NovelToon NovelToon

Placebo Effect

PROLOG

Berbagai macam makanan lezat dari seluruh penjuru dunia dihidangkan dengan indah di atas kain merah yang menyelimuti bentuk meja panjang dengan sempurna. Aroma masakan itu masing-masing bertebaran memenuhi ruangan luas yang kini sudah dikunjungi oleh para tamu undangan dari beberapa perusahaan ternama.

Tidak hanya aroma makanannya saja yang begitu menggoda indra penciuman para tamu undangan yang datang, indra penglihatan mereka juga ikut dimanjakan dengan pemandangan tak terlupa yang ada di hadapan mereka dari balik kaca transparan yang menjadi pembatas  ruangan mewah tempat berlangsungnya perjamuan bisnis itu dengan alam yang indah di luar sana. 

           Sebuah air terjun tinggi yang airnya mengalir begitu deras menyita sepasang mata indah bocah laki-laki berusia tiga tahun yang duduk tepat di hadapan kaca pembatas itu. Meski air terjun itu hanyalah sebuah rekaan manusia, tapi tetap saja keindahannya membuat netra hitam nan legam milik anak itu tidak ingin buru-buru lepas darinya. Dengan lincah pensil yang digenggam bocah itu dengan erat menari-nari mengikuti gerakan tangannya yang tidak bertujuan, membentuk goresan-goresan tak beraturan layaknya benang kusut.

           Beberapa kali namanya dipanggil, tetapi empunya nama tidak menoleh sedikitpun ke sumber suara, ia asik dengan dunianya sendiri, yaitu pensil dan kertas putih polos yang selalu ia bawa. Sampai-sampai pria separuh baya yang sedari tadi berdiri di balik punggung mungilnya menggendongnya dengan paksa. Lalu, membawa ia ke tengah acara perjamuan bisnis yang diselenggarakan dengan mewah oleh perusahaan bisnis fashion terbesar milik keluarga Sadana yang legendaris.

           "Selamat sore hadirin sekalian, izinkan saya menyampaikan sesuatu di hari yang berbahagia ini. Perkenalkan ini adalah anak semata wayang saya, Genta Athaya, calon penerus perusahaan fashion nomor satu di distrik ini," ucap pria separuh baya tadi dengan gagah  diatas mimbar yang membuat para tamu memberikan tepukan tangan yang sangat meriah.

Dari seberang mimbar, terdapat sosok wanita paruh baya berparas cantik yang turut memberikan tepukan tangannya untuk mengapresiasi pembicara di atas sana. Hanya dengan tepukan lembut dari jemarinya yang lentik ia dapat mengalihkan semua pandangan mata para tamu undangan secara serentak ke arahnya. Degan samar, ia merentangkan garis tips di bibir merahnya yang merona sambil menggenggam segelas sari apel berukuran mini yang begitu menawan.

Tidak ada yang dapat menyaingi aura pekat yang terpancar dari tubuhnya yang indah, meski kini ia telah berkeluarga. Gaun merah berkilau yang dipadukan dengan sarung tangan hitam yang panjangnya selengan serta rambut coklatnya yang ditata bak putri dalam sebuah negeri dongeng menambahkan kesan elegan padanya di pesta besar sore itu.

Setelah selesai memberikan tepukan tangannya yang cukup meriah, alih-alih naik ke mimbar untuk memberikan beberapa kata sambutan kepada para tamu undangan yang terhormat, wanita itu malah meninggalkan ballroom hotel yang telah ia sewa. Lalu, kedua kakinya yang jenjang mengantarkannya ke salah satu kamar VIP di hotel itu yang sudah dipesannya sejak kemarin.

Wanita itu kemudian duduk di atas ranjang yang empuk dan memandangi dalam-dalam foto wanita lain yang tampil dalam ponsel pintarnya. "Tak akan kubiarkan anakmu mendapatkan posisi ini, Indira," gumam wanita paruhbaya itu dengan sorot mata yang dengan jelas mencerminkan sebuah kekecewaan yang sangat amat mendalam.

Chapter 1 : Kenapa?

 Jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tetapi jemari Genta masih sibuk dengan kuas lukis yang sedari tadi menari-nari dengan lincah di atas sebuah canvas besar di hadapannya. Sesekali ia mendekatkan pandangannya untuk memberi detail-detail kecil pada objek yang sedang ia lukis. Suasana malam yang hening menambah konsentrasinya terhadap aktivitasnya itu. Tanpa sadar bulir-bulir air  di dahinya jatuh bergantian, membasahi wajahnya yang rupawan. Sesekali ia mengusap keringat itu dengan handuk kecil yang menggantung di lehernya.

 Setelah menambahkan tanda tangan dan tanggal pada lukisan yang sudah sempurna, Genta menggeser bangku yang didudukinya itu sedikit ke belakang. Ia memiringkan kepalanya condong ke kanan, kedua bola matanya yang berwarna hitam legam menjadi berbinar setelah menatapi hasil dari setiap goresan kuas yang ia buat. “Wow,” gumamnya sambil membuang napas dengan kasar. Bibirnya kini mengembang membentuk bulan sabit, membuat dimple yang terletak di kanan dan kiri pipinya terlihat dengan jelas.

Beberapa menit berlalu ia memandangi hasil lukisan itu, wajah Genta tiba-tiba saja berubah 180 derajat. Senyum manis yang tadi sempat mekar kini kembali layu, wajahnya kembali datar seperti hari-hari biasanya. Kenikmatan dalam hatinya sudah berakhir setelah membayangkan begitu banyak reaksi sinis orang-orang di sekitarnya, disusul dengan degupan jantungnya yang berdetak lebih cepat daripada biasanya.

Genta pun berdiri dari tempat duduknya, ia membalikan kanvas yang ada di hadapannya sehingga hanya katun polos dan kayu-kayu penyangganya saja yang dapat terlihat. Ia dengan segera menyimpan kanvas itu di dalam lemari bersama beberapa tumpukan kanvas lainnya. Setelah itu ia mengembalikan semua perlengkapan lukisnya ke tempat semula. Entah sudah keberapa kali ia merasakan hal yang tidak mengenakan hatinya seperti ini. Pikirannya terus dihantui dengan bayang-bayang masa lalu yang pernah menimpanya.

Berpasang-pasang mata menatapnya sinis sambil tidak henti-hentinya mencibir. Memorinya saat SMP itu dulu selalu saja terlintas di benaknya ketika ia baru saja menyelesaikan karyanya yang akhir-akhir ini menjadi semakin sering  terlintas di ingatannya. Sebuah memori singkat yang memakan habis rasa percaya dirinya  sampai saat ini untuk kembali menunjukkan hasil dari karya lukisnya tersebut. 

Genta membaringkan tubuh besarnya yang lelah ke atas kasur. Pandangannya kini menjadi kosong. Entah sampai kapan ia akan terus terjebak dalam perasaan sedihnya itu. Perlahan kedua kelopak matanya mulai tertutup, ia lelap dalam tidurnya.

...***...

Genta meneguk segelas air mineral yang sudah tersedia sejak malam di atas meja belajarnya. Jiwanya belum sepenuhnya terkumpul. Kedua matanya juga  masih lengket menahan rasa kantuk karena tidur terlalu larut. Seperti rutinitas yang ia lakukan di hari-hari biasanya, ia membuka jendela lebar-lebar agar udara di kamarnya itu saling bertukar dengan sejuknya udara pagi dari luar ruangan. Dengan tubuh yang masih lesu diliriknya jam yang menggantung di salah satu sisi dinding kamarnya. Sontak kedua pupil mata Genta membesar diikuti dengan alisnya yang tanpa sadar juga terangkat.

"Aku gak salah liat kan?!" gumam Genta dalam hati sambil beberapa kali mengedipkan sepasang matanya dengan cepat berharap apa yang ia lihat saat ini tidak benar-benar terjadi. Kantuknya seketika menghilang, dengan sigap ia bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuju kamar mandi. 

