NovelToon NovelToon

Menjadi Selingkuhan Suamiku 2

#1

Suasana malam yang tak seperti biasa, membuat Naina teringat akan sosok ibunya yang baru tujuh hari berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Usai melaksanakan doa bersama selama tujuh hari berturut-turut, wanita dengan paras cantik, berambut panjang serta kulit putih mulus, kini tengah duduk sembari melamun di dalam kamar.

Kecantikannya itu tersembunyi di balik kerudung panjang serta gamis syari'i yang ia kenakan.

Sementara sepasang irisnya tak berhenti meneteskan air mata kala mengulas balik momen indah saat bersama ibunya. Tepat ketika menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding, terdengar bunyi ketukan pintu kamar. Detik itu juga Naina beralih menoleh ke arah sumber suara.

"Masuk!" Ucapnya sendu.

Pintu kamar akhirnya terbuka membuat Naina menegakkan posisi duduknya.

"Bibi!"

"Kamu belum tidur?" Tanya sang bibi dengan ekspresi datar.

"Belum, bi"

"Baguslah"

"Apa ada sesuatu yang ingin bibi katakan?" Naina kembali berkata seraya menurunkan kedua kaki dari atas ranjang. Tak berapa lama bibinya yang bernama Siti turut duduk di sampingnya.

"Ibumu sudah tiada dan hutangmu sangat banyak, aku tidak memiliki banyak uang untuk melunasinya"

"Aku akan bekerja dan membayar hutang-hutang itu, bi. Bibi jangan khawatir" Sahut Naina cepat.

"Kamu ini bodoh atau apa, hah? Jelas aku khawatir karena nominalnya sangat banyak"

"Maaf, bibi" Naina menundukkan kepala dengan sedikit cemas, netranya menatap cincin pemberian sang ibu di salah satu jemarinya.

"Asal kamu tahu Naina, semua biaya rumah sakit ibumu, itu karena aku yang menggadaikan sertifikat rumah ini, jika kamu tidak menebusnya dalam waktu dua bulan, maka rumah ini akan di sita"

Naina mendongak untuk menatap Siti sekaligus menelan ludahnya.

"Dua bulan?" Kata Naina terkejut. Pasalnya ia hanya di beri waktu singkat untuk melunasi hutangnya.

"Iya, jadi Naina, lunasi hutang-hutang ibumu karena aku nggak mau kehilangan rumah ini"

"I-iya, bi. Aku pasti akan melunasinya, tapi kenapa dua bulan? Darimana aku dapat uang sebanyak itu dalam waktu dua bulan"

"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus bayar hutang ibumu dan kembalikan sertifikat rumah ini padaku" Sinisnya, lalu bangkit dari duduknya dan beranjak keluar kamar. Saat hendak menutup pintu ia kembali bersuara lantang.

"Ada surat wasiat dari ibumu di laci lemari pakaian" Sejenak, Siti melirik ke arah lemari "Jangan lupa di baca, penuhi permintaan ibumu maka hutangmu pasti akan lunas"

"Surat wasiat?" Lirih Naina dengan tatapan penuh heran.

Alih-alih merespon sang keponakan, Wanita berusia empat puluh delapan tahun itu justru menutup pintu.

Melihat pintu sudah tertutup rapat, Naina bergegas lari lalu membuka lemari untuk melihat surat wasiat yang Siti maksudkan.

Tak butuh waktu lama, ia langsung menemukan selembar kertas berisi tulisan tangan ibunya setelah menarik sebuah laci.

Ia meraihnya kemudian kembali ke arah ranjang, mencari posisi duduk ternyaman untuk membaca isi surat yang ada di tangannya.

Lewat lima menit, mendadak kening Naina mengkerut saat membaca tulisan yang membuatnya sedikit tak mengerti. Ia bahkan mengulangnya berkali-kali sebab ada rasa bingung yang tiba-tiba singgah.

