NovelToon NovelToon

KETIKA CASANOVA JATUH CINTA

Bab 1

"Usir wanita pembawa sial itu," teriakan menggema, malam menunjukkan pukul sepuluh. Suasana yang tadinya tenang berubah mencekam.

"Ya usir," balas yang lainnya.

"Manusia kotor," teriak yang lainnya. Bibiknya Mora mendengar kegaduhan bergegas keluar.

"Siapa manusia kotor?" Tanya Laras sambil mengangkat dagunya kearah warga yang berkerumun. Wanita yang umurnya tiga tahun lebih muda dari ibunya Mora itu memang keras. Tak peduli mau siapa pun orang itu akan tetap ia lawan meski ia salah.

"Usir Mora. Atau kami akan membakar rumah ini," teriak warga yang menjadi dalang di antara mereka, dia adalah Roby laki-laki yang cintanya di tolak oleh Mora karena sejuta alasan yang ada pada diri Mora.

"Enak aja. Ini rumah saya, berani kalian bakar rumah saya. Saya tidak akan segan juga membakar rumah kalian," tegas Laras.

"Bacot, mana si wanita murahan itu," teriak Roby membuat suasana kembali memanas.

Rukmi dan Rahma mengeluarkan Mora dari dalam dengan cara menyeretnya paksa.

"Saya tidak melakukannya, saya bukan pezina seperti apa yang kalian tuduhkan," lirihnya pelan. Isaknya terdengar lirih.

"Halah. Pergi!"

"Ya. Pergi dari kampung ini!"

"Ada apa ini ribut-ribut," tegur pak RT yang baru saja datang tergopoh-gopoh.

"Ini ada wanita pezina di kampung kita, pak RT," sahut Roby dengan nada congklak. Mora hanya menggeleng. Bingung harus menjelaskan apa, jika membela diri saat ini juga tidak ada gunanya.

"Tenang dulu. Jangan main hakim sendiri," jelas pak RT, "Apa benar begitu, Mora?" Sambung pak RT. Gadis itu menggeleng pelan.

"Halah. Mana ada maling teriak maling," sindir Roby kembali.

"Jangan-jangan kamu pelakunya makanya kamu kekeuh mau ngusir dia," tuduh pak RT dengan raut wajah penuh selidik.

"Ga usah nuduh. Ada baiknya pak RT atau keluarganya segera bawa dia pergi dari kampung kita ini, agar kampung ini enggak kena bencana." Warga lainnya menimpali.

Raut wajah ketakutan terlihat jelas dari gadis belia itu, andai masih ada neneknya mungkin tidak seperti ini penderitaan yang ia alami. Bahkan adik kandung ibunya tidak mau membelanya sama sekali.

"Ini sudah larut, baiknya kalian pulang. Besok biar saya yang bawa pergi dia dari sini. Saya janji," jelas salah satu orang yang di segani di kampung itu.

Semua warga bubar sambil menggerutu, begitu juga dengan pak RT, entah kabar dari mana hingga mereka mengetahui kalau Mora sedang hamil. Gadis belia itu hanya diam saat bibik dan pamannya bertanya bahkan memukulinya. Karena memang ia benar-benar tidak tahu dan harus berkata apa tentang kejadian yang menimpa dirinya.

Suasana malam begitu dingin mencekam, sedingin hati wanita yang hidupnya kini benar-benar hancur. Dia hanya diam di atas ranjang usang mendiang neneknya, menyentuh dada yang kian terasa nyeri. Tidakkah ada sedikit rasa iba pada manusia yang menganggap manusia lain pendosa. Seakan mereka manusia suci tanpa dosa.

Kicauan burung membangunkan Mora dari tidurnya, menyentuh kepalanya yang terasa begitu berat. Meraba apa yang bisa menuntunnya menuju kamar mandi, bergegas membersihkan diri. Sesuai janji, dia akan pergi hari ini.

"Mora. Buruan, udah di tungguin Bu RT sama Pak RT tuh." Sepupunya - Rahma yang berambut keriting itu berteriak.

"Iya," jawabnya lirih, sambil keluar dari dalam kamar mandi lalu menuju kamarnya.

