Freya menatap pantulan dirinya di cermin, wajah cantik dengan polesan make up yang terlihat sangat natural, terlihat sekali kalau yang sedang mendadaninya adalah seorang MUA terkenal yang dipanggil khusus oleh keluarga Rodriquez. Sentuhan seorang MUA terkenal memang sangat berbeda, dalam sekejap Freya benar-benar terlihat seperti seorang peri. Ia bahkan hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
Freya menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Seorang designer terkenal masuk dengan senyum menawan di wajahnya dan ia membawa sebuah gaun putih di tangannya. Dan Freya bisa menjamin bahwa gaun yang ada di tangan wanita itu sangatlah indah dan mengagumkan. Mungkin dalam keadaan dan situasi normal, Freya akan menjerit histeris kegirangan melihat sosok wanita yang sangat dikagumi seluruh wanita di dunia ini. Bagaimana tidak wanita itu adalah Nichole Penelope, seorang designer nomer satu di dunia. Setiap wanita berlomba-lomba ingin mengenakan rancangan miliknya, dan Freya kali ini beruntung bahwa ia akhirnya bisa mengenakan salah satu rancangan milik wanita itu, tapi percaya lah itu tidak lantas membuatnya merasa bahagia karena situasi yang dihadapinya ini bukan situasi yang disebut normal, dengan kata lain, Freya tidak menginginkan hari ini ada, baginya ini adalah hari terburuknya.
"Kau cantik sekali, Nona" Nichole tersenyum seraya tangannya membuka kancing baju yang dikenakan oleh Freya. Freya hanya tersenyum tipis sebagi jawaban, dan ia hanya diam saja saat wanita itu mulai menanggalkan pakaiannya dan membantunya memakaikan gaun yang ia bawa tadi.
"Sempurna" decak Nichole penuh kagum. "Kau terlihat seperti bidadari"
Kembali Freya hanya memberikan senyum tipis, lalu berbalik untuk melihat pantulan dirinya di depan cermin. Freya tersenyum kecut. Bidadari? Ya, dirinya memang terlihat seperti bidadari. Cantik dan mengagumkan. Tapi tetap saja itu tidak lantas membuatnya bahagia. Bahkan ia sangat membenci penampilannya itu. Jika bisa memilih ia ingin mati detik itu juga daripada harus melalui hari ini.
"Calon suamimu pasti akan terpukau melihatmu" puji Nichole tanpa bermaksud untuk menggoda. "Kau adalah pengantin tercantik yang pernah kulihat" lanjutnya dengan tatapan kagum.
Kembali Freya hanya bisa menghela napas dalam mendengar pujian yang tulus dari sang designer. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya, hari dimana seharusnya setiap insan pasti akan merasa sangat bahagia karena sudah dipersatukan dengan jodohnya dalam ikatan sakral. Tapi bagi Freya ini adalah hari mengerikan dalam hidupnya, ia harus menikah dengan seorang pria yang tidak ia kenal wajahnya sama sekali.
Mimpinya tentang pernikahan bersama sang kekasih, Sean Maxime hancur begitu saja, hanya kerena perintah sang Daddy yang menginginkannya menikah dengan orang yang tidak ia kenal sama sekali.
Apakah ia menerima begitu saja? Tentu saja tidak! Freya adalah orang yang sangat keras kepala, sekalipun itu permintaan orang tuanya, tak lantas membuatnya patuh dan tunduk. Ia memberontak dan menggila tapi pada akhirnya apa yang dilakukannya sia-sia, ia kalah terhadap sikap arogant sang Daddy dan Sean kekasihnya juga tiba-tiba menghilang, sehingga ia semakin tidak berdaya. Dan sekarang di sini lah ia berada, di dalam sebuah ruangan dan berdiri di depan sebuah cermin besar. Wajah cantik itu terlihat sangat mengagumkan dan tubuhnya yang memang terbentuk dengan indah semakin terlihat memesona dalam balutan mewah gaun putih memanjang.
"Selesai" ucapan Nichole, menyadarkannya dari lamunannya. "Aku akan memanggil Daddy-mu untuk mengantarmu ke altar" tukasnya seraya berlalu pergi.
