Pertama kali membuka mata, yang Karina lihat adalah punggung seseorang tengah duduk di depan komputer. Karina merubah posisi tidurnya menjadi duduk sambil mengusak matanya yang terasa masih lengket.
"Hoam~"
"Karin sudah bangun."
Karina menatap seseorang itu lekat. Wah .... Dia ganteng bak pangeran di negeri dongeng.
"Sini, Sayang." Panggil seseorang itu lembut.
Karina yang dipanggil sayang cuma mengedip-ngedip bingung. Karena Karina masih diam di tempat, maka orang itu mendekati Karina.
"Karin sayang, kok melamun?" Tanyanya sembari mengusap pipi Karina lembut. "Masih mengantuk, ya?" Tanyanya lagi.
Karina memegang tangan yang bertengger di pipinya. Terus Karina memiringkan kepalanya, dan menatap lekat tepat di mata orang yang memanggilnya sayang ini. "Sayang?" Karina bergumam pelan.
"Kenapa, Karin sayang?"
"Kamu siapa?" Karina malah bertanya balik.
"Tentu saja aku suamimu, Rin. Hahaha .... Kenapa sih?"
"Huh?" Karina sedikit terkejut mendengar penuturan orang ini. Kemudian Karina menoleh melihat keadaan sekitar ruangan yang asing baginya. Terdapat banyak foto bertenggeran di dinding maupun meja serta lemari. Yang paling menonjol adalah foto dengan bingkai sedang di atas meja kerja samping komputer. Di sana ada foto orang yang mirip sekali dengan wajahnya dan wajah orang di hadapannya ini. Terlihat mesra dan romantis.
"Suami Karin namanya siapa?" Tanya Karina lagi. Karina merasa kalau dia ini tengah bermimpi. Pasalnya tadi Karina tuh tiduran di perpustakaan kampus kok. Karina ingat sekali.
"Jahat sekali nama suami sendiri di lupakan." Dia sedikit cemberut yang mana membuat Karina menjadi gemas. "Jeno, Lee Jeno suaminya Karina Lee."
"Wah~ indah sekali mimpiku ya .... Punya suami ganteng, hihihi ...." Karina berdiri dari ranjang berniat mengelilingi ruangan menarik ini sebelum ia terbangun.
Duag!
"Akh!"
Karina langsung bersimpuh di lantai ketika jari kelingkingnya menabrak meja. Sakit sekali.
"Ya ampun sayang, hati-hati," kemudian Jeno memeriksa kaki Karina kalau saja kulitnya terluka. Jeno tidak suka itu. "Apa masih sangat sakit?"
Karina yang melihat Jeno mengelus jari kakinya menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Jeno. Tapi tidak lama kemudian Karina melotot kaget. Kok dalam mimpi bisa merasakan sakit?
Nyut!
"Aduh! Aduh!" Karina meringis sakit ketika ia mencubit lengannya.
"Eh, ngapain mencubit lengan sendiri?"
"Kok dalam mimpi bisa merasakan sakit?"
"Sayang, kamu ini sudah bangun tidur. Bagaimana bisa mimpi coba. Apa kamu sakit, hm?" Jeno meletakkan punggung tangannya ke kening sang istri.
"Jadi ini nyata?!" Pekik Karina. Sungguh ia tidak percaya.
"Iya, Sayang, iya. Kamu tidak sakit, tapi kok aneh?"
Karina memejamkan matanya sebentar. Sekelebat ingatan terlintas dalam ingatannya.
"Ingatan macam apa ini?"
...🕊️...
Karina merapikan pakaiannya setelah suaminya itu pergi pamit kerja barusan. Mereka berdua agak kesiangan bangun karena semalam mereka tidur larut malam. Sebenarnya Karina ini masih bingung dengan apa yang terjadi sekarang. Masa dia sudah punya suami sih?
Kegiatan melamun Karina terganggu ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Karena penasaran Karina segera beranjak membuka pintu.
Ceklek ....
"Selamat pagi, Nyonya Karin. Nyonya Sooyoung memanggil, Nyonya."
"Tolong antarkan saya ke sana."
"Baik, Nyonya Karin."
Sepanjang perjalanan Karina memperhatikan setiap inci ruangan yang mereka lewati. Rumah ini terkenal elegan dan klasik. Karina yakin suami dadakannya ini pasti kaya raya 8 turunan.