"Baju kamu udah di masukin sama Kak Rukmi tu kedalam tas," kata Rahma dengan nada kesal. Jelas dia kesal, jika Mora pergi maka pekerjaan rumah dia dan kakaknya yang harus mengerjakan.

"Lagian ya. Harusnya kamu itu ga usah jual diri segala, gini kan kami yang malu. Udah buta belagu lagi," ucap Rukmi yang berada di kamar Mora mengemasi bajunya. Ingin menyaksikan kepergian sepupunya untuk yang terakhir kalinya.

Kata-kata kakak beradik itu bagaikan tombak yang menghujam jantung Mora, tak ada niat dalam hatinya sama sekali untuk membalas perkataan mereka, saat ini Mora lemah, hanya gadis buta dan tidak berdaya.

Tidak ada kata perpisahan yang baik atau sekedar untuk uang jajan yang mereka berikan untuk gadis malang itu, Laras bibiknya malah menatap jijik tak ubahnya seperti menatap seekor anjing. Bu RT mengelus rambut lurus Mora dengan lembut, ada raut wajah kesedihan di wajah wanita paruh baya itu, menatap nanar kearah Mora yang diam pasrah di perlakukan buruk.

Dunia tidak adil bukan?

Dunia selalu berpihak pada mereka yang berkuasa, terlebih pada manusia serakah. Sudah hukumnya begitu, yang miskin selalu tertindas.

___

Matahari sudah meninggi tepat di ubun-ubun, pak RT dan Bu RT sudah berada di kota mengantarkan Mora. Tidak, tepatnya mengusirnya dengan cara halus.

"Makan dulu yuk!" Ajak Bu Aya sebagai Bu RT. Menuntun Mora menyebrangi jalan, Mora menurut tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

"Nanti kamu ibu tinggal di rumah saudara ibu, kamu bisa bantu-bantu di sana, dia punya toko baju," jelas bu Aya menatap sendu kearah gadis belia yang sedang menyantap makanannya antusias, Mora dari tadi pagi tidak makan satu butir nasi pun. Perlakuan bibinya akan ia ingat sampai kapan pun. Mora mengangguk tanda setuju, gadis itu bersyukur masih ada pemimpin baik di antara pemimpin yang tak adil sekarang ini.

"Jaga kesehatan kamu, nanti kalau ada apa-apa sama kamu. Suruh saja saudara ibu itu buat hubungin ibu ya, Nak? Insha-Allah ibu akan datang," lanjut bu Aya dengan penuh kasih sayang. Terpancar jelas ada kasih sayang yang mendalam sebagai seorang ibu yang tulus pada diri wanita paruh baya itu.

"Iya, terimakasih Ibu sudah begitu baik sama saya," tuturnya. Sementara pak RT hanya diam, menyimak saja apa yang dikatakan istrinya. Rasa iba juga terpancar jelas pada dirinya.

Suasana di kota begitu ramai banyak lalu lalang pengendara terlihat begitu padat, Mora yang tak terbiasa dengan kehidupan kota membuat dirinya merasa aneh berada di sini. Pak RT melajukan mobilnya Kemabli menuju kediaman keluarga istrinya, tak butuh waktu lama mereka sampai di sana, menjelaskan apa yang terjadi pada Mora sampai Mora di usir dari kampung tempatnya tinggal, sang pemilik rumah hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda menyimak dengan baik.

Sepertinya keluarga bu Aya juga sedikit tidak suka dengan kedatangan Mora, jelas tidak suka, karena Mora buta. Sudah pasti hal yang dilakukan oleh Mora terbatasi mengingat keadaannya yang seperti itu.

Bu Aya pamit pulang, meninggalkan Mora di rumah keluarganya yang terbilang kaya. di rumah mewah yang di tempati empat orang. Deru mesin kendaraan pak RT meninggalkan halaman rumah Rani, saudara Bu Aya.

Manik mata cokelat itu menatap sinis pada gadis belia yang ada di hadapannya saat ini. Rani ragu jika Mora bisa mengerjakan pekerjaan rumah, Rani takut jika Mora hanya numpang makan di rumahnya saja.

"Menyebalkan," gerutunya. Bagaimana tidak, jika tadi dia menolak Mora untuk tinggal bersamanya, maka akan hilang rasa hormat dan rasa dermawan yang selama ini sudah payah ia bangun.