Sementara itu di ruang makan, keluarga Genta yang hanya beranggotakan ayah dan ibunya itu sudah tak sabar menunggu kedatangan anak semata wayang mereka yang belum juga keluar dari kamar. "Gentaa!!" panggil ibu Genta dengan lantang sembari meletakkan piring besar  berisi nasi goreng yang baru saja diangkat dari teflon. Bersamaan dengan ayah Genta yang juga ikut serta membantu istrinya yang sedari tadi sibuk menyiapkan sarapan dengan membawakan jug berisi susu sapi segar yang kemudian diletakan di atas meja makan. 

"Sebentar, Bu…," sahut pemuda berusia 20 tahun dari dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari ruang makan. Tak lama, Genta keluar dari kamar dengan rapi. Ia mengenakan kaus hitam dilapisi kemeja berwarna putih polos yang kancingnya dibiarkan terbuka serta celana jins hitam yang menambah keserasian penampilannya hari ini. Tidak tertinggal rambut wolfcut-nya juga tertata dengan sempurna. Lalu, ia berjalan tegap menghampiri kedua orang tuanya yang sudah lama menanti di meja makan setelah menutup pintu kamarnya perlahan.

"Maaf, aku terlambat lagi," pinta Genta menundukkan kepalanya untuk mengakui kesalahannya pagi hari ini sambil menarik kursi yang masih kosong di hadapannya untuk duduk. Suaranya terdengar sedikit bergetar, entah karena efek air dingin yang ia gunakan untuk mandi tadi atau karena dirinya yang takut karena sudah merusak mood  kedua orang tuanya di pengawal hari.

"Pasti karena semalam kamu melukis lagi kan?!" jawab ayah  dengan sinis.

"Sudah berapa kali sih Ibu bilang sama kamu Gen, jangan ngabisin waktu tidur  untuk hal-hal yang gak penting kayak gitu, mendingan juga kamu tuh fokus sama pendidikan kamu, gak nurut banget sih anak ini kalo dikasih tau!" sambung ibu Genta menambahi jawaban sinis dari suaminya itu.

"Nah, bener, tuh, yang dikatakan Ibumu. Daripada kamu buang-buang waktu untuk hal yang gak penting, gak ada manfaatnya sama sekali untuk masa depan kamu dan justru malah ganggu waktu belajar dan istirahat kamu mendingan kamu tuh belajar sedikit-sedikit sama ayah gimana caranya mengelola bisnis keluarga kita." 

Genta hanya diam, ia menarik napasnya dalam-dalam guna mengontrol emosinya yang sudah terkumpul sejak lama agar tidak meledak begitu saja di hadapan kedua orang tuanya. Sebab hal ini bukanlah hal yang baru baginya, telinganya seakan ingin lepas ketika lagi-lagi harus mendengar ocehan yang sama saat ia muncul terlambat untuk sarapan.

"Pokoknya mulai besok gak ada lagi yang namanya melukis, Ibu akan suruh orang untuk buang semua barang kamu yang gak berguna itu! Kamu harus jadi penerus bisnis keluarga kita!" nasihat  Ibu dengan serius.

 Genta mengerutkan dahinya tak terima. Selama ini ia juga sudah berjuang sedikit demi sedikit mempelajari caranya mengelola bisnis keluarganya itu sebagai bentuk hormat kepada kedua orang tuanya, meski ia tahu bahwa itu benar-benar di luar passion-nya. Seringkali ia rela meninggalkan hobinya demi menyenangkan hati kedua orang tuanya, tetapi di mata mereka Genta hanyalah anak pemberontak yang gemar menghabiskan waktunya untuk melukis. 

"Tapi kan, Aku gak pernah tertarik untuk itu Bu," dengus Genta menahan nada bicaranya agar tetap stabil.

"Apa susah nya sih untuk nurut?!"  bentak Ayah sambil menggebrak tangan kanannya di atas meja makan. Menghancurkan suasana sarapan yang biasanya berjalan dengan tenang.

Genta berdiri dari duduknya. Matanya memanas, jantungnya juga berdegup tidak stabil, hatinya seolah teriris mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya itu. Bahkan keluarga yang selama ini ia anggap sebagai rumah tidak pernah mendukung satu-satunya impian yang ia punya.

