NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Nayyara

Tentang Nayyara

Seorang gadis berusia sembilan belas tahun itu masih terjaga dalam gelap dan sunyinya malam. Bibirnya tak henti-hentinya menyebut asma Allah.

Kring kring kring...

Alarm pukul tiga pagi telah berbunyi, gadis itu segera mematikan handphone yang ada di atas nakas dan beranjak dari tempat tidur. Gadis itu berjalan menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah selesai dirinya menunaikan shalat tahajud dua rakaat dan witir satu rakaat. Setelahnya dirinya berdo'a.

"Ya Allah, kapan penantian ini akan usai..." lirihnya dalam sepertiga malam. Kemudian disusul dengan air mata yang keluar membasahi pipinya.

Lelah, itulah yang ada di pikiran gadis itu. Dirinya lelah dengan penantian panjang ini. Bagaimana tidak, tiga tahun lamanya gadis itu memendam perasaan suka kepada laki-laki, tanpa ada yang tahu dan diberi tahu kecuali Tuhan-Nya.

Ya, hanya kepada Tuhan-Nya dirinya bercerita, berkeluh kesah, berdo'a dan berharap. Dengan do'a yang ia langitkan di sepertiga malam juga usai shalat Fardhu, dirinya berharap akan keajaiban do'a yang ada.

Orang bilang, dengan do'a kita bisa merubah takdir. Gadis itu punya prinsip 'Jika seandainya takdir tidak sesuai harapan maka dengan senjata do'a lah semoga takdir sesuai dengan apa yang diinginkan'

Tentang Nayya

Assyifa Nayyara Mumtaz, gadis yang merupakan anak bungsu dari pasangan Umar Said  juga Zulfa Khaerunnisa. Nayyara mempunyai delapan saudara juga saudara kembar, yakni Adiba Narayya Mumtaz yang saat ini sudah bekerja di sebuah toko. Nayyara juga mempunyai kakak laki-laki bernama Alvan Aryadi Putra, lelaki inilah yang saat ini menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya sudah meninggal sejak Nayyara menduduki bangku SMP kelas 8. Sedangkan kakak Nayyara yang lainnya, mereka sudah berumah tangga.

...****************...

Pagi hari dirinya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang meminangnya. Namun, dengan sopan dan alasan yang cukup kuat, dirinya menolak lamaran itu.

"Maaf, saya belum bisa menerima lamarannya, selain usia saya yang masih muda, juga saya sendiri belum siap berumah tangga"

Bukan, bukan Nayya tak siap, hanya saja bukan lelaki itu yang ia inginkan. Sehingga dengan alasan yang cukup logis, dirinya menolak lamaran itu, dan lelaki yang meminangnya pun menerima dengan lapang dada.

"Baiklah terimakasih, kalau begitu saya permisi dulu, Assalamu'alaikum" setelah lelaki itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Nayya kembali masuk ke dalam kamar.

Dirinya duduk di tepi ranjang, tangannya bergerak mengambil buku kecil yang ia simpan di dalam laci nakas. Dibukanya kembali lembaran lembaran itu yang tampak sedikit usang.

Nayyara tersenyum saat netranya mulai membaca bait kata yang telah ia tulis di sana.

Diary Nayya

“Bisakah kita menjadi Bumi dan Matahari? Menjauh untuk saling menjaga?"

Nayya masih ingat, waktu pertama kali dirinya mengenal lelaki yang ia cintai. Hingga dirinya terus saja mencari tahu tentang lelaki itu dengan berbekal handphone miliknya.

Hal ini ia lakukan karena dirinya ingin mencari tahu sendiri, dirinya malu jika harus tanya dengan sang kakak, jika pun ia tanya sudah pasti langsung mendapatkan jawabannya karena kakaknya sering ke masjid, berbeda dengan dirinya yang hanya saat ada kajian saja dirinya datang ke masjid, jika tidak maka dirinya akan sholat di rumah.