"Buktikan sama saya jika kamu bisa seperti yang Aya katakan tadi," kata Rani sambil menyeret tangan Mora menuju kamar yang akan dia tempati.

Dunia keras, siapa kuat dia akan bertahan, maka yang lemah akan kalah. Seperti gadis belia yang lemah saat ini mengalah demi kemenangan hari esok yang mungkin akan ia renggut paksa dari orang yang merasa dirinya hebat.

Bersambung....

Bab 2

Pagi sudah menyapa, semalaman gadis belia itu tidak bisa tidur dengan nyenyak, terus saja teringat kejadian buruk yang ia alami dua bulan yang lalu. Semalam ia gelisah mengingat peristiwa yang merenggut kesuciannya.

Siang itu di desa tempat tinggal Mora kedatangan pendaki dari kota, mereka berniat menginap di hutang lindung dekat dengan desa mereka, kejadian naas itu saat Mora pulang dari sungai, dia biasa mencuci di sana, walau sungainya sedikit jauh dari rumah namun Mora sudah terbiasa melakukannya bersama neneknya dulu, jadi dia hapal betul jalan menuju sungai. Selesai mencuci gadis itu pulang, pakaian yang ia kenakan juga basah, meraba pohon-pohon dan rumput untuk naik ke tepian, tanpa sengaja ia meraba tangan seorang pemuda yang tengah menatapnya sayu.

Tergesa Mora memindahkan tangannya. Lalu mengucapkan maaf, namun tak respon tak terduga dari laki-laki itu sebaliknya. Tangan Mora di tarik paksa lalu membawanya ke dalam semak belukar tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu, mulut Mora di bekap sehingga tidak bisa berteriak. Beberapa teman laki-laki itu hanya menggelengkan kepala tak percaya. Mereke mengira temannya hanya bercanda seperti biasa, sekedar memberi pelajaran untuk gadis yang sok lugu dan cari perhatian.

Selesai melakukan perbuatannya ia pergi begitu saja, tanpa rasa iba sedikit pun pada Mora yang menangis sesenggukan. Membenarkan tali pinggangnya lalu menuju kearah temannya yang sudah menunggunya.

"Lu ga macem-macem kan sama tu cewek?" Tanya salah satu dari mereka sambil saling menatap satu sama lain.

"Ga lah, gila kali gua lakukan yang enggak-enggak," seloroh pria bejat itu berdusta. Di iring senyum memuaskan.

Namanya Juna Andara, sangat pantas di sebut pria bejat karena hampir semua wanita yang menyukainya hal yang sama ia lakukan. Tapi berbeda dengan Mora, Mora tak pernah menyukainya, bahkan tak mengganggunya sama sekali. Setelah berkata begitu dia dia terbahak, bersama teman-temannya, gelak tawanya membuat suasana persahabatan mereka terasa begitu hangat.

Mora yang berjalan tertatih menahan rasa nyeri yang teramat hebat berusaha mencari jalan pulang kembali, mengenali beberapa jenis rumput dan pohon untuk menggapai pakaian saudara sepupunya yang telah ia cuci, tak ingin masalahnya semakin bertambah ia memilih untuk pulang, diam bukan berarti kalah. Begitu pikir Mora, tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur nasib tak bisa di ubah, sepahit apa pun hidup gadis itu harus ikhlas.

"Mora, buatkan saya susu," pinta Rani pada Mora yang baru saja tiba di dapur.

"Ia, Bu," jawab gadis itu lirih. Meraba benda-benda yang belum ia kenal sama sekali, sangat berbeda dengan rumahnya dulu yang semuanya serba plastik, bahkan termos air saja dari bahan plastik. Gadis itu bingung di sini ia tidak menemukan benda seperti di rumahnya sebelumnya.

"Lelet banget," sindir Rani, wanita modis dengan kuku tangan dan kaki yang berwarna.

"Maaf, Bu. Saya tidak terbiasa dengan keadaan di sini. Berbeda, semuanya tampak aneh," kata gadis manis yang memiliki kekurang fisik itu.

"Ya iya lah. Di sana kan kampung. Ya orang miskin semua, jadi mana ada seperti di rumah ini," sahut Rani sambil meraih susu kalsium lalu memasukkannya dalam gelas sedang dan menyeduhnya dengan air dispenser.

