NovelToon NovelToon

Tiba-Tiba Menikah (Suddenly Married!)

Nikah Yuk!

Dengan segenap keyakinan dan doa yang tak henti-hentinya terucap, aku melangkah menuju bangunan bertingkat tinggi itu. Banyak yang bilang bahwa penampilan menjadi penilaian pertama dan utama saat interview kerja, seperti yang akan kuhadapi saat ini. Apalagi aku bukan tipe gadis yang memiliki selera fashion kekinian. Aku sempat takut untuk menghadapi persaingan yang ketat untuk posisi anggota divisi marketing.

Sebelumnya, perkenalkan namaku Hanna Aleesa, aku hanya gadis biasa saja, usiaku baru saja menginjak 21 tahun, bertepatan dengan wisuda S1 fakultas manajemen bisnis. Sebagai fresh graduate yang memiliki pengalaman sebagai exchange student di Australia, aku ingin mencoba melamar pekerjaan di sebuah perusahaan penerbit yang cukup terkenal dan kebetulan sedang membuka lowongan kerja. Keinginanku melamar pekerjaan ini semata-mata hanya untuk mencari pengalaman, sejujurnya aku tak berambisi bisa menduduki posisi itu nanti.

Sejak awal aku tak berencana mengincar posisi di perusahaan itu. Karena dengan diterima bekerja sebagai karyawan di sana saja sudah seperti keajaiban untukku. Dan entah bagaimana, sampai akhirnya aku tiba di sana setelah melalui undangan surel untuk ikut tes wawancara. Ini adalah interview kerja pertamaku, CV, dan latihan menjawab pertanyaan HR baru kupelajari teori dasarnya saja. Jadi tak heran aku sangat grogi sejak masuk ke gedung  bertingkat tinggi itu.

Sial atau justru keberuntungan, aku mendapat nomor urut terakhir untuk interview. Dari keseluruhan pelamar sekitar 34 orang, aku ada di urutan ke-34. Melihat para pelamar lain yang sepertinya tampak berpengalaman, fashionable, dan menarik seolah membuat mentalku semakin menciut. Tapi sungguh tak kusangka, di wawancara pertama ini aku lolos dan termasuk dalam sepuluh besar kandidat calon karyawan yang akan melaksanakan interview  kedua tiga minggu lagi.

“Permisi, Kak? Kalau boleh tahu, toilet di sebelah mana, ya?” tanyaku pada resepsionis.

“Ada belokan di sebelah lift, pintu kedua itu toilet cewek, Kak,” tunjuknya ramah.

"Terima kasih, Kak."

Aku segera berjalan cepat menuju ke tempat yang ditunjukkan sang resepsionis. Rasa tak nyaman karena menahan buang air kecil sejak tadi memaksaku terburu hingga tak memperdulikan lagi keadaan di dalam toilet. Baru setelah aku membuang zat sisa metabolisme tubuhku dan keluar dari toilet, seseorang berpakaian modis yang tengah memperbaiki dandanannya itu mengajakku bicara.

"Anak magang?"

"Saya?" Aku menunjuk pada diriku sendiri.

"Ya iyalah situ, siapa lagi." Ketusnya menjawabku.

"Oh, bukan Kak. Saya juga pelamar kerja, yang barusan interview."

“Fresh graduate, ya?” tanyanya mengangkat sebelah alis.

“Iya Kak,”

“Kalau saranku, mendingan kamu cari kerjaan lain aja deh. Jadi sekretaris, apalagi di perusahaan sebesar ini terlalu berat buat fresh graduate biasa,” ujarnya pongah.

“Emm … maksudnya fresh graduate biasa itu, gimana ya? Kalau summa cum laude itu termasuk fresh graduate biasa atau luar biasa?” Aku balik bertanya dengan nada tak mengerti.

“Cih! Cumlaude itu cuma angka, praktik lapangannya belum tentu bagus, jangan kepede-an ya.” Wanita itu berlalu pergi meninggalkanku bercermin sendiri.