"Silahkan masuk, Nyonya. Kita sudah sampai."
Ketika Karina masuk, dia langsung mendapat sambutan dengan pandangan tajam dan menyebalkan. Karina bertanya-tanya siapa wanita ini?
"Oh .... Bagus ya jam segini baru bangun. Jangan mentang-mentang Jeno ada di rumah, kau seenaknya melupakan tugas. Lihat, rumah masih berantakan begini. Jangan malas-malasan. Sana bersihkan rumah!" Perintahnya.
"Bukannya di rumah ini ada maid, ya?" Tanya Karina bingung.
"Apa tadi kau bilang?!"
"Maid. Bukannya di rumah ini ada maid. Kenapa aku yang membersihkan rumah?" Tanya Karina lagi.
"Bicara apa kau ini?! Tugas membersihkan rumah adalah tugas kau!" Ucapnya dengan nada tinggi penuh penekanan.
"Bukannya aku nyonya di rumah ini? jadi itu semua bukan tugasku lah." Jawab Karina tegas. Ia tidak takut sama sekali.
"KARINA!"
...🕊️...
Setelah perdebatan menggunakan urat tadi, Karina balik lagi ke dalam kamar. Bodo amat sama perempuan tadi. Mau dia ibunya sang suami atau bukan, Karina tidak perduli. Enak saja menyuruh bersih-bersih. Terus guna maid berkeliaran di dalam rumah ini apa? Mandor? Alah, mengabisi uang saja, berguna tidak.
Pokoknya Karina harus menyusun rencana atas balas dendam dia pagi ini. Ah tidak, atas segala perbuatan mereka yang kurang ajar sama tubuh ini sebelumnya. Enak saja menjadikan nyonya rumah seperti pembantu. Ok, jiwa dalam tubuh ini dulu lemah lembut, maka jangan harap yang sekarang akan begitu.
Dan Karina tidak mau berbagi. Istri kedua suaminya yang juga menantu kesayangan perempuan tadi, harus segera angkat kaki dari rumah ini. Karina tahu kalau suaminya tidak punya perasaan sama istri keduanya itu. Tapi tetap saja suaminya ini sangat adil kepada mereka berdua. Suaminya juga memberi nafkah batin.
Membayangkan saja hati Karina sudah panas. Lagian siapa yang rela suami ganteng begitu dibagi-bagi. Sepertinya Karina sudah jatuh cinta dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.
Karina berganti pakaian tidak lupa dandan yang cantik. Dia sudah menghubungi sang suami kalau mau berkunjung ke tempat kerjanya. Suaminya itu sudah mengirimkan supir untuk menjemput dirinya.
Setelah selesai Karina keluar dari kamar. Mengabaikan orang-orang yang melihat dia dengan penuh keheranan. Kalau dilihat-lihat ini bukanlah style Karina yang biasa. Karina itu kurang suka dengan pakaian branded setahu orang-orang. Tapi yang ini lihatlah, dari ujung kaki sampai ujung rambut, bau uang menguar dari dirinya.
Apa Karina perduli?
Tidak.
Pokoknya tubuh ini harus dimanja selagi yang menempati adalah jiwanya.
Tidak menunggu lama Karina sudah sampai.
Karina memperhatikan bangunan dihadapannya. Ternyata besar juga. Kira-kira suaminya ini pengusaha apa, ya?
Melangkahkan kakinya memasuki gedung. Karina dikagetkan dengan karyawan yang berhamburan membetuk barisan menyambut kedatangannya.
Keren juga pelayanan di sini. Tidak seperti di rumah. Kalau di sana, cih!
Sampai ke lantai paling atas, Karina di arahkan ke ruangan yang bertuliskan “Direktur Utama” di atas pintu masuk.
"Hebat juga suamiku ini." Karina seketika bangga sekali. Ia mengetuk pintu sebelum masuk.
Ceklek
Membuka pintu perlahan, Karina disuguhkan dengan pemandangan sangat-sangat panas dihadapannya. Maksudnya, hatinya yang panas. Siapa perempuan itu sampai berani memijat pundak suami tercintanya?
"Suami Karin~"
Jeno menoleh ke arah pintu masuk. "Sayang, kemari."