Setelah satu bulan lamanya dirinya mencari cari lewat sosial media temannya, lewat sosial media kakaknya, akhirnya membuahkan hasil. Sejak saat itu dirinya tahu nama lelaki itu 'Nauval Faiz Al Farizi'

Seiring berjalannya waktu, rasa cinta kian membuncah, rasa takut kehilangan pun turut serta memenuhi isi hati juga pikirannya.

Usia dirinya saat itu tujuh belas tahun dan masih menduduki bangku sekolah menengah atas, sedangkan laki-laki yang ia cinta usianya sudah menginjak dua puluh lima tahun. 

Tak menutup kemungkinan jika lelaki itu akan menikah segera jika sudah menemukan calonnya. Alhasil Nayyara hanya bisa berdo'a, jika memang Faiz bukanlah pendamping hidupnya kelak, dirinya berharap agar rasa ini hilang dalam dirinya. 

Tiga tahun berlalu sejak Nayya mengenalnya, perasaan Nayya masih sama, mencintai dalam diam dan do'a. Dan lelaki itu juga masih sendiri, belum ada tanda-tanda akan menikah, kabar lamaran pun belum diketahui.

Nayyara berharap Tuhan mendengar dan mengetahui isi hati Nayyara. Dan semoga keajaiban do'a itu benar-benar ada.

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Nayya berjalan ke kamar mandi, dan kembali mengambil air wudhu. Dirinya bersimpuh di atas sajadah usai melaksanakan shalat Dhuha.

Dirinya berdo'a kepada Allah.

"Ya Allah jika memang dia adalah lelaki yang tertulis di Lauhul Mahfudz untukku, maka dekatkan aku dengannya mudahkanlah langkahnya untuk segera melamarku. Dan jika dia bukanlah lelaki yang tertulis sebagai pendamping hidupku, aku mohon, hilangkan rasa ini, dan buat aku ikhlas dan ridho atas ketetapan dari-Mu"

Sebenarnya Nayya belum siap, Nayya takut jika seandainya lelaki yang ia cinta menikah dengan perempuan lain. Meskipun sembilan puluh persen kemungkinan itu terjadi, mengingat usianya yang sudah cukup dan matang untuk menikah juga membina rumah tangga. 

'Bagaimana jika itu benar adanya, bagaimana dengan penantiannya selama ini, apakah harus mengutarakan perasaannya?' itulah beberapa hal yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya.

Karena tak mau larut dengan pikirannya, Nayya kembali melakukan aktivitasnya usai shalat Dhuha. Dirinya kembali sibuk dengan laptopnya.

Semua orang punya cita-cita, semua orang punya mimpi dan semua orang berhak untuk mengejar mimpi itu.

Melanjutkan kuliah, menyandang gelar sarjana, dan menjadi guru adalah cita-citanya sejak duduk di bangku SD. Namun seiring berjalannya waktu, musibah berdatangan, membuat ekonominya kian menurun. Ya, itulah yang dinamakan hidup seperti roda berputar, kadang kita berada di atas, kadang berada di bawah. Terkadang ujian terus saja datang tanpa henti, dan terkadang rezeki datang tak di duga.

Ditambah dengan kondisi bundanya yang bisa dikatakan kurang baik. Ibunda Nayya atau yang kerap dipanggil bunda Zulfa ini qadarullah mendapat ujian berupa sakit yang bisa dibilang cukup serius. Ibunda Nayya divonis mengidap penyakit kanker usus saat Nayya menduduki bangku SMA kelas 3. Dan saat ini sedang dalam proses kemoterapi.

Mengingat kondisi bundanya saat ini tak memungkinkan jika Nayya tinggal kerja di luar, alhasil Nayya memilih mencari kerja yang bisa dikerjakan di rumah. Berbekal ilmu semasa SMA nya yang kebetulan sekolah di jurusan Bahasa akhirnya Nayya terpikir untuk menulis cerpen dan ia kirim ke berbagai website dan juga dirinya tengah mencoba untuk menulis novel. Semoga dengan ini Nayya bisa membantu meningkatkan perekonomian keluarga. 

Keluarga Nayyara

Sore hari di rumah Nayyara, rumah sederhana yang menjadi saksi bisu akan lika liku kehidupan yang mereka alami.