Freya mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi kekasihnya dan ini sudah untuk keseribu kalinya, dan untuk keseribu kalinya juga Sean, tidak kunjung menerima panggilannya. Freya melempar ponselnya, hingga berkeping-keping. Satu-satunya orang yang ia harapkan dapat membantunya mengubah takdir jalan hidupnya seperti juga enggan untuk menolongnya. Ada apa dengan pria itu? Freya tersenyum getir, ia menggigit bibir bawahnya menahan agar tangisannya tidak pecah. Sungguh dadanya sangat terasa sesak menahan gejolak amarah yang menumpuk. Ia menatap nanar pintu yang baru saja tertutup itu, pintu yang akan membawanya memasuki kehidupan yang menurutnya akan seperti nereka. Percayalah sepanjang hari ia mengutuk Daddy-nya beserta istri dan putrinya, begitu juga dengan pria yang akan mengucap janji suci dengannya sebentar lagi. Pria bodoh mana yang mau menikah dengan wanita yang tidak ia cintai sama sekali dan terlebih wanita itu tidak ia kenal sama sekali.
"Apakah pria itu seorang boss mesum yang sudah berumur? Atau pria itu mengalami kecacatan fisik dan mental?" gumam Freya menebak bakal seperti apa wujud pria yang akan menikah dengannya itu.
"Jika seperti itu, aku bersumpah akan membunuhmu, Poulsen!!"
Ceklek
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok pria yang masih terlihat tampan di usinya yang sudah menginjak kepala lima. Ia adalah pria yang baru saja Freya sebut namanya, Frederick Poulsen_sang Ayah.
Freya menatapnya dengan sengit, seakan yang ditatapnya bukanlah pria yang ambil andil dalam kelahirannya ke dunia ini dan jika Freya bisa memilih, ia juga tidak ingin terlahir sebagai putri dari pria arogant itu.
Berbeda dengan Freya, Frederick Poulsen tersenyum memamerkan giginya yang masih utuh dan lengkap dan tentu saja itu hanya gigi palsu.
"Kau terlihat seperti Ibumu, cantik dan mengagumkan" puji Ayahnya dengan tatapan kagum dan haru.
"Ciiih!!! Mendengar kau menyebut Ibuku dengan mulut manismu itu, seakan kau sangat mencintainya" sengit Freya. "Tidakkah kau lupa bahwa kau yang mengirimnya ke surga dan membuatku merasa kehilangan. Kau membunuhnya dengan pengkhianatan yang kau lakukan, Poulsen!!" sarkasnya dengan emosi yang mulai meledak.
Frederick menghela napas dalam, menatap Freya dengan lembut. Untuk sesaat Freya merasa penglihatannya salah. Sudah lama ia tidak mendapatkan tatapan penuh kelembutan itu, tatapan khas seorang Daddy. Kapan terakhir kali Ayah-nya menatapnya penuh kasih sayang seperti itu, Freya juga sudah lupa. Yang ada dalam ingatannya pria itu mengabaikannya sejak kehadiran wanita simpanannya dan juga putri dari wanita perusak kebahagiaan keluarganya.
"Ini adalah hari kebahagiaanmu, tidak baik memulainya dengan sebuah pertengkaran" Ayah-nya mengusap bahunya lembut.
"Kebahagiaan?!" Freya tertawa sinis. Ia segera menepis tangan Ayah-nya dari bahunya dengan kasar. "Ini adalah awal dimana aku harus menjalani hidupku seperti neraka. Sepertinya mengirim ibuku ke surga tidak lantas membuatmu bahagia. Kau bahkan dengan kejinya mengirimku ke neraka. Haruskah aku berterima kasih padamu, Tuan Poulsen yang Terhormat!!"
"Freya, maafkan Ayah atas semua yang terjadi di dalam hidupmu, maafkan ketidak berdayaan Ayah...."
"Ketidak berdayaanmu bukan berarti kau harus menjualku kepada pria yang tidak kukenal sama sekali, terlebih kau tahu aku sudah memiliki kekasih" Freya menatapnya nanar. "Kenapa harus aku? Kenapa kau tidak menjual putri dari wanita perusak itu?!" amuk Freya mulai menangis mengabaikan make up nya yang akan hancur. Persetan dengan semuanya. Sungguh ia tidak peduli dengan penampilnnya.