Karina jalan mendekat dan matanya menatap perempuan di belakang suaminya dengan penuh peringatan. "Suami Karin capek, ya? Sini biar Karin yang pijat." Karina tersenyum manis, tangannya mengambil alih memijat pundak sang suami, menggeser tubuh perempuan itu perlahan-lahan.
Perempuan itu mengalah. Dengan senyum canggung dia berdiri agak jauh.
"Suami Karin, dia siapa?" Tanya Karina dengan suara mendayu.
"Dia sekretaris, suami Karin." Jeno ikut-ikutan menyebut dirinya suami Karin seperti yang istrinya itu ucapkan.
"Namanya?"
"Kang Mina."
"Oh ..., Begitu. Kok sekretaris Kang memijat pundak suami Karin ini?" Tanya Karina lagi.
"A-ah itu, direktur terlihat kelelahan, jadi saya inisiatif membantu memulihkan tenaga direktur. Iya begitu ...."
"Sekretaris Kang, bukankah Anda terlihat langcang? Selain direktur, suami Karin ini sudah punya istri, Anda tidak punya hak menyentuh orang yang sudah berpasangan. Banyak cara lain kalau Anda memang perduli dengan atasan Anda ini. Ya, kecuali kalau Anda punya niat terselubung. Jadi, saya peringatkan bahwa Anda harus menjaga batasan Anda. Saya bukan istri yang baik hati jika ada yang ingin mengambil suami saya dari sisi saya. Satu lagi, jangan membuat pandangan saya benar bahwa sekretaris itu adalah kumpulan orang-orang penggoda."
...🕊️...
Karina tiduran di sofa sambil memperhatikan Jeno yang masih sibuk di depan komputernya. Rasanya bosan sekali. Sebagai perempuan yang aktif, Karina sangat tersiksa berdiam diri walaupun cuma 5 menit saja.
"Suami karin~" panggil Karina pelan.
"Kenapa, Sayang?" Jawab Jeno tanpa mengalihkan perhatiannya dari komputer.
Karina menatap Jeno agak terperangah.
Tajam juga pendengaran suaminya ini. "Karin lapar," ucap Karina dengan nada lesu.
Jeno menoleh cepat ke arah Karina yang sibuk menggelung dirinya di atas sofa. "Lho, memangnya tadi tidak sarapan di rumah?"
Karina berdiri menghampiri Jeno dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ya ampun, Sayang. Ada apa, hm? Kasih tahu suamimu ini."
"Mereka tuh, huwaaaa .... T-tidak kasih--" Karina terisak
"Eh, kenapa menangis? Sini, duduk sini." Jeno menuntun Karina duduk ke pangkuannya. Kemudian mengusap punggung sang istri yang bergetar, "sudah jangan menangis, kita keluar beli makan. Apa mau pesan saja?" Tawar Jeno.
"Malas, Karin malas." Rengek Karina.
"Terus maunya bagaimana, hm?"
"Mau peluk saja."
"Katanya tadi lapar."
"Diam, ish!" Seru Karina galak.
"Ya, sudah ini diam."
"Sayang~"
Jeno menoleh ke arah pintu masuk. Seorang perempuan cantik dengan senyum merekah masuk ke dalam ruangan.
"Kenapa kemari? Coba langsung pulang ke rumah, istirahat, pasti lelah, kan?"
"Aku cuma mampir sebentar kok, kangen sama kamu." Tuturnya manja.
"Oh, begitu."
"Itu Karina kenapa?" Tunjuknya kepada Karina yang membelakanginya.
"Tidak apa-apa kok. Biasa, manjanya keluar."
"Wah~ Jadi ingin juga, hehehe .... Nanti malam tidur sama aku, ya, aku tadi beli lingerie yang cantik."
"Hahaha .... Iya, nanti malam aku tidur sama kamu. Sudah sana pulang, istirahat."
Ia mengangguk mengiyakan. Satu kecupan mendarat di bibir Jeno. "Aku pulang dulu ya, Karina." Pamitnya sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.
Setelah suara pintu tertutup, Karina langsung turun dari pangkuan Jeno. Menarik tisu di atas meja, dan tanpa ragu Karina mengelap bibir Jeno. Sungguh dia tidak suka ada yang menyentuh miliknya.
"Karin?" Jeno bingung dengan tindakan yang tengah dilakukan istrinya ini.
"Kenapa? Tidak suka?" Salak Karina kesal.