"Ibu punya teman, namanya Arimbi. Dia sudah menjadi orang kaya, nak. Jika kamu kesulitan membayar hutang-hutangmu, pergilah dan cari tante Arimbi. Dia sahabat baik ibu saat kuliah. Minta tolong padanya supaya meminjamimu uang, bilang saja kalau kamu adalah anak ibu"

"Apa?? Aku harus datang ke tante Arimbi untuk meminjam uang?" Wanita itu menggelengkan kepala lengkap dengan bibir tersungging. "Ini konyol, setelah bertahun-tahun ibu tak ada kontak dengannya, ibu malah memintaku mencarinya hanya untuk meminta pertolongan?"

"Ini memalukan" Tambahnya, kemudian kembali fokus dengan isi surat dan kembali membacanya.

"Tante Arimbi tinggal di Surabaya, sayang. Terakhir ibu bertemu dengannya saat dia menikah dengan seorang TNI AU bernama Bima Sena Anggara"

"Ibu tahu kamu pasti akan ragu, tapi percayalah Naina, tante Arimbi sangat baik. Kami bahkan pernah berjanji jika kami memiliki anak, kami akan menjodohkannya dan menjadi besan. Tapi jika tidak, dia pasti akan menganggapmu sebagai putrinya. Tapi entahlah, itu hanya janji candaan yang kami lontarkan saat kuliah. Setelah tahu kalau kamu adalah yatim piatu, ibu tidak yakin dan ibu juga tidak berharap banyak dengan janji itu. Yang terpenting sekarang, kamu cari dia, temui dia dan mintalah bantuan padanya"

"Hatinya bagaikan ibu peri, ibu yakin tante Arimbi akan membantumu"

Naina semakin tak mengerti, tapi tak ada jalan lain, ini memang harus di coba sebab dia benar-benar butuh uang.

Melipat kertas, pikirannya jatuh pada apa yang baru saja dia baca. Sebenarnya dia sangat ragu untuk mencari Arimbi, apalagi pencariannya hanya untuk meminta bantuan. Apa jadinya jika dirinya di anggap seorang penipu yang mengaku sebagai anak dari sahabat lamanya?

"Iya kalau mereka hanya mengusirku, kalau melaporkannya ke polisi, bagaimana?" Naina bergumam lirih dengan tatapan kosong.

"Mengingat saat ini banyak sekali modus kejahatan yang orang-orang lakukan, apakah mereka akan percaya padaku?"

"Aargghh, rasanya nggak mungkin"

Wanita yang rambutnya kini terekspos, menjatuhkan punggung ke atas kasur, manik gelapnya bergerak gelisah menatap langit-langit kamar.

"Di coba saja dulu" Ucapnya sambil melirik selembar foto usang milik dua wanita cantik saat masih kuliah. Dari balik foto tertulis alamat kampus dan juga tempat tinggal dari masing-masing wanita itu.

Dua wanita itu tak lain adalah Lintang, ibunya Naina serta Arimbi. Keduanya mengenakan gamis couple dengan hijab warna senada.

"Bissmillah, setidaknya aku temui dulu tante Arimbi, setelah melihat bagaimana reaksinya, maksudnya percaya atau tidak bahwa aku anaknya bu Lintang, baru aku menceritakan permasalahanku. Ya meski aku sangat tahu kalau kemungkinan beliau percaya itu sangat kecil"

Menarik napas panjang, Naina mengeluarkan secara perlahan, hembusannya terkesan putus asa bahkan frustasi.

Dia lantas meletakkan kertas serta foto di atas nakas, bersiap tidur sebab besok sudah harus kembali bekerja setelah tujuh hari cuti.

Naina Citra Anjani. Ia tak seberuntung teman-temannya kerena semenjak sang ayah mengkhianati ibunya, hidupnya seperti jungkir balik. Naina yang sebelumnya termasuk anak dari golongan kelas atas, tiba-tiba jatuh miskin setelah ayahnya meninggalkannya.

