Awal Mula*
Suara gonggongan anj*ng semakin ramai diiringi oleh teriakan tim pelacak. Pertanda mereka telah menemukan bin4tang yang mereka cari.
Tim pelacak adalah anggota pemburu yang telah memiliki jam terbang sangat tinggi dalam hal merancah semak belukar. Keahlian mereka sudah tidak diragukan lagi.
Mereka yang bertanggung jawab untuk mencari dan menentukan di mana buruan berada. Mereka juga yang bertugas masuk ke dalam semak di tengah hutan, untuk mencari jejak bin4tang buruan.
Dengan bersenjatakan tombak dan sebilah golok, mereka merangsek masuk menembus belukar yang belum terjamah manusia.
Mereka dibantu oleh beberapa ekor anj*ng yang terlatih. Penciuman anj*ng yang peka sangat membantu mengarahkan pemburu ke sasaran.
Mereka dianggap berhasil, bila telah menemukan bin4tang buruan, dan menggiringnya ke arah tim penjaga.
Tim penjaga berposisi di area terbuka yang tidak begitu banyak ditumbuhi belukar. Area seperti ini dipilih, agar mereka lebih mudah menaklukan bin4tang buruannya.
"Dia datang ...!" teriak Tarjo ke arah Aril, ketika ketua kelompok itu melihat semak belukar bergerak di depan mereka.
Mendengar teriakan Tarjo, Aril segera melompat, berdiri dengan tombak di tangan. Matanya tajam mengawasi semak di depan.
Tarjo dan Aril, saat ini bertugas sebagai tim penjaga, tim ini terdiri dari dua orang. Salah satunya yaitu ketua kelompok dan satunya lagi adalah anggota yang dianggap masih junior. Tim ini bekerja di area yang agak terang, area yang dianggap paling baik untuk menjatuhkan buruan.
Karena dikelompok ini Aril yang paling muda, maka dialah yang dianggap paling junior. Bagi Aril tidak masalah, yang penting hobi berburunya bisa tersalurkan.
"Sasaran masuukkk ...!" terdengar lagi teriakan Tarjo.
Teriakan ini jauh lebih keras, agar terdengar oleh semua anggota kelompok, sekaligus mengagetkan buruan, agar bin4tang buruan mereka semakin bingung.
Benar saja, sekelompok b*bi berlari ke arah tim penjaga. Karena kaget mereka berbelok arah, berlari kalang kabut menghindari Tarjo dan Aril. Sementara suara gonggongan anj*ng dan teriakan pemburu semakin riuh.
Tanpa dikomando lagi, Aril melompat, berlari mengejar bin4tang buruan yang terlihat panik.
"Ke Timuurrrr ...!" teriak Tarjo memberi arah.
Semua anggota tim menyasar ke arah Timur.
Namun, Aril malah berlari ke arah Barat, karena matanya dengan jelas menangkap, ke arah mana hewan yang menjadi musuh petani itu lari. Barat, bukan Timur!
Posisi Tarjo yang mendahului Aril, membuat dia tidak mengetahui kalau anak buahnya itu, mengejar ke arah yang berlawanan dengannya.
Konsentrasi Tarjo, dan anggota lain yang baru keluar dari semak belukar, hanya tertuju pada buruan yang telah terkepung. Mereka sibuk mengeluarkan seluruh kemampuan, untuk menaklukan buruan mereka tersebut.
Sementara itu, dengan tombak di tangan, Aril terlihat begitu bernafsu mengejar buruannya. Celah sempit belukar diterobos dengan berlari ... sungguh nekat!
Berapa kali tangan kanannya mengayunkan golok, membabat ranting dan onak yang menghalang. Dia seperti tidak peduli dengan berapa baretan merah di lengan tangannya. Merah, karena goresan onak dan duri di saat dia menerobos celah sempit belukar.
Aril semakin bernafsu, ketika melihat jarak buruan semakin dekat, larinya semakin cepat dengan teriakan semakin lantang, berharap b*bi yang dia kejar semakin panik.