Nayyara saat ini tengah menyirami bunga yang ada di halaman rumahnya, setelah selesai, Nayyara kembali masuk dan duduk di sofa dan melipat baju yang sudah kering. Tak lama kemudian dirinya mendengar suara motor yang sangat dikenalinya. Dan tak lama kemudian terdengar ucapan salam dari ambang pintu.

"Assalamu'alaikum" salam seorang lelaki yang berusia hampir tiga puluh tahun itu. Siapa lagi kalau bukan Arya.

"Wa'alaikumsalam udah pulang bang?" tanya Nayya sembari menyalami abangnya ini.

"Udah, Diba belum pulang?" pandangan Arya mengitari seisi ruangan, tak menemukan saudara kembar Nayya. Mungkin saja masih bekerja, atau sedang dalam perjalanan pulang.

"Belum bang" ujarnya dengan melihat jam yang melingkar di tangannya "paling bentar lagi, biasanya jam empat lebih sepuluh udah sampe rumah kalo Diba masuk pagi" lanjutnya. Sedangkan Arya hanya ber-oh dan melanjutkan langkahnya menuju kamar sang bunda

Setelah mengecek kondisi bundanya, Arya keluar dan mencari Nayyara. Saat berjalan menuju ruang tamu dan teras dirinya tak mendapati perempuan yang sedang ia cari. Kemudian dirinya mencari Nayyara ke dapur dan benar saja Nayyara sedang membuat teh panas di sana.

Karena ruang makan dan dapur jadi satu, Arya pun segera duduk di sana dan menunggu hingga Nayyara usai membuat teh panasnya.

"Nay" ujar Arya saat Nayya sudah duduk di kursi ruang makan berhadapan dengan abangnya sembari menyeruput teh yang telah dibuatnya.

"Iya bang, kenapa?" tanyanya kemudian meletakkan gelas itu di atas meja.

"Kata bunda kamu tadi dilamar ya? Terus kamu tolak?" tanya Arya kemudian.

"Iya bang, padahal ya umur Nayya masi muda lhoh, abang aja belum nikah kan, masa adeknya duluan, lagian ya Nayya kasihan sama bunda, ntar yang ngurusin bunda siapa kalau abang sama Diba kerja" Nayya sebenarnya juga heran, di usianya yang masih muda ini sudah ada yang melamarnya.

"Usia bukan patokan buat nikah Nay, asal kamu siap dan usia sudah cukup ya nikah aja, abang nggak ngelarang kok, malahan abang ngelarang kamu pacaran, Tapi ya kalau mau nikah liat dulu laki-lakinya, baik nggak agamanya, perilakunya, pergaulannya biar nggak nyesel nantinya, dan soal bunda, kan kak Raya ada di rumah" jelasnya panjang lebar. Arsyita Rayana Dewi adalah kakak dari si kembar juga Arya. Rumah Raya dan bundanya hanya sampingan, jadi Raya juga sering mengecek kondisi bundanya ini, dan membantu apa yang perlu di bantu.

"Iya juga sih. Mmm bang, kalau kita nggak kenal orangnya terus dia bilang dia pernah ngaji, ikut kajian, santri gitu masa kita terima, gimana kalau laki-laki itu bermuka dua" tanyanya lagi penasaran.

"Ya kamu cari orang terdekat dia, kamu tanya tentang dia kan bisa" tuturnya kemudian.

"Terus bang, kalau kita nggak cinta, kita nikah emang nggak papa?" tanya Nayya lagi.

"Nay, cinta itu bisa di bangun setelah nikah, asalkan keduanya ridho" jelas Arya sembari menuangkan air ke dalam gelasnya.

"Mmmm gitu ya bang, baru tau Nayya" setelah perbincangan itu, abangnya beranjak ke kamar mandi dan Nayya kembali ke kamarnya juga dirinya kembali disibukkan dengan handphone juga laptopnya.

Saat dirinya menyalakan laptopnya dirinya teringat akan sesuatu.

