NovelToon NovelToon

Laki-laki Penghuni Hutan Tanggamus

Episode 1. Pernikahan Ketujuh

Alunan musik tradisional mengisi udara pernikahan Aabid bersama seorang gadis cantik. Neha namanya. Walau baru dipertemukan kurang dari sebulan, namun keduanya terlihat serasi. Duduk berdampingan sambil sesekali menyalami tamu-tamu yang hadir. Pesta pernikahan itu begitu meriah.

Neha yang tengah duduk menikmati alunan musik dan gemulai seorang penari tiba-tiba saja perhatiannya beralih. Tatapannya terpaut pada sosok laki-laki yang berdiri di belakang tamu. Pakaiannya serba hitam. Dan di tangannya tergantung sebuah cawan yang mengepulkan asap. Cawan itu diayun berulangkali hingga meninggalkan jejak asap di bekas ayunannya.

Neha memperhatikan dengan cermat polah laki-laki itu. Lama-lama rasa takut menyelimuti hatinya. Terlebih saat pendengaran Neha, tiba-tiba menjadi samar.

Hingga suasana menjadi sunyi. Bunyi tetabuhan pun menghilang. Juga dengan riuh suara bincang tetamu yang hadir. Neha bingung dengan apa yang tengah dialaminya.

Antara takut dan penasaran, dua hal yang hanya berbatas se-kulit ari. Tangan Neha menggenggam erat ujung kerudung panjangnya. Rasa takutnya kian pekat saat matanya menangkap sosok laki-laki berpakaian serba hitam. Laki-laki itu menatapnya lekat bak singa mengintai mangsa.

Neha bergidik saat seringai muncul dan menghiasi wajah laki-laki itu.

"Bersiaplah...." kata laki-laki itu.

Neha jadi kecut. Bukan karena katanya, namun lebih pada cara ia mengucapkan kata lah yang membuat Neha bergidik ketakutan.

"Ber-bersiap un-untuk appa...?" ucap Neha terbata.

"Bersiaplah. Haha....!" ucap laki-laki itu diakhiri dengan tawa.

Tawa yang tentu saja sukses membuat nyali Neha ciut karena takut. Terlebih saat laki-laki misterius itu menghilang bak asap ditiup angin. Neha celingukan mencari sosok laki-laki tersebut. Namun nihil.

Bersamaan dengan itu waktu bak ditarik kembali. Neha merasa seperti berada pada kemudi putar. Semua terasa berputar di mata Neha. Perempuan cantik itu memejamkan matanya. Berharap dapat menetralisir rasa pusing yang menderanya. Dan...

ZEEEEPH....!

Neha pun kembali berada di tengah keriuhan pesta. Bunyi tetabuhan, riuh canda dan tawa tetamu kembali terdengar. Nafas Neha memburu seiring bulir bening yang mengembun di keningnya.

"Neha...." panggil Aabid setengah berbisik.

"Egh...Ya" ucap Neha gamang.

Mata Aabid berisyarat. Rupanya seorang tamu sudah tepat berdiri di hadapan Neha. Bak terbangun dari tidur, Neha pun buru-buru Neha menerima uluran tangan sang tamu sambil mengumbar senyum.

"Kenapa?" bisik Aabid.

"Aku pusing, Kak. Sepertinya kurang enak badan..." Keluh Neha sambil menyeka keringat yang mengembun di sekitar keningnya.

"Tahan. Sebentar lagi..." pinta Aabid setengah berbisik.

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Pesta sudah di penghujung. Tetamu dan sebagian keluarga pun sudah beranjak meninggalkan lokasi pesta. Karena hari memanglah sudah merangkak malam.

Setelah membersihkan diri, Aabid memilih merebahkan diri di tempat tidur berhias itu. Ada gelisah yang menduduki jiwanya. Pun demikian Aabid berusaha memejamkan mata. Namun gagal. Fikirannya benar-benar berkelana menapaki peristiwa demi peristiwa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Aabid duduk menyandar pada sisi tempat tidurnya. Ingatannya kembali menerawang pada peristiwa bagaimana keenam istrinya mati mengenaskan di malam pertama di hari pernikahannya. Dan yang paling memilukan adalah bahwa keenam istrinya itu mati di pangkuannya.

Aabid kian gusar saat teringat istri ketujuhnya, Neha. Perempuan cantik yang baru ia nikahi. Perempuan pilihan ibunya, namun sudah berhasil menarik hatinya itu.