"Apaan sih, Ma. Berisik banget pagi-pagi," celetuk laki-laki bertubuh tegap bertubuh atletis dan juga wajah yang imut mirip artis Korea itu. Manik mata keabuan itu menatap heran kearah Mora. Jantungnya rasa hampir tidak bisa berdetak lagi.

"Ka ... Kamu," lirihnya hampir tidak terdengar.

"Kamu kenal dia, Jun?" Tanya Rani penasaran dengan tingkah putranya.

"Juna ga kenal, Ma," sahut laki-laki bertubuh atletis itu lalu memutar bola matanya malas. Duduk di samping wanita yang telah melahirkannya, lalu berbincang sejenak.

"Kakak mana ya, Ma?" Tanya Juna saat ibunya hendak bangkit dari duduknya.

"Kakakmu tadi malam pergi ke bandara, katanya mau jemput Monic," jelas Rani pada putranya yang terlalu sering ingin tahu urusan sang kakak.

"Seru dong, Ma. Mbak Monic akan nginap di sini juga?" Tanyanya lagi membuat wanita yang melahirkannya berdecak kesal.

"Ich, mau tau aja kamu sama urusan kakak kamu itu," ledek Rani membuat anak keduanya itu tersenyum kecil.

"Bik Inah pulang hari ini kan, Ma?" Pertanyaan ini akhirnya keluar lagi dari mulut Juna yang manja.

"Bibik mulu yang kamu tanyakan, sesekali tanyakan Mama," sahut wanita yang melahirkannya.

"Mama udah ada di sini ga usah di tanya," ledek laki-laki bertubuh atletis itu.

Sementara Mora hanya mendengarkan percakapan hangat keduanya, anak dan ibu yang saling melengkapi, Mora rindu akan hal yang tidak pernah ia dapatkan selama ini. Bulir bening jatuh begitu saja tanpa bisa ia bendung lagi.

Keduanya beranjak dari meja makan, mereka hanya makan roti yang di olesi selai dan segelas susu hangat. Berbeda dengan Mora, wanita cantik itu masih mematung, bingung apa yang harus dia lakukan. Bulir bening terus saja berlomba turun dari pelupuk mata Mora tanpa aba-aba.

"Assalamualaikum. Den, Bibi pulang," teriak seseorang dari depan. Suara yang teramat ia kenali.

"Noh, di panggil. Panjang umur dia tuh," seloroh Rani sambil terbahak di ikuti suara tawa dari Juna yang membuat candu.

Mereka berbincang sesaat, menceritakan apa saja yang terjadi di kampung bi Inah, setelahnya bi Inah ikut pamit menju dapur untuk bersih-bersih mengingat dirinya sudah lama tidak ada di sini. Matanya membulat sempurna saat melihat seseorang wanita cantik menangis tergugu di pojokan dapur. Awalnya ia mengira itu setan yang menjelma jadi manusia, rasa takutnya akhirnya sirna saat melihat kaki wanita itu menapak di lantai dengan sempurna.

Bi Inah menyentuh pundak Mora pelan, gadis itu menoleh, bi Inah terkejut saat melihat wanita yang ada di hadapannya buta, bukan jijik atau marah, tapi lebih pada rasa iba dan kasihan. Wanita paruh baya itu mengajak Mora bercerita, bertukar cerita, sedikit bercanda ria lalu menanyakan prilahal kenapa ia bisa ada di sini. Mora menceritakan semuanya, awal permasalahan sampai akhirnya dia di usir dari kampung tempatnya tinggal selama ini.

Wanita paruh baya itu menjatuhkan bulir bening, menyayangkan atas perbuatan pemuda yang tega berbuat seperti itu pada Mora, gadis itu hanya terdiam. Mencoba memendam amarah yang suatu saat akan ia keluarkan. Suasana sendu berubah jadi gembira saat bi Inah menyemburkan kentutnya yang sudah dari tadi ia tahan. Gelak tawa keduanya pecah saat sedang membersihkan sayuran untuk makan siang.

"Maafkan Bibik, Neng," ucap wanita paruh baya degan suara kekehnya yang masih tersisa, tubuh yang sedikit berisi membuatnya gampang buang gas.