Aku tersenyum memandangi diri di cermin. Padahal dia duluan yang menyebut 'fresh graduatebiasa'. Kalausumma cum laudedan lulus dalam waktu 3,5 tahun harusnya bukan kategori 'fresh graduatebiasa' dong? Kok kakaknya malah baper?

Aku membenarkan hijabku sambil bergumam, "Lagian siapa yang mau jadi sekretaris?"

Jika tujuan wanita tadi adalah menghancurkan mentalku, maka sangat disayangkan, rencananya itu belum bisa berhasil. Seorang Hanna Aleesa tak mungkin berangkat ke tempat ini tanpa modal mental yang kuat. Sedari lama aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal semacam ini. Pengalamanku selama dua tahun di Australia juga cukup memberiku modal untuk menghadapi beragam tipe orang. Dan bagiku, bertemu seseorang seperti wanita tadi bukanlah ancaman yang perlu kukhawatirkan. Justru kata-kata wanita itu membuatku semakin termotivasi.

Sepulang dari kantor pusat penerbit tempatku wawancara, sengaja aku mampir ke salah satu café untuk janji bertemu dengan salah seorang teman. Teman kuliahku yang selalu mendukung karir masa depan seperti yang kuharapkan. Teman yang selalu memberiku semangat dan mengajariku bagaimana bersyukur. Salah satu sahabat terbaik yang kupunya selama kuliah di Indonesia.

Kling!  Pintu cafe itu terbuka ketika aku melangkah masuk ke dalamnya. Gadis yang duduk memakai tunik ungu melambai, mengisyaratkan tempat duduk yang telah ia siapkan selagi menungguku.

“Gimana wawancaranya?” tanyanya antusias

“Lancar dong ….” jawabku mengacungkan ibu jari.

“Ada wawancara tahap kedua?”

“Ada, masih tiga minggu lagi. Kira-kira aku perlu siapin apa aja, ya?”

“Siapin mental aja, nanti pasti persaingannya makin ketat, karena saingannya orang-orang yang udah berpengalaman dibidang penerbitan atau at least udah ada pengalaman kerja sebelumnya,” jelasnya menepuk punggungku.

“Tapi, Hann, aku masih penasaran deh. Kenapa kamu minat di bidang penerbitan? Bukannya kamu bisa kerja di perusahaan tempat Ayah kamu itu?”

Aku tersenyum malu mendengarnya menanyakan pertanyaan yang selalu kuhindari itu. “Bossnya ganteng, ya?”

“Ih enggak. Aku bahkan belum tahu wajah pemilik perusahaannya."

“Kalau bukan itu, terus apa dong? Ayolah, masa kamu enggak mau kasih tahu?”

"Sebenernya ..., aku diundang langsung sama HR-nya buat ikut tes wawancara di perusahaan ini. Aku juga sebenernya nggak tahu sih, mereka bisa tiba-tiba kontak aku karena alasan apa. Yang jelas ini bukan bentuk nepotisme, dan ..., mana mungkin sih aku nolak ikut wawancara kerja di perusahaan sebesar AA Publisher."

"Jangan-jangan, ini ulah Pak Rama?" Khadija tersenyum melontarkan pertanyaan sekaligus tuduhannya itu.

"Khadija! Kok Pak Rama sih?"

"Abisnya siapa lagi yang punya relasi sama perusahaan sebesar ini kalau bukan Pak Rama? Oh! Atau Garrin? Keluarganya juga pengusaha, kan?"

"Ah, nggak tahu deh. Pokoknya kalau aku lolos interview kerja, dan keterima jadi karyawan di sini, aku traktir." Ucapku seraya meraih cup choco almond dan mengangkat alisku.