"Sepertinya kau tidak ingin Ayah yang mengiringimu ke depan altar" gumam Frederich dengan helaan napas panjang. Ia menatap manik mata putrinya dengan lembut, lalu kembali menepuk bahu Freya. "Ingin rasanya Ayah memelukmu, tapi Ayah takut akan penolakan yang pasti akan kau berikan. Semoga kau bahagia." Ayah-nya berbalik meninggalkan Freya yang mengepalkan kedua tangannya. Begitu pintu ruangan itu tertutup, Freya terduduk dengan lemas, air matanya membanjiri wajahnya. Tubuhnya bergetar hebat akan amarah yang semakin memuncak tapi tidak bisa ia salurkan.
"Kehidupan macam apa ini?! Kenapa semesta sepertinya kompak ingin membuatku menderita?! Ibu, aku ingin bersamamu" isaknya seraya memukul dadanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hei Yoo😊😊
akhirnya aku kembali setelah hiatus beberapa bulan😁, bagi semuanya yang sudah mampir terima kasih banyak🙏🙏
Jangan lupa tinggalkan komen, like dan Fav❤ agar penulis lebih semangat😆
Freya beranjak dari posisinya, ia melirik sekilas jam yang ada di dinding. Ia mengehela napasnya, lalu berjalan ke arah pintu keluar. Begitu ia berdiri di hadapan pintu, Freya berharap keajaiban itu ada, ia berharap pintu di hadapannya itu adalah pintu ajaib milik Doraemon yang bisa mengantarkannya kemana pun yang ia inginkan begitu ia membuka pintu itu. Freya menertawakan kekonyolanny begitu ia membuka pintu tersebut, dan menemukan dirinya masih berada di tempat yang sama sejak beberapa jam yang lalu.
Mau tidak mau akhirnya Freya melangkahkan kakinya, ia memutuskan akan menghadapi takdirnya setelah harapan konyol dan keajaiban tidak terkabul. Ia berjalan dengan lunglai di atas karpet merah mewah yang dipenuhi oleh kelopak mawar, sesungguhnya dekorasi ruangan itu sangatlah indah dan romantis, seakan pernikahan ini direncanakan secara matang, tapi Freya tidak mempunyai waktu untuk menilai ruangan yang akan menjadi saksi perjalanan hidupnya dimulai, sungguh ia sangat tidak peduli. Jika bisa meminta ia ingin menghilang di telan bumi detik ini juga.
Akan berbeda jika pernikahan ini terjadi bersama sang kekasih, Freya akan dengan senang hati mengabadikan setiap momen yang terjadi. Tapi pernikahan ini bukanlah keinginannya, tidak ada kebahagiaan terpatri di wajahnya tapi sorot matanya memancarkan kebencian yang sangat mendalam.Tatapan dan bisikan para tamu undangan yang terdengar sangat jelas di tujukan padanya, ia abaikan. Freya, terus melangkahkan kakinya menuju pria yang sudah berdiri menunggunya. Freya, tidak bisa melihat wajahnya karena pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu terlihat tidak terpengaruh akan kebisingan para tamu undangan, pria itu sama sekali tidak penasaran apa yang terjadi di balik punggungnya yang terlihat cukup lebar.
Tinggal beberapa langkah lagi, Freya akan sampai di garis awal takdir hidupnya di mulai, di samping pria yang tidak ia kenal sama sekali.
Grep
Seseorang menarik tangannya hingga mau tidak mau, ia berbalik. Brianna Poulsen, saudari tirinya lah yang ternyata membuat langkahnya terhenti. Apa wanita itu yang akan menyelematkannya dari situasi yang tidak diinginkannya ini? Oh ayolah, hubungan mereka berdua jauh dari kata baik. Ibarat air dan minyak, tidak akan pernah bersatu, layaknya Tom and Jerry, yang selalu meributkan segala sesuatunya. Intinya adalah Freya dan Anna, tidak pernah akur dan itu memang tidak akan pernah terjadi. Tidak akan.