Aabid kembali gusar. Aabid khawatir jangan-jangan Neha akan bernasib sama seperti keenam istri lainnya.

Aabid duduk di tepi tempat tidur yang berhias bunga dan bertutup kain berwarna biru itu. Matanya menilik pintu yang masih tertutup itu. Rupanya ia tengah menantikan kehadiran istri ketujuhnya, Neha.

Sementara itu, pengantin wanita Aabid tengah duduk diantara keluarganya untuk dipamiti. Dan memang menurut kebiasaan setempat, acara pamitan pengantin hanya dihadiri oleh pengantin perempuan beserta keluarganya saja. Tanpa didampingi pengantin laki-laki atau pun pihak keluarga laki-laki. Hal ini untuk memberikan keleluasaan kepada dua pihak saat berpamitan.

Neha duduk di kursi panjang yang masih berhias bunga-bunga berwarna putih bersih. Matanya sembab, karena sudah beberapa kali harus mengurai air mata sejak waktu pernikahan ditetapkan sebulan yang lalu.

Tentulah Neha bersedih hati, niatnya menuntut ilmu hingga ke negri Cina pupus sudah. Hal tersebut karena sebuah pinangan dari keluarga Aabid yang jaraknya jauh berpuluh-puluh desa dari tempatnya tinggal.

Dan demi baktinya kepada ibu, maka Neha manut menerima pinangan keluarga Aabid. Terlebih setelah melihat kebaikan dan kesungguhan Aabid.

Neha mengusap air mata yang terus terjun bebas. Segala nasihat yang diberikan ibu dan handai taulan tak mampu dengan sempurna ia terima. Neha terlalu bersedih hati.

"Ndok...yang patuh sama suami mu. Turuti ucapannya. Suami adalah pemimpin. Yang kau gugu dan kau tiru. Berikan kasih sayang, niscaya kasih sayangnya akan berlimpah kepada mu. Jaga kehormatan mu dan suami mu. Ojo bangkang yo, Ndok...." ucap Darmi, ibu dari Neha.

Mendengar itu, Neha justru kian berurai air mata. Terlebih ia akan ditinggal sendirian bersama laki-laki yang baru ia kenal belum sebulan dengan jarak berpuluh-puluh desa jauhnya dari keluarganya.

"Sudahlah, Neha. Jangan menangis. Kau sudah punya keluarga yang baru. Keluarga terhormat dan terpandang. Kekayaannya saja tidak akan habis sampai tujuh turunan. Kau akan bahagia. Terlebih suami mu orang yang baik. Percayalah pada bude mu ini, Ndok..." ucap Tum, kakak dari Darmi.

Sementara itu malam merangkak naik. Gelapnya kian pekat. Tanpa bertabur bintang. Hanya bulan separuh yang menggantung di langit malam. Sepeninggalan ibu dan keluarga, Neha melangkah menuju sebuah kamar.

Langkahnya diiringi mbok Tarsih, salah satu asisten rumah tangga di rumah tersebut. Tak lama langkah keduanya terhenti di depan sebuah pintu besar berukir. Mbok Tarsih tersenyum seraya mengangguk takzim sesaat sebelum meninggalkan Neha.

KREEEK.....

Neha mendorong pintu yang nyatanya tak dikunci itu. Cukup lebar pintu terbuka, hingga mata Neha mampu leluasa menjelajahi sebagian isinya. Sedikit ragu Neha melangkahkan kaki kanannya seperti yang diajarkan ibunya sesaat lalu. Ini adalah adat kebiasaan yang sudah turun temurun. Bila seorang hendak memasuki pintu untuk memulai kebaikan, maka dimulai dengan langakh kaki kanan. Dan itu Neha lakukan.

Mata Neha terus menilik lebih jauh seisi ruangan yang temaram itu. Bisik hatinya mengatakan bahwa ia tengah mencari sosok laki-laki yang kini telah menjadi suaminya.

"Kemanakah kak Aabid...?" batin Neha.

Matanya belum lelah mencari Aabid. Bahkan kamar mandi pun ia sambangi demi menemukan Aabid. Namun sejauh pencariannya, Neha belum menemukanya.