*\~*

Tiga minggu rupanya berjalan begitu cepat. Antara perasaan tak sabar sekaligus takut bercampur menjadi satu kala menghadapi wawancara final itu. Aku mencoba datang lebih cepat, tapi ternyata urutan pelamar ditentukan berdasar keputusan perusahaan, dan aku kembali jadi pelamar terakhir. Sesuai prediksiku, lagi-lagi, aku menjadi pelamar paling muda di sana. Sembilan wanita lain yang duduk di ruang tunggu menunggu namanya dipanggil, rata-rata dari mereka hampir kepala tiga.

Pukul empat sore, pelamar nomor urut sembilan memasuki ruang interview. Tinggalah aku duduk sendiri di kursi ruang tunggu sampai namaku dipanggil. Dengan sisa waktu yang ada, kucoba mengatur napas dan pikiranku setenang mungkin agar tak gugup saat menjawab pertanyaan. Tapi melihat pelamar nomor urut sembilan yang keluar dari ruangan interview sambil menangis\, tak bisa dipungkiri membuat mental *fresh graduate-*ku kembali menciut. Bahkan tiba-tiba tanganku bergerak sendiri.

“Pelamar terakhir, Hanna Aleesa?”

“Ah, iya saya!” aku mengangkat tanganku.

“Silakan masuk ….” Staff itu membukakan pintu ruang interview, mempersilakanku masuk.

“Setelah masuk, anda bisa langsung duduk di depan meja itu. Semoga beruntung, Hanna!” bisiknya pelan membuatku semakin berdebar.

Setelah duduk, aku mengepalkan kedua tanganku yang dingin. Menurut rumor yang beredar, direktur baru AA Publisher adalah orang yang sangat selektif. Bahkan beliau rela turun tangan langsung untuk mewawancarai calon karyawannya. Banyak juga berita yang mengatakan ahwa pergantian direktur ini menjadi titik menuju kembalinya era kejayaan AA Pulisher setelah melalui masa kritis dua tahun lalu.

Jangan lengah Hanna! Direktur AA Publisher juga manusia, sama sepertimu!  Aku mencoba menguatkan diriku sendiri di sela tangan yang bergetar.

Direktur utama AA Publisher duduk membelakangiku, tampak ia masih memegang kertas bertuliskan CV dan lampiran yang kubuat. Cukup lama aku menunggu dengan jantung yang melompat-lompat tak karuan. Bahkan asisten yang berdiri di sebelah kursinya itu juga diam membisu, kecuali matanya yang sesekali menatapku dengan pandangan kurang mengenakkan.

“Double degree di Australia?”

“Iya!” jawabku tergugup.

Pria itu terdengar menghela napasnya. Membuatku terpikir akan kata-kata wanita yang kutemui di toilet waktu itu. "Bagus, CV-nya, dan lampiran yang kamu buat semuanya cukup bagus. Cukup mengesankan."

"Anda terlalu memuji saya, Pak."

"Ah, tidak. Saya rasa kamu punya cukup kompetensi untuk berada di sini."

"Terima kasih, Pak. Saya juga berharap bisa memberikan kontribusi saya sebaik mungkin untuk perusahaan ini jika saya diterima sebagai karyawan di sini."

"Maksud saya bukan itu."

"M- maaf, Pak?" Aku mengerutkan dahi mendengar ucapannya barusan. Aku salah dengar*?*

Pria itu memutar kursinya menghadapku. "Maksud saya bukan berada di perusahaan ini. Tapi berada di sisi saya, sebagai istri."

"Huh?"

“Nikah yuk!” Pria itu memukul mejanya menghadapku.

“Apa!!”

Flashback mode on ….

Awal

“Nikah yuk!”

“Apa!!”

Author POV ….

Tinggal di tengah keluarga yang memiliki pedoman kuat dalam memegang teguh ajaran agama. Hanna terlahir dari keluarga sederhana yang boleh dikatakan berkecukupan. Memang bukan dari keluarga kaya raya atau keluarga terpandang dari keturunan ningrat, tapi setidaknya berangkat dari ajaran keluarga itu, Hanna mampu menjadi seorang manusia yang bisa mensyukuri nikmat, dan menempuh hidup sebagai manusia yang memiliki pedoman.