"Bukan begitu--"
"Iya, dia juga istri kamu, aku tahu. Tapi, tetap saja aku tidak suka berbagi suami. Jen, lebih baik kau pikirkan dari sekarang siapa yang ingin kau pilih. Aku atau dia?"
"Posisi ku sulit untuk memilih sekarang, Rin. Mengertilah."
"Sampai kapan?"
"Aku belum tahu sampai kapan. Tapi semoga secepatnya. Tolong sabar, ya. Sebelumnya kamu tidak pernah meributkan soal ini, tapi sekarang kenapa?"
"Karina yang dulu sudah mati. Aku sudah membunuhnya. Dan Karina yang sekarang tidak mau berbagi suami. Aku tunggu satu bulan untuk memilih. Kalau tidak, mending kita saja yang berpisah." Tegas Karina. Ia tidak ingin berhubungan dengan orang lamban, tidak punya pendirian begitu.
Jeno membulatkan matanya kaget. Mimpi terburuk kalau harus berpisah dengan Karina, belahan jiwanya. Tidak bisa!
"Oke, satu bulan."
"Bagus."
Nah, ini baru bagus, batin Karina berseru senang.
...🕊️...
Mata Karina menatap tajam botol kecil berisikan racun (obat) yang membuat tubuh yang ia tempati tidak bisa menerima benih sang suami. Manusia kurang ajar yang memberi obat ini memang harus diberi pelajaran.
Dengan emosi yang berkobar-kobar, Karina membuang semua isinya ke dalam kloset.
...🕊️...
"Suami Karin, mau kemana?"
"Malam ini aku tidur sama Anggia, Rin. Karin jangan tidur larut malam."
"Tidak boleh!"
Jeno yang hendak pergi menatap istrinya bingung. “Kenapa?”
"Pokoknya tidak boleh."
"Tapi aku sudah janji, Rin."
"Masa bodoh dengan janji. Aku tidak mengizinkan, titik."
"Rin, jangan begitu, apa Karin tidak memikirkan perasaan Anggi kalau aku tidak ke sana?" Jeno memelas meminta pengertian dari Karina.
"Lalu bagaimana dengan perasaanku?!" Karina menatap Jeno datar, "aku punya hak penuh atas dirimu! Aku sebagai istri pertama tidak pernah memberi izin kamu menikah lagi! Ah, aku lupa. Kamu menikah lagi tanpa izin dariku, hahaha …." Karina tertawa, tapi air matanya sudah mengalir membasahi pipi mulusnya. "Kita sudahi saja bagaimana?" Ucapnya lirih.
"Kamu sudah janji memberikan aku waktu satu bulan. Sebelum itu, jangan pernah mengungkit soal perpisahan. Aku tidak mau, dan tidak akan pernah mau." Tegas Jeno.
"Tapi aku tidak mau milikku disentuh oleh orang lain, Jeno!" Teriak Karina penuh dengan penekanan.
"Maaf, Rin, maaf." Jeno menarik Karina ke dalam pelukannya. Otak Jeno berpikir keras bagaimana caranya menceraikan Anggia tanpa ditentang oleh mamanya itu. "Sudah jangan menangis lagi, aku tidur di sini denganmu."
Karina mengangguk masih dengan terisak pelan. Tapi tidak dengan hatinya, Karina yang bersorak senang, dia menang, hihihi .... Jadi, selamat menunggu, Anggia.
"Ayo, kita tidur."
"Iya."
Pasangan suami istri ini bergelung di dalam selimut hingga pakaian mereka berhamburan di lantai.
"Welcome, Dear~" bisik Karina seduktif. Yang mana membuat tubuh Jeno meremang sekaligus semakin bergairah. Salah satu fetish Jeno adalah kata dear yang keluar dari mulut Karina.
...🕊️...
Di lain tempat, Anggia tampak gusar. Sudah satu jam terlewat tapi Jeno masih belum datang ke kamarnya. Hari sudah semakin larut, Anggia tidak mau persiapannya sia-sia, jadi Anggia memutuskan untuk melihat apa yang tengah dilakukan suaminya itu hingga datang terlambat.
Melihat ruang kerja yang rapi menandakan Jeno tidak di sana. Anggia menuju kamar utama yang ditempati Karina dan suaminya. Sebenarnya Anggia malas sekali datang ke kamar ini, tekanan darahnya serasa naik ke atas kepala saking tinggi emosinya.