Hingga kemudian perempuan cantik itu memutuskan duduk di tepi tempat tidur yang indah itu. Tangan Neha berulangkali mengelus kain penutup berwarna biru yang indah itu. Fikirnya, tidaklah dusta apa yang dikatakan ibu dan keluarganya bahwa Aabid adalah orang terpandang dan kaya raya. Terbukti kain penutup tempat tidurnya saja begitu halus dan ternilai mewah.

Neha pun melepas kerudung yang melilit kepalanya. Juga segala aksesoris yang ada. Perempuan cantik itu mengurai rambut hitam panjangnya. Dan membiarkannya tergerai.

Kemudian, Neha pun segera menyambar handuk yang tersedia di atas tempat tidurnya dan menuju kamar mandi.

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Malam kian jauh. Neha kembali duduk di atas tempat tidurnya setelah membersihkan diri. Mata Neha kembali menyisir ruangan. Kalau-kalau Aabid sudah berada di dalam ruangan tersebut.

Alih-alih menunggu Aabid, mata Neha terus saja mengagumi kemewahan dalam ruangan tersebut. Dan hal tersebut membuatnya tak menyadari kehadiran sosok laki-laki yang sedari tadi terus memperhatikannya.

Laki-laki itu begitu lekat menilik Neha. Dimulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan tentu ia meniliknya dari sudut ruangan yang cukup terlindung dari cahaya. Senyum pun terbit dari ujung bibirnya. Walau hanya sedikit saja.

"Kau cantik, Neha....." ucap laki-laki itu.

Suara khasnya menggema dan sukses membangkitkan rasa takut Neha. Terlebih gema itu dihantarkan bersamaan dengan semilir angin yang menerobos masuk dari jendela yang baru saja terbuka.

Mata Neha langsung beredar ke seluruh ruangan. Ia mencari sumber suara. Namun pandangannya terbatas karena minimnya cahaya pada ruangan tersebut. Dan si empunya suara pun gagal ia temukan.

"Ya, Tuhan...." gumam Neha.

Matanya menatap daun jendela yang terbuka dan menampakkan sisi gelap luar rumah. Ada kecut yang menggerayangi jiwanya. Menggodanya agar segera berlari keluar dari ruangan tersebut. Namun Neha berusaha menahannya. Ia meyakinkan diri untuk tidak melakukan hal yang bisa jadi akan membuatnya malu. Neha memilih untuk bertahan.

Mulut Neha komat-kamit di tengah rasa takutnya itu.

"Ya, Tuhan. Tolonglah aku. Lindungi aku Kuatkan aku menghadapai rasa takut ini. Mohon dengan sangat ya, Robb..." doa Neha.

Kemudian dengan sedikit ragu, perempuan cantik itu turun dari tempatnya berada. Hati-hati sekali ia melangkah. Langkahnya jelas menuju jendela yang terbuka.

Angin kembali sukses menerbangkan ujung rambut panjang Neha saat ia tepat berdiri di jendela. Juga ujung gorden berwarna biru muda. Neha mengusap tengkuknya. Bulu kuduknya meremang. kemudian dengan cepat, tanpa ba-bi-bu lagi, Neha langsung menarik daun jendela itu.

KREEEK.....!

Suara derit jendela terdengar menyayat. Dan saat jemari tangan Neha berusaha mengunci daun jendela itu, sosok yang semula ada di balik keremangan ruangan kini mendekati Neha.

Neha kian ciut saat ada bayangan yang mendekatinya. Perempuan itu mendekap mulutnya. Ia menahan suara tingginya.

AKH...!

Teriak tertahan Neha saat sebuah tangan memgang tangannya.

Episode 2. Gangguan

AKH...!

Teriak tertahan Neha saat sebuah tangan memgang tangannya. Dan tiada disadari, hal tersebut ternyata sukses membangunkan sisi pendekar Neha.

Perempuan cantik itu pun memberikan sodokan pada perut sosok di belakangnya dengan sikutnya. Tak hanya itu, Neha pun berhasil meraih tangan sosok itu dan membanting tubuhnya. Dari ukuran tangan dan tubuhnya Neha yakin, jika sosok itu laki-laki.

"Aww....!!" Sosok mengeluh.

"Kak Aabid...?!" ucap Neha.

Aabid mengeluh seraya bangkit. Mata Neha membulat sempurna. Tangannya menutup mulutnya.

"Kau ini pendekar juga ya...?" ucap Aabid sambil rebah di tempat tidur.

"Maaf. Aku...aku tidak tahu jika itu kakak" ucap Neha gamang.