Genta pun menjauh dari ruang makan. Kakinya melangkah dengan cepat menuju pintu keluar. Beberapa kali kedua orang tua Genta meneriaki namanya untuk segera kembali ke tempat semula, tetapi yang dipanggil tidak menghiraukan suara-suara dari balik tubuhnya yang cukup besar itu. Ia hanya terus berjalan menuju pintu keluar dengan membawa segenap perasaan campur aduk yang sudah tidak dapat dijelaskan.

"Kenapa mereka tidak pernah menghargai usahaku?"

Chapter 2: Toko Peralatan Tulis yang Asing

Kecepatan speedometer yang ada di hadapan Genta terus bergeser ke arah kanan seiring ritme dalam degupan jantungnya bertambah. Otot-otot kecil pada punggung tangannya menjadi terlihat dengan jelas ketika seluruh jemarinya mencengkram erat lingkaran empat spoke yang memiliki jari-jari simetris sebagai pengubah arah pergerakan transportasi roda empat pribadi yang sedang ia kendarai. Bagai menerka keberadaan jiwa dalam setiap insan, suasana kalbunya masih tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Saat ini yang ia rasakan hanyalah luapan emosi yang sudah tidak dapat dibendung dengan apa pun lagi.

Sesekali salah satu tangannya menghentak-hentakan pengendali arah mobil itu dengan keras bergantian dengan punggungnya yang sengaja ia benturkan kasar ke bantalan empuk yang berada tepat di belakangnya sebagai tempat ia duduk untuk mengemudi. Tidak hanya itu, rambut yang sudah tertata dengan sempurna pagi ini turut menjadi sasaran dari kemarahannya. Tangannya dengan cepat mengacak-ngacak rambut hitam berkilau di kepalanya dengan brutal sambil sedikit menarik-narik segenggam rambutnya yang berhasil ia raih dengan perlahan.

Bukannya mereda, justru emosi yang sedang mendekap erat kalbunya itu semakin bertambah seolah tidak ingin buru-buru pergi begitu saja dari sisinya.

Dalam tempat kecil yang sangat kedap Genta dengan sadar membuka mulutnya lebar-lebar diikuti dengan suara lantang yang keluar dari pita suaranya yang bergetar, ia melepaskan semua emosi yang ia pendam selama ini sampai-sampai yang terlihat dengan jelas dari lehernya hanya garis-garis kecil berwarna biru sedikit kehijauan yang menonjol. "Aaargh! Kenapa, sih?" raungnya tak tertahan.

Sejak Genta masih duduk di Sekolah Dasar, kedua orangtuanya memang selalu mendorongnya untuk berkecimpung di dunia fashion dan tata busana. Baik itu menjadi peraga busana dari hasil busana-busana yang diproduksi oleh perusahaan keluarganya maupun belajar tentang bagaimana busana yang sempurna itu bisa tercipta. Mulai dari cara memilih kain-kain yang berkualitas, warna, pola dan lain sebagainya. Bahkan ibu Genta juga pernah sangat bersemangat memasukan putra semata wayangnya itu untuk ikut kelas menjahit saat baru saja naik ke SMP.

Genta sempat menuruti perintah ibunya untuk ikut kelas menjahit itu dengan dijanjikan akan dibelikan hadiah berupa tablet baru. Namun, baru saja kelas menjahitnya berjalan selama tiga pekan Genta merengek minta keluar sebab saat itu kelas menjahit didominasi oleh murid perempuan seusianya. Ia hanya satu-satunya murid laki-laki di kelas itu sehingga membuat dirinya tidak betah berada lama-lama di sana.

Dari banyaknya cara orang tua Genta mengenalkan dunia fesyen dan tata busana kepadanya agar ia tertarik meneruskan bisnis keluarga, sayangnya semua yang dilakukan oleh mereka hanyalah sia-sia. Meskipun sesekali ia masih menerima tawaran untuk menjadi peraga busana di perusahaan keluarganya dengan terpaksa, tapi ia menolak keras jika harus ditunjuk menjadi penerus bisnis tersebut. Genta selalu mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia punya jalan sendiri untuk bisa berhasil tanpa harus menjadi penerus bisnis fesyen keluarganya yang cukup ternama di distrik Barren. Yang paling penting jalan yang akan diperjuangkan Genta harus sesuai dengan passionnya bukan hanya sekadar tuntutan orang tua dan segenap keluarga besar.

