Sepanjang hari duduk termangu di teras rumah, sendiri. Kebiasaan ini mulai menyelimuti kala sunyi memberontak dalam diri. Kerap kali dia berusaha melepaskan diri, tetapi akal kalah dengan ilusi. Sekuat tenaga melupakan semua fakta yang menghantui ternyata lebih sulit dari menahan elastisitas kulit mengalami fluktuasi. Sebelum menyerahkan kegadisannya kepada sang pujaan hati hingga kini sering menyalahkan diri, dia masih rajin bersolek setiap hari. Namun, banyak lisan akan menilai kemolekannya memang sudah waktunya pergi, seperti eksistensi sang pujaan hati.
Aku sudah bau tanah, tetapi masih saja ... kira-kira masih lama atau memang kamu tidak ingin pulang ke rumah yang baru? Jika masih sering menyapa, bagaimana caranya aku mampu membebaskan keikhlasan yang terbelenggu hampir sewindu? batin wanita paruh baya.
Jangan heran, jika wanita paruh baya ini sering berbicara sendiri. Kerap kali anak dan menantunya mengingatkan supaya mengikhlaskan kepergian sang pujaan hati. Namun, tetap saja enggan berhenti, justru mengakali dengan cara berbicara sendiri dalam hati.
"Nenek! Di mana Nenek? Tolong bukakan pintunya, Nek. Lio dan Umi di depan pintu," panggil cucu tercinta yang masih kesulitan melafalkan huruf 'r'.
"Tolong buka pintunya, Umi," sambung menantu tersayang dengan cukup lantang. Dia tahu mertuanya sedang melakukan kebiasaannya di taman belakang rumah. Terlihat barang bawaan dalam tas belanja, ada makanan dan perlengkapan harian untuk mertua sekaligus ibu baginya.
Wanita paruh baya itu pun beranjak dari kursi taman, berjalan tertatih untuk membukakan pintu rumah yang terkunci. "Iya, sebentar."
Anak kecil itu menunggu neneknya membukakan pintu dengan berjalan ke sana kemari. Seketika dia berlari menghampiri neneknya, saat telinga menangkap bunyi dari pintu yang terbuka.
Anak kecil itu melompat lalu mendekap neneknya, dengan sigap wanita paruh baya itu membungkuk sambil merentangkan tangan. "Nenek! Lio lindu sekali, apalagi celita tidul yang biasanya Nenek celitakan."
"Nenek juga sangat rindu dengan, Rio,"-wanita paruh baya itu mencium kedua pipi cucunya dengan gemas-"kamu satu-satunya cucu nenek yang paling menggemaskan."
"Bagaimana dengan keadaan, Umi?" Sang menantu mencium telapak tangan mertuanya dengan santun.
"Umi sehat," sahut wanita paruh baya dengan lirih, "kenapa kamu datang berdua saja? di mana suamimu?"
"Nenek, ayo main sama, Lio!" Rio secara tiba-tiba menarik tangan neneknya ke gudang.
Sesampainya di depan gudang, wanita paruh baya itu menahan sambil membujuk cucunya untuk tidak main di gudang penuh debu."Jangan di gudang, Rio. Nenek dan Bi Sutma sudah jarang membersihkannya, lebih baik kita main di kamar nenek saja."
"Lio tetap mau main di gudang belsama Nenek." Rio berusaha menyeret neneknya yang diam saja di depan pintu gudang.
Wanita paruh baya itu bingung melihat cucunya memaksa untuk masuk ke gudang. Kenapa Rio memaksa untuk bermain di gudang?
"Rio, kenapa kamu mengajak Nenek ke gudang?" tanya wanita paruh baya lirih.
Mereka berdua akhirnya masuk ke gudang, tiba-tiba Rio menunjuk ke arah depan yang terlihat tidak ada apa-apa. "Kakek mau menunjukkan sesuatu, Nek."
"Kakek sudah ...." ucapan wanita paruh baya itu terhenti karena terjatuh, sebab kepalanya tertimpa buku dari atas lemari kayu. Menimbulkan suara begitu nyaring sehingga membuat sang menantu beranjak dari dapur.
