"Kenapa?"
Adeline terus bertanya alasan daddy-nya muncul bersama seorang wanita. Pertama kalinya Adeline melihat daddy-nya itu tersenyum ramah pada orang-orang sambil menggandeng tangan wanita lain.
"Pemilik kampus, ya, jadi apa hubungan mereka?" gumam Adeline dengan perasaan tak karuan.
Adeline teringat lagi dengan perkataan Kristin, bahwa wanita itu merupakan pemilik kampus yang terkenal sering berganti pasangan. Jadi, apa hubungan daddy-nya dengan wanita itu. Lagi-lagi sialnya Kristin pun tidak tahu siapa nama pria itu. Daddy benar-benar misterius.
"Baby."
Daddy muncul membuat Adeline terkejut. Apartemen mewah yang ditempati Adeline menjadi tujuan utama bagi daddy setelah dia menyelesaikan urusannya hari itu.
"Daddy, apa tadi Daddy pergi ke suatu tempat?" tanya Adeline penasaran.
"Hem, apa kau melihat sesuatu, Baby?" Sambil tersenyum kecil, daddy mendekati Adeline, merangkul pinggulnya, menarik Adeline hingga berada di pelukannya sekarang.
Adeline mengigit bibir sambil menatap daddy-nya. "Kau punya istri? Istrimu pemilik kampus tempatku kuliah?"
Bahkan Adeline tidak pernah diberitahu siapa nama Daddy selama ini. Tiga bulan sudah Adeline bersama dengan Daddy, dan lebih parahnya lagi, Adeline terpesona dengan sosok daddy itu sehingga membuatnya tak senang jika daddy yang dia kenal misterius itu rupanya memiliki affair dengan wanita selain dirinya.
"Tidak. Aku tidak menikah, Baby."
Kini Adeline berada dibawah kekuasaan pria itu. Dalam keadaan pasrah, dia hanya bisa menerima setiap sentuhan yang diberikan padanya tanpa perlawanan.
"Setelah ini, aku akan beritahu siapa namaku padamu."
"Benarkah, Daddy?"
"Ya, Baby, anggap saja perayaan tiga bulan kita bersama."
Satu hal itu memang benar-benar Adeline inginkan, mengetahui nama pria pujaan hatinya. Ya, Adeline Eleanor merasakan sesuatu pada sugar daddy-nya. Adeline yakin, ini bukan sekedar perasaan saling menguntungkan semata. Adeline telah jatuh cinta.
"Ini kartu namaku." Daddy duduk di samping Adeline setelah memberikan benda pipih tersebut.
Adeline mengeja dengan seksama nama yang tertulis di kartu nama itu.
Benedict Gevariel.
"Panggil aku Ben, maaf selama ini menyembunyikan namaku darimu, Adeline."
Untuk pertama kalinya pria itu menyebut nama Adeline. Sorot mata Adeline terus menunjukkan keterkejutannya setelah mendengar nama itu. Benedict Gevariel, jadi selama ini pria itu—Ben—yang namanya tersohor sebagai Casanova. Adeline tahu itu dari rumor yang beredar tentang pengusaha ternama yang disebut-sebut sebagai penakluk wanita.
"Kau kaget, Baby?" tanya Ben sambil mengelus sebelah pipi Adeline dengan lembut. "Apa kau mengenal namaku?"
Adeline meneguk ludah. "Baby, ingat perjanjian kita, kan?"
Ben mengecup punggung tangan Adeline kemudian dia bangun dari duduknya. "Aku tidak suka kau banyak bertanya-tanya, dan aku tidak suka jika ada orang lain yang menyentuh milikku."
"Ya, aku tahu, Ben." Adeline menunduk.
"Panggil aku daddy ketika kita hanya berdua saja, mengerti?"
"Baik, Daddy."
"Jangan kaku begitu, Baby. Jika kita hanya berdua, kita saling memiliki."
Tatapan Ben membuat Adeline mabuk untuk kesekian kali. "Tapi, di luar sana kau dikelilingi banyak wanita, Daddy," ujarnya pada Ben.
"Hem? Apa kau ada rasa yang terlarang padaku, Baby?"
Rasa yang terlarang bagi Ben adalah ketika urusan bersenang-senang mendadak berubah jadi rasa yang disebut—Cinta.
