. Kenapa ayah tidak pulang ke rumah saat kami ada di sana sih," gerutu Clara menimpali ucapan Steven.

"Kau tau kan, perusahaan saat ini krisis. Ayah harus mengurus semuanya sebelum poerusahaan ini pindah ketanganmu. Apalagi Kakekmu juga keadaannya di rumah makin menurun," keluh Ben menjelaskan alasannya yang selama pernikahan putrinya, ia tidak pernah berasa di rumah.

Melihat ayah dan anak itu bercengkrama, membuat Steven merasa benar -benar tidak berguna. Untuk apa sebenarnya ia dipanggil ke sini. Apakah cuma untuk menanyakan keadaannya? Ia hanya bisa diam tanpa memiliki niat menimpali pembicaraan istrinya.

"Ayah akan menegur ibumu itu. Dan untuk Steven, ayah harap kamu tidak memasukkan hati ucapannya." Ben mengembalikan atensinya pada menantu yang sedari tadi hanya diam.

Steven tersenyum mendengarnya. Ia bersyukur karena masih memiliki ayah mertua yang baik. Meskipun seluruh keluarga istrinya menganggapnya sampah. "Iya, Ayah. Jangan khawatir. Bagaimana pun, aku memang terlihat tidal bisa melakukan apa apa. Apalagi kondisiku yang baru saja pulih," jawabnnya membuat Clara menatap luka di plipisnya.

"Tapi tetap saja, kau adalah menantu keluarga kami. Tidak seharusnya mereka bersikap seperti itu padamu. Kau adalah pilihan putriku. Jadi ayah sebagai kepala keluarga minta maaf mewakili mereka," tutur Ben merasa bersalah.

"Apa yang ayah katakan? Ayah tidak perlu meminta maaf. Justru aku yang berterima kasih karena mengizinkan aku menikahi putrimu," balasnya. "Karena kalau tidak ada putrimu, aku mungkin tidak akan berada di sini lagi. Penyelamatku," tambahnya dalam hati.

"Ayah harap, kau bisa membimbing putriku ini Steven. Dia wanita yang nekat dan bebas. Tapi sungguh, dia wanita lembut yang baik hati. Ayah pastikan kau tidak menyesal menikah dengan putri Ayah," Ben menepuk pundak Steven dan mengelus tangan putrinya. Mengarahkan tangan itu untuk bertaut dengan tangan Steven. Dan itu justru membuat Clara malu. Apalagi ayahnya terlalu membanggakan dirinya. Sungguh Clara mulai merasa menyesal karena membohongi ayahnya tentang Steven dan pernikahan mereka.

"Apakah ada yang bisa aku bantu, Yah?" ucap Steven yang merasa harus sedikit berguna meski tak bisa berbuat apa apa.

"Bantu Ayah menyusun berkas, Steven. Biarkan Clara kembali mengerjakan tugasnya di perusahaan ini," ucap Ben. Ia berdiri dan langsung diikuti Steven yang juga lantas berdiri.

Sementara Clara segera meninggalkan dua pria beda usia itu. Ia dengan segera kembali ke ruangannya setelah berkata, "Jika sudah selesai, temui aku di ruanganku. Ayah... Steven... Aku pergi."

Setelah kepergian Clara, Ben justru menatap Steven tajam. Hal itu membuat kepala Steven penuh tanda tanya. Bukankah tadi ayah mertuanya terlihat ramah dan lembut padanya? Lalu kenapa saat ini terlihat seperti memusuhinya?

"Ayah... Ap—"

"Aku berlaku baik hanya karena putriku terlihat menyukaimu! Bagaimana pun, asal usulmu masih dipertanyakan. Semua tentang dirimu tidak jelas," potong Ben membuat Steven tersentak.

Apa ini? Bukankah itu berarti tidak ada sama sekali yang menerimanya di keluarga istrinya? Keningnya mengerut bingung. "Maksud, Ay—"

"Kau tidak perlu memanggilku Ayah seperti putriku jika kita hanya berdua. Kalau bukan kejadian di pulau itu, aku tidak akan pernah merestui kalian berdua untuk menikah. Cih, kau benar benar terlihat seperti sampah pengganggu di sekitar putriku. Itulah alasan sebenarnya kenapa aku tak pernah hadir di kediaman selama kau tinggal di sana. Benar benar memuakkan," hina Ben menatap sinis Steven dari atas sampai bawah.

Tangan Steven mengepal mendengarkan hal itu. Wajahnya memerah menahan amarah karena hinaan itu lagi. Jika ada istrinya, mungkin ia akan tetap diam dengan hinaan yang membuat uratnya mengeras. Tapi situasinya sekarang, mereka terhina tanpa istrinya. Ia tidak menduga jika ayah mertuanya hanya bersikap baik di depan istrinya. Ia pun mulai memberanikan diri untuk angkat bicara. "Maaf untuk kejadian di pulau itu. Tapi saya akan membuktikan bahwa saya bukan sampah seperti anggapan kalian semua. Mungkin sekarang saya tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi bukan berarti dikemudian hari akan tetap sama," ucapnya dengan tegas. Ia memang melupakan asal usulnya karena kejadian yang entah kenapa ia juga lupakan. Dan hanya Clara yang tau akan kondisinya itu. Mungkin saja ia melupakan kemampuannya juga kan?

Ben tertawa mengejek. Ia berdecih seraya berkata, "Cih, kau berharap kau akan jadi apa nanti? Sampah yang akan selalu menempel pada putriku, tidak akan mungkin jadi permata. Pergilah dari sini! Tapi ingat, jika kau mengatakan sesuatu yang buruk tentangku pada putriku, aku tidak akan segan untuk melenyapkanmu."

"Baik, saya permisi. Anda tenang saja, saya tidak akan mengadu pada putri anda. Terima kasih untuk ancamannya," balasnya seraya pergi meninggalkan ayah mertuanya. Ia pergi keluar perusahaan mengabaikan lirikan dan bisikan para karyawan. Karena yang sedang ia pikirkan sekarang, ia butuh angin segar untuk mendinginkan emosinya yang tertahan.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!