"Nenek! Apa Nenek baik-baik saja?" Rio membantu neneknya berdiri sambil mengambil buku yang tergeletak, terlihat penuh debu dan usang.
"Ayo keluar dari sini, Rio!" Wanita paruh baya itu sigap menarik keluar Rio dari gudang yang penuh dengan debu.
Wanita paruh baya itu mengajak Rio masuk ke kamarnya untuk bermain. "Kita main di kamar Nenek saja, Rio, Jangan main di sana!"
Rio berusaha naik ke atas kasur untuk duduk di sebelah neneknya. "Iya, Nenek. Lio minta maaf telah membuat nenek telluka."
Wanita paruh baya itu mengusap rambut cucunya dengan lembut untuk meyakinkannya kalau memang tidak terluka serius. "Iya, tidak apa-apa. Nenek tadi hanya kaget saja, Rio."
"Apa yang kamu bawa itu, Rio?" sambung wanita paruh baya itu, dia baru menyadari jika cucunya membawa sebuah benda di tangan kiri.
"Umi! Apa suara nyaring tadi berasal dari kamar Umi? Apa Umi yang terjatuh?"-sang menantu dengan sigap memeriksa tubuh mertuanya-"apa ada bagian tubuh yang sakit, Umi?"
"Iya, aku tadi terjatuh di gudang karena kaget tertimpa sesuatu," jelas wanita paruh baya dengan tersenyum.
"Tenang, Raissyah. Aku tidak apa-apa," sambung wanita paruh baya itu dengan seulas senyum.
Raissyah menghela napas lega setelah mendengar ucapan mertuanya. "Syukurlah, Umi. Kalau mau ambil sesuatu panggil aku saja."
Rio menyerahkan buku berdebu dan usang kepada neneknya. "Buku ini yang tadi menimpa Nenek."
Wanita paruh baya itu mengambil buku dari tangan mungil cucunya. Dia mengamati buku berdebu itu, saat hendak membuka ternyata sampul buku terkunci. Aku baru tahu ada buku ini di gudang, siapa pemilik buku ini?
"Umi! Aku pikir...."-Raissyah mengeluarkan kunci dari dompetnya-"kunci yang dititipkan Abi kepadaku, mungkin dapat membukanya, Umi."
"Abi menitipkan kunci ini padaku sebelum kejadian itu, Umi," sambung Raissyah dengan lembut.
"Kenapa Abi menitipkan kunci itu pada, Umi?" sela Rio dengan suara menggemaskan.
Raissyah mengusap rambut anaknya dengan lembut. "Umi juga kurang tahu, Sayang. Seingat Umi ... Abi pernah bilang kalau, 'serahkan kunci ini ke Umi ketika sudah menemukan buku peninggalan Aba'."
"Belalti buku ini milik Kakek, Umi?" tanya Rio dengan lembut.
"Iya, Sayang. Ini, Umi,"-Raissyah menyerahkan kunci itu ke mertuanya-"maaf telah menahan kunci ini hampir sewindu, Umi."
Wanita paruh baya itu menerima kunci dari tangan Raissyah. "Tidak apa-apa, kamu hanya mendengarkan perkataan anakku. Mungkin, dia mendapatkan wasiat dari Abanya."
Gejolak rindu pada sang pujaan hati mengambil alih kesadaran dalam diri. Tidak peduli dengan debu yang menghiasi, wanita paruh baya itu kepalang penasaran dengan isi yang tersembunyi. Setelah berhasil membuka kunci, tanpa sadar air suci mengalir pelan melihat judul yang tertulis dan coretan yang terlukis.
Sang menantu dan cucu tercinta iba melihat keadaan wanita paruh baya. Raissyah sigap berjongkok di hadapan mertuanya lalu menggenggam tangan untuk menenangkan. Rio memeluk neneknya dari samping.
"Nenek, jangan sedih," bujuk Rio dengan suara lembut penyejuk hati.
"Umi yang sabar, ya. Aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan orang tercinta." Raissyah menyeka pelan pipi mertuanya dengan saputangan.