"Ingat, Baby." Ben mengangkat lembut dagu Adeline. "Jika ada rasa terlarang diantara kita, itu tandanya kita harus berpisah."
***
Satu minggu semenjak pertemuannya dengan Ben, Adeline belum bertemu lagi dengan daddy tersayangnya itu. Adeline terus terngiang dengan perkataan Ben padanya, tentang rasa terlarang yang kemungkinan ada di hatinya. Bagaimana jika Ben akhirnya tahu bahwa dia memang memiliki rasa terlarang itu.
"Berpisah? Apa aku bisa hidup tanpa kamu, Ben."
"Adel, kamu ngapain sendirian?"
Adeline menoleh. "D-Dion?"
Dion, teman sekampus Adeline yang selalu ramah pada Adeline. Dia memiliki banyak penggemar dikalangan para mahasiswi. Terutama para mahasiswi baru. Wajahnya yang ramah dan pastinya tampan membuat Dion kelihatan sangat friendly diajak berteman oleh siapa saja. Tidak terkecuali Adeline.
"Hai, apa kabar Adeline?"
"Kapan kamu sampai?" tanya Adeline pada teman satu kampusnya yang belum lama ini sedang liburan ke luar negeri.
"Kemarin, maaf ya aku gak ngabarin kamu," ujar Dion kemudian duduk disamping Adeline.
"Oh, gapapa kok Dion. Maaf juga karena aku gak pernah hubungin kamu selama kamu di luar negeri," ujar Adeline.
"Aku ngerti kok kamu sibuk, Del, tapi aku seneng selama sebulan aku pergi, kamu masih inget sama aku." Dion memegang tangan Adeline secara mendadak membuat Adeline terkejut lalu menarik tangannya cepat.
"Ah, sorry." Dion merasa tidak enak. "Kalau boleh, malam ini aku mau ajak kamu makan malam. Kamu mau?"
"Makan malam?"
"Ya, di rumahku, aku mau kenalin kamu sama keluargaku," kata Dion.
"Ah, itu kayaknya aku—"
"Sebagai temanku, Del, mau ya?"
Adeline jadi tidak enak kalau menolak ajakan Dion. Selama dia kuliah di tempat itu, Dion banyak membantunya juga.
"Em, tapi aku gak enak, Dion." Adeline dan Dion berteman pun tidak begitu dekat. Apalagi yang Adeline dengar, Dion merupakan salah satu dari cucu orang terkaya di ibukota.
"Di enakin aja dong, Del, kamu nih lucu." Dion mengacak rambut Adeline pelan. "Mau, ya, please?"
Adeline merapikan rambutnya yang tadi diusap oleh Dion. "Ya udah, tapi sebentar aja ya."
"Siap! Makasih, Adeline." Dion kelihatan sangat senang karena Adeline mau ikut ke rumahnya.
"Iya." Adeline harap dia bisa melupakan Ben sejenak karena beberapa hari ke depan, Ben bilang dia akan sangat sibuk dan tak punya waktu untuk bertemu dengannya.
**
Pergi makan malam ke rumah Dion membuat Adeline sedikit gugup. Apalagi Dion bukan orang sembarangan. Tapi Adeline tidak perlu bersikap terlalu gugup juga, karena dirinya dan Dion tidak punya hubungan yang lebih dari sekedar teman.
"Ini hanya makan malam biasa, Adeline. Jadi, kamu gak perlu merasa gugup."
Setelah memilih pakaian yang akan dikenakan, Adeline kemudian sedikit berdandan. Bahkan tanpa menggunakan makeup sekalipun sejujurnya Adeline sudah cantik alami. Apalagi jika diberi sedikit sapuan riasan, maka Adeline langsung menjelma menjadi sosok gadis tercantik di hadapan orang-orang.
"Del, kamu mau kemana?" tanya Kristin yang baru saja muncul di depan apartemen Adeline.
"Kris, kamu kok ada di sini?" sahut Adeline.
"Tadinya aku mau nginep di apartemen kamu, Del, malam ini aja," kata Kristin.