Setelah menjauh entah kemana dari lingkungan rumahnya, Genta akhirnya menghentikan laju mobilnya pada satu toko peralatan tulis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Toko itu terlihat sedikit kuno dan usang tetapi tidak dengan stok barang yang terpajang dengan rapi di dalamnya. Di sana, tidak satu pun pemandangan yang ia lihat terasa familier. Tempat baru yang begitu asing membuat pandangan matanya yang berwarna hitam legam mengamati dalam-dalam beberapa objek yang ada dari balik benda transparan yang membatasi pandangannya dengan apa yang ia lihat di seberang sana.

Kemudian pandangannya terfokus pada suatu titik, dimana terdapat dua anak kecil yang usianya sekitar 12 tahun sedang sibuk berbelanja di sana. Raut wajah kedua anak itu sangat riang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi sesekali gelak tawa mereka terdengar menembus kaca jendela mobil milik Genta. Tanpa sadar hal itu mengundang Genta memunculkan senyuman tipis di wajahnya. Kedua anak itu mengingatkan dirinya akan seorang sosok penting yang begitu berharga dalam hidupnya.

Karena penasaran dengan toko yang ia lihat. Ia pun memutuskan untuk memarkirkan sedan hitamnya tepat di depan toko alat tulis tersebut dan keluar dari kendaraan kesayangannya. Sepasang kaki jenjang Genta membuat langkahnya menjadi lebih cepat untuk sampai di pintu masuk toko minimalis berukuran 5x5.

"Selamat datang!" sambut seorang wanita yang berdiri di kasir sambil melemparkan senyum tipisnya pada Genta.

Genta membalas dengan menundukkan kepalanya sejenak, lalu kedua matanya langsung dimanjakan dengan berbagai jenis peralatan tulis yang tertata rapi di rak-rak yang ada di sana. Mulai dari bolpoin, pensil, penghapus, penggaris, rautan dan masih banyak lagi, semua brand alat tulis berkumpul menjadi satu di toko alat tulis ini. Tidak hanya itu, di salah satu sudut toko terdapat satu rak berisi peralatan-peralatan lukis yang selama ini ia perlukan. Tanpa melihat harga yang melabeli barang-barang itu, Genta mengambil satu per satu jenis kuas, cat akrilik dan kanvas yang ia perlukan lalu memasukkannya ke keranjang yang baru saja ia ambil dari sisi kanan kasir.

Belum puas dengan barang-barang yang sudah dimasukan kedalam keranjang plastik berwarna hijau yang ia jinjing, Genta mendekat ke sebuah rak yang berisi kertas gambar dengan ragam ketebalannya. Ia pun terdiam dan memandangi satu persatu kertas-kertas itu. Ingatannya lagi-lagi kembali pada suatu masa ketika tawanya mengembang begitu cerah. Ditemani dengan berbagai alat lukis dan pena-pena berwarna hitam dengan bentuk dan fungsi yang berbeda-beda. Entah sudah berapa lama, perasaan bahagia itu belum lagi ia rasakan.

"Sial, ternyata tidak mudah hidup tanpa bayang-bayang masa lalu," gumam Genta yang tanpa sengaja tangannya memasukan kertas gambar itu ke dalam keranjang belanjanya.

Genta pun melangkah ke kasir untuk membayar barang-barang yang ia beli. Emosinya memang sudah lenyap entah kemana sejak melihat kedua anak kecil yang keluar dari toko alat tulis itu, tetapi kini perasaannya malah tergantikan dengan kesedihan. Genta membuang napasnya dengan kasar setelah keluar dari toko. Berbelanja tidak membuat hatinya merasa lebih baik.

"Apa lagi yang harus kulakukan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!