Wanita paruh baya merintih, dia teringat dengan sang pujaan hati. Aku lemah, ya. Cucu dan menantuku sampai membujukku untuk mereda. Bagaimana caranya ... aku menggenggam ikhlas yang membara? Aku saja masih belum mampu membebaskannya. Aku rindu denganmu, Izyan!
Manik mata Rio tertarik pada ilustrasi wanita yang cantik pada halaman pertama. Dia pun mengeja judul di atas ilustrasi wanita. "Catatan Puisi untuk Delisha. Wah, buku ini kado untuk Nenek dari Kakek."
Mendengar suara menggemaskan Rio, wanita paruh baya dengan nama yang sesuai pada judul buku pun mereda. Dia tersenyum sambil mengusap tangan mungil cucunya. "Iya, Rio. Kakekmu begitu pintar menyulam kata, keahlian itu dia dapatkan dari orang tuanya, mertua nenek yang sudah lama berpulang."
Rio menganggukkan kepala tanda mengerti ucapan neneknya, tetapi tidak sepenuhnya. Raissyah tiba-tiba mendapatkan gagasan, dia pun mengucapkan permintaannya, "Maukah Umi menceritakan atau menjelaskan makna yang tersirat dalam setiap puisi?"
Mendengar permintaan menantunya, dia menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Baiklah, akan Umi ceritakan semuanya sesuai dengan daftar isi buku ini, ya."
Aku izin menceritakan semua tentangmu kepada menantu kita, supaya dia tahu. Betapa mahir dirimu merangkai naskah manis kisah kita, batin Delisha dengan bulan sabit yang telah lama hilang dari tempatnya.
Delisha, wanita paruh baya itu pun membalikkan lembar usang ke halaman berikutnya. Tentu saja sang pujaan hati menyulam kata pengantar dengan manis, khusus untuk dia. Jemari halus Delisha yang termakan angka, tanpa sadar mengusap kertas usang buku catatan di tangannya. Lisan tidak lagi bersuara, untuk sementara perannya digantikan mata dan hatinya. Bergerak ke sana kemari sambil mencerna dalam diam, tanpa menyertakan duka.
'Puji dan Syukur selalu ku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab menjodohkan aku dengan bidadari surga, Delisha. Buku catatan ini, memuat perjalanan hidupku dengan dirinya. Kisah tentang seorang pria yang ditakdirkan bersua dengan bidadari surga hingga membuahkan buah hati tercinta, Kaivan Arion Charagh. Namun, aku tahu setiap tali yang mengikat pasti akan ada kalanya terlepas. Maka dari itu, alasan kutulis catatan ini supaya selalu mengingat perjalanan kisah yang tidak semudah orang lain pikirkan tentang kita.
Aku harap, kamu mengingat semua surat yang pernah kukirim dahulu. Aku yakin, bidadariku pasti menyimpan dengan benar semua kenangan tentangku. Namun, jika aku pergi terlebih dahulu. Tolong genggam erat ikhlas yang membara itu. Jika kamu kesulitan melepas aku, kumohon jangan terlalu lama larut dalam pilu. Bacalah buku ini supaya dirimu mampu menggenggam ikhlas, Sayangku.'
Rio memang anak pintar, melihat neneknya terdiam tidak membuatnya marah memburu. Dengan perlahan dia mengusap pipi neneknya supaya tidak larut dalam pilu. "Nenek, jangan suka melamun. Kata Abi, 'Lio kalau suka melamun nanti diganggu hantu.'. Jadi, nenek jangan suka melamun! bial gak diganggu hantu."
Delisha menyambut celotehan cucunya dengan tawa riang bersama dengan Raissyah. Dengan gemas dia memegang dagu dan memainkan pipi cucunya. "Ucapan cucu nenek ini memang benar, maaf dan terima kasih telah mengingatkan Nenek, Rio."
"Rio ini memang mirip dengan Abanya, Umi," puji Raissyah.
"Kemarin saja, mereka berdua ketakutan dengan kecoa lalu lari di belakangku untuk bersembunyi," sambung Raissyah sambil tertawa kecil.