"Ga apa-apa, Bik," senyumnya mengembang, senyuman ini yang dulu pernah di berikan oleh mendiang neneknya. Menyuruh Mora tak selalu mengalah pada keadaan, tapi nyatanya Mora tetap saja kalah, keadaan saat ini sedang tidak berpihak kepadanya.

Mora tak pernah menginginkan apa yang terjadi pada kehidupannya saat ini, jalan hidupnya saat ini adalah ketentuan sang maha cinta, campur tangan Tuhan untuk tujuan yang lebih baik nantinya.

__

Semua sudah terlelap, namun wanita dengan wajah sendu itu masih terjaga. Hati dan pikirannya kacau, bayangan masalalu yang pilu terus saja berkelebat dalam angan. Juga memikirkan masa depannya nanti bagaimana dan harus berbuat apa. Sesekali si terisak lirih, sambil membekap mulutnya menggunakan bantal.

Wanita cantik berkulit putih dan berambut lurus itu tidak ingin teman tidurnya yang sedang nyenyak saat ini terganggu oleh ulahnya.

Meraba kearah kamar mandi lalu berwudhu, menunaikan salat lalu meminta ampunan pada Rab-nya atas segala kesalahannya dan meminta agar Allah melimpahkan nikmat untuknya, ia percaya bahwa Allah saat ini sedang mengujinya. Akan ada masa di mana dia akan merasakan bahagia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.

Bersambung....

Bab 3

Suara adzan berkumandang, mengadakan panggilan pada umat muslim untuk menunaikan kewajibannya. Mora mengguncang tubuh bik Inah pelan, mengajaknya ikut salat berjamaah bersamanya, bik Inah juga sangat senang memiliki teman saat ini, teman bercerita walau dia memiliki kekurang tapi wanita cantik itu bisa membantunya.

Mereka menunaikan salat dengan khusuk bik Nah lah sebagai imam dan Mora sebagai makmum. Selesai salat mereka lalu bergegas ke dapur, menyiapkan sarapan pagi walau hanya roti panggang yang di olesi selai.

"Nama kamu siapa, Neng? Dari kemarin bibik mau tanya kok lupa terus," celetuknya. Bik Nah menyeduh susu tanpa menatap kearah lawan bicaranya. Percuma saja menatap toh yang di tatap datar tak ada respon.

"Mora Cantika. Saya cuma anak yatim-piatu yang di rawat oleh nenek saya, setelah nenek saya tiada saya tinggal bersama bibik saya. Tapi ya nasib saya tidak seberuntung wanita lain," jelas Mora dengan raut sedih. Ia seolah lupa bahwa kemarin dia juga menceritakan hal ini pada bik Inah.

"Sudah ga masalah. Anggap aja Bibik sebagai keluarga kamu. Terus sebenarnya nyonya baik, hanya saja dia belum terbiasa jika dengan orang baru." Kata bik Inah lembut, tanpa mereka sadari sepasang mata menatap mereka. Juna menatap mereka nanar, ada rasa sesak pada hatinya.

Wanita cantik itu menuju kamar mandi, di usia kehamilan yang semakin hari semakin membuatnya payah bergerak. Memasuki bulan ke tiga. Rasa iba Juna tiba-tiba datang pada gadis buta itu, biasanya dia tidak peduli sama sekali bahkan jika melihat orang yang sedang kesusahan di jalan saja ia enggan menolongnya.

"Bik. Dia kenapa?" Tanya Juna pada asisten rumah tangganya yang sedang mencuci piring di wastafel. Bik Inah sedikit kaget dengan kedatangan Juna yang tiba-tiba ada di dekatnya dan spontan bertanya.

"Ah. Ngagetin aja, Den." Bik Inah melihat majikannya itu dengan rasa heran. Tak biasanya dia suka ikut campur urusan orang lain.

"Oh itu. Dia lagi hamil muda, Den. Kasian banget di usir dari kampung. Mana ibu dan bapaknya ga ada," ujar wanita itu dengan menyeka sudut matanya yang mulai berembun. Mengingat bagaimana Mora mengisahkan hidupnya yang amat sangat perih. Jika orang yang kejiwaan lemah mungkin bisa saja sudah gila, bersyukur Mora masih kuat hingga detik.