"Singkirkan tanganmu!" desis Freya dengan wajah dingin.
"Apa kau ingin mempermalukan kami?" tanya Anna dengan wajah tidak kalah sengit. "Wajahmu terlihat seperti badut, ini adalah pernikahanmu, bukan atraksi topeng monyet!" Anna tersenyum meremehkan. "Jika ingin mencari perhatian, lakukan dengan benar bukan dengan hal konyol yang berperan sebagai monyet seperti ini. Menyedihkan!!"
Ucapan dan hinaan yang terlontar dari mulut Anna tidak membuat Freya terpengaruh sama sekali. Baginya ucapan wanita itu seperti kentut yang numpang lewat dan meninggalkan bau busuk. Freya menghempaskan tangan Anna dengan kasar lalu kembali melanjutkan langkahnya, setelah melayangkan tatapan menghunus ke arah Ayah-nya dan juga Mommy dari wanita yang baru saja menyebutnya sebagai badut.
Kini Freya sudah berdiri di samping pria yang akan menjadi suaminya beberapa menit lagi dan juga di hadapan mereka sudah berdiri seorang pria tua yang akan menikahkan mereka. Pria tua itu tercengang melihat penampilan Freya. Ini pertama kalinya ia melihat seorang pengantin yang terlihat sangat menyedihkan. Dandanan Freya benar-benar hancur, dan harusnya pernikahan sudah terjadi sejak satu jam yang lalu, tapi satu yang lalu Freya habiskan dengan menangisi nasibnya dan berharap Sean, sang kekasih datang membawanya kabur, tapi ternyata harapannya sia-sia. Dan hasilnya adalah, lipstik yang sudah belepotan kemana-mana, akibat ia mengusapnya dengan kasar. Mascara yang sudah luntur dan menyisakan noda hitam di bawah matanya, dan bulu mata palsu yang sudah lepas sebelah. Penampilannya benar-benar mengerikan.
"Kami bisa menunggu lebih lama, kau bisa memperbaikin dirimu terlebih dahulu, Nona" ucap pria itu penuh hati-hati.
"Tidak, lanjutkan saja" jawabnya seraya membuang napasnya. Dengan wajah yang terlihat ragu, pria itu akhirnya menganggukkan kepalanya. "Tunggu!" ucapnya setengah berteriak hingga membuat pria yang sudah berumur itu berjengkit kaget.
"Ya"
"Sebelum kau menikahkan kami, berikan aku waktu satu menit untuk melihat wajah pria yang akan menjadi suamiku" tukasnya jujur membuat pria yang di sampingnya menolehkan kepalanya dan langsung mengernyitkan dahinya begitu melihat penampilan Freya yang sangat luar biasa. Berantakan. Pengantin mana yang ingin terlihat mengerikan di hari spesialnya? Mungkin tidak ada satu wanita pun yang menginginkn hal itu, termasuk Freya sekali pun. Hari pernikahan adalah hari dimana kau akan menjadi ratu sehari. Tapi kasus Freya kali ini berbeda, berhubung ini bukan hari spesial bagi Freya, jadi ia tidak peduli dengan penampilannya.
Pria tua itu terlihat bingung dengan permintaan Freya, melihat penampilan Freya yang kacau sudah cukup membuatnya terkejut ditambah dengan pengakuan Freya, itu benar-benar membuatnya bingung. Bagaimana dua insan yang akan dia nikahkan itu tidak saling mengenal satu sama lain. Setelah melirikkan matanya kepada mempelai pria, pria itu akhirnya menganggukkan kepalanya mempersilakan Freya melakukan apa yang dia inginkan.
Freya memejamkan matanya, memohon dalam hati semoga pria yang akan ia sandang namanya di belakang namanya, bukanlah pria tua yang sudah turun berok atau mengalami cacat fisik atau mental. Tapi mengingat punggung dan bahu lebar tadi, Freya yakin pria itu tidak cukup tua, tapi tetap saja ia perlu memastikannya. Freya menghirup napas dalam lalu kembali mengeluarkannya, ia melakukannya berulang kali hingga akhirnya ia membuka matanya. Secara perlahan ia menoleh ke samping.