Delisha berdecak-decak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astaga, Nenek pikir cucu nenek berbeda dengan Abamu dan Kakek."
Rio menahan malu dengan cara menutupi dirinya dengan bantal milik Delisha. "Lio takut kecoa kalau telbang saja, Nenek! "
"Aku baru tahu kalau Aba Izyan pun takut kecoa, Umi," timpal Raissyah, dia baru tahu kalau mertuanya takut dengan kecoa.
"Iya, bahkan kecoa itu membawa berkah untuk, Umi," sahut Delisha menahan tawa.
Cucu dan menantunya bingung dengan perkataan Delisha yang menganggap kecoa membawa berkah. "Bagaimana ceritanya kecoa dapat membawa berkah untuk, Umi?"
Delisha tersenyum sambil memikirkan mulai dari mana dia menjelaskan. "Nanti Umi ceritakan, sekarang kita balik lembaran buku catatan ke halaman berikutnya, ya."
Cucu dan menantunya menganggukkan kepala tanda menuruti ajakan Delisha. Dengan perlahan telunjuk Delisha membalikkan lembar usang ke halaman berikutnya.Terlihat ada tujuh bab dalam daftar isi, Senin hingga Minggu masing-masing beranak delapan.
"Banyak sekali judul puisinya, Umi. Totalnya 56, tapi kenapa ada judul yang kembar?" sela Raissyah kala mengintip daftar isi buku itu.
Delisha baru menyadari jika ada 5 puisi dengan judul yang sama. "Kira-kira, apa maksud dari 'Tinta yang Hilang' dan kenapa ada lima judul yang kembar?"
Delisha dan menantunya termenung sejenak memikirkan makna yang disembunyikan Izyan. Berbeda dengan Rio yang tampak ingin segera mendengarkan cerita. "Kenapa Nenek dan Umi diam saja? Jangan diam saja, Lio ingin mendengar celita dari Nenek."
"Iya, Rio,"-Delisha membalikkan lembar usang ke halaman berikutnya-"maaf, tadi Nenek memikirkan sesuatu."
"Maafkan Umi juga, ya, Rio." Raissyah mengusap rambut anaknya dengan lembut.
"Umi, judul puisi dan ilustrasi ini,"-Raissyah mendekatkan pandangannya demi memastikan apa yang dilihatnya-"bukankah ini gambar kecoa?"
Aku pikir kamu melupakan cara kita bersua, Izyan, batin Delisha dengan bulan sabit bersinar terang.
"Iya, benar. Begitulah cara kita bersua," sahut Delisha dengan lembut.
Cucu dan menantunya bersorak meriah, sebab tidak sabar mendengarkan makna tersirat dari puisi pertama berjudul 'Pahlawanku' dengan hari dan tanggal di sampingnya Senin, 7Juni 2010. Delisha mengindahkan larik demi larik sajak itu. Kilasan peristiwa, kenangan bersama Izyan, Ketua OSIS yang takut dengan kecoa.
Makian dan serapah keluar dengan mudah
Monster buas memburu makhluk tak berdosa
Sutradara mengirim bala bantuan
Memusnahkan tanpa berperikemanusiaan
Wanita bertudung putih layak dipanggil bidadari
Seorang diri membabat habis penyusup negeri
Menunduk demi menghormati
Begitu anggun pahlawan ini
"Apa kalian siap mendengarkan cerita pertama?" tanya Delisha dengan lembut.
"Siap," sahut Rio dan uminya dengan lantang.
"Baiklah, akanku ceritakan kisah di balik puisi pembuka." Delisha membetulkan posisi duduknya dan mulai bercerita.
...****************...
"Kecoa!" teriak Ketua OSIS yang dianggap semua orang, raja dingin dari Kota Batu.
Semua orang berlalu-lalang menyelamatkan diri dari segerombolan kecoa terbang. Ada satu siswi yang terlihat anggun dari awal acara perkenalan siswa baru, tetapi berubah pesat menjadi pemburu kecoa terbang. Satu per satu kecoa berhasil ditaklukkan hingga tersisa satu yang bernafsu memangsa kakak kelas. Ketua OSIS diburu kecoa terbang, dengan lincah ke sana kemari menghindari sergapan. Adik kelas dan teman sebayanya tidak ada yang membantu, kecuali siswi anggun pemburu kecoa terbang.