"Wah, maafin aku, Kris, aku harus pergi malam ini," kata Adeline merasa tak enak. Adeline agak menyesal memberitahu tempat tinggalnya pada Kristin. Padahal kadang-kadang Ben berkunjung ke apartemennya. Untung saja beberapa hari ini Ben tidak akan datang.
"Kamu mau kencan, ya?"
Adeline menggaruk tengkuk. "Bukan kok, cuman mau makan malam ke rumah teman," jawabnya.
"Cowok?"
"Em, iya."
Kristin mengekeh. "Itu mah namanya kamu mau dikenalin ke orang tuanya, Del, masa gitu aja gak tau?"
Perkataan Kristin itu terus membuat Adeline kepikiran. Mana mungkin Dion ingin memperkenalkan dirinya ke orang tuanya lebih dari sekedar teman. Hubungan mereka juga tidak spesial, pikirnya.
"Adel, kamu cantik banget malam ini."
Adeline dan Dion janjian di jalan, sengaja, karena Adeline tidak ingin Dion tahu tempat tinggalnya.
"Makasih, Dion."
"Yuk masuk," ajak Dion sambil membukakan pintu mobilnya, lalu Adeline pun masuk ke dalamnya.
Sesampainya di rumah Dion, Adeline langsung disambut oleh beberapa pelayan. Benar saja, Dion bukan orang sembarangan, rumahnya saja sangat megah.
"Silakan masuk, Del, di dalam orang tuaku sudah menunggu."
Awalnya Adeline agak ragu. Tapi dia tidak enak dengan Dion. Akhirnya Adeline masuk bersama Dion. Begitu dia sampai di ruang keluarga, Adeline langsung dikejutkan dengan sosok pria tinggi yang ada di antara keluarga Dion.
"Adeline, kenalin ini mama papaku, dan yang ini adalah omku, Om Ben," ujar Dion.
"Om?" ulang Adeline dengan mata membulat menatap Ben, pria itu benar-benar Ben, daddy yang dia kenal.
"Adeline, kamu kenal sama Om Ben?"
Pertanyaan itu membuat lamunan Adeline terpecah. Mata bulat gadis itu sontak berubah menjadi tatapan tajam pada Ben. Benar, dia Benedict Gevariel, sugar daddy-nya.
"Dia kekasihmu, Dion?"
Suara bariton Ben membuat Adeline merinding. Ia lantas menggeleng pelan masih sambil menatap Ben. Pria itu bergeming dengan sorot mata tajamnya pada Adeline. Mereka berdua sama-sama kelihatan kaget.
"Dia Adeline, teman kuliahku, Om," jawab Dion.
"Kalian semua kenapa malah berdiri, ayo duduk," ajak wanita yang tidak lain adalah ibu kandung Dion, Desya Ananta.
"Duduklah, Dion, ajak temanmu untuk duduk juga," sambung ayah Dion, yang tidak lain kakak kandung Ben, yaitu Benjamin Gevariel.
Mereka semua akhirnya duduk. Tapi Dion merasa ada yang aneh dengan gelagat Adeline dan Ben, mereka berdua kelihatan seperti sudah mengenal satu sama lain.
"Adeline, ini teman kuliahku, dia sangat baik dan cantik, bukan?" ucap Dion pada kedua orang tuanya dan juga omnya.
"Benar, salam kenal Adeline. Terima kasih karena sudah menjadi teman Dion," ujar Desya.
Adeline mengangguk. "Iya, salam kenal, Tante," jawabnya gugup.
Situasi tersebut benar-benar di luar dugaan. Kenapa ada kebetulan yang semacam itu. Dion adalah keponakan Ben, lalu tatapan mata Ben seolah ingin menerkam Adeline saat itu juga. Ya, tatapan marah dengan seribu tanda tanya. Jangan lupakan bahwa, Ben tidak suka miliknya dekat dengan pria lain.
"Om Ben, kenapa diam saja. Biasanya Om Ben selalu ramah sama gadis muda. Bukan begitu?" tanya Dion sambil tersenyum. "Tapi, jangan goda Adeline ya, soalnya dia beda dari gadis lain."
Adeline langsung terbatuk mendengar perkataan Dion.
"Oh, rupanya begitu. Apa kamu menyukai dia, Dion?" tanya Ben masih sambil menatap Adeline.