Satu
Dua
Tiga
Hening. Freya dan pria itu saling mengunci tatapan.
"Setidaknya kau bukan pria tua dengan perut buncit dan kepala botak" gumam Freya masih dengan tatapan yang tertuju pada pria yang bisa dikatakan sangat tinggi.
"Apakah kita sudah bisa melanjutkannya?" pertanyaan pria yang berdiri di antara mereka membuat keduanya kompak melepaskan tatapan masing-masing.
"Lakukan. Sepertinya dia juga sudah kembali waras" jawab pria itu enteng.
Janji suci pernikahan pun akhirnya diucapkan dengan berulang kali karena Freya salah menyebut nama. Entah sudah berapa kali, Freya selalu menyebut nama sang kekasih yang tidak diketahui keberadaannya dimana. Hingga akhirnya Freya sah menjadi istri dari pria yang ada di sampingnya itu, Sean Maxime tetap tidak terlihat sama sekali.
"Kedua mempelai silakan berciuman" titah pria yang sudah menikahkan mereka berdua.
"Lewatkan bagian itu" Freya mendongak menatap pria yang sudah menjadi suaminya itu. Ia menelisik wajah pria itu yang terlihat sangat datar, sehingga sulit untuk menebak apa yang sedang difikirkan oleh pria itu. Tapi melihat penolakan yang dilakukan pria itu, sepertinya Freya bisa bernapas lega, Freya menduga, pria itu sama seperti dirinya yang tidak menginginkan pernikahan ini ada. Itu artinya ia bisa segera bercerai bukan? Oh Tuhan, adakah pengantin yang baru sah menjadi sepasang suami istri sudah memikirkan untuk bercerai?
Sudah lebih dari satu jam Freya mengurung diri di dalam kamar mandi. Begitu ia dan suaminya masuk ke dalam kamar, ia segera berlari ke dalam kamar mandi. Dan hal pertama yang membuat ia terkejut adalah penampilannya yang benar-benar mengerikan. Tapi sudahlah, ia juga sudah tidak ambil pusing, toh pernikahannya juga sudah selesai, dan sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana ia akan melewati malam ini bersama pria yang baru ia lihat wajahnya beberapa jam lalu. Walau Freya akui, suaminya adalah sosok pria dengan pahatan sempurna, perpaduan rahang yang tegas dan sorot mata tajam membuat pria itu terlihat sangat memesona. Jangan lupakan manik mata biru terang dan bibir penuh serta hidung mancungnya. Kulitnya yang kecoklatan membuat pria itu terlihat semakin gagah dan memesona. Freya yakin setiap wanita yang berpapasan dengan suaminya itu akan lupa bagaimana caranya untuk bernapas dan tentu saja itu tidak berlaku pada dirinya untuk saat ini karena di dalam hatinya masih ada seseorang yang sangat dicintainya. Sean Maxime mungkin tidak setampan pria yang sedang menunggunya di dalam sana, tetapi Sean juga bukan pria buruk rupa. Sean mempunyai kharisma tersendiri di matanya.
"Hentikan membandingkan kedua pria itu, Fre!" Freya segera menggelengkan kepalanya. "Tapi sepertinya wajah pria itu tidak asing, di mana aku melihatnya" Freya menggali ingatanya.
Tok.Tok.
Freya berjengkit kaget begitu mendengar suara pintu kamar mandi di ketuk, ia yakin itu suaminya. Memangnya siapa lagi yang berada di dalam kamar hotel ini jika bukan mereka berdua.
"Kau masih lama di dalam sana?" terdengar suara bariton suaminya.
Freya menggeleng, walau sadar suaminya tidak melihatnya.
"Kau tidak perlu membersihkan dirimu atau pun merasa gugup, karena kita tidak akan melakukan apa yang ada di pikiranmu" Freya melebarkan matanya mendengar penuturan telak yang disampaikan dengan sangat lempeng oleh pria di balik pintu itu. Freya tidak tahu harus merasa lega atau merasa malu, satu jam ia bertahan di dalam kamar mandi karena sedang memikirkan cara bagaimana caranya untuk kabur di malam pertamanya. Ayolah sekalipun suaminya pria tampan dan memesona yang pasti akan memberikan keturunan yang menggemaskan, tetap saja ia tidak ingin melakukannya dengan pria asing yang tidak ia cintai, terlebih ia masih tersegel dengan suci. Mahkotanya hanya milik orang spesial dalam hidupnya, ia menjaganya demi mempersembahkan hadiah terindah di malam yang spesial juga. Dan tentu saja malam ini bukan malam spesial baginya, ia terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan.