Sudah terpojok, kecoa tinggal mengepakkan sayapnya beberapa kali untuk memangsa Ketua OSIS. Namun, dia tidak menyangka adik kelas bertudung putih dengan sigap menebasnya.
"Kena!" sorak siswi bertudung putih berhasil menaklukkan kecoa yang terakhir dengan bermodalkan binder. Memanfaatkan fungsinya sehingga menyerupai tumbuhan Venus Flytrap.
Ketua OSIS hendak berterima kasih, tetapi dia baru sadar kalau semua kecoa itu dalam kantong plastik yang tersembunyi. Berinisiatif melarikan diri, tetapi langkah kakinya terhenti. Kedua rekannya sekaligus sahabat terbaiknya menghalangi.
"Ayo ucapkan terima kasih padanya, Do!" perintah salah satu sahabat Ketua OSIS.
"Woy, lepaskan tangan kalian!" Ketua OSIS memberontak dengan beringas, sebab dia marah karena merasa dipermalukan kedua sahabatnya.
Siswi bertudung putih mendekat ke arah Ketua OSIS sambil membawa binder yang penuh dengan kecoa. "Jangan takut, Kak. Semua kecoa ini sudah pasti sekarat, bahkan mungkin ada beberapa kecoa sudah menjemput ajal mereka."
Ketua OSIS tampak meredakan amarahnya, lalu mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan adik kelas yang telah menyelamatkan dirinya. "Terima kasih dan maaf, aku pikir kamu akan menakuti aku dengan kecoa dalam bindermu."
"Tenang, Kak. Kecoa dalam binderku telah terpengaruh cairan yang aku racik sendiri untuk membasmi para serangga yang menggangu aku dan orang sekitar," Siswi bertudung putih dengan sigap menjabat tangan Ketua OSIS.
"Perkenalkan, aku Izyan Prana," ungkap Izyan dengan tegas berwibawa walaupun faktanya takut dengan makhluk kecil yang mudah ditaklukkan.
"Salam kenal, Kak. Aku Delisha Saqeena Aghraini dari SMP purnama," balas Delisha dengan bulan sabit bersinar terang.
Acara perkenalan siswa baru telah selesai, Delisha keluar dari ruang kelas bersama kedua sahabat barunya. Dua siswi bertudung merah dan putih sesuai dengan daftar presensi siswa. Mereka bertiga menelusuri lorong demi mengenal sekolah. Delisha yang mengajak mereka supaya nanti tidak kebingungan saat mulai bersekolah.
Saat kaki mereka telah menjajaki hampir seluruh wilayah sekolah. Tiba-tiba, ponsel Delisha berdering. Dia menghentikan langkahnya untuk melihat ponsel. Terlihat nama Abi Shabir, Delisha pun memanggil kedua sahabatnya. "Farah! Qonita! Tolong tunggu sebentar."
Dua siswi yang dipanggil Delisha menghentikan langkah kakinya. Menolehkan pandangan ke arah Delisha yang sedang kebingungan. Farah spontan bertanya, "Siapa yang menelepon, Delisha?"
"Abaku, Farah,"-Delisha menunjukkan nama yang tertera pada ponselnya-"mungkin, Aba sudah menunggu di depan sekolah untuk menjemput aku pulang,"
"Kalau begitu, ayo kita pulang!" ajak Qonita dengan riang.
"Apa kalian tidak keberatan?" tanya Delisha memastikan kedua sahabatnya tidak marah.
"Maksudku, aku yang mengajak kalian berdua untuk menelusuri sekolah, tapi gara-gara aku kita menghentikan penelusuran," sambung Delisha dengan lembut.
"Kita berdua tidak keberatan, Delisha,"-Farah menunjuk ponsel Delisha-"lebih baik kamu angkat terlebih dahulu panggilan telepon Abamu."