"Jika bukan aku, lalu siapa? Hantu? Dedemit...?"

"Ya...mungkin sejenis itu"

"Kau...." ucap Aabid.

Mata laki-laki itu membulat. Dan Neha duduk di sebelah Aabid dengan rasa penyesalannya.

"Maafkan aku, kak..." ucap Neha seraya menyimpan tatapannya di ujung kakinya.

"Maaf? Kenapa kau meminta maaf...?"

Neha terkesiap. Matanya menatap sepasang kaki besar di hadapannya. Sontak Neha pun mengangkat wajah. Alangkah terkejutnya saat ia mendapati Aabid tengah berdiri di hadapannya.

"Kak...Bukankah kau tadi di sini?" ucap Neha sambil menunjuk sisi tempat tidur dimana Aabiid berada sebelumnya.

"Aku baru sampai dari kamar ibu...."

"Bagaimana...ini" ucap Neha.

Perlahan ia menjauhi Aabid dan kemudian ambil langkah seribu. Yuph, Neha berlari ke luar kamar. Rasa mencekam yang ia rasakan membuatnya histeris.

"Ibu....ibu....!" teriak Neha berulangkali.

Polah Neha tersebut tentu membuat seisi rumah gempar. Ibu yang mulai terlelap terbangun. Begitupun dengan beberapa asisten rumah tangga.

Maryam, ibu dari Aabid cemas. Ia teringat peristiwa yang menimpa keenam menantunya yang berumur sehari itu.

Maryam segera keluar kamar dan mendapati Neha yang menangis. Sebuah pemukul baseball terpancang di tangannya. Gadis yang baru sehari menjadi menantunya itu langsung memeluk Maryam ketika mendapati kehadirannya.

"Ada apa, Ndok..." ucap Maryam cemas.

Namun belum lagi, Neha menjawab Aabid berdiri di ambang pintu. Dengan gontai ia melangkah mendekati Maryam yang masih memeluk Neha.

"Sebenarnya tidak ada apa-apa, Bu. Neha hanya terkejut" ucap Aabid sambil duduk di sofa, dekat Maryam dan Neha.

"Terkejut, bagaimana?!" ucap Maryam.

"Neha terkejut melihat saya. Saya salah juga, mendekati Neha dengan tiba-tiba tanpa ba-bi-bu..." jelas Aabid.

Beberapa asisten rumah tangga yang ada terdengar cekikikan. Tawa mereka seketika tertahan saat tatapan dingin Aabid menyasar menatap mereka.

"Walaaah, Ndok. Ibu kira ada apa. Ini suami mu loh. Kok ya malah takut"

"Tapi, Bu....Tadi kak Aabid. Kak Aabid..." ucap Neha terputus.

"Apa perlu ibu temani tidur kalian?" goda Maryam.

"Ya... Tidak begitu juga, Bu" ucap Aabid.

"Sudah....pergi kembali ke kamar. Sudah larut malam" ucap Maryam sambil tersenyum.

Neha pun menuruti Maryam. Sedikit ragu ia melangkah sejajar dengan Aabid yang terlihat dingin. Sesekali ia melirik pada Aabid dengan gamang.

"Apa benar tadi adalah kak Aabid? Kenapa ada perasaan aneh begini saat berdekatan dengan kak Aabid?" batin Neha hingga sampai kembali di ruang pribadi mereka.

Aabid tersenyum tipis. Matanya menatap sesaat wajah cantik Neha. Tangan kekarnya membetulkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Neha.

"Istirahat lah. Aku akan menjaga mu" ucap Aabid.

"Tapi....Apa yang tadi itu kakak?"

"Ya, tentu saja. Kau tidak percaya? Ah, sudahlah. Em, aku ke dapur dahulu ya. Ingin mengambil air minum. Kebetulan sudah habis" ucap Aabid sambil menunjuk gelas kosong di meja.

Neha mengangguk ragu. Matanya tampak menatapi punggung laki-laki yang kini telah menjadi suaminya itu dengan gamang. Neha terus saja menatap Aabid di setiap langkahnya. Dan di bawah temaram lampu, siluet Aabid kian tegap. Neha tersenyum.

Tapi tunggu...di bawah temaram cahaya lampu, Aabid tampak menghentikan langkahnya. Dan hal itu membuat Neha penasaran. Mengapa laki-laki gagah itu tak melanjutkan langkahnya.