"Oh iya, jadwal kemoterapi bunda kapan ya, sampe lupa" ujarnya kemudian pergi ke kamar sang bunda untuk mencari berkas-berkas yang biasa di bawa ke rumah sakit.

"Cari apa nak" tanya Zulfa penasaran.

"Nayya lupa kapan jadwal kemoterapinya bunda, ini lagi cari berkasnya" jawabnya dengan menatap sang bunda kemudian kembali beralih pada berkas-berkas yang ada di depannya.

"Nah ketemu" dilihatnya lembaran itu, tertera di sana, jadwal kemoterapi ke -6 tanggal 27 Februari.

"Besok Jum'at cek lab terus Seninnya kemoterapi ya bunda" ujarnya sembari melihat berkas yang sedang ia pegang. Kemudian dirinya berjalan dan mendekat ke arah sang bunda. "Bunda yang semangat ya, semoga semuanya lancar dan baik-baik aja, bunda jangan lupa berdo'a juga ya, minta dimudahkan sama Allah" Nayya mengusap pelan lengan sang bunda dan tersenyum.

"Iya nak, maafin bunda ya jadi ngerepotin anak-anak bunda" jawabnya dengan tatapan sendu.

"Nggak ada yang direpotin bunda, ini udah kewajiban anak-anak bunda" tutur Nayya tersenyum. "Yaudah, bunda istirahat aja ya, Nayya balik ke kamar dulu" setelah mendapat anggukan dari sang bunda, Nayya segera kembali ke kamarnya.

...****************...

Malam hari jam menunjukkan pukul delapan malam, usai shalat isya' mereka makan bersama di ruang makan, hening tak ada suara, hanya dentingan sendok dan piring yang saling bersahutan.

Setelah usai, Nayya masih terduduk di ruang makan, bersama yang lainnya kecuali sang bunda yang sudah kembali ke kamar.

"Bang, besok Minggu depan bunda ada jadwal kemoterapi" ujar Nayya mengingatkan abangnya.

"Iya, abang inget kok. Kamu ikutnya pas kemoterapi aja ya, biar nggak kebanyakan biaya transportnya" bukan mereka tak punya motor, tapi kondisi bundanya yang seperti itu bisa dikatakan tak aman jika naik motor, alhasil hanya ada dua pilihan, pakai ambulance desa atau naik bus.

"Iya, siap bang" ujarnya dengan posisi hormat bak menghormati sang merah putih. Sedangkan Adiba yang melihatnya hanya tersenyum.

"Bismillah... semoga semuanya lancar" timpal Adiba.

"Aamiin" jawab mereka bertiga serempak.

Setelahnya mereka kembali ke kamar masing-masing, Nayya duduk di tepi ranjang, sedangkan Adiba merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memainkan ponselnya.

"Diba" panggilnya pelan.

"Hmm?"

"Mmm mau ngomong tapi gimana ya" mendengar itu, Adiba langsung merubah posisinya menjadi duduk bersila dan menatap saudara kembarnya ini.

"Udah ngomong aja, ntar jadi beban yang ada kalo di pendem terus" nasihatnya kemudian beralih dengan handphonenya lagi.

"Hufttt, iya iya. Jadi gini —" ucapannya terhenti, tangannya bergerak mengambil handphone yang ada di tangan Adiba, mengisyaratkan agar Adiba mendengar dan memperhatikannya. Setelahnya Nayya melanjutkan pembicaraannya.

"Tadi pagi, ada yang ngelamar aku" Adiba tercengang mendengar penuturan dari sang adik. Bagaimana tidak, usia masih muda udah di lamar sedangkan abangnya yang usianya tiga puluh tahun saja belum menikah. Calon istri pun belum kelihatan batang hidungnya.

"Nggak salah denger Diba?" tanya Adiba sembari mengernyitkan dahinya bingung.

"Nggak Diba, Nay serius. Nah masalahnya Diba tahu kan Nay suka sama siapa?" tanyanya seperti menginterogasi Adiba.