"Ah, maaf, apa saya boleh ke toilet?" Adeline tidak bisa terus ada di sana, dia benar-benar kebingungan saat itu.
"Silakan, toiletnya ada di sana," kata Desya menunjukkannya pada Adeline.
"Del, mau aku antar?" tanya Dion dibalas gelengan singkat Adeline.
***
Adeline menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi rumah Dion. Benar saja, wajahnya sangat pucat dan dia tak bisa menenangkan dirinya sama sekali. Perkataan Dion membuatnya makin tersudut, apalagi Ben mulai terpancing dengan bertanya hal yang sensitif pada Dion.
"Apa daddy marah? Bagaimana ini?" Adeline mengusap wajahnya dengan air berulang kali. "Aku harus jelaskan agar daddy tidak salah paham. Ya, aku tidak boleh diam saja."
Adeline mengambil ponsel untuk menghubungi Ben. Tapi Ben lebih dulu mengiriminya pesan singkat.
Daddy : Keluar, aku di depan.
Adeline meneguk ludah kasar. "Sepertinya dia memang marah."
Jantungnya berdegup kencang tatkala keluar dari toilet tersebut. Benar saja, Ben sudah berdiri menunggu dirinya di ambang pintu.
"Baby."
Adeline celingukan mengecek situasi sekitar, ia lalu menatap Ben dengan perasaan bersalah.
"Daddy, maafkan aku, sungguh aku dan Dion hanya—"
Ben langsung memeluk Adeline. "Aku tahu, tapi aku tidak suka kau bersamanya, Baby. Kau tahu, aku paling tidak suka milikku berada dekat dengan pria lain."
Adeline merasakan pelukan Ben yang sangat kuat sampai-sampai terasa sesak.
"Dari menatapnya saja aku sudah tahu, bahwa dia menyukaimu."
"Tidak, dia dan aku hanya—"
Ben lalu membungkam bibir Adeline dengan ciuman.
"H-hanya te-teman," ucap Adeline gagap.
Ben berdecih sambil merapikan anak rambut di kening Adeline. "Tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Baby."
Adeline meneguk ludah lalu memegang tangan Ben. "Maafkan aku, Ben."
"Panggil apa?" ulang Ben dengan sorot mata tajam.
"Daddy, maafkan aku, Daddy." Adeline menunduk pelan.
"Aku suka kamu karena kamu sangat patuh, maka kuharap kau terus begitu."
Adeline tahu maksud perkataan Ben. Apalagi semalam dia mencari tahu banyak informasi tentang sugar daddy-nya itu. Benedict Gevariel memang terkenal dikalangan wanita, tapi tidak ada satupun wanita yang bisa menaklukkan pria itu. Maka Adeline merasa bahwa dirinya amat beruntung karena bisa bersama dengan Ben sampai sekarang.
"Bersikaplah normal, ingat jangan mau diantar oleh Dion." Ben lalu mengecup puncak kepala Adeline sebelum kembali ke ruang keluarga. "Ingat, kau milikku."
Adeline duduk tak tenang sama sekali ditengah keluarga Dion. Di sana terlihat Ben yang justru sebaliknya, pria itu tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya.
"Del, kamu minum dulu teh nya," ujar Dion ramah.
"Em, terima kasih, Dion. Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa lama," jawab Adeline.
"Ada apa, kamu ada urusan lain?" tanya Dion.
"A-aku...." Mata Adeline menatap Ben sesekali. Dion keliatan memerhatikan gerak-gerik Adeline dan mulai menangkap sinyal tertentu. Dion pun menatap Ben dengan tanda tanya.
"Ada pekerjaan dadakan, Dion," lanjut Adeline dengan yakin. "Tadi ada urusan yang harus aku selesaikan segera."
"Ada apa, Dion?" tanya Desya.
Berbeda dengan ibunya, ayah Dion kelihatan lebih cuek dan dingin. Dia hanya berbincang dengan Ben, itupun sepertinya membicarakan urusan bisnis.
"Ini Ma, Adel katanya mau pamit," kata Dion pada sang mama.
"Tante, Om, maaf ya. Saya pamit karena ada urusan mendadak," ujar Adeline dengan santun.