Tapi begitu mendengar apa yang disampaikan oleh pria di balik pintu itu, ia merasa tersentil. Ternyata bukan hanya dirinya yang tidak menginginkan malam ini. Pria itu juga sepertinya tidak berminat padanya. Harusnya ia sudah bisa menebak, bagaimana tidak pedulinya pria itu terhadap penampilannya saat di altar tadi. Lalu apa alasan pria itu menikahinya?
Freya membuka pintu kamar mandi, dan suaminya dengan tangan bersedekap menatapnya dengan wajah tanpa minat sama sekali.
"Setidaknya kau sudah terlihat seperti manusia" tukasnya seraya berbalik dan duduk di atas sofa sambil menyilangkan kakinya.
"Memangnya sebelumnya aku terlihat seperti apa?" Freya memilih duduk berseberangan dengannya.
"Kau dan aku sudah menikah, aku tidak peduli apa pun yang kau lakukan di luar sana, tapi satu hal yang perlu kutegaskan padamu, apa pun yang kau lakukan jangan sampai membuat keluarga Rodriquez malu" Suaminya memberikan ultimatum pertamanya dengan mengabaikan pertanyaannya.
Apa yang dikatakannya? dia membebaskanku tapi juga mengekangku dalam waktu bersamaan.
"Kau faham maksudku_"
"Freya Garcia" Freya menyebut namanya.
"Ya, kau tidak lupa namaku?"
"Aku tidak akan mungkin lupa disaat kau menyebut namamu lebih dari seratus kali Tuan Daniel Rodriquez" jawab Freya.
"Ya, Daniel bukan Sean" Ia segera beranjak dari tempatnya. "Besok kita akan kembali ke rumahku, aku minta jangan terlambat bangun" Daniel melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.
"Kau mau ke mana?"
Daniel menghentikan langkahnya, "Aku akan tidur di kamar sebelah. Aku harap kau tidak kecewa karena belum waktunya aku dan dirimu harus melewati malam panjang penuh keringat" kembali pria itu mengeluarkan pernyataan telak dengan gaya santai yang membuat Freya ingin melemparnya dengan sendal yang ia kenakan.
"Kenapa kau menikah denganku?" Freya tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ayolah, mungkin Freya tidak ingin melakukannya dengan Daniel, tapi Freya bukanlah wanita tidak menarik, ia bisa dikatakan cantik, menawan dan berkelas. Freya sungguh sangat memperhatikan penampilannya terlihat dari kulit putih mulusnya yang bak porselin mahal. Oke, ia akui suaminya Daniel, juga tidak kalah memukau, wanita mana pun yang ia inginkan dan tentu saja selain dirinya pasti bersedia menghangatkan ranjangnya. Tapi seorang pria tetaplah buaya, yang tidak akan melepaskan mangsanya begitu saja, jadi wajar saja jika Freya penasaran apa alasan dibalik pria itu menikah dengannya.
"Tentu saja aku membutuhkan sesuatu darimu" akunya jujur dan lagi dengan wajah datar tanpa ekspresi sehingga sulit bagi Freya mengartikan jawaban itu.
"Apa yang kau butuhkan?" tanya Freya dengan wajah tidak bersahabat, seperti dugaannya Daddy pasti sengaja menjualnya kepada pria ini demi kepentingan mereka bersama.
"Tidak semua pertanyaan butuh jawaban bukan?" Daniel menjawabnya dengan pertanyaan, membuat Freya memutar bola matanya jengah.
"Tapi pertanyaanku itu butuh jawaban Rodriquez!" geram Freya.
"Kau tidak bisa memaksaku untuk memberikan jawaban yang kau inginkan."