Karina merupakan musuh terbesar yang sangat amat sulit disingkirkan. Walaupun Karina terlihat sangat menurut dan sedikit lugu, karena cinta Jeno ini, Anggia tidak bisa gegabah. Maka dari itu Anggia berusaha merubah rasa cinta Jeno menjadi rasa benci kepada Karina.
Anggia menatap lekat pintu berwarna putih dengan ukiran Karina Lee lengkap dengan angsa putih sebagai pemanis. Melihat itu saja Anggia sudah emosi.
Tok... Tok...
Perlahan pintu terbuka, dan yang membuka adalah orang yang tidak diharapkan. Raut wajah Anggia berubah menjadi gelap ketika Karina membuka pintu.
"Apa yang kau lakukan tengah malam begini datang ke kamar kami?"
Anggia melotot kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Karina. "Mana Jeno?" Tanya Anggia setelah sadar akan situasi.
Karina membuka pintu kamar lebih lebar. Memperlihatkan keadaan kamar agak berantakan terutama bagian ranjang, dengan Jeno yang tertidur pulas di sana. Mata Anggia beralih memperhatikan penampilan Karina, ternyata sama berantakannya.
"Apa yang kau lakukan dengan, Jeno, hah?!"
"Kurasa kau tidak buta untuk tahu apa yang kami lakukan tadi," jawab Karina dengan santai, "coba kau lihat, pahaku merah semua. Jeno memang selalu memuaskan. Aku makin cinta."
"Kau! Jeno milikku malam ini, Karina. Apa-apaan kau ini?!" Anggia menatap Karina penuh kebencian.
"Sejak kapan Jeno bisa menjadi milik orang lain? Jeno itu suamiku! Tidak ada yang boleh memilikinya selain aku. Lagipula siapa kau? Kau ini hanya benalu dalam hubungan kami, Anggia. Sadarlah!"
"Aku tidak perduli kau menyebut aku sebagai apa. Cepat atau lambat Jeno akan meninggalkan kau, karena kau tidak akan pernah bisa memberikan Jeno keturunan."
"Kata siapa? Kami akan segera memilikinya. Barusan kami membuat adonan bayi kok.
"..."
...🕊️...
"Apa yang kalian lakukan? Aku lihat rumah ini masih berantakan, debu dimana-mana, dan kalian malah bergosip begini. Kalian mau makan gaji buta, hm?"
"Maaf Nyonya Karin, Nyonya Sooyoung melarang kami membersihkan rumah." Salah seorang maid dengan enggan menjawab seolah ia berbicara dengan rekan kerjanya.
Karina mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kemasi barang-barang kalian, dan segera pergi dari sini."
...🕊️...
"Maaf sekali lagi Nyonya Karin, kami tidak bisa mengikuti perintah, Nyonya."
"Iyalah …. Memangnya kau siapa bisa memerintah mereka semua?" Ucap Anggia dengan nada congkaknya. Ia berdiri di sana dengan angkuh, menatap Karina rendah. Ia masih dendam dengan kejadian semalam.
"Kau tanya aku? Aku siapa?" Karina bersedekap dada. Menatap Anggia dengan raut wajah meremehkan. "Aku adalah pemilik rumah ini. Rumah ini atas namaku. Harusnya aku yang bertanya, kau siapa?" Tantang Karina.
"Nyali kau besar sekali akhir-akhir ini, ya. Apa kau kangen dengan rasa kena tusuk jarum? Kalau iya, maka dengan senang hati kami di sini membantu mengurangi rasa kangen kau itu. Kau, ambil yang biasa." Perintah Anggia kepada salah seorang maid.
Sedangkan Karina cuma menatap malas. Sepertinya terlihat menyenangkan. Tapi masa sih pakai jarum, tidak kreatif sekali.
"Bawa dia."
"Tidak usah pegang-pegang. Aku bisa jalan sendiri." Tolak Karina.
Karina menatap nyalang gudang yang menjadi saksi dari semua perbuatan penyiksaan yang dilakukan oleh mertuanya, tidak-tidak! Karina tidak akan pernah menganggap perempuan tua itu mertuanya.
Karina bertanya-tanya, apakah mereka ini masih memiliki sisi kemanusiaan? Setiap ingatan yang tidak mengenakan melintas dalam pikiran Karina, rasanya emosi Karina meluap-luap. Kok bisa sih penghuni tubuh ini sebelumnya sabar sekali. Kala itu dia, sudah pasti mengadu lah. Nah, maka dari itu, sehabis ini mau mengadu, hihihi ....