Ketika lulus dari kelas akselerasi SMP dan SMA-nya, kedua orang tua Hanna sudah pernah mengatakan pada anak-anaknya, bahwa mereka belum mampu membiayai pendidikan ke luar negeri. Kata-kata itu tak semata-mata  diucapkan karena ketidakmampuan, tapi sengaja diucapkan sebagai motivasi agar Hanna, Kakak, dan Adiknya termotivasi untuk menjadi lebih mandiri. Atas usaha dan didikan tegas orang tua, Hanna berhasil meraih full scholarship di salah satu universitas dalam negeri. Meski perjuangan mendapat beasiswa itu tak semudah membaca cerita, tapi usaha Hanna memang tak main-main sampai bisa merasakan berada di titik ini.

Zahra, Kakak Hanna sekaligus putri Sulung keluarga Darmawan, belum lama ini diangkat menjadi dosen di salah satu universitas di Surabaya, bertepatan ketika Hanna baru akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Sementara Harun, adik bungsunya sampai saat ini masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Bagi Hanna, bukan gelar satu-satunya yang ingin ia cari setelah lulus dari masa kuliahnya. Ada hal yang lebih rumit, yang sampai sekarang masih ia pertanyakan dalam dirinya sendiri. Perihal hakikat kehidupan dan proses panjang yang dilalui, serta tujuan akhir dari setiap proses. Ia ingin mencari apa yang tak ia dapatkan ketika bersama keluarganya. Ia ingin membentuk dirinya menjadi seperti apa seorang manusia seharusnya.

"Udahlah, kalau kamu mau lanjut S2, percaya kamu pasti bisa. Rezeki siapa yang tahu? Kamu cuma perlu usaha dan doa yang imbang." Sedikit dari petuah sang Kakak yang masih terngiang hingga sekarang.

Memang Kakak perempuannya itu yang paling dekat dengan Hanna dibandingkan kepada Bunda dan Ayahnya. Tapi terkadang Hanna pun terpikir tentang masa depan kakaknya, sementara sang kakak selalu dengan suka rela memenuhi apa yang orangtuanya butuh daripada dirinya sendiri. Di usia ke-26nya, Kak Zahra masih belum menemukan tempat untuk hatinya berlabuh. Yang kadang, hal itu juga menjadikan pertanyaan lain yang mengusik pikiran Hanna.

"Belum terpikir untuk ke arah sana Bun. Sudah ada di tangan Tuhan. Tinggal tunggu waktunya saja." Ucap sang Kakak setiap kali ditanya kapan akan melepas status lajang.

Dan setiap mendengar Kakak dan Ibunya membicarakan kapan menikah, Hanna seperti merasa dirinya yang membebani sang Kakak sampai harus menunda pernikahan. Memang Kak Zahra tidak pernah berpacaran, tapi bukan hal yang sulit untuk mendapatkan hati pria dengan wajahnya yang selalu berseri dan prestasi, hingga ilmu agama yang dimilikinya itu. Tapi sampai di usia kini, Kak Zahra masih nyaman dengan kehidupan lajangnya.

"Kak, passion Kakak apa sih?" Tanya Hanna pada suatu kesempatan berada semeja dengan Sang Kakak.

"Membahagiakan diri sendiri." Jawabnya disertai senyuman terkembang.

"*So what makes you happy*?"

"Sederhana aja. Jangan mengejar dunia, dan bikin orang lain bahagia."

“*Really*??”

“Semua bisa pergi, datang, dan sesekali tinggal sementara untuk menguji kita. Di dunia ini apa sih yang kita kejar? Semua hanya titipan Han, beruntung kalau kamu bisa mendapatkannya sementara, tapi kamu juga nggak akan rugi kalau kamu kehilangannya. Yang sebenarnya masih ada akhirat menunggu kita.”