Dia bahkan sempat tak terima dengan nasibnya dan tak mengakui keterpurukannya di depan teman-teman sekolah.

Selama lebih dari enam bulan, ia berpura-pura sebagai orang yang masih memiliki kekayaan. Sampai suatu saat salah satu dari temannya mengetahui kondisi Naina yang sebenarnya.

Naina pun di buly, hingga akhirnya bersama Lintang, dia memutuskan pindah ke desa tempat nenek dan bibinya tinggal. Banyuwangi.

Perjalanan hidupnya yang begitu memilukan, membuat Naina tegar sekaligus ikhlas dengan takdirnya saat itu.

Lantas dimana ayah kandung Naina saat ini?

Entahlah, sudah belasan tahun dia tidak bertemu dengan sang ayah. Selain tak ingin menemuinya karena rasa sakit yang ayahnya torehkan, diapun tak tahu dimana keberadaan pria yang ia panggil ayah.

Bersambung.

2

Panasnya terik matahari beserta hembusan angin yang membawa butiran debu, membuat Naina mengusap peluh di dahinya. Berbekal alamat rumah dan juga foto, dia memutuskan untuk mencari Arimbi setelah berfikir selama beberapa hari.

Selain desakan dari Siti, Naina juga ingin mengabarkan bahwa Lintang yang tak lain adalah sahabat Arimbi, kini sudah tiada.

Melalui dirinya, Naina yakin jika hubungan yang sempat terputus akan kembali terjalin. Dengan begitu setidaknya Lintang akan tenang di alam sana.

"Hhhh... Syukurlah, akhirnya aku menemukan rumah tante Arimbi" Naina bergumam kecil sambil menatap bangunan yang terkesan tua.

Tadi setelah beberapa jam menempuh perjalanan, dan kurang lebih satu jam ia berputar mencari dengan bertanya kesana kemari, akhirnya ia berhasil berdiri di depan sebuah rumah.

Rumah itu adalah milik orang tua Arimbi.

Dari kejauhan, Naina melihat ada seorang wanita muda tengah mendorong sebuah kursi roda. Wanita itu berjalan ke arah taman di depan rumahnya, menuju ke sebuah bangku di bawah pohon mangga yang rindang.

Melangkah lebih dekat, samar-samar Naina mendengar wanita seusia dirinya mengatakan sesuatu diiringi senyum tipis dari bibirnya.

"Kita masuk nek, nenek harus tidur siang!"

"Nenek?" Gumam Naina. "Siapa nenek itu? Apa ibunya tante Arimbi?"

Tak mau menebak-nebak yang membuatnya justru kian penasaran, Naina lantas mengetuk pintu gerbang yang sedikit agak terbuka sambil mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam" Kedua wanita beda generasi itu kompak menoleh.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Ujar wanita muda dengan sedikit berteriak. Sarah namanya.

"Maaf mengganggu" Kata Naina dari jarak sekitar lima meter . "Apa benar ini rumah bu Arimbi?"

"Sebentar ya nek" Pungkas Sarah merujuk ke neneknya.

Setelah sang nenek menganggukkan kepala, dia kemudian melangkah ke arah Naina

"Ini rumah orang tua budhe Arimbi, maaf anda siapa?" Tanyanya penuh heran.

"Nama saya Naina, saya ingin bertemu dengan bu Arimbi. Bisa?"

"Tapi maaf, budhe nggak tinggal di sini, beliau sudah punya rumah sendiri"

"Kalau boleh tahu, dimana beliau tinggal? Bisa saya minta alamatnya?"

Tak langsung menjawab, Sarah tampak berfikir sejenak sebelum akhirnya berkata.

"Tunggu sebentar, saya panggilkan ayah"

"Iya" Jawab Naina. Dalam hati ia sedikit menyesali keputusannya untuk mencari Arimbi. Tapi mau bagaimana lagi, langkahnya sudah sangat jauh dan bahkan orang yang ia cari akan segera ia temukan.