Plak
Karina terperanjat kaget ketika rasa panas menjalar di pipinya.
"Apa yang kau tertawakan?!"
"Berani sekali kau menyentuh pipiku. Bagaimana kalau pipiku tumbuh jerawat karena bakteri dari tangan kotor kau itu? Kau mau bertanggung jawab, hah?" Karina menatap Anggia jijik.
Napas Anggia sudah tidak beraturan karena tekanan emosinya memuncak. Baru kali ini emosinya tidak stabil selama hampir dua tahun dia menyiksa Karina.
Sret
Anggia menjambak rambut Karina kencang. Rasanya Anggia ingin sekali menarik rambut Karina hingga lepas sampai keakar-akarnya.
"Seharusnya anak yatim piatu seperti kau ini harus tahu diri. Tempat kau itu harusnya di panti, bukan rumah megah bak istana. Dan berhenti menggunakan tubuh kau ini untuk menggoda suamiku. Kau harus tahu batasan, Karina!"
"YAK!" Anggia teriak kencang karena wajahnya diludahi oleh Karina.
Plak
Anggia kembali menampar Karina.
"Bagus Anggia, bagus, hahaha ...." Karina tertawa senang yang mana membuat orang-orang yang berada di sana bingung. "Inilah yang ku tunggu. Kau sudah melakukan kesalahan besar kali ini. Kau tahu, ini akan menjadi bukti kalau kau telah melakukan kekerasan kepadaku." Tunjuk Karina kearah pipinya, "Kira-kira bagaimana tanggapan Jeno, ya? Apa ada yang tahu?"
Sret
Seketika yang ada di sana teriak kaget. Darah membasahi lantai yang berasal dari telapak kaki Karina, akibat dari jarum yang tidak sengaja menggores kulit kakinya.
"Waoh~ nambah satu lagi, nih ...." Karina berseru senang memamerkan kakinya yang berdarah kehadapan Anggia yang tampak memucat.
"Siap-siap ya kalian semua angkat kaki dari rumahku ini. Karena suami tercintaku akan sangat marah. Tapi tenang, aku masih memberikan kalian kesempatan untuk bertaubat."
Karina meninggalkan gudang masih dengan kekehan senang. Sepanjang jalan Karina meninggalkan jejak kakinya, tercetak jelas berwarna merah pekat.
...🕊️...
"Nyonya, ini bagaimana?"
"Jangan bicara padaku! Bersihkan darah sialan itu!"
Anggia meninggalkan gudang mengejar Karina sebelum sampai ke daerah yang penuh dengan CCTV. Itulah kenapa hampir dua tahun Anggia menyiksa Karina tidak pernah diketahuan oleh Jeno. Karina juga selama ini tidak berani mengadu kepada Jeno. Jadi Anggia selalu merasa aman. Terlebih lagi daerah gudang tidak ada CCTV.
Tapi untuk sekarang, Anggia tidak merasa aman. Karina tidak seperti biasanya. Karina berani menatap dirinya, Karina berani menjawab perkataannya, dan Karina berani mengancamnya.
"Karina, berhenti!"
Bukannya berhenti, Karina malah berlari menuju kamarnya. Mengunci kamarnya lalu mengambil ponsel miliknya, Karina sudah siap membuat drama menarik.
"Hallo, Rin."
"Pulang."
"Sebentar lagi pulang kok. Mau titip sesuatu?"
"Sekarang, pulang sekarang, Jen."
Brak!
Brak!
"Karina, keluar kau!"
Teriakan serta gendoran pintu terdengar semakin kencang. Orang-orang di luar sana semakin brutal.
Brak!
"KARINA!"
"Aku takut, pulang." Karina teriksa pelan.
"Apa yang terjadi?" Tanya Jeno. Terdengar suara gaduh di seberang sana. Karina yakin kalau Jeno tengah mencari sesuatu.
"Tidak tahu. Anggia tiba-tiba marah." Adunya.
"Kamu di mana sekarang?" Suara Jeno terdengar memberat. Ow .... Emosi Jeno mulai naik.
"Di kamar."
"Kamu jangan keluar kamar sebelum aku pulang."