Jawaban itu yang membuat Hanna intropeksi diri, 'Apakah ia saat ini masih membebankan Kakaknya?' Tapi Kakaknya selalu menolak mengiyakan pertanyaan itu secara tersirat dari caranya mengalihkan topik dan membuat Hanna percaya. Tapi tetap saja baginya itu pasti memberatkan.

Ayahnya yang kini berusia setengah abad selalu menunjukkan baik-baik saja hidup menjalani pekerjaan yang dicintainya. Mungkin enam tahun lagi ia akan pensiun dan menikmati masa tua. Maka tekad besar Hanna adalah bagaimana tak membiarkan kakaknya seorang diri yang membiayai adiknya. Segala keroyalan yang diberikan orangtuanya dulu kepadanya, pun sudah saatnya dibalas ketika masa tua. Meski belum sebanding besarnya.

Sebulan lalu, Hanna mendapat telepon dari orangtuanya. Yang intinya, mereka meminta Hanna dan Kak Zahra pulang sesegera mungkin. Belum diketahui alasan apa yang mendasari permintaan orangtuanya, tapi sepertinya ini merupakan hal penting yang mendesak. Dan rencananya, libur di minggu ketiga akan menjadi hari kepulangan Hanna setelah meninggalkan orangtuanya selama sebulan ini.

Flashback mode on ….

Suara burung bercicit dari kabel-kabel listrik yang mengendur. Melengkapi suasana sejuk pagi hari, membiarkan matahari masuk melalui celah-celah gorden yang sedikit tersingkap. Tubuh manusia yang masih terkulai dengan balutan piyama seolah uring-uringan antara otak dan hatinya. Ia ingin bangun, namun mengingat ia baru saja memejamkan mata dua jam yang lalu, membuat sang pemilik bulu mata lentik itu enggan bangkit dari ranjangnya.

Kini cicitan burung telah berganti menjadi suara ibu-ibu komplek yang bergosip di tengah-tengah chaos-nya  suasana menyerbu tukang sayur langganan. Seperti biasa, fenomena pagi itu tak lagi asing di telinga para penghuni perumahan.

Sementara, ketika kantuk masih menguasai sang pemilik tubuh mungil, ia justru memaksakan diri menurunkan selimutnya dan bangkit setelah mengumpulkan nyawa. Kedua kakinya menuntun pergi ke kamar mandi, mengguyur epidermis kulitnya dengan air pagi yang menyegarkan. Ketika otaknya yang masih setengah sadar mengingat bahwa dirinya kini tinggal sendiri, maka ia pun bergegas bangkit dan menyatu, menjadi bagian dari kerumunan ibu-ibu komplek untuk membeli bahan masakan.

"Selamat pagi Ibu-Ibu" sapa ramahku pada ibu-ibu komplek yang berkerumun tepat di depan rumahku seperti biasa.

"Pagi Hanna … tumben nggak jalan-jalan pagi hari ini?" tanya salah seorang Ibu komplek. Memang hari ini agak berbeda karena aku sengaja tak pergi olahraga seperti hari-hari sebelumnya.

Aku tersenyum menanggapinya. "Iya, hari ini anu ..., lagi dapet, Bu, semalam juga begadang, hari ini jadi bangun kesiangan," balasku.

"Ooh lagi datang bulan. Eh kata Ibu saya waktu dulu saya masih sekolah, kalau lagi datang bulan disuruh minum 'Kunir-asam', biar perutnya nggak sakit loh," tambah salah seorang lagi.

"Iya. Saya juga pernah dikasih tahu, tapi sekarang jamu begituan udah jarang ada yang jual, Bu," sahut yang lainnya.