Tak berapa lama, setelah Sarah membawa serta neneknya masuk ke dalam rumah, seorang pria paruh baya keluar dan menghampirinya.

"Selamat siang?" Sapanya ramah. Pria dengan kaos serta celana santai itu sedikit keheranan.

"Selamat siang, pak"

"Iya, anda mencari siapa?"

"Perkenalkan pak, nama saya Naina. Maksud kedatangan saya karena saya ingin bertemu dengan bu Arimbi. Saya adalah anak dari bu Lintang"

"Lintang" Gumam pria itu lirih, namun masih bisa di tangkap oleh telinga Naina. "Apa mbak Lintang Kurnia?" Tebaknya.

"Benar pak, saya anaknya"

"Oh ya, mari masuk, kita bicara di dalam" Sepertinya Yudha sangat percaya dengan ucapan Naina. Ia mempersilahkan Naina memasuki pintu gerbang.

"Tidak usah pak, saya hanya ingin meminta alamat bu Arimbi, saya ingin menemuinya"

"Iya, akan saya kasih alamat kakak saya, tapi ayo masuk dulu, di sini sangat panas. Ayo jangan sungkan-sungkan"

Meski tak enak hati, Naina pun menurutinya. Ia lalu berjalan di belakang pria yang masih tampan meski usianya di atas empat puluh tahun.

Pria itu kemudian mempersilakan duduk di kursi teras rumahnya.

"Silakan duduk!"

"Terimakasih, pak" Jawab Naina.

Yudha mengangguk lengkap dengan seulas senyum.

Naina duduk setelah pria di depanya mendudukan dirinya di kursi.

"Siapa namamu tadi?" Tanya Yudha tanpa curiga sedikitpun.

"Nama saya Naina, pak"

Yudha merespon dengan anggukan kepala. "Jadi Naina ini adalah putrinya mbak Lintang"

"Betul sekali, pak"

"Bagaimana kabar mbak Lintang? Sudah lama sekali saya tidak bertemu dengannya, dan ternyata, anaknya sudah sebesar ini"

"Ibu saya baru saja meninggal beberapa waktu lalu"

"Innalillahi" Yudha agak sedikit terkejut namun hanya sesaat.

"Beliau meninggal karena sakit yang di deritanya, maka dari itu saya datang kemari bermaksud untuk memberitahu bu Arimbi kalau temannya sudah tiada. Itupun atas permintaan ibu saya"

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya mbak Lintang, insya Allah beliau khusnul hotimah"

"Aamiin" Sahut Naina dengan raut sendu.

"Nama saya Yudha, saya adiknya mbak Arimbi. Saya sangat tahu seperti apa hubungan antara kakak saya dengan mbak Lintang" Tuturnya. "Saya tidak menyangka kalau mbak Lintang pergi secepat ini. Maaf kami tidak bisa datang waktu itu"

"Tidak apa-apa, pak"

Yudha mengangguk. "Oh ya, mumpung putrinya mbak Lintang ada di sini, sebentar saya panggilkan ibu saya. Beberapa bulan yang lalu, ibu saya sempat bertanya soal mbak Lintang ke kakak saya, tapi karena kakak saya kehilangan kontak, jadi tidak bisa memberikan jawaban pada ibu saya. Terakhir kalau tidak salah, sekitar lima tahun lalu mbak Arimbi mengunjungi rumah mbak Lintang, tapi katanya kalian sudah pindah, pas tanya ke tetangga, mereka bilang tidak tahu kalian pindah kemana" Ungkap Yudha dengan panjang lebar. "Tunggu sebentar, nak. Saya panggilkan ibu saya dulu"

"Iya pak"

Yudha bangkit, lalu melangkah ke dalam rumah.

Tak kurang dari lima menit, Yudha kembali bersama ibunya.