"Serius, Bik?"

Juna menatap manik mata bik Inah dalam. Ia ragu jika bik Inah akan berbohong. Tapi satu sisi bik Inah tak pernah berbohong, dia tahu wanita itu sudah sangat lama bekerja di rumahnya bahkan sudah di anggap seperti keluarga oleh mamanya.

"Iya. Dia cerita sambil menangis, Den. Bibik ikut nangis denger cerita dia. Pokonya sedih banget, Den. Adik ibunya juga tidak pernah sayang sama dia, cuma manfaatkan tenaga dia doang," jelas bik Inah panjang lebar.

Hati Juna terketuk, ingin berbuat baik pada Mora, menebus segala dosanya. Dia bergegas masuk kedalam kamar, rasanya seperti sudah kenyang mendengar perkataan bik Inah tadi.

Bagaikan belati yang menusuk kedalam jantungnya, ada luka yang tidak bisa ia gambarkan, ada rasa bersalah yang teramat dalam. Merasa dirinya bukan manusia yang sebenarnya, dia merasa dirinya serendah binatang. Juna terus saja merutuki dirinya.

"Juna," panggil seseorang di luar sana. Suara wanita yang teramat ia sayangi.

"Iya, Ma," jawabnya. Mengusap air matanya yang berderai begitu saja. Kini hatinya melemah, merasa dirinya laki-laki bajingan yang tak pantas untuk bahagia.

Juna mendekat kearah pintu dan membukanya pelan, melihat sosok wanita yang melahirkannya berdiri sambil melipat tangan di dada.

"Sarapan. Kamu ga kuliah?" Tanya Rani sambil mengintip kearah dalam kamar anaknya, ia curiga jika anaknya melakukan sesuatu. Wajar saja, insting seorang ibu itu kuat.

"Iya, Ma. Juna cuma masih ngantuk aja, semalam banyak tugas," elaknya. Sebenarnya bada tugas atau tidak dia sama sekali tidak peduli. Toh kuliah hanya paksaan mamanya saja. Juna sudah pernah memberi tahu pada wanita yang melahirkannya jika dia ingin masuk kelas musik, namun ibunya melarang. Juna hanya bisa pasrah tapi sesekali dia tetap ikut kelas musik privat.

"Ya, ayo turun!"

Wanita yang telah melahirkannya turun terlebih dahulu, sementara Juna membersihkan diri terlebih dahulu baru menyusul ke lantai bawah. Di dalam kamar mandi, memandang wajahnya dengan penuh rasa bersalah dan Mera jijik pada diri sendiri. Dirinya saat ini melebihi preman yang bejat, melebihi orang yang kurang kasih sayang. Padahal mamanya selalu memberikan dia kasih sayang sepenuhnya, bahkan memberikan apa yang dia mau walau tidak bisa menemaninya setiap harinya.

Biasanya anak broken home yang hidupnya terlantar cenderung mencari kasih sayang di luar, bahkan orang seperti itu tidak merasa iba sama sekali jika orang lain dalam masalah.

"Aku harus tebus kesalahanku pada Mora," lirihnya.

Usai mempersiapkan segala kebutuhannya untuk berangkat ke kampus laki-laki berwajah manis bak Korea turun ke lantai bawah untuk menyantap hidangan sederhana yang bi Inah buat.

Duduk di samping wanita yang telah melahirkannya, mengambil roti panggang dan selai lalu mengoleskan pada roti. Memasukkannya kedalam mulut, tapi matanya tertuju pada Mora yang sedang membersihkan buah-buahan lalu mencucinya di wastafel.

"Kamu lihatin dia terus, Jun. Suka?" Rani menyenggol bahu putranya pelan.

"Ga lah, Ma. Gimana keadaan dia. Masa ia suka sama gadis buta," cibirnya. Namun masih memandang gadis itu tanpa mengalihkan pandangan kearah mamanya.