Freya berdecak kesal, "Apakah kita akan bercerai? dan kali ini aku harap kau menjawabnya tanpa membuatku merasa kesal."
"Tentu saja. Kita akan bercerai begitu aku mendapatkan apa yang kuinginkan."
"Istirahatlah, aku tidak ingin direpotkan hanya karena untuk membangunkanmu" Daniel segera berbalik meninggalkannya.
Freya menghela napasnya, jawaban Daniel membuatnya kepikiran. Jawaban itu tenang tapi penuh misteri. Sungguh Freya sangat penasaran apa yang diinginkan pria itu dari dirinya.
🐁🐁
Flash Back
Freya memasuki rumahnya dengan sesekali bersenandung kecil. Suasana hatinya sedang bahagia, ia baru saja pulang berkencan bersama kekasih terkasihnya, Sean Maxime. Ia melihat Ayah-nya beserta keluarganya sedang berkumpul di ruang utama. Freya tetap melangkahkan kakinya mengabaikan orang-orang yang sedang memperhatikannya seakan mereka memang tidak terlihat.
"Freya" panggilan Ayah-nya membuat ia menghentikan langkahnya, Freya berbalik dengan menunjukkan wajah malasnya secara terang-terangan. Ia memang tidak akur dengan Ayah-nya dan keluarganya. Freya bersedekap menunggu Ayah-nya berbicara. Ia tidak ingin membuang-buang suaranya hanya untuk sekedar bertanya ada apa Daddy memanggil dirinya.
Frederich terlihat menarik napas dalam, "Duduklah dulu" pinta Ayah-nya seraya menepuk ruang kosong di sampingnya
"Aku lelah, jika ada yang ingin Ayah katakan, katakan saja" Freya menggelengkan kepalanya.
Kembali Frederich menghela napas, ia menatap istri dan putrinya sebelum akhirnya kembali menatap Freya.
"Freya, dua hari lagi kau akan menikah"
Freya mengerjapkan mata beberapa kali, tampak mencerna apa yang baru saja ia dengar dari mulut sang Ayah.
"Ayah sudah menerima lamaran dari keluarga Rodriquez" lanjut Frederich dan kali ini Freya membulatkan matanya. Rodriquez, bukan Maxime.
"Apa maksudmu?" tanyanya mengabaikan kesopanan dalam dirinya.
Frederich bungkam, Freya mengalihkan tatapannya kepada Ny.Poulsen yang baru beserta putrinya secara bergantian. Freya tidak mendapatkan jawaban, melainkan tatapan sinis meremehkan.
"Menikahlah demi keluarga ini, Freya" imbuh Ayah-nya dengan berat hati.
"Keluarga mana yang kau maksud, Ayah? dan kenapa harus aku. Aku sudah mempunyai kekasih dan kau mengenalnya dengan baik. Aku hanya ingin menikah dengannya, bukan dengan pria pilihanmu yang tidak kukenal sama sekali" murka Freya.
"Kalau begitu hubungi kekasihmu, dan suruh dia mendatangiku untuk melamarmu"
Freya segera mengambil ponselnya tanpa menunggu lama, dan menekan nomer kekasihnya dan sial, panggilannya tidak tersambung. Freya melakukannya lagi dan lagi, dan hasilnya sama. Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka bersama.
"Sepertinya kekasihmu mengabaikanmu" sindir Anne dengan wajah iblis.
"Tutup mulutmu!" sengit Freya.
"Dua hari lagi Freya, kami sudah menerima lamarannya" tukas Frederich kembali.
"Aku bukan bonekamu, Ayah. Bukan orang yang bisa kau perintahkan begitu saja. Jika memang Rodriquez itu penting buatmu, kau masih mempunyai seorang putri jika kau lupa" Freya melayangkan tatapan sinisnya pada Anna. "Dan jika kau tidak ingin mengorbankan putri tercintamu itu, sebaiknya kau saja yang menikah dengannya, mungkin dengan senang hati aku akan memanggilnya Mommy" pungkasnya tanpa rasa takut sama sekali, lalu berbalik mengabaikan wajah merah ketiga orang tersebut.
Ada apa denganmu Sean? kenapa nomormu mendadak tidak bisa dihubungi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!