Delisha menuruti perkataan Farah, sebab dia baru tahu kalau abanya telah menelepon sebanyak tiga kali. Mengawali dengan salam, abanya menjawab dengan penuh keharmonisan.
"Sayang, kenapa kamu baru menjawab panggilan telepon?" tanya aba Shabir dengan tegas.
"Ma-maaf, Aba. Delisha tidak tahu kalau Aba menelepon," kilah Delisha dengan lembut, "apa Aba sudah di depan sekolah?"
"Maaf, Sayang. Aba sedang sibuk, apa kamu tidak keberatan untuk naik angkot atau taksi? Nanti Aba ganti uang Delisha," pinta aba Shabir dengan lembut.
Delisha dengan berat hati menuruti permintaan abanya, "Iya, Aba. Jangan lupa untuk mengganti uangku!"
"Iya, Sayang. Terima kasih telah mau mengerti keadaan, Aba," sahut aba Shabir.
Percakapan jarak jauh itu selesai dengan aba Shabir mengucapkan salam. Sebenarnya, Delisha rindu dengan perlakuan abanya dahulu. Sering mengantar jemput dirinya sekolah. Namun, Delisha menyadari angkanya mengingatkan untuk mandiri.
Sudah lama, ya. Kita bertiga tidak keluar bersama, Umi, batin Delisha.
"Delisha! Apa kamu baik-baik saja?" Qonita menepuk pundak Delisha.
Lamunan Delisha tentang dirinya bersama aba dan uminya seketika sirna. Dia menoleh ke arah Qonita. "Aku baik-baik saja, Qonita. Aku hanya bingung memilih kendaraan untuk pulang ke rumah."
"Pulang bersamaku saja, Delisha," ajak Farah dengan riang.
"Maaf, tapi aku tidak bawa helm, Farah. Mungkin, aku akan naik taksi untuk pulang," tolak Delisha dengan lembut.
"Jadi, apa kita akan melanjutkan untuk menelusuri lorong sekolah atau pulang saja?" sela Qonita meminta kepastian.
"Sebaiknya, kita pulang saja karena sudah sore. Besok kita lanjutkan penelusuran lorong sekolah," usul Farah.
"Aku setuju!" sahut Delisha dan Qonita.
Mereka bertiga akhirnya berpisah dengan cepatnya. Bukan berarti Farah dan Qonita tidak membujuk Delisha untuk pulang bersama. Hanya saja Delisha sungkan untuk merepotkan mereka. Farah dengan sepeda motornya dan Qonita dijemput abanya. Delisha memilih untuk menunggu taksi lewat depan gang sekolahnya.
"Hai! Kamu Delisha yang menyelamatkanku tadi, 'kan?" sapa pemuda dalam mobil berwarna putih.
Delisha menoleh dan mengamati dari kejauhan orang yang memanggilnya. Tidak memakan banyak waktu, mobil itu menghampiri Delisha dengan cepat. Dengan perlahan kaca mobil terbuka lebar menampilkan sosok yang dikenal Delisha. Pemuda dalam mobil itu tidak lain, Ketua OSIS yang takut kecoa.
"Kenapa kamu belum pulang, Delisha?" tanya Izyan.
Delisha menghela napas, sebab pertanyaan umum yang dilontarkan Izyan. "Aku sedang menunggu taksi, Kak."
"Pulang bersamaku saja, Delisha. Angkutan umum dan taksi masih lama ke sini," ajak Izyan dengan riang menimbulkan kesalahpahaman.
"Maaf, Kak. Aku tunggu taksi saja," tolak Delisha dengan lembut.
Izyan sudah tahu akan ditolak Delisha, tetapi dia tidak menyerah. Tekadnya untuk membalas budi membara, dia pun merangkai kata untuk membujuk Delisha. "Apa kamu takut dengan rupaku, Delisha?"
"Sama sekali tidak, Kak," sanggah Delisha dengan cepat.
"Kalau begitu, kenapa kamu takut pulang bersamaku?" tanya Izyan memburu Delisha.
Delisha bingung menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu. Sejujurnya, ada rasa takut yang mengganjal, sebab penampilan Izyan yang sedikit urakan. Walaupun begitu, fakta Izyan takut dengan kecoa perlahan menepis prasangka buruknya.