Ayah Dion hanya mengangguk sedangkan Desya mendekati Adeline. "Kapan-kapan main kesini lagi, ya. Jarang-jarang Dion ajak teman wanitanya. Pasti kamu spesial bagi Dion."
Adeline tersentak. "Ah itu, saya hanya teman kok, Tante."
Ben tidak melihat ke arah Adeline sama sekali, seperti terbawa suasana obrolan serius dengan ayah Dion.
"Gapapa, berawal dari teman, lama-lama tante yakin kalian dekat." Desya sangat ramah, membuat Adeline jadi tidak enak sendiri.
"Dion, ajak Adeline ke pesta ulang tahun om kamu minggu depan ya."
Jantung Adeline berdebar kencang. "Ulang tahun?"
"Oh, itu, baik nanti Dion ajak Adel, Ma." Dion melirik Adeline sambil tersenyum simpul.
***
"Maaf, Dion, aku gak perlu kamu antar. Aku udah pesan taksi," ucap Adeline.
"Padahal kenapa pesan taksi, aku bisa kok antar kamu kemanapun," jawab Dion.
"Makasih, Dion. Tapi lain kali kamu gak perlu terlalu berlebihan, orang bisa salah paham." Adeline berusaha tetap ramah pada Dion, dia tidak mau kalau perkataannya akan menyinggung.
"Adeline, sebenarnya ada yang mau aku sampaikan." Dion kelihatan gugup sewaktu mengatakan itu pada Adeline.
"Apa itu?" Adeline merasa tidak nyaman, tidak mungkin Dion benar menyukainya, kan?
"Del, aku sebenarnya —"
"Dion!" Tiba-tiba saja ayahnya memanggil.
"Iya, Yah. Sebentar, ya, Del."
"Dion maaf tapi aku harus pulang sekarang, kamu temui ayah kamu saja ya. Aku duluan."
Adeline berjalan beberapa langkah ke tempat dia akan menunggu taksi.
"Del," panggil Dion.
"Dion cepat kesini," panggil ayahnya lagi. Alhasil Dion menggeram tertahan, mau tak mau harus memenuhi panggilan ayahnya dan membiarkan Adeline pulang sendirian.
Sewaktu Adeline menunggu taksi, mobil mewah melintas di depannya. Pintu mobil terbuka begitu saja, lalu Adeline melihat pria berkacamata duduk di depan tanpa menatapnya. Adeline tersentak, rupanya itu Ben.
"Daddy?"
"Masuk." Ben tidak menatap Adeline sama sekali.
Adeline pun masuk ke dalam mobil. "Daddy, tapi aku sudah pesan—"
Ben menatapnya sengit. "Duduk yang tenang, kenakan sabuk pengaman."
"B-baik." Adeline bisa merasakan kemarahan Ben.
Tapi karena apa lagi? Bukankah dia sudah melakukan yang seharusnya dia lakukan?
"Masuklah dan istirahat."
"Daddy tidak ikut masuk?"
"Tidak. Aku masih ada urusan."
Baru kali ini Adeline melihat Ben sangat dingin padanya. Maklum, tiga bulan bersama, tak pernah sekalipun Ben memasang raut wajah dingin semacam itu dihadapan Adeline.
"Baik, aku—"
Ben mengecup pipi Adeline pelan, lalu membuka pintu mobilnya untuk Adeline. Kontan Adeline yang terkaget menerima kecupan itu pun tersipu.
"Terima kasih sudah mengantarku, Daddy."
"Ya, Baby."
Setelah Adeline keluar dari mobilnya, Ben kembali melajukan kendaraannya pergi dari tempat parkir apartemen sang kekasih. Adeline sedikit lega karena Ben masih mau menciumnya dan juga memanggilnya Baby. Itu tandanya Ben tidak marah padanya.
"Mungkin mood nya sedang kurang baik, tapi semoga bukan karena masalah Dion," gumam Adeline.
Hal terpenting sekarang adalah mengistirahatkan diri setelah situasi tegang terjadi di rumah Dion tadi. Bukan hanya terkejut saja, Adeline masih belum percaya ada benang merah antara dirinya, Dion, dan Ben, sugar daddy-nya. Belum lagi, Dion mengenalnya sebagai gadis yang polos. Bagaimana jika akhirnya Dion tahu, ada hubungan rahasia antara dirinya dengan Ben—Om Dion.