"Bu, ini Naina anak mbak Lintang" Ujarnya setelah berdiri tak jauh di hadapan Naina.

Naina berdiri lalu sedikit membungkuk untuk mengecup tangan wanita tua yang duduk di kursi roda.

"Assalamu'alaikum, nek"

"Wa'alaikumsalam, masya Allah, ini anaknya Lintang to, cantik tenan" Pungkasnya "Piye kabare ibumu to nduk?"

"Ibu saya sudah meninggal, nek"

"Innalillahi, kapan? Kenapa ndak ngabarin? Opo Lintang yo ndak punya nomor telfon Arimbi?" Sang nenek memberondong dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

"Sekitar dua minggu yang lalu, nek. Maaf, saya juga baru tahu kalau ibu saya punya teman bernama bu Arimbi"

"Owalah" Respon nenek dengan tatapan menyendu. "Ayo duduk lagi, nak"

"Iya" Jawab Naina sopan.

"Yud, minta Sarah bikin teh yo"

"Njih bu"

"Tidak usah repot-repot, nek. Saya cuma sebentar" Potong Naina cepat.

"Ndak apa-apa, kita jalin silaturrahmi setelah lama ndak ketemu"

"Iya, Naina" Sambung Yudha. "Nanti setelah ngobrol-ngobrol, om kasih alamat tante Arimbi"

"Terimakasih, pak"

"Jangan panggil pak, panggil saya om"

"I-iya om" Naina sedikit ragu sebenarnya, Ia lantas berucap dalam hati.

"Ternyata benar kata ibu, mereka orang-orang baik. Masa iya langsung percaya kalau aku ini anaknya ibu, tapi kan memang aku nggak menipu mereka"

****

Satu jam berlalu, setelah mengobrol banyak hal, Naina akhirnya pamit dengan membawa alamat rumah yang sudah ia kantongi.

Dia langsung menuju ke alamat sebab sudah tidak sabar ingin bertemu dengan teman ibunya.

"Assalamu'alaikum" Ucapnya setelah menekan bel.

Karena tak kunjung ada jawaban, wanita itu kembali bersuara.

"Permi_"

Belum selesai kalimat Naina, mendadak pintu gerbang tiba-tiba terbuka.

Sosok pria dengan tubuh proporsional berdiri di depannya. Ada kacamata minus yang membingkai sepasang netranya.

Naina sendiri terpesona, membatu, sampai-sampai matanya tak mengerjap hingga beberapa detik.

Bersambung

3

"Halo..." Ucap si pria membuat Naina tersentak. Wanita itu otomatis tersadar dari lamunan. "Mau cari siapa?" Lanjutnya bertanya.

"S-saya Naina"

"Aku nggak tanya namamu siapa, aku tanya kamu cari siapa?"

"Maaf"

"Satu lagi!" Tegas Pria itu. "Seorang wanita harus menjaga pandangan, jadi jangan terlalu lama menatapku, apalagi kamu berhijab, ngerti?"

"Maaf"

"Jadi mau cari siapa?" Sekali lagi si pria dingin itu bertanya sembari mengangkat dagu.

"Benar ini rumah bu Arimbi?"

"Sejak kapan pertanyaan di jawab dengan pertanyaan?" Sepertinya pria itu merasa kesal. Pasalnya, alih-alih pertanyaannya mendapat jawaban, Naina malah bertanya balik.

"Saya mau cari bu Arimbi, mas"

"Kamu temannya? Teman kerja?"

"B-bukan" Jelas Naina sedikit takut-takut. Pria itu terkesan galak tak bersahabat.

"Lalu?"

"S-saya_"

"Siapa, Ry?" Tiba-tiba saja ada seseorang yang berucap, Naina reflek melirik ke arah balik punggung pria di depannya. Tampak sesosok wanita paruh baya yang juga mengenakan kacamata berjalan mendekat.

"Cari bunda katanya" Pria itu menoleh ke belakang sekilas.