"Jangan lama-lama."
"Sialan! Keluar kau!"
"Anggia kau--"
Karina mematikan panggilannya sebelum Jeno menyelesaikan kalimatnya. Biar Jeno semakin emosi.
"Lihat saja Anggia, akan ku balas setelah ini. Enak saja melukai tubuh cantikku." Karina memilih tiduran sambil menunggu Jeno sampai. Tidak akan lama pasti. Mungkin cuma 5 menit. Jadi, selama itu Karina akan memikirkan kata-kata apa yang pas untuk drama sore ini.
Click ….
Suara kunci pintu dibuka mengalihkan perhatian Karina. Kok cepat sekali? Apa Jeno terbang ke sini? Pikiran Karina menjadi melalang buana.
"Ini dia nyonya yang terhormat rumah ini. Tepuk tangan dulu, dong ...."
Karina menautkan alisnya. Kenapa orang-orang tidak berguna ini bisa masuk?
"Apa yang membawa Anda ke sini?" Tanya Karina masih dengan santainya.
"Lihat, Ma. Dia sudah congkak sekali sekarang. Harus kita beri pelajaran apa supaya dia bisa tunduk kembali?"
"Mama punya ide, Anggi. Kamu tenang saja. Setelah ini Mama yakin dia tidak akan berani bahkan hanya untuk mengangkat kepala." Sooyoung tersenyum lebar menatap Karina meremehkan. Ia akan memberi pelajaran setingkat dengan ide jahatnya beberapa bulan yang lalu.
"Mama Sooyoung yang terbaik." Anggia tentu saja merasa senang.
"Ck! Jangan bertele-tele, kalian mau apa? Kalau tidak ada keperluan sana keluar. Kamar kami jadi penuh dan kotor karena kalian." Usir Karina.
Tanpa Karina sadari, sesuatu melayang ke arahnya. "Akh!" Karina terduduk sambil memegang perutnya yang terasa sakit luar biasa.
"Baru sekali pukul sudah bereaksi seperti ini. Lemah!" Anggia mengacungkan jari tengahnya tepat dihadapan Karina.
Ya, iyalah sakit. Dipukul dengan tongkat besi pula. Apalagi dipukul secara tiba-tiba. Anggia ini bodoh juga ternyata.
"Heh kalian, bantu pegang tangannya." Perintah Sooyoung kepada beberapa maid yang berdiri dibelakangnya.
"Wow, berani main keroyokan, hehehe .... Cupu." Karina masih sempat-sempatnya melontarkan kalimat meremehkan.
Dengan emosi yang meluap-luap, Sooyoung mengayunkan tongkat besi itu ke perut Karina, lagi, dan lagi.
Bugh
Karina memejamkan matanya rapat-rapat. Sakit juga ternyata.
Bugh
"Semangat, Ma!" Seru Anggia menyemangati.
"Nyonya, ada darah." Adu salah satu maid yang memegangi sebelah tangan Karina.
Mata mereka semua tertuju kepada satu titik. Celana sutra yang Karina kenakan sudah berubah warna menjadi merah. Tepat di daerah ************. Cairan merah itu semakin menyebar bahkan membuat genangan kecil tepat di atas lantai yang Karina duduki.
"M-ma, itu kenapa?" Anggia melepas pegangannya dari tangan Karina. Buru-buru merapatkan tubuhnya kepada Sooyoung yang masih mematung di tempat.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Deg!
Sepertinya ini adalah hari paling tidak beruntung bagi mereka semua.
"J-jeno, kau sudah pulang." Sooyoung menyapa putranya dengan senyuman yang sangat amat dipaksakan untuk menutupi rasa gugup yang menguasai dirinya.
"Mana Karina?" Jeno tidak menghiraukan sapaan dari ibunya itu. Tujuan Jeno cepat pulang untuk menemui istrinya.
Jeno masuk ke dalam kamar. Para maid membuka jalan untuk sang penguasa kedua rumah ini lewat. Yang mana membuat Sooyoung melotot tidak terima.
"Jen." Panggilan lirih masuk dalam indera pendengaran Jeno.
Anggia dan Sooyoung saling lirik. Mati kita! Batin mereka nelangsang.
Deg!
Bak tersambar petir, badan Jeno mematung sesaat, melihat belahan jiwanya duduk bersimpuh dilantai dengan darah di sana.
...🕊...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!