"Aku tahu, kamu pasti takut dengan penampilanku. Kalau begitu,"-Izyan merapikan seragamnya-"sudah rapi, 'kan? Ayo, masuk!"
"Aku takut merepotkan, Kakak," sahut Delisha dengan lembut.
Izyan keluar dari mobilnya untuk membujuk Delisha. "Percayalah padaku, Delisha! Aku tidak akan menyakitimu, bahkan merasa direpotkan olehmu."
"Ayo, pulang bersamaku, Delisha!" Izyan mengulurkan tangan untuk mengajak Delisha pulang bersama.
Pertahanan diri Delisha seketika luluh, sebab melihat Izyan yang tidak menyerah menawarkan bantuan. "Baiklah, Kak. Dengan catatan Kakak harus memilih jalan yang ramai dan jangan ajak aku mampir ke suatu tempat."
"Kakak juga jangan macam-macam menyentuhku!" sambung Delisha dengan penuh penekanan.
"Siap, silakan masuk!" Dengan cepat Izyan membukakan pintu mobilnya untuk Delisha.
...****************...
"Begitulah cerita di balik puisi pembuka dan alasan Umi mengatakan, 'kecoa membawa berkah'. Karena kecoa itu, Umi diantarkan pulang oleh Aba Izyan," jelas Delisha dengan riang.
"Dengar itu, Rio. Jika kamu dibantu orang lain, siapapun itu. Jangan kamu mudah melupakan kebaikannya! Contohlah Kakek dengan bijaksana menolong Nenek demi membalas budi," tutur Raissyah kepada anaknya, Rio.
"Iya, Umi. Aku pasti akan membalas semua kebaikan olang-olang yang baik kepada Lio," sahut Rio dengan suara menggemaskan.
"Nenek lanjutkan lagi celitanya," pinta Rio dengan lembut.
"Iya, Umi. Mumpung masih pagi," imbuh Raissyah meyakinkan mertuanya untuk melanjutkan ke lembar selanjutnya.
"Baiklah, akanku ceritakan tentang puisi kedua," balas Delisha mengindahkan permintaan cucu dan menantunya.
Delisha membalikkan lembar usang ke halaman berikutnya. Terlihat sebuah puisi yang berjudul 'Lorong Kelas Pembawa Cinta' dengan hari dan tanggal di sampingnya Senin, 16 Agustus 2010. Delisha mengindahkan larik demi larik sajak itu. Kilasan peristiwa, kenangan bersama Izyan, berlarian ke lorong kelas hingga terjadi hal yang tidak pernah dia bayangkan.
Tiada lebih berharga dari lorong kelas
Jembatan hati para pejuang kisah
Pintu dimensi bidadari surga
Awal mula drama cinta
Tiada lebih arif dari Sutradara
Mengirim hujan kala upacara
Bidadari bernyanyi lagu sendu
Di bawah hujan menderu
Memaksa bertemu dibawah payung biru
Empat mata tampak tersipu malu
Sorakan iri kian menggebu
Terpaku dua insan bersatu
...****************...
"Siap gerak!" teriak pemimpin upacara bendera.
Selama hampir setengah semester masuk sekolah, akhirnya ada upacara bendera. Pemberlakuan upacara hari ini demi mengetahui kelancaran proses upacara, sebab besok akan melakukan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan. Sekolah Delisha ini bukan berarti tidak rutin melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin. Tiadanya upacara bendera disebabkan oleh kurangnya tempat. Lapangan untuk upacara bendera sedang dilakukan renovasi demi meningkatkan performa dan mempertahankan prestasi ekskul olahraga. Jadi, Delisha baru pertama kali merasakan upacara bendera di sekolah barunya.
Beberapa menit sebelum selesai upacara, rinai jatuh tepat di pelupuk mata Delisha. Semakin buas menerkam seisi sekolah. Memporak-porandakan dengan senjata cahaya. Ketua OSIS memainkan perannya, mengatur warga sekolah untuk tenang menyelesaikan upacara. Namun, berbeda dengan Delisha.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!