Saat Arimbi sudah berdiri di antara keduanya, dia berucap.

"Cari bunda?" Arimbi tampak kebingungan.

"Iya, bun"

"Saya Naina, bu" Sambar Naina kilat.

Arimbi yang sudah sejak tadi menatap wajah Naina, kini menautkan kedua alisnya.

"Naina siapa?"

"Saya putrinya bu Lintang"

"Lintang" Ekspresi Arimbi kian serius. Ia menatap Naina dalam-dalam "Lintang Kurnia?"

"Iya bu"

"Lintang siapa, bun?" Celetuk si pria mengernyitkan kening.

"Teman bunda, Ryu"

"Oh, jadi pria ini namanya Ryu" Naina membatin dengan diam-diam mencuri pandang ke arah Ryu.

"Lintang teman bunda yang beberapa tahun lalu kita kunjungi rumahnya tapi katanya sudah pindah itu, bun?"

"Iya, sayang"

"Sebaiknya jangan percaya dulu bun. Bisa jadi dia hanya ngaku-ngaku anaknya tante Lintang"

"Ryu!" Arimbi memberikan lirikan tajam. Sementara Naina hanya mematung sambil menyimak keduanya bicara. Sejujurnya dia sedikit sakit hati atas ucapan Ryu, tapi sayangnya dia tidak memiliki keberanian untuk menangkisnya "Nggak boleh ngomong gitu, nak"

"Ya siapa tahu dia bohong, itu hanya alibinya saja buat nipu kita"

"Ryu!" Arimbi sedikit menekan ucapannya, kemudian kembali menatap Naina.

"Kamu benar anaknya Lintang?"

"Benar bu Arimbi, saya putrinya" Sahut Naina di sertai anggukan kepala.

"Sebaiknya kita masuk, kita bicara di dalam"

"Bunda yakin?" Ryu kembali menyambar.

"Loh, memangnya kenapa, Ry? Tamu memang harus di suruh masuk kan?"

"Ya tapi bun_"

"Sudah-sudah, jangan su'uzon"

Detik itu juga Ryusang menghela napas pasrah sambil melipat kedua tangan di dada. Saat Naina hendak melangkah setelah Arimbi mengajaknya masuk, Ryu langsung mencegatnya.

"Tunggu!"

Dengan kening mengkerut Arimbi menghentikan langkahnya lalu menatap sang putra.

"Ada apa Ry?"

"Kita harus waspada kan bun" Jawabnya lalu menatap curiga wajah Naina. "Kamu nggak bawa bom kan? Nggak bawa senjata tajam juga?"

Mendapat pertanyaan tak mengenakan, Naina memberanikan diri untuk speak up.

"Maaf, saya tidak tahu bagaimana cara menyakiti orang, jika kedatangan saya di anggap untuk menipu kalian, saya bersedia pergi dari sini sekarang juga"

"Jangan salah paham. Aku nggak mengusirmu dari rumahku, tapi boleh ku periksa tasmu?"

"Ryu!" Sentak Arimbi, ia tak habis fikir dengan sikap putranya yang terlampau naif. "Kenapa bersikap tidak sopan begini? apa ayah sama bunda ngajarin kamu begitu?"

"Bukannya nggak sopan, bun. Cuma_"

"Cuma apa?" Balas Arimbi galak, membuat Ryu tak dapat berkutik. "Kamu tadi lagi main skipping kan? Main lagi sana, ini urusan bunda"

"Tapi bun_"

"Mbak Naina, mari masuk!" Ujar Arimbi, mengabaikan Ryu yang masih melontarkan konfrontasinya.

Arimbi dan Naina kembali melangkahkan kaki memasuki rumah. Sebelum mempersilakan duduk, Arimbi memanggil ART menyuruhnya membuatkan minuman.

Kini keduanya sudah duduk di sofa ruang tamu. Naina duduk dengan gugup sambil memainkan jemari tangannya. Ia merasa sedikit gamang, bingung dari mana harus memulainya.