Kini, hanya tombak yang berada di tangan, sementara golok telah kembali ke sarung, menggantung di pinggang Aril.
Mungkin karena panik, b*bi itu lari ke sembarang arah. Sekarang dia menuju ke arah jurang, jelas ini sangat menguntungkan Aril. Posisi buruannya terjepit, ruang geraknya semakin sempit. Aril pun semakin bersemangat, tekat untuk menaklukan hewan buruannya semakin membara.
Benar saja, tiba-tiba hewan itu berhenti. Dia terlihat bingung menentukan arah. Karena di depan dan samping kanan adalah tebing dengan jurang yang cukup dalam.
Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Aril, dengan cepat dia bergerak melemparkan tombak. Tombak itu melayang di udara menyasar ke arah b*bi.
Berapa inci lagi tombak akan menyentuh tubuh b*bi tersebut. Tiba-tiba hewan musuh petani itu melompat menghindar.
Berbelok ke arah kiri dan hilang di antara rumpun bambu liar. Serangan Aril luput, mata tombak hanya menyentuh ruang hampa dan jatuh ke dalam jurang. Kekecewaan jelas terlihat di wajahnya.
Ketika dia menoleh ke belakang, umpatan kecil keluar dari mulut remaja tanggung itu, disaat menyadari anj*ng kesayangannya tak ada bersamanya.
Rupanya dia tidak tahu, jika anj*ng nya berlari ke arah Timur mengikuti anj*ng milik Tarjo. Karena nafsu menangkap buruan telah memuncak, membuat hal itu luput dari perhatian Aril.
Tak ada pilihan lain bagi Aril, dia harus kembali ke Timur untuk bergabung dengan kelompoknya. Tapi sebelum itu, dia harus mengambil tombaknya terlebih dulu.
Kepala Aril mendongak, mengarahkan pandangan, sibuk mencari keberadaan tombaknya. Matanya menyipit, ketika melihat tombak yang tergeletak di sisi jurang.
Cukup curam!
Aril melangkahkan kaki ke sisi jurang, di mana tombaknya berada. Dia bersyukur, karena ada tumbuhan semak yang menahan tombak kesayangannya.
Andai rumput itu tidak tumbuh menempel di dinding tebing, tentu tombaknya telah meluncur ke dasar jurang. Butuh waktu lama untuk mengambilnya kembali.
Dengan hati-hati, Aril turun menapaki dinding tebing. Kakinya diangkat pelan mencari pijakan di antara cekungan batu. Tangannya sibuk bergerak menjaga keseimbangan badan. Sementara tubuhnya merapat ke dinding tebing.
Bagi orang biasa, melihat Aril merayap di tebing seperti ini, tentu akan membuat bulu kuduk bergidik. Tapi bagi Aril, ini hanyalah salah satu rintangan dari banyaknya tantangan dalam berburu.
Tubuh Aril semakin merapat ke dinding tebing, jaraknya dengan tombak sekitar satu meter. Namun, Aril sudah tidak mungkin lagi merayap ke arah tombak, karena sudah tidak ada lagi cekungan atau tonjolan batu tempat dia berpijak.
Jarak yang sangat tanggung, hanya butuh berapa inci lagi, agar tangan Aril menyentuh gagang tombak. Matanya liar mencari cara.
Di bawah ada pohon kecil, tapi mustahil rasanya jika kaki Aril bertumpu pada pohon tersebut. Pegangan tidak ada, jelas seluruh berat tubuhnya akan menumpu ke sana. Akibatnya bisa fatal, bila pohon itu patah, dia akan jatuh bebas ke dasar jurang.
Harapan satu-satunya sekarang tertuju pada pohon yang ada di atasnya. Pohon beringin.
Beringin ini tidak terlalu besar, tapi memiliki akar yang banyak, akar itu terlihat masuk ke dalam celah batu. Jelas itu pertahanan yang kuat, dengan keadaan akar sedemikian rupa, pasti mampu menahan bobot Aril. Andai dia bergelantungan di sana.