"Memang jarang ada yang jual, tapi saya biasa buat sendiri. Kalau Hanna atau mungkin Ibu-Ibu ada yang mau, bisa saya buatin, tinggal bilang aja. Bahan-bahannya selalu ada di rumah saya," tawarnya.

"Iya Bu, makasih. Kapan-kapan Hanna ke rumah Ibu, sekalian minta diajarin cara buatnya," Lagi-lagi aku hanya tersenyum mengiyakan wanita-wanita paruh baya itu.

''Hanna ini sekarang semester berapa?" Ibu tukang sayur turut bertanya.

"Saya semester enam Bu," jawabku.

“Waah, hampir lulus dong. Rencananya mau pindah atau tetap di sini?”

“Belum tahu Bu..,”

"Oh ya, jurusan apa?"

"Saya ambil manajemen bisnis."

"Anak saya juga ambil manajemen bisnis, dia baru mau masuk semester dua."

Obrolan pun terus berlanjut sampai semuanya selesai memilih belanjaan masing-masing. Aku segera masuk kembali ke rumah ukuran 12 × 15 meter yang kutinggali seorang diri itu. Kuletakkan sayuran yang baru kubeli ke meja dapur. Dan seperti ramalan yang menjadi nyata, kini perutku mulai terasa nyeri. Nyeri yang selalu kurasakan setiap dua hari pertama masa menstruasi. Mengerikan.

Berlanjut

Setelah kembali ke kamar, aku memutuskan untuk memesan makanan karena rasa nyeri di perut ini sama sekali tak mengizinkanku untuk bergerak leluasa. Beruntungnya hari ini aku tak ada jadwal kuliah, jadi aku bisa lebih banyak istirahat dan diam menikmati tiap rasa sakit dari nyeri bulanan ini sembari jungkir balik di atas ranjang.

Pukul sembilan pagi bel rumah ditekan beberapa kali, makanan yang kupesan datang. Dengan terus memegangi perut dan sesekali meringis menahan sakit, aku memaksa untuk berjalan turun. Terkadang dalam beberapa hal, tinggal di rumah sendirian juga tak mengenakkan. Namun di sisi lain, tinggal sendiri masih lebih nyaman bagiku daripada harus mengontrak ramai-ramai.

"Kembaliannya ambil aja Pak," ucapku masih berdiri di depan pintu rumah.

"Jangan Mbak, ini masih ada dua puluh ribu lebih. Saya ada kembalian kok." Tolaknya seraya mencari-cari uang dari saku jaketnya.

"Nggak apa-apa Pak, ambil aja buat jajan anak bapak," Aku kembali menolak secara halus.

"Beneran ini Mbak?" Tanyanya masih tak percaya.

"Iya Pak.."

"Makasih banyak Mbak kalau begitu. Rezeki mana boleh ditolak," ujar pria bermasker hitam itu sembari berjalan menuju motornya.

Aku kembali masuk, meletakkan kantung plastik berisi makanan yang barusan kupesan ke atas meja. Kemudian beralih bersandar pada sofa ruang tamu sambil memeluk erat bantal, mencoba melupakan rasa nyeri di perut. Setelah merasa lebih baik, aku mengambil kantung plastik tadi dan mengeluarkan satu per satu isinya ke atas meja. Belum sempat mencampurkan kuah dengan bubur, dering ponsel tiba-tiba terdengar. Tertulis nama Khadija di sana. Kalau bukan urusan penting dan mendesak, tidak mungkin temanku itu sampai harus menghubungi sepagi ini.

"Assalamu'alaikum. Hanna, kamu di rumah?" Suaranya terdengar panik.

"Wa'alaikumsalam, iya. Ada apa?"

"Bisa ke sini sebentar? Laptopku mati tiba-tiba, padahal deadline tugasnya siang ini."

"Kamu dimana?"

"Aku di gazebo 2 di taman dekat komplek perumahan kamu."

"Okay, aku ke sana sebentar lagi. Assalamu'alaikum."