"Cinta mengalahkan segalanya. Mama juga udah sayang sama dia tau. Setelah cerita bik Inah semalam sama Mama, awalnya Mama kira sepupu Mama itu bohong. Nyatanya beneran. Bi Inah sampai nangis denger cerita dia. Andai anak mama yang melakukan perbuatan terkutuk itu, mama ga akan anggap dia sebagai anak mama lagi," jelasnya panjang lebar. Juna yang mendengar kalimat terakhir tersedak dan terbatuk-batuk.

"Pelan-pelan," ujar Rani lalu menyodorkan susu untuk putranya.

"Ma. Juna berangkat," ucap Juna lembut lalu mencium takzim tangan wanita yang mehirkannya.

Sebelum berangkat dia meletakkan piring di wastafel, berbicara sedikit pada Mora. Berharap Mora tidak takut dan tidak mengenal siapa dirinya.

"Mau aku belikan apa nanti saat aku pulang dari kampus?" Tanya Juna pelan. Dia sebenarnya malas sok kenal dan sok dekat dengan orang baru, terlebih wanita itu memiliki kekurangan fisik. Mora menggeleng pelan, ia sungkan pada laki-laki yang baru ia kenal, bisa di bilang majikannya.

"Jangan salah paham. Aku ga ada maksud menggodamu apa lagi merayumu. Aku cuma mau kamu jaga janin kamu. Walau bagaimanapun dia juga butuh gizi, butuh orang yang selalu ada untuknya. Katanya sok bijak.

Sejak kapan dia peduli pada sesama mahluk, anak kucing saja kedinginan dia biarkan sampai mati. Tapi mungkin Allah mengetuk pintu hatinya melalui Mora.

"Terserah, saya apa saja akan saya makan. Seandai racun yang anda berikan saya juga tetap memakannya. Karena saya di kasihani, lagian saya tidak bisa melihat," jawabnya sambil tersenyum.

Masih tersimpan senyum dalam duka. Walau jutaan air mata bahkan ribuan luka telah menusuk jantungnya, memporak-porandakan isi di dalamnya. Senyumnya masih menghiasi bibir ranumnya.

"Oke." Juna berlalu meninggalkan meja makan. Sementara Rani dan bik Inah saling menatap, heran dengan sikap Juna saat ini, biasanya laki-laki bertubuh atletis itu hanya makan dan menaruh piring juga gelas kotor bdi atas meja.

Rani melanjutkan sarapannya sementara bik Inah kembali membereskan apa saja yang terlihat berantakan. Mengepel lantai yang terlihat berminyak.

"Bik. Mora mau tanya sesuatu," celetuk Mora saat mereka istirahat sambil menyiram tanaman hias di kebun belakan rumah.

"Apa aku berdosa. Sampai Allah menghukumku sejauh ini?" Mora duduk di bangku santai di taman.

"Banyak istighfar, Neng. Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya. Berprasangka baiklah pada Allah, anggap ini ujiannya untuk masa yang akan datang agar lebih baik," jawab bi Inah. Walau bi Inah wanita kampung tapi dia tahu soal agama sedikit-sedikit.

"Iya, Bik. Kadang aku merasa Allah itu tidak adil."

"Istighfar, Neng. Ini ujian dari Allah," jelas bi Inah. Meletakkan selang lalu berjalan kearah Mona yang sedang menangis tergugu. Bik Inah memeluknya erat.

"Saya takut. Jika anak ini lahir, saya tidak bisa merawatnya."

"Ada Bibik. Doakan sama Allah supaya Bibik panjang umur dan sehat selalu. Agar kita terus bersama," lanjut bik Inah. Terus mengusap punggung Mora lembut. Sosok ibu yang hilang kini hadir dalam wujud bik Inah.

"Terimakasih, Bik."

"Kalau seandainya Bibik sudah pensiun dari sini, apa Neng Mora mau ikut Bibik pulang ke Bandung?" Tanya bi Inah serius. Matanya menjatuhkan bulir bening yang tidak dapat dia bendung lagi.

Rasa kasiha dan ibanya terlalu dalam, seorang anak yang terlantar dan tersisihkan. Komnas perlindungan anak dan perempuan tak peduli padanya, mungkin tak ada yang melaporkan apa yang ia alami. Tapi kini bik Inah jauh lebih menyanyi Mora. Gadis itu hanya mengangguk lemah, jika menolaknya tak ada lagi orang yang setulus bik Inah saat ini bersamanya.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!