"Iya tau, mmm menurut Diba, mending mantapin hati Nay dulu, Nay berdo'a shalat istikharah, minta petunjuk. Dan Nay harus pinter-pinter pilih suami karena bagaimanapun suami nanti punya tanggung jawab besar setelah menikah" nasihat Diba dengan lembut, kemudian suasana menjadi hening.

Benar apa yang dibilang kakaknya 'Diba' lebih baik dirinya shalat dan berdo'a minta petunjuk kepada Allah.

Tentang Faiz

Nayya terbangun dari tidurnya tepat pukul setengah tiga pagi, seperti biasa dirinya segera bangun dan menuju kamar mandi kemudian wudhu.

Nayya pun segera menunaikan shalat malam seperti biasanya. Usai shalat, dirinya tak langsung berdo'a melainkan dirinya shalat istikharah terlebih dahulu dan barulah setelahnya ia berdo'a.

Usai melafazkan do'a istikharah, dirinya berdo'a meminta petunjuk kepada Allah.

"Ya Allah, aku tidak memaksa untuk dipasangkan dengan dia yang aku cinta. Tapi jujur aku ingin dia ya Allah. Kalau memang dia tidak ditakdirkan untukku, maka lapangkanlah hati ini untuk menerimanya meskipun rasanya begitu berat jika takdir tak sesuai harapan, dan jika dia memang dia ditakdirkan untukku, dekatkanlah dia padaku, mudahkanlah urusannya, dan lancarkanlah dirinya dalam mencari rezeki"

USai berdo'a kemudian dirinya membuka handphonenya. Setelah dirinya membuka dan scrolling Instagram, dirinya menemukan quotes yang sangat relate dengan keadaannya saat ini.

Quotes itu berbunyi “Tetap tenang dan sabar karena hasil dari do'a akan segera datang walaupun bukan sekarang”

Ya, Nayya harus sabar dalam penantiannya juga menenangkan hatinya yang mungkin sering dihantui rasa takut jika kehilangan lelaki yang di cintanya. Dan berusaha menerima segala takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya.

Nayya percaya, jika memang sudah saatnya dan takdirnya adalah dia yang selama ini Nayya cinta, pasti Tuhan akan mempertemukan dan mempersatukan mereka.

Di sisi lain seorang lelaki berusia dua puluh tujuh tahun ini tengah berdoa dan bermunajat kepada Allah usai shalat malamnya.

"Ya Allah, aku mencintai salah satu hamba-Mu, dan engkau mengetahui cintaku padanya. Ya Allah, jagalah dan lindungilah dia untukku dengan pengawasan-Mu yang tak pernah luput" begitulah do'a yang Faiz langitkan.

Faiz bukanlah orang yang pandai dalam hal urusan agama, bukan pula dari kalangan orang yang terpandang, bukan pula seorang yang berpendidikan tinggi.

Faiz adalah sosok pekerja keras, dirinya adalah pemuda yang sangat cinta dengan masjid, sampai-sampai dua pilihan sangat memberatkannya.

Flashback on.

Faiz mendapatkan panggilan kerja di sebuah penyiar radio di salah satu universitas yang tak jauh dari rumahnya. Namun, pada saat dirinya hendak berangkat, ada sebuah kewajiban yang harus ia laksanakan di masjid, hal itu membuat Faiz mengurungkan niatnya untuk berangkat kerja dan memilih datang ke masjid. Meskipun memenuhi panggilan kerja juga wajib, tapi prioritasnya adalah masjid.

Tak selang lama, handphone Faiz berdering saat dirinya usai menunaikan shalat Maghrib di masjid.

"Assalamualaikum" salam Faiz pada seorang lelaki yang ada di seberang telepon.

"Wa'alaikumsalam, Iz, kenapa nggak ikut pelatihan kerja?" tanya seorang lelaki yang diduga temannya itu.

"Maaf ada kewajiban yang harus aku laksanakan di masjid, kamu tahu kan?" jawabnya berterus terang.

"Tapi pelatihan kerja juga wajib Iz" ujarnya dengan nada yang terdengar sedikit berat di telinga Faiz.

"Iya maafkan aku, aku salah" Faiz mengakui dirinya salah, alhasil usai perbincangan dengan temannya di telepon, esok harinya Faiz memberanikan diri untuk menghadap sang direktur.

"Assalamualaikum" karena telah mendapat izin untuk menemui sang direktur, dirinya segera masuk dan mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam, silahkan duduk" ucap direktur itu dan mempersilahkan Faiz untuk duduk.

"Gimana Faiz, ini pelatihan kerja yang pertama kali saja kamu sudah tidak berangkat, bagaimana nantinya kalau kamu sudah benar-benar bekerja di sini" terdengar hembusan pelan dari Faiz. Apa yang direktur ucapkan itu memang benar. Niat Faiz mencari kerja adalah untuk memenuhi kebutuhannya juga sang ibu. Tapi dirinya tak bisa jika harus meninggalkan kewajiban yang ada di masjid.

"Saya akui saya salah pak, dan saya minta maaf yang sebesar-besarnya, saya berpikir kalau bekerja di sini bisa sambil ngurusin masjid, dan ternyata tidak, maka dari itu saya izin mengundurkan diri untuk bekerja di sini" putusnya kemudian. Meskipun berat, tetapi dirinya lebih berat jika meninggalkan kewajiban yang ada di masjid. Direktur itu tampak melihat lembar jadwal yang dipegangnya.

"Apa kendala kamu sebenarnya?" tanya direktur itu penasaran.

"Jika saya mendapat shift pagi, insyaallah saya bisa hadir pak kalau tidak ada suatu hal yang sangat penting. Dan jika saya mendapat shift malam, saya belum tentu bisa hadir karena saya harus mengurusi masjid yang menyelenggarakan kajian di setiap minggunya" jelasnya tanpa ada yang dikurangi dan ditambahi, karena memang itulah kesibukannya di masjid. Mengurus kajian, membersihkan masjid, menjadi muadzin, dan lain-lain.

"Tapi kalau shift pagi terus—" direktur itu tampak menimang-nimang ucapannya sendiri. "Ya sudah saya pikirkan dulu" putusnya kemudian.

"Baik pak, kalau begitu saya permisi dulu" pamitnya kemudian.

"Ya silahkan" direktur itu pun mempersilahkan Faiz keluar dari ruangannya.

Alhasil, Faiz hanya bisa merenungi nasibnya di dalam masjid dan berdo'a berserah diri kepada Allah semoga dirinya mendapat pekerjaan yang bisa ia kerjakan tanpa harus meninggalkan kewajibannya di masjid. Atau semoga ada keajaiban do'a yang datang.

Hari demi hari berlalu.

Handphone Faiz berdering saat dirinya hendak menjalankan motornya pulang ke rumah usai shalat Dzuhur.

"Assalamualaikum" salam seseorang di seberang telepon.

"Wa'alaikumsalam" jawabnya

"Bisa datang ke kampus sebentar, ada yang perlu saya bicarakan" ucap seorang direktur itu.

"Baik pak, saya akan segera ke kamus" putusnya kemudian

"Baik, saya tunggu di kampus sekarang" setelah direktur itu memutuskan sambungan teleponnya, Faiz segera menjalankan motornya menuju kampus.

Sesampainya disana dan mendapat izin dari pihak kampus, akhirnya dirinya menghadap sang direktur. Perasaannya campur aduk, dirinya tak tau ada hal penting apa hingga direktur itu memanggilnya kembali.

"Faiz, saya dan tim sudah melakukan musyawarah, dan saya memutuskan untuk tetap menerima kamu bekerja dan kamu akan mendapatkan shift pagi selama bekerja di sini" Faiz benar-benar dibuat terkejut dengan penuturan direktur ini.

"Ini beneran pak?" tanyanya memastikan.

"Iya Faiz, dan kamu bisa mulai bekerja Minggu depan" ujar direktur itu sembari mengulas senyum.

"Terima kasih banyak pak, terima kasih, alhamdulilah ya Allah" tak henti-hentinya Faiz bersyukur.

Ternyata saat kita berserah diri kepada Allah dan berdo'a, keajaiban do'a itu ada.

Flashback off.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!