"Iya, cepat ya.., wa'alaikumsalam." Khadija menutup teleponnya.

Nyeri yang tadi sangat menyiksaku, seketika bisa seketika kulupakan. Aku segera mengambil lunchbox dan mengisinya dengan bubur yang kupesan itu. Kalau Khadija sudah sampai di taman komplek sepagi ini, besar kemungkinan ia belum sarapan. Dan akan lebih baik kalau makanan yang cukup banyak itu kubagi bersama dengan Khadija.

Setelah mengambil laptop dan memasukkannya dalam ransel, dan membawa serta lunchbox, aku mengeluarkan sepeda dari garasi, mengayuhnya cepat menuju taman komplek. Sesaat setelah memarkirkan sepedaku, tampak Khadija tengah duduk panik di salah satu gazebo taman. Tapi setelah aku berjalan mendekat, rupanya temanku itu tak sendirian di sana.

"Hai! Selamat pagi!" Sapaku kepada dua orang yang duduk di gazebo itu.

"Akhirnya kamu datang juga, aku panik banget tadi. Untung nggak sengaja ada Garrin lewat sini." Ujarnya masih terdengar panik.

Di sisi lain dari kepanikan Khadija, seorang laki-laki serius menatap layar laptop dan mengutak-atik laptop yang semula Khadija pakai. Seperti biasa, laki-laki ini selalu serius dan mengedepankan kepentingan orang lain ketika dimintai pertolongan. Dan itu adalah sisi keren seorang Garrin Wijaya di mataku. Kehadiran laki-laki itu di antara aku dan Khadija, sudah seperti kakak yang menjaga adik-adik perempuannya.

"Mungkin ini masih bisa aku benerin, tapi kayanya perlu waktu deh." Garrin masih serius dengan laptop di tangannya.

"Paling cepat kapan?" Tanya Khadija.

"Besok malam." Jawabnya memandangiku dan Khadija bergantian.

"Yaah, gimana dong..?" Khadija menatap ke arahku dengan mimik muka sedihnya.

"Kamu nggak ada salinan tugasnya?" Tanya Garrin.

"Iya sih ada, tadi sempat aku salin ke USB Drive, tapi itu yang belum aku revisi. Ah, bodoh" Khadija menahan kekesalannya sendiri.

"Nggak apa-apa, nanti aku bantuin deh." timpalku.

"Tapi laptopnya?"

"Mau pakai punyaku? Biar aku ambil sekarang." Garrin beranjak dari duduknya segera.

"Aku bawa kok, pakai punyaku aja." Potongku, membuat laki-laki itu kembali duduk.

"Boleh?" Tanya Khadija menatap dengan mata berbinar.

"Iya nggak apa-apa pakai aja, daripada harus antre pinjam komputer di perpustakaan. Lagian tugas-tugasku udah selesai kok. Kalau ada tugas lagi, masih bisa aku kerjain dari komputer di rumah." Balasku menenangkannya, yang segera dibalas pelukan oleh Khadija.

Entah ini hanya halusinasi di mataku, atau memang fakta yang sedang terjadi. Untuk sesaat Garrin menatapku tanpa berkedip, bibirnya menarik senyum manis yang jarang dilihat dari sosok dingin dan serius seperti Garrin. Padahal mata kami hampir tak pernah saling bertatapan seperti ini sebelumnya

"Anyway, kalian belum pada sarapan,'kan?" Tanyaku ketika Khadija melepas pelukannya.

Garrin mengalihkan pandangannya dari menatapku selama beberapa waktu tanpa berbicara. “Aku ….”

"Gimana kalau sebelum bantuin tugasnya Khadija, kita sarapan dulu? Aku terlanjur pesan bubur banyak soalnya." Tawarku seraya membuka tas berisi lunchbox yang sengaja kusiapkan tadi.

"Aku … enggak usah. Kalian aja yang sarapan, aku udah sarapan tadi." Garrin mengemasi laptop Khadija, memasukkannya dalam tas dan beranjak.