Sementara Arimbi terus memperhatikan wajah Naina dengan saksama. Dari situ dia bisa menyimpulkan bahwa tamunya itu tak ada niat untuk berbohong, sebab dari wajahnya, memang agak mirip dengan sahabatnya yang sudah hilang kontak selama bertahun-tahun.

Sampai beberapa menit terjerat keheningan, keduanya di kagetkan oleh suara langkah ART yang hendak meletakkan minuman di meja.

Arimbi lantas menghela napas panjang, Naina sendiri menelan ludahnya dengan perasaan canggung.

"Silakan di minum, mbak!" Ucap si Art.

"Terimakasih" Jawab Naina ramah.

Si Art kembali masuk. Satu detik kemudian Arimbi mengatakan sesuatu.

"Kalau kamu putrinya Lintang, kenapa tidak ajak ibumu juga, dan darimana mbak Naina dapat alamat saya?"

"Ibu menyimpan alamat rumah orang tua bu Arimbi, sebelum kemari saya lebih dulu datang kesana, lalu pak Yudha memberikan alamat ini"

"Oh, jadi sebelum ke sini mbak Naina ke rumah ibu saya?"

"Iya, bu"

"Lantas, gimana kabar ibumu?"

"Ibu saya sudah meninggal, bu!"

"L-Lintang meninggal?"

"Iya" Naina mengangguk dengan raut kelam.

"Kapan?"

"Sekitar dua minggu yang lalu, dan saya kesini atas permintaan ibu" Wanita cantik itu membuka resleting tas, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

"Sebelum ibu meninggal, beliau sempat menulis surat untuk bu Arimbi. Ini suratnya" Naina menyerahkan surat itu.

Arimbi menerimanya dan langsung membukanya.

Perlahan ia mulai membaca kata demi kata yang tertulis pada kertas berwarna putih.

Meski ia membacanya dalam hati, namun bibirnya tetap bergerak di iringi dengan gerakan dari sepasang manik bulatnya.

Dear Arimbi...

Bi, ini Lintang. Kamu masih ingat seperti apa tulisan tanganku, kan? Aku harap kamu tidak melupakanku.

Mungkin saat kamu membaca surat ini, aku sudah tidak ada di dunia, dan semoga kamu hidup dengan bahagia bersama suami serta anak-anakmu.

Oh ya, Bi... Aku punya anak, namanya Naina Citra Anjani, dia sudah berusia dua puluh empat tahun. Kamu sudah bertemu dengannya kan?

Ya dia putriku satu-satunya.

Arimbi berhenti sejenak untuk mengambil napas, sebelum kemudian kembali membacanya.

Dia tidak punya siapa-siapa Bi. Ayahnya pergi entah kemana, bibinya juga kadang baik, kadang bersikap sinis.

Jika bersedia, tolong bantu aku, Bi. Jadilah teman curhat untuk putriku, jadikanlah dirimu sebagai tempat dia berkeluh kesah dan ingatkan serta beri nasehat jika dia lupa diri.

Meski tinggal di tempat yang berbeda, setidaknya tetaplah jalin silaturrahmi dengan putriku agar dia tidak merasa sendirian hidup di dunia.

Aku mohon, Bi...!

Salam Lintang.

Sebelum benar-benar ku akhiri, aku tunjukkan foto terakhirku bersama putriku. Itu di ambil saat aku di rumah sakit.

Usai membaca surat itu, Arimbi mencermati sebuah foto. Sahabatnya itu tampak kuyu, tirus dan juga pucat, sedangkan wajah yang lainnya terlihat begitu cantik dengan hijab yang ia kenakan. Ada senyum tersungging tipis di bibirnya, nampak sangat manis meski senyuman itu menyiratkan kesedihan.

Dia adalah Naina.

Menghela napas, Arimbi langsung bangkit lalu duduk di sebelah Naina dan langsung memeluknya.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!