Tak sampai hitungan detik, Aabid memutar tubuhnya dengan perlahan. Seiring dengan itu terbitlah seringai menghiasi wajah Aabid. Selain itu kepalanya pun bergerak-gerak tak terkendali. Begitu mengerikan. Wajah tampan itu telah berubah menakutkan. Kemudian mendadak tubuh Aabid berubah. Ia menjadi besar dan tinggi hingga mencapai bubungan atap. Melihat itu, Neha kembali histeris. Ia begitu ketakutan mendapati Aabid yang seperti demikian.

"Akhhhh.....!!!" teriak Neha.

"Jangan...! Jangan mendekat....!!" ucap Neha berulangkali.

"Neha...Neha!! Bangun..." ucap Aabid sambil menepuk-nepuk pipi istri yang baru semalam itu.

Neha terbangun. Peluhnya membanjiri tubuh. Nafasnya pun memburu.

"Kau bermimpi?" ucap Aabid.

BUK...

Neha memukul dada Aabid. Cukup keras sehingga laki-laki itu pun meringis menahan sakit.

"Ada apa dengan mu?!" ucap Aabid sedikit meninggikan suara.

"Ada apa dengan mu katamu?!"Ada apa??!! Apa kakak tidak ingat, jika sebentar lalu kakak baru saja jadi raksasa yang menakutkan. Tinggi kakak mencapai bubungan langit-langit rumah....!!!" teriak Neha.

"Aku? Kau bermimpi. Aku baru saja dari luar menemui ibu"

"Lalu yang tadi....."

"Rasanya begitu nyata. Tidak mungkin jika itu mimpi"

"Sudah, mandi sana....Sebentar lagi tanggapan Jaranan akan mulai"

"Tanggapan Jaranan? Ah, tidak. Neha tidak mau. Sejak dahulu Neha paling ogah melihat tontonan itu. Neha di dalam saja ya..." ucap Neha.

"Di kamar maksud mu? Nanti ada raksasa lagi loh..." ucap Aabid.

Mendengar ucapan Aabid, Neha buru-buru mendekati Aabid. Lebih tepatnya lompat. Neha mengapit lengan Aabid. Beberapa pukulan ringan pun bersarang di lengan laki-laki tampan itu. Aabid tertawa ringan mendapati polah istri ketujuhnya itu.

"Wah, ibu senang melihat pengantin baru seperti ini..." ucap Maryam yang tiba-tiba saja sudah berada dalam kamar.

"Ibu..." ucap Aabid dan Neha hampir bersamaan.

Neha pun buru-buru melepas apitan tangannya di lengan Aabid. Wajahnya memerah. Neha malu.

Diam-diam ujung mata Aabid memperhatikan wajah Neha yang bersemu merah. Sisi kelaki-lakiannya terasa berontak melihat wajah cantik Neha.

"Cantik...." gumam Aabid memuji Neha.

Menyaksikan polah anak laki-laki semata wayangnya itu, Maryam tersenyum.

"Maaf, ibu masuk tanpa ketuk pintu. Tadi ibu lihat pintunya terbuka, jadi ibu masuk saja. Dan ibu bahagia mendapati kalian baik-baik saja" ucap Maryam sumringah.

Bagaimana Maryam tidak bahagia, satu malam telah dilewati Aabid dan Neha. Dan Maryam berharap ini adalah pertanda baik untuk keberlangsungan rumah tangga keduanya. Walau ada bayang ketakutan akan berulangnya peristiwa yang menimpa keenam menantunya, namun terbersit harapan mulai menyelimuti hati Maryam saat mendapati keduanya baik-baik saja di padi hari.

"Ah, tidak apa-apa Bu..." ucap Neha yang langsung membantu Maryam meletakkan menu sarapan.

"Sengaja ibu bawakan makan pagi kalian. Agar bisa asyik berduaan saat makan..." bisik Maryam sambil mengusap pucuk kepala Neha.

Neha tersenyum. Wajahnya kembali merona. Rasa takutnya terusir oleh kata canda Maryam yang sangat membuatnya malu hati. Bahkan rasa sedihnya karena harus menikah cepat pun berangsur hilang.

"Ngobrol terus, kapan makannya..." ucap Aabid.

"Oiya, Haha...." tawa Maryam disambut yang lain.

Seraya dengan itu, Maryam bersama seorang asisten rumah tangganya itu pun meninggalkan ruangan pribadi pengantin baru itu sekaligus menyisakan senyum di ujung bibir keduanya.