Posisi beringin yang berada antara Aril dan tombak, tentu akan memperpendek jarak, inilah cara yang harus ditempuh untuk meraih tombak tersebut.
Tangan Aril menggapai berapa akar yang menjuntai di atas kepalanya, tangannya berhasil meraih akar beringin tersebut. Mata lelaki itu mengawasi rumpun beringin, tempat asal akar yang berada dalam genggamannya.
Dia semakin merapatkan tubuh ke dinding, menumpangkan sebagian berat tubuh ke sana. Setelah itu tanganya membetot akar beringin, untuk menguji kekuatan akar tersebut. Aman, tak ada tanda-tanda akar itu akan putus.
Sekali lagi Aril menyapu rumpun beringin dengan matanya, ingin memastikan, bahwa akar tersebut benar-benar mampu menahan bobot tubuhnya.
Setelah yakin, dengan perlahan Aril bergelantungan di akar, menguji kekuatan akar untuk menahan bobot tubuh.
Sesaat kemudian, dia kembali merapatkan tubuh ke dinding tebing, dengan ujung kaki bertumpu pada cekungan tempat dia berpijak tadi.
Sekali lagi matanya menatap ke atas memperhatikan rumpun beringin. Tak ada yang mencurigakan. Aril yakin, akar ini mampu menahan tubuhnya ketika dia berayun nanti.
Mungkin saja ketika dia berayun, akan menimbulkan tarikan lebih kuat. Semakin kuat ayunan tubuh, tentu semakin besar pula tekanan yang terjadi. Hal ini, akan menambah beban akar beringin, pikir Aril.
Berpikir demikian, akhirnya dia kembali menguji kekuatan akar beringin dengan berayun perlahan.
Tubuhnya kembali bergelantungan di udara, tapi kali ini dengan sedikit ayunan. Pelan-pelan ....
Berapa kali dia berayun dengan menjaga keseimbangan, setelah itu dia merapat lagi ke dinding tebing. Kakinya kembali ke posisi semula.
Aril semakin yakin dengan kekuatan akar tersebut, dia segera mempersiapkan diri, untuk mengayunkan tubuh dengan kuat, ke arah tombak.
Untuk meyakinkan hati, bahwa akar beringin tersebut benar-benar mampu menahan berat tubuhnya, sekali lagi Aril melihat ke atas, tapi baru saja kepalanya terangkat .... Tiba-tiba ....
"Wuaaaaaaa ...!"
Aril berteriak kaget, ketika tatapannya beradu dengan sorotan mata sesosok makhluk yang berada persis di atas kepalanya.
Bersamaan dengan itu, makhluk tersebut langsung menyeringai yang membuat jantung Aril seperti mau putus.
Entah dari mana datangnya makhluk itu?
Tiba-tiba saja, dia ada di atas pohon beringin, bergelantungan dengan kepala kebawah. Wajah Aril dan makhluk itu hampir saja bersentuhan, ketika Aril mengangkat kepalanya tadi.
Bentuk makhluk itu mirip manusia, dengan tinggi sekitar lima puluh centi meter. Sangat kerdil.
Wajahnya keriput, dengan kepala hanya ditumbuhi oleh beberapa helai rambut, membuat batok kepalanya yang mengkilap terlihat begitu jelas.
Di kedua sisi keningnya, tumbuh sepasang tanduk, persis seperti tanduk sapi. Namun, ukurannya saja yang berbeda. Tanduk makhluk ini lebih kecil dan agak runcing.
Bola matanya besar dengan warna gelap dan ada titik putih di tengahnya, dari balik bibirnya yang tebal dan hitam, mencuat sepasang taring.
BERSAMBUNG
Berapa ekor b*bi berhasil ditumbangkan kelompok Tarjo. Senyum kepuasan terlihat di wajah mereka.
Ketegangan antara pemburu dan hewan buruan yang terjadi berapa waktu lalu, kini telah berganti dengan celoteh dan gelