" Kita berpisah saja, mas."
Kalimat itu terngiang kembali di telingaku. Sejatinya kalimat yang keluar dari mulutku bagai bom yang akan memusnahkan diriku sendiri.
Bagaimana tidak? Aku masih mencintai mas Virhan, tapi malah aku yang menuntut cerai darinya.
Delapan tahun aku bertahan mempertahankan rumah tangga kami, sudah saatnya aku mengalah memberikan mas Virhan seutuhnya pada ibunya.
Bukan tanpa alasan aku memilih mundur dari bahtera suci kami.
Delapan tahun membina hubungan rumah tangga bersama mas Virhan, hidup seatap bersama mama mertua, membuat aku lelah dan harus mengalah.
Delapan tahun bersama mas Virhan tanpa keturunan membuat aku selalu di rendahkan mama mertua juga saudara saudara mas Virhan.
Seringnya mama mertua mengatai aku mandul.
Hatiku sudah lelah dan saatnya aku untuk merdeka.
Dari kejauhan sosok yang ku lamunkan berjalan ke arahku, menggenggam setangkai mawar merah seperti awal bertemu delapan tahun yang lalu.
Setelah dua hari tak bertemu dengannya, hatiku menjadi dag dig dug. Pesona ketampanannya membuat bibirku melengkung menarik senyum.
" Buat tuan putri " mas Virhan memberikan bunga padaku.
" Terima kasih." Sahutku sembari menerima bunga mawar pemberian mas Virhan.
" Duduk mas. Sudah makan? Mau pesan apa?"
Bukannya menjawab, mas Virhan meraih tanganku.
Untung di kafe ini hanya kami berdua. Kafe warisan papa yang bisa ku selamatkan, sebelum semua harta papa di ambil alih selingkuhannya.
" Rindu masakan dari tanganmu."
Pengakuan mas Virhan bagai oase di tanah tandus bagiku.
" Gombal.." ucapku malu.
Meski delapan tahun bersama, aku tetap malu jika mas Virhan memujiku.
" Kita pulang ya! Sudah dua hari kamu di kafe ini. Kuharap dua hari sudah cukup untukmu menenangkan diri dan pikiran."
" Aku tidak akan pernah pulang ke rumah mu, mas. Aku akan tetap di sini." ucapku sendu.
" Aku..aku memutuskan untuk.. tetap berpisah denganmu, mas." Ucapku lagi dengan susah payah.
Mas Virhan mengernyitkan keningnya, ia seperti tidak percaya dengan keputusanku. Ia masih diam tidak menanggapi ucapanku sama sekali.
" Tekad ku sudah bulat, mas." Aku terkekeh sendiri. Memilih tertawa meski tidak ada lelucon sama sekali dalam setiap kata yang keluar dari mulutku.
" Bagaimana aku tanpa kamu, Safarah?"
" Kamu akan baik-baik saja, mas."
" Apanya yang baik Safarah?" Suara mas Virhan meninggi.
Aku menatap wajah lelaki kesayangan ku itu.
wajahnya bagai benang kusut.
" Kita perbaiki semua dari nol, Safarah." Pinta mas Virhan.
" Tidak bisa mas. Aku akan menyerahkan kamu seutuhnya pada mama." Ucapku dengan lembut.
" Mama?"
" Ya..mama. Mama sudah menyiapkan calon istri yang lebih baik dariku. Tentunya yang bisa memberimu keturunan, mas. Dan...pilihan mama sendiri." Ucapku sendu.
" Kamu tidak menyukai mama?" Suara mas Virhan meninggi kala aku menyinggung perihal mama.
" Mama yang tidak pernah menyukai aku, mas. Delapan tahun.. mama selalu mengibarkan bendera perang kepadaku. Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan delapan tahun pernikahan kita."
" Aku tidak percaya mama membencimu. Jangan berfikir buruk tentang mama." Mas Virhan melepas tanganku. Wajahnya merah padam karena menahan amarah.
" Delapan tahun aku menutup sisi buruk mama, mas. Delapan tahun aku memilih mengalah pada mama, mas. Demi apa? Demi rumah tangga kita.
Tapi.. pertahanan kesabaran ku habis saat mama meminta izin padaku untuk menikahkan kamu dengan wanita pilihannya. Aku tidak bisa hidup dimadu, mas."
" Setidaknya pulang bersamaku, Safarah. Kita daki gunung terjal bersama." Mas Virhan mulai melunak. Apa dia mulai tersentuh mendengar kisah hidupku yang sesungguhnya banyak tidak diketahui olehnya. Atau..mas Virhan pura-pura tidak tahu demi baktinya terhadap mama?
" Aku tidak akan pulang mas."
" Tatap mataku, katakan kalau kamu tidak mencintaiku." Pinta mas Virhan sembari tangannya meraih wajahku.
Demi meyakinkan mas Virhan, ku turuti permintaannya. Ku tatap dua bola mata indah itu, " aku tidak mencintaimu lagi mas."
Sial! Meski aku mencoba untuk tegar, nyatanya suaraku tetap bergetar. Netra ku berembun, hingga pandanganku menjadi buram.
Ya. Aku menangis. Ku tundukkan kepalaku. Ku biarkan tetesan air menggenang diwajahku. Aku sesenggukan hingga mas Virhan menarikku ke dalam pelukannya.
" Tenangkan dirimu!" Ujar mas Virhan sembari tangannya menepuk punggungku.
Cukup lama aku di tenangkan oleh mas Virhan hingga, " jika belum siap pulang ke rumah, tinggallah disini hingga kamu merasa siap untuk pulang ke rumah kita. Jangan pernah menuntut cerai dariku, karena tidak semudah itu untuk berpaling ke lain hati."
Mas Virhan mengecup keningku sebagai salam perpisahan kami hari ini.
" Jaga kesehatan mu." Pesannya sebelum pergi.
Aku mengangguk, melambaikan tangan kepada kekasih tampanku yang akan pulang keperaduan ibundanya.
***
Sepeninggal mas Virhan, aku kembali merenung, hendak di bawa kemana biduk rumah tangga kami? Haruskah berakhir di pengadilan? Hal yang tidak pernah terlintas di benakku.
Ku pikir dulu, karena mas Virhan cinta pertamaku, maka pernikahan kami akan langgeng hingga kakek dan nenek. Nyatanya baru sewindu, kapal yang ku tumpangi hampir karam di terjang ombak di lautan.
" Mas...aku mencintaimu!" Gumamku dalam keheningan.
Selesai mandi aku memilih untuk menyendiri di kamar. Kubiarkan kafe tetap buka, karena ada Nadia, pekerja yang ku percaya untuk mengelola kafe ini. Nadia cukup cekatan hingga aku tidak merasa khawatir melepasnya sendirian.
Tring!
Satu video dikirim oleh mas Virhan.
" Video apa?" Batinku sibuk bertanya-tanya.
Duarr!!
Bak petir menyambar tubuh.
Mataku terbelalak kala melihat isi video mas Virhan.
Mas Virhan, mama dan seorang wanita dengan jilbab lebar menutupi separuh tubuhnya.
" Siapa dia? Apa wanita pilihan mama?"
Aku menebak-nebak sendiri. Mencari jawaban sendiri atas pertanyaan ku.
Mendengar mama berbicara dengan wanita itu, ada rasa sedih di hatiku. Bagaimana tidak sedih, sepanjang pernikahan kami, mama selalu bersikap dingin padaku. Sedangkan sekarang, saat bersama wanita itu, mama lebih terkesan hangat. Apakah mama sudah bertemu dengan calon menantu yang tepat?
( Namanya Fatimah, perempuan pilihan mama. Safarah..pulanglah bersamaku, kita bina rumah tangga yang jauh lebih baik dari kemarin. Kita hadapi berdua kerasnya hati mama.)
Mas Virhan mengirim pesan singkat.
Lagi-lagi aku menjadi cengeng karena mas Virhan. Haruskah aku pulang? Kembali ke rumah itu? Apa aku mampu meluluhkan hati mama?
Aku mengetik sebuah pesan untuk mas Virhan ( have fun ya, mas.)
Lalu menekan tombol send.
Ku matikan ponselku. Membiarkan mas Virhan menikmati makan malamnya bersama mama dan wanita pilihan mama.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas. Mataku masih terjaga. Bayang-bayang mas Virhan masih bermain-main dipelupuk mataku.
Sedang apa mas Virhan sekarang? Apakah ia bahagia malam ini? Atau..ia malah sudah jatuh cinta pada wanita pilihan mamanya.
Ada yang terkesan gak sama permulaan kisah Safarah dan mas Virhan? Komen yuk...jangan lupa follow dan like aku ya....
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas. Mataku masih terjaga. Bayang-bayang mas Virhan masih bermain-main di pelupuk mataku.
Sedang apa mas Virhan sekarang? Apakah ia bahagia malam ini? Atau..ia malah sudah jatuh cinta pada wanita pilihan mamanya.
***
( Mengapa ponselmu tidak aktif, Safarah? Aku jngin bicara bicara padamu!)
Mas Virhan mengirim pesan padaku. Sepertinya ia marah. Tapi apa peduliku?
Bukankah hari-harinya sekarang sudah menyenangkan?
Hampir dua pekan aku menghindarinya
dan memilih untuk berlibur sendiri ke pantai.
Deburan ombak pantai memecah kesunyian. Sesekali ombak menerpa tubuhku.Baju yang ku kenakan sudah basah kuyup. Sesekali tubuh mungilku mulai menggigil. Namun tidak mengurungkan niatku untuk tetap bertahan di sini.
" Mas... Aku benci kamu..." Teriakku sekeras-kerasnya.
Deringan di ponsel memekakkan telinga. Ada nama mas Virhan di layar, namun aku mengabaikannya.
Ada dua puluh panggilan tidak terjawab.
Dan aku tahu, mas Virhan pasti sedang marah besar di sana. Aku kenal betul sifat mas Virhan.
Tring!
satu pesan masuk, tanpa melihat pun aku tahu itu dari siapa, pasti mas Virhan.
(Safarah, aku suami mu. Kita belum bercerai. Setidaknya izinlah pada suami sebelum pergi. apa kamu sudah lupa adab itu?)
pesan singkat mas Virhan bagai mata pisau yang menghujam jantungku. Apa yang di bilang mas Virhan memang benar, dan aku...baru saja melanggar. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.
Ada perasaan bersalah, hingga aku memutuskan untuk pulang.
Singgah sebentar di penginapan, membersihkan diri sejenak lalu segera keluar dari penginapan ini.
***
Aku tiba di kafe pagi hari. Nadia menyambutku dengan wajah ceria.
" Cepat amat sudah pulang, mbak."
" Apa mas Virhan ada datang kesini?" Tanyaku menyelidik.
Nadia tersenyum kecil, " maaf mbak, aku tidak bisa berbohong pada suamimu. Dia memberiku ini." Nadia menunjukkan lima lembar uang bernilai seratus.
" Hadeh... Nadia...mbak kan sudah bilang.. " Aku geleng-geleng kepala melihat Nadia yang ternyata MATRE.
" Ini buat mbak." Nadia mengangsurkan uang itu padaku.
" Tidak perlu! Itu rezeki mu, ambillah!" Aku menggeloyor pergi dari hadapan Nadia.
Ternyata setelah pulang berlibur badanku terasa penat. Ku putuskan untuk segera mandi agar terasa segar.
Aku berjalan kedepan kafe. Hari ini pengunjungnya lumayan.
" Ya Allah...semoga ramai terus." Doaku dalam hati. Jika nanti aku bercerai dengan mas Virhan, kafe ini adalah satu-satunya sumber keuangan ku.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan kafe. Aku Seperti mengenali mobil itu.
Seorang lelaki paruh baya keluar dari dalam mobil.
Pak Yan, supir keluarga mas Virhan.
Dari mana pak Yan tahu tempat ini? Dan...ada perlu apa?
" Assalamu'alaikum, mbak Safarah..." Pak Yan menyapaku ramah.
" Waalaikumsalam, apa kabar pak?" Tanyaku berbasa-basi.
"Kabar baik mbak. Ehm...saya disuruh ibu untuk jemput mbak."
" Ibu?" Tanyaku tidak percaya.
" Iya mbak."
Karena tidak ingin menambah masalah, akhirnya aku pergi bersama pak Yan ke rumah mama.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah mama.
Aku ragu untuk masuk kedalam setelah hampir tiga pekan keluar dari rumah ini.
Aku menekan bel, hingga pintu di buka oleh seseorang, " assalamu'alaikum..." Aku mengucap salam.
" Waalaikumsalam, mbak Safarah?" Tanya wanita itu. Dia mengenalku? Padahal kami belum pernah bertemu.
" Iya mbak." Aku tersenyum ramah pada perempuan berjilbab panjang yang pernah makan malam bersama mas Virhan.
" Masuk mbak. Mama sudah menunggu." Dia mempersilakan aku masuk. Ada yang mengganjal hatiku, secepat itu dia menyebut mama mas Virhan dengan sebutan mama. Sama seperti ku yang sudah menjadi menantu mama selama sewindu.
Aku menelisik setiap sudut rumah mama, di ruang tamu ini sudah tidak ada fotoku bersama mas Virhan terpajang. Secepat itu mama menurunkannya. Niat mama memang sudah bulat untuk segera mengganti menantunya.
" Siapa yang datang Fatimah?" Suara mama nyaring memanggil dari dalam.
" O jadi namanya Fatimah.." batinku sibuk ngoceh sendiri.
" Mbak, kita langsung ke dapur, yuk!" Fatimah menarik tanganku.
Sungguh! Aku merasa kikuk berada di rumah mama mertuaku sendiri. Sementara Fatimah yang tidak berstatus apa-apa begitu santai berada di rumah ini. Kehidupan macam apa ini, ya Allah?
Aku menatap punggung wanita yang sedang memasak menghadap ke kompor.
Wanita paruh baya itu belum menyadari kedatanganku, hingga saat ia berbalik,
" Safa.. sudah lama?" Tanya mama dengan senyum ramah yang pernah kulihat selama sewindu.
" Baru saja, ma." Buru-buru aku meraih tangan mama mertua dan menciumnya dengan takzim.
" Pas banget kamu datang di saat jam makan siang, dan mama juga Fatimah sudah selesai memasak."
Kalimat mama bagai sindiran untukku. Ada yang berdenyut disini. Di ulu hatiku.
" Fatimah, ayo susun makanannya di meja. Mama mau ganti baju sebentar. Kamu tolong bantu Fatimah ya, Safa." Pinta mama sambil berlalu dari hadapanku.
Aku dan Fatimah mulai menyusun makanan di meja makan.
Mama memasak banyak hari ini. Ada sambal udang kesukaan mas Virhan, ada sop telur puyuh juga, tapi tidak tahu kesukaan siapa, mungkinkah Fatimah? Aku menebak-nebak sendiri.
" Assalamu'alaikum..." Terdengar ucapan salam dari luar.
Aku hapal sekali dengan suara itu, suara mas Virhan. Perasaan ku berbaur menjadi satu. Senang, sedih, rindu..dan... Seperti remaja sedang jatuh cinta yang akan bertemu dengan pangerannya. Rasanya wku ingin berlari keluar menyambut kedatangannya. Namun...urung kulakukan.
" Safarah?" Mas Virhan kaget melihat aku berada di rumah ini.
Seketika ia menyongsong ku, memelukku dan mengecup keningku tanpa merasa risih atau pun malu saat Fatimah melihat ke arah kami.
" Speechless rasanya lihat kamu ada disini." Ucap mas Virhan dengan mata berkaca-kaca.
" Datang naik apa, sayang?" Tanya mas Virhan penasaran.
" Di jemput pak Yan." Jawabku jujur.
" Di jemput? Sama pak Yan?" Mas Virhan mengerutkan keningnya. " Aneh." Ucapnya pelan namun masih terdengar di telingaku.
Tangan mas Virhan masih melingkar di pinggangku, " Kita ke kamar yuk!" Bisik mas Virhan di telingaku.
" Mas.." Aku mencubit pinggang mas Virhan.
" Dasar genit." Bisikku.
" Kangen." Lagi-lagi mas Virhan berbisik.
Mas Virhan mengendus pipi ku berulang kali. Bak singa kelaparan.
Karena terlalu asyik, aku dan mas Virhan tidak menyadari kedatangan mama,
" Virhan, kamu sudah pulang? Ganti baju! Dan kita makan bersama." Perintah mama. Wajah mama mengeras melihat mas Virhan bermesraan denganku, Sementara Fatimah hanya menunduk.
Dan seperti kerbau di cucuk hidungnya mas Virhan segera melakukan perintah mama.
" Sebentar ya, sayang." Mas Virhan mengusap bahuku.
Mas Virhan masuk kedalam kamar kami. Sendiri tanpa aku, padahal dulu dia selalu meminta tolong untuk memilihkan pakaiannya. Agggrhhhh!!! Mengapa semuanya seperti Dejavu?
Sanggupkah kalian berada di posisi Safarah?
Tangan mas Virhan masih melingkar di pinggangku, " Kita ke kamar yuk!" Bisik mas Virhan di telingaku.
" Mas.." Aku mencubit pinggang mas Virhan.
" Dasar genit." Bisikku.
" Kangen." Lagi-lagi mas Virhan berbisik.
Mas Virhan mengendus pipi ku berulang kali. Bak singa kelaparan.
Karena terlalu asyik, aku dan mas Virhan tidak menyadari kedatangan mama,
" Virhan, kamu sudah pulang? Ganti baju! Dan kita makan bersama." Perintah mama. Wajah mama mengeras melihat mas Virhan bermesraan denganku, Sementara Fatimah hanya menunduk.
Dan seperti kerbau di cucuk hidungnya mas Virhan segera melakukan perintah mama.
" Sebentar ya, sayang." Mas Virhan mengusap bahuku.
Mas Virhan masuk kedalam kamar kami. Sendiri tanpa aku, padahal dulu dia selalu meminta tolong untuk memilihkan pakaiannya. Agggrhhhh!!! Mengapa semuanya seperti Dejavu?
" Mari kita menunggu dimeja makan." Ajak mama.
Aku dan Fatimah mengekor di belakang mama.
Fatimah duduk disamping mama, mereka tampak akrab sekali. Suasana yang tidak mama dapatkan saat bersama ku.
Oh iya, ada satu perubahan yang bisa ku tangkap, mama bisa tersenyum manis padaku ketika aku hampir finis mengembalikan putranya ke dalam kekuasaannya.
Mas Virhan sudah berganti baju, celana jeans selutut, dengan kaos andalannya berwarna hitam. Begitu kontras di kulitnya yang memang putih bersih.
" Tampan sekali suamiku..." Diam-diam aku memuji mas Virhan dalam hati. Mas Virhan memilih duduk di sampingku.
Fatimah dan mama mulai mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk.
Sementara mas Virhan menyodorkan piringnya padaku.
" Isikan ya! Sudah lama gak di layani istri." Sindir mas Virhan cengengesan.
Mama menatap tajam kearah ku, hingga aku menjadi kikuk. Menolak atau...
" Safarah..." Panggil mas Virhan.
" E.. iya mas." Aku meraih piringnya lalu mulai mengisi nasi dan lauk pauk kesukaan mas Virhan.
" Han, ini sop telur puyuh kesukaan Fatimah." Mama hendak menuangkan sop itu kedalam piring mas Virhan.
Namun mas Virhan menolak. " Virhan gak suka, ma."
Fatimah terkejut mendengar penuturan mas Virhan. Sepanjang makan siang ia hanya menunduk.
Kaki mas Virhan menyentuh kakiku hingga aku yang sedang makan terkejut.
Ku lirik mas Virhan yang senyum penuh kemenangan.
Apa seperti ini laki-laki yang sedang rindu istrinya? Di meja makan saja, kakinya bisa berkelana kemana-mana.
" Virhan, apa yang lucu?" Tanya mama merasa aneh.
" O.. anu ma, makanannya enak." Mas Virhan gugup mendapatkan teguran dari mama.
" Ini masakan Fatimah." Sela mama.
"O."
Ya ampun, mas. Sesingkat itu tanggapan mu. Aku tersenyum kecil.
Keheningan menemani makan siang kami. Sesekali Fatimah mencuri pandang kearah kami berdua.
Sepertinya Fatimah telah jatuh hati pada suamiku.
Kaki mas Virhan kembali menyenggol kaki ku, pelan namun pasti aku mencubit pahanya.
" Auuuu..." Teriaknya spontan.
" Virhan ada apa?" Mama setengah berteriak.
" Sa-sakit ma. Kena duri."
" Kena duri? Duri apa? Masak iya udang ada durinya?" Mama memandang aneh kepada kami berdua.
" Eh..iya.. jadi tadi ?" Mas Virhan pura-pura bodoh dan polos.
Ckck...mama menggeleng tidak mengerti melihat putra semata wayangnya mendadak menjadi linglung.
Makan siang sudah selesai. Ada yang lebih mendebarkan dari apa pun.
Mas Virhan masih setia duduk disampingku. Sesekali tangannya menggelitik di pinggangku.
Mama dan Fatimah bergabung bersama kami di ruang keluarga.
Terdengar helaan napas berat mama mertua.
" Safarah.. seperti yang kamu tahu.. ini Fatimah, wanita yang mama pilih untuk mendampingi Virhan." Ucap mama tanpa basa basi.
Duhai mama mertua...terbuat dari apa hatimu, hingga tidak sedikit pun ada belas kasihmu melihatku.
Aku tersenyum meski dada terasa sesak. Mas Virhan menggenggam tanganku erat seolah tahu aku sedang sesak napas menerima kenyataan ini.
" Ma... Delapan tahun aku meminjam mas Virhan dari mama." Aku menarik napas sejenak.
" Sudah saatnya aku mengembalikan mas Virhan seutuhnya pada mama. Demi kebahagiaan mama.. demi tahta penerus keluarga ini... Dan demi gelar ayah yang sudah lama mas Virhan inginkan. Insya Allah... Safarah akan ikhlas melepas mas Virhan.
Ya. Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku.
" Terima kasih Safarah. Mama berterima kasih pada kebesaran hatimu. Secepatnya Fatimah dan Virhan akan segera melangsungkan pernikahan. Iya kan Fatimah?"
" Ehm...i-iya." jawab Fatimah gugup.
Aku menatap Fatimah dengan seksama.
Melihat tatapanku, Fatimah menunduk dan menjadi kikuk.
" Virhan.. seperti yang sudah pernah kita bicarakan. Kamu bersedia menikah dengan Fatimah, kan?" Tanya mama pada putra kesayangannya.
Cukup lama mas Virhan terdiam. Hening. Hanya sesekali terdengar helaan napas berat mas Virhan.
Genggaman di tanganku semakin erat.
" Safarah..."
Bergetar sudah suara mas Virhan. Aku tahu ini sangat berat untuknya.
" Maafkan aku Safarah..aku tidak bisa menepati janji kita untuk menua bersama."
Mas Virhan menangis dihadapan kami. Ini kedua kalinya mas Virhan menangis.
Pertama saat mengucap ijab qabul di depan papa dan yang kedua saat ia akan menceraikan aku.
Aku mengusap bahu lelakiku, " mas... Jangan bersedih. Insya Allah ini jalan terbaik untuk aku, kamu juga mama."
" Aku mencintaimu, Safarah..." Mas Virhan menyeka matanya yang basah.
" Mas.. aku juga mencintaimu. Tapi.. Allah tidak menakdirkan kita untuk selalu bersama." Ucapku sok tegar.
" Ma, apa masih ada yang ingin di bahas lagi? Kalau tidak ada, Safarah pamit pulang." Aku bersiap untuk berdiri.
" Aku antar Safarah!" Mas Virhan ikut berdiri.
" Virhan!" Mama ikut berdiri. Seperti tidak izin jika mas Virhan mengantar aku pulang.
" Tidak perlu, mas. Aku bisa sendiri. Ajarkan aku untuk mandiri, karena untuk hari-hari selanjutnya..semua pun akan aku lakukan sendiri." Aku meraih tangan mama dan menciumnya dengan takzim. Meski beliau tidak menyukai ku, namun aku berusaha untuk tetap menghormati beliau sampai kapan pun.
Aku juga bersalaman dengan Fatimah, " semoga hubungan kalian langgeng. Dan..kamu menjadi pendamping terbaik pilihan mama."
Aku meninggalkan istana mama mertua dengan luka menganga. Setitik dua titik, air mataku turun. Cepat-cepat kuseka. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun. Apa lagi didepan mama mertua.
Aku keluar dari pintu gerbang. Tapi panggilan dari mas Virhan memaksa aku untuk menoleh kembali, " Safarah..."
Mas Virhan berlari kearah ku, menarik tanganku. " Ayo!" Ia menuntun ku kearah mobil sport miliknya yang terparkir.
" Masuk!" Pinta mas Virhan dengan senyum mengembang membuka pintu mobil.
Sejenak aku melirik kearah pintu rumah mama, ada Fatimah yang sedang memperhatikan kami.
" Ayo cepat! Sebelum mama berubah pikiran." Mas Virhan mendorong tubuhku hingga aku menjadi oleng.
Setelah aku berhasil masuk, mas Virhan menutup pintu mobil dan segera berlari kecil masuk kepintu mobil. Kini mas Virhan sudah berada disampingku.
Mesin mobil dinyalakan, mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah mama.
Cukup lama kami berdiam. Bermain bersama pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik kearah mas Virhan, suami tampan ku yang tidak bisa berkutik di bawah penguasaan mama.
Setelah cukup lama terdiam, aku membuka percakapan diantara kami, " mengapa nekat mengantarkan aku pulang, mas?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!