"Kak Aabid, mau sarapan sekarang?" tanya Neha sambil merapikan makanan.

Neha mengangkat wajahnya. Tanyanya tak mendapat perhatian.

Deg.

Wajah Neha kembali merona karena saat itu, Aabid tengah menatapnya. Senyum tipis pun menghiasi wajahnya.

"Kak..." ucap Neha.

Tangannya menggugah lengan Aabid.

"Sstt...." isyarat Aabid sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.

Neha celingukan. Matanya menyisir sisi kanan-kiri. Mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan, mengapa Aabid berlaku demikian.

"Ada apa, Kak...?" ucap Neha setengah berbisik.

Neha pun sedikit mendekat pada Aabid, khawatir ada sesuatu yang membahayakan. Bukankah Aabid adalah tempatnya berlindung kini?

"Biarkan aku menatap wajah cantik mu, Neha..." ucap Aabid setengah berbisik.

"Apaan sih, Kak...." ucap Neha malu.

Tanpa basa-basi, Aabid merengkuh Neha dan memeluknya erat.

"Neha....."

Sebuah suara menyisip di antara angin yang baru saja masuk melewati jendela yang terbuka.

Neha terkesiap. Bulu kuduknya meremang. Neha menajamkan telinga. Khawatir salah.

"Neha...."

Dan sekali lagi, neha mendengar suara lalu yang terasa menakutkan itu.

Episode 3. Ikatan Janji Darah

Pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Malam mulai merangkak jauh. Langit begitu cerah karena berhias bintang dengan bulan menggantung bulat sempurna. Angin pun berhembus, asyik bermain pada dedaunan. Suaranya berisik, indah bak alunan musik.

Neha kembali ke dalam kamarnya. Ia membawa gelas dan teko kecil berisi air. Persediaan di kala malam kalau merasa haus. Perlahan Neha meletakan gelas dan teko di atas meja. Sembari meletakkan matanya selintas menyapa Aabid yang masih asyik dengan bukunya.

"Belum mengantuk, Kak...?" tanya Neha.

Aabid yang sesungguhnya memperhatikan Neha sejak tadi, langsung menanggapi. Laki-laki pemilik perkebunan sawit dan sejumlah perusahaan itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Tangannya berisyarat menepuk sisi kosong tempat tidurnya. Tempat istimewa yang dua minggu ini milik istrinya, Neha.

"Aku menunggu mu..." ucap Aabid.

Melihat isyarat yang bak perintah itu, Neha manut. Neha duduk di sebelah Aabid. Tepat di tempat Aabid menepuk sisi tempat tidurnya. Matanya sesekali menatap Aabid di sela langkahnya hingga duduk sempurna di samping Aabid.

SREKKKK.....!!

Aabid mengeluarkan sebuah pisau yang baru saja ia ambil dari bawah bantalnya. Ada kilau yang menyapa mata saat pisau itu keluar dari sarungnya. Melihat itu, Neha terkejut. Neha beringsut sedikit menjauhi Aabid.

"Mengapa kakak mengeluarkan pisau? Untuk apa?" ucap Neha cemas.

Aabid menatap mata pisau yang tajam itu. Ia menghela nafas dalam. Entah apa yang ada dalam fikiran Aabid saat itu. Kemudahan ia menatap Neha.

"Aku ingin kau menancapkan pisau ini kepadaku...." ucap Aabid tiba-tiba.

Neha tentu saja terkejut. Untuk apa ia harus melakukan itu? Bukankah Aabid suaminya? Mengapa ia akan tega melakukan itu? Ah, rasanya mustahil. Begitu fikir Neha. Neha bingung. Baginya ucapan Aabid sangat aneh dan tak masuk akalnya.

Aabid menghela nafas. Matanya menerawang jauh. Rupanya ia tengah menarik kembali peristiwa yang menimpa setiap istrinya itu.

"Keenam istriku mati mengenaskan di pangkuan ku di malam pengantin kami. Dan barulah kau saja yang masih bersama ku hingga dua Minggu ini. Tapi bulan telah menjadi purnama. Aku takut kau akan bernasib sama seperti keenam istriku yang lainnya..."

"Enam....?" ucap Neha.

"Ya. Ibu memilihkan gadis untuk aku nikahi. Entah mengapa harus dipilihkan? Apakah aku tak mampu memilih gadis ku sendiri? Namun karena bakti ku, aku manut atas semua pilihan ibu. Terlebih semua gadis yang dipilih cantik, baik, dan pintar. Tapi semua yang dipilih ibu dan aku nikahi, hanya Neha yang......berhasil menarik hati ku"

"Gombal. Lalu apa hubungannya cerita itu dengan pisau itu...?"

"Ah, ya. Jika terjadi sesuatu kepada ku, maka jangan ragu-ragu untuk menggunakan pisau ini kepadaku"

"Aku tidak mengerti maksud kakak..."

"Neha...aku kian sadar. Ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Setiap bulan purnama, maka aku akan kehilangan kesadaran. Dan begitu sadar, aku pasti akan berada pada situasi yang tidak aku senangi..."

"Situasi yang tidak kakak senangi...? Mengapa?"

"Karena saat itu ada saja yang terbunuh. Entah binatang entah istri ku sendiri..."

Deg.

Neha menutup mulutnya. Matanya membulat sempurna karena menyimpan rasa terkejutnya. Ia tidak menduga sama sekali jika laki-laki tampan yang menikahinya bisa jadi seorang pembunuh.

"Lalu....mengapa kematian keenam istri kakak tidak diselidiki pihak berwajib?"

"Sudah. Dan aku dinyatakan tidak bersalah. Karena ini...." ucap Aabid sambil membuka bajunya.

Neha terkejut melihat luka parut yang ada di tubuh Aabid. Terutama bagian punggung. Sedikit bergetar tangan Neha menyentuh luka parut itu. Tanya pun kian mengisi kepala Neha.

"Di setiap peristiwa, maka aku pun akan mendapatkan luka di punggung" ucap Aabid sambil menutup kembali bekas luka itu dengan bajunya.

"Apa kakak tidak mencari pertolongan...."

"Sudah. Dan aku dinyatakan baik-baik saja"

"Kalau begitu mengapa harus khawatir..." ucap Neha.

"Neha...apakah kau tidak merasakan sesuatu hal yang aneh selama bersama ku? Atau selama di rumah ini?"

Deg.

Neha tertegun. Fikirnya menerawang. Ia kembali mengingat kejadian aneh atau pun mengerikan sejak hari pernikahannya. Dan Neha pun akhirnya menganggukkan kepala. Tanda setuju dengan pernyataan Aabid.

"Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada mu. Aku mencintaimu, Neha. Jadi terima pisau ini. Simpan di bawah bantal mu. Dan satu lagi..." ucap Aabid sambil meletakkan pisau di tangan Neha.

Aabid mengambil gulungan tali. Dan meletakkannya di pangkuan Neha.

"Untuk apa, Kak?" ucap Neha heran setengah bingung.

"Sekarang ikat aku..."

"Ikat....?! Ayolah, Kak..." ucap Neha.

Ia turun dari tempat duduknya. Tangannya meletakkan kembali dua barang yang diberikan Aabid barusan begitu saja di atas kasur.

"Aku tidak mau melakukannya, Kak..."

"Ayolah, Neha..." bujuk Aabid sambil mendekati Neha yang berdiri di bawah keremangan cahaya lampu.

"Aku tidak mau, Kak. Aku tidak mau melukai mu..." ucap Neha dengan suara sedikit bergetar menahan isak.

"Harus. Demi kita. Aku memintanya karena aku mencintaimu. Aku tak ingin terjadi sesuatu terhadap mu" ucap Aabid yang langsung merengkuh Neha.

Teng.

Teng.

Teng.

Dentang jam dinding menunjukkan waktu tengah malam. Aabid terkesiap. Buru-buru ia meraih tali dan kembali menyerahkannya kepada Neha.

"Cepat Neha, waktu kita tak banyak. Cepat....!!" ucap Aabid.

Mendapat situasi tersebut, Neha pun akhirnya menuruti keinginan yang merupakan perintah baginya itu. Neha pun mulai mengikat Aabid. Ia mulai dari kaki, badan hingga tangan.

"Yang kuat, Neha. Jangan sampai terlepas...." ucap Neha.

Neha menatap tak tega pada Aabid. Bahkan ada bulir bening yang mulai mengerubuti kedua matanya.

"Jangan terpaku begitu. Ambil pisaunya...!" ucap Aabid.

Lagi-lagi Neha terkesiap. Ia buru-buru mengambil pisau seperti yang diinginkan Aabid, suaminya. Laki-laki yang juga mulai mencuri hatinya.

"Maaf, membuat mu seperti ini, Neha...."

"Tidak...!Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja..." ucap Neha.

Sebelah lengannya mengusap bulir bening yang mulai terjun bebas. Sementara sebelah tangan lainnya menggenggam pisau yang di berikan Aabid. Perlahan tubuh Neha luruh menyentuh lantai. Ia terduduk lesu menatap Aabid. Sesekali tangannya mengusap bulir bening yang kian terjun bebas.

"Bagus, Neha. Seperti itu....Jangan menangis, sayang. Kuatlah. Jika memang aku harus mati di tangan mu, itu bukan salah mu. Dan aku rela. Paling tidak bukan aku yang membunuh istri ku..." ucap Aabid sambil tersenyum dan menatap Neha.

Tik.

Tok.

Tik.

Tok.

.

.

.

.

Entah berapa lama waktu berjalan. Namun saat ini Neha sudah mulai lelah. Ia terkantuk-kantuk dalam duduk. Aabid sendiri terlelap dalam ikatan kuat Neha.

Sebuah lolongan panjang srigala terdengar begitu menyayat. Suara binatang malam itu membangkitkan bulu kuduk dan kengerian. Neha terantuk lututnya. Ia terbangun sesaat. Hatinya kecut saat lolongan itu terdengar sekali lagi. Neha menutup telinganya kuat-kuat. Ia tak ingin mendengar sumber kengeriannya.

Alih-alih terbebas dari rasa takut akibat lolongan serigala, Neha justru dibuat kecut dengan keluarnya bayangan hitam dari tubuh Aabid yang terbaring. Bayangan itu begitu besar.

"Ehhhmmm....." geram nya membuat Neha ciut.

Pun demikian Neha menjadi waspada. Ia mengambil pisau yang tergeletak di dekatnya. Neha berdiri. Ia menodongkan pisau itu ke arah bayangan hitam itu.

"Neha......" panggilnya dengan suara besar dan menggema memenuhi ruangan.

"Apa yang kau lakukan padaku...? Aku tidak bisa keluar dari tubuh ini" ucap bayangan itu.

"Siapa kau?! Mengapa mengganggu suami ku?! Mengapa kau berada dalam tubuhnya" ucap Neha sambil menegaskan todongan pisau di tangannya.

Sesaat Neha merasa aneh. Fikirnya mulai bertanya mengapa bayangan itu tidak dapat keluar dari tubuh Aabid. Kemustahilan ini menjadi hal ajaib hanya dengan seutas tali, makhluk mengerikan itu tak berdaya. Neha waspada. Mungkin saja ini adalah trik makhluk itu agar Neha lengah. Bukan kah apa saja bisa dilakukan makhluk itu untuk memperdaya manusia.

Ingatan Neha mendadak menguat. Ia teringat dengan apa yang ia lakukan saat mengikat tubuh Aabid. Ditengah kegamangan dan rasa takutnya, ternyata Neha membacakan salah satu ayat dalam kitab suci. Neha membacanya berulang kali hingga ikatan itu selesai.

"Hah, sekarang aku tahu kelemahan mu. Aku akan melakukannya lagi. Bahkan lebih dari itu. Karenanya pergilah dari tubuh suami ku...!!"

"Aku tidak bisa...!! Jika aku binasa, maka suami mu pun akan binasa seperti halnya aku..."

"Dusta....!!" ucap Neha.

Neha mulai membaca kembali ayat suci yang sebelumnya ia baca. Sekaligus ia ingin membuktikan kebenaran dugaannya. Benar saja, bayangan hitam itu mulai bergetar hebat. Ia meminta ampun agar Neha menghentikan bacaannya. Tubuh besarnya mulai kian samar. Dan masuk kembali ke dalam tubuh Aabid.

Bersamaan dengan itu, Aabid pun merasa kesakitan. Ia mengerang hebat. Neha panik. Ia menghentikan bacaannya.

"Aku tidak bisa pergi. Ini ikatan janji darah....!!" ucap Aabid yang saat itu sudah kembali dirasuki makhluk itu.

"Akh....!" teriak Neha.

Neha terduduk lesu. Peluh membanjiri tubuh sebagai wujud kelegaannya. Pisau yang ia pegang dilemparkan begitu saja. Kemudian bahu Neha terguncang. Rupanya ia menangis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!