"Adel, kamu baru pulang?" Kristin, lagi-lagi dia yang berdiri di depan kamar apartemen Adeline. Kali ini Kristin membawa bungkusan paper bag berwarna pink, entah apa isinya.
"Kris, kamu mau apa kesini?" tanya Adeline.
"Tadi kebetulan lewat, aku mau ajak kamu ke pesta minggu depan. Kamu ada acara nggak?"
"Pesta? Minggu depan?"
Jadwal bertemu dengan Ben masih beberapa hari lagi. Seharusnya Adeline free pada minggu depan. Tapi mendadak Adeline teringat ucapan tante Desya yang mengatakan tentang pesta ulang tahun Om Dion.
Itu hari ulang tahun, Ben?
"Adel, kok kamu malah bengong?" tanya Kristin.
"M-Maaf, Kris, sepertinya minggu depan aku ada acara," pungkas Adeline.
"Yah! Sayang banget, ya, tapi gapapa deh. Kalau gitu aku jalan sendiri aja. Padahal tadinya aku mau kenalin kamu sama calon tunanganku lho."
"Tunangan? Wow, kamu mau tunangan, Kris?"
Adeline tampak senang, akhirnya temannya itu tidak lagi menjomblo, Kristin punya kekasih.
"Iya, biasalah, dikenalin sama orang tua," ujar Kristin.
"Tapi kayaknya kamu happy. Pasti kamu suka, kan?"
Kristin mengekeh. "Ya, lumayan, lah."
***
Tunangan setelah itu ke jenjang yang lebih serius lagi—pernikahan. Hal yang diimpikan banyak gadis, membangun rumah tangga bersama orang yang dicintai. Namun impian itu sudah lama Adeline kubur dalam-dalam. Wanita seperti dirinya tidak pantas diajak serius, apalagi berumah tangga.
Senyum getir terlukis di bibir Adeline. Dia menyalakan shower air hangat untuk membasahi tubuhnya. Mulai dan ujung kepala hingga kaki dia biarkan basah terkena air mengalir untuk sekedar membuat rileks dan membersihkan badan setelah seharian beraktifitas.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu apartemen terbuka. "Daddy, tapi ini jam berapa," gumamnya segera mengambil kimono mandi kemudian mengenakannya.
"B-Baby." Ben muncul dengan wajah yang pucat, bibirnya memutih dan kelihatan lemah.
"Dad, are you okay?"
"No." Ben lalu berjalan menghampiri Adeline dengan langkahnya yang lambat. Adeline yang menyadari kondisi Ben sedang tidak baik-baik saja langsung berlari menghampiri Ben.
"Daddy, kamu sakit?" tanya Adeline kemudian benar saja, Ben jatuh di pelukan Adeline.
"Dad!!"
Setelah dibaringkan ke tempat tidur, Ben kelihatan sangat mengkhawatirkan. Adeline masih mondar-mandir menelepon dokter yang biasa menangani kalau ia sakit. Ini sudah pukul dua puluh dua malam, jadi mungkin dokter itu sudah tidak di rumah sakit lagi.
"Astaga daddy, bagaimana ini demam mu sangat tinggi." Dilihatnya termometer yang menunjukkan angka 39°c.
"Baby, aku baik-baik saja," lirih Ben.
"Daddy, kamu udah bangun? Kamu demam tinggi, kita harus ke rumah sakit."
"Tidak apa, Baby, aku hanya ingin dengan mu di sini." Ben lalu menarik Adeline ke pelukannya. Posisi keduanya sekarang sama-sama berbaring. Adeline yang cemas langsung memeluk erat Ben.
"Kamu kelihatan sangat lemah. Padahal tadi sore kamu baik-baik saja. Kenapa bisa begini, Dad?"
Ben menggeleng. "Tidak tahu, mungkin karena aku terlalu banyak beraktifitas hari ini. Sibuk sekali, Baby," jawabnya.
"Tidak minum vitamin? Padahal aku seringkali bilang padamu, jangan lupa vitaminnya," kata Adeline menatap mata Ben dengan cemas. "Sekarang kamu sakit begini, aku jadi sedih."
"Hem, hanya kamu yang sedih ketika aku sakit, Sayang." Ben mengelus pipi Adeline kemudian terpejam. "Seandainya mereka perhatian seperti kamu."
"Mereka, siapa maksud daddy?"
Ben menggeleng. "Bukan siapa-siapa, aku punya kau, seharusnya aku bahagia."
Aneh. Akan tetapi Adeline merasa Ben sedang menyembunyikan sesuatu. Namun dia tidak mau menggali apa yang membuat Ben menjadi seperti itu. Kembali lagi, hubungannya dengan Ben hanya sebatas saling memberi kesenangan dan keuntungan satu sama lain.
"Baby, minggu depan aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat," ucap Ben.
"Minggu depan? Bukannya itu hari ulang tahunmu?"
"Ulang tahun, ya." Ben mendesah panjang. "Itu sama sekali tidak penting."
"Daddy, tapi keluargamu, mereka membuatkan pesta. Kenapa kamu malah pergi, bagaimana kalau mereka—"
"Sstt ... keluarga, aku tidak punya itu, Baby," potong Ben.
Saat suhu tubuh Ben makin meninggi, pria itu malah mencium Adeline. "Dingin sekali," ucapnya.
"Daddy kedinginan?"
"Hem, hangatkan aku, Baby."
***
Sekujur tubuh Adeline dihiasi jejak merah (Kiss Mark / Neck Hickey) yang cukup jelas. Kalau sudah begitu, dia tidak bisa mengenakan pakaian yang sedikit terbuka besok ke kampusnya.
"Kenapa dia malah pergi, hanya karena demamnya sudah turun. Daddy, padahal aku ingin merawat mu."
Hubungan semacam itu—suami-istri. Apakah Adeline bisa merasakannya juga? Selama menjadi wanita penghibur untuk daddy-nya, Adeline tidak pernah memikirkan hal itu. Tapi entah kenapa saat ini Adeline mulai memikirkan ingin menjalin hubungan resmi— menjadi seorang istri.
Daddy : Maafkan aku, Baby. Minggu depan aku tetap harus menghadiri pesta tidak berguna itu.
Adeline menghela napas panjang. "Kamu memang harus datang, Dad, itu adalah pesta yang dibuat untukmu. Kamu beruntung punya keluarga, tak tahu rasanya sepertiku yang tidak pernah merasakan hari ulang tahunnya dirayakan. Mungkin ibuku sendiri lupa pernah melahirkanku."
Sudahlah, Adeline tidak punya waktu untuk meratapi kesedihan karena hal semacam itu. Apa yang dia jalani sekarang merupakan kebahagiaan yang bisa dia nikmati. Meskipun jika ketahuan oleh orang-orang yang dikenalnya, maka dia pasti akan dipandang sebagai perempuan rendahan.
Dion : Del, kamu bisa datang, kan, Minggu depan? Ke pesta omku.
Adeline tidak mungkin pergi bersama Dion. Tapi dia juga ingin menghadiri pesta itu, karena itu adalah hari ulang tahun pria pujaannya.
"Apa sebaiknya aku tanya daddy saja?"
Akhirnya Adeline menanyakannya pada Ben.
Adeline: Daddy, apa aku boleh datang ke pestamu?
Tak butuh waktu lama, Ben langsung memberikan balasan pesan dari Adeline.
Daddy : Datang dengan Dion?
Adeline memejamkan mata sebentar. Kalau dia bilang bersama Dion, pasti Ben tak akan mengizinkan.
Adeline : Aku akan datang sendiri, meski dengan alasan memenuhi undangan tante Desya.
Daddy : Okey, boleh, Baby. Aku pasti senang melihatmu hadir nanti.
Senyum Adeline terlukis manis. "Aku boleh datang. Sebaiknya aku menyiapkan hadiah. Semoga saja Dion dan keluarganya tidak curiga."
Adeline tidak mau berpikir terlalu rumit. Meski sempat kepikiran juga, kalau sampai keluarga Dion tahu hubungannya dengan Ben seperti apa. Anggapan orang tua Dion, termasuk Dion, pasti akan langsung berubah padanya.
"Seandainya ... aku juga ingin bersanding dengan kamu, Daddy. Tapi apa aku pantas?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!