"Aku pergi dulu ya, biar laptopnya Khadija juga cepet selesai." Ujarnya sembari berdiri dan berjalan menuju sepeda yang juga diparkirkan di area taman.

"Makasih, ya, udah mau bantuin. Hati-hati di jalan, Rin!"

Laki-laki itu pergi begitu saja, mengayuh sepeda yang setara dengan harga mobil tanpa beban. Membawanya pergi dan menghilang sampai di belokan. Aku pun kembali fokus pada lunchbox berisi sarapan itu. Kami lantas memakan sarapan bersama, dengan Khadija yang juga belum mengisi perut pagi ini. Jiwa-jiwa kelaparan semakin terlihat ketika kami bisa menghabiskan makanan dalam lunchbox itu dalam waktu beberapa menit saja.

Seusai sarapan, Khadija lanjut mengerjakan tugasnya dari macbook silver milikku. Sesekali aku juga membantunya barang sedikit sebisaku. Bahkan sesekali kami membahas hal-hal di luar tugas Khadija. Seperti menceritakan Garrin, hingga dosen-dosen yang ia temui di fakultas pendidikan matematika murni tempat Khadija belajar saat ini.

Khadija dan aku memang berada di satu universitas yang sama, tapi berbeda fakultas. Bahkan kami juga berbeda tahun angkatan. Khadija kini memasuki semester empat di fakultas matematika murni. Sedangkan aku berada di semester enam fakultas manajemen bisnis. Kami bertemu pertama kali ketika aku baru saja tiba di kota ini, sebagai mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikan di kampus kota B yang cukup terkenal.

Khadija masih melanjutkan tugasnya hingga hampir tengah hari. Udara sekitar pun mulai panas, tanpa disadari. Begitu Khadija selesai mengirim tugasnya, ia tampak sangat lega. Air mukanya menjadi jauh lebih tenang dan berseri dari sebelumnya. Seolah satu beban hidup terberat telah terangkat seketika.

"Akhirnya.., lega banget. Makasih ya Han," ucapnya lugas.

"Iya sama-sama. Lain kali jangan panikan deh, coba ngomongnya pelan-pelan." Balasku tersenyum tipis.

"Iya, maaf banget udah ngerepotin." Ujar Khadija seraya menyodorkan macbook itu padaku.

"Garrin bilang laptopnya baru beres besok, kan? Mending pakai aja dulu punyaku. Bukannya baru kemarin kamu bilang lagi banyak-banyaknya tugas, ya?" Aku menyerahkan kembali macbook itu.

"Tapi kamu juga pasti banyak tugas,'kan?"

"Nggak sebanyak kamu kok. Udah deh, percaya aku. Kamu bawa aja, aku bisa pakai komputerku di rumah."

"Ya udah deh. Sekali lagi makasih banyak ya, Hann, Hanna emang yang terbaik deh." Ucapnya sembari mengacungkan kedua ibu jarinya.

Aku melihat gadis yang duduk di sebelahku ini sambil tersenyum. Tapi pikiranku justru berkelana jauh kembali pada manusia bernama Garrin Wijaya. Laki-laki yang tiba-tiba menunjukkan senyumannya tanpa alasan beberapa waktu yang lalu. Dan bahkan berani untuk tak berpaling sedikit pun dari tatapan tajamku. Ada apa dengannya? Aneh.

Hingga kaki menginjak pada lantai rumahnya, pikiranku masih terlarut pada hal yang abstrak bagiku. Mungkin karena pengaruh menstruasiku ini, mood dan pikiran jadi lebih berantakan dari biasanya. Dan bersamaan dengan itu, sepulang kembali ke rumah, rasa nyeri di perut ini kambuh lagi. Aku hanya bisa diam memeluk bantal, meringkuk di atas ranjang dan menikmati tiap rasa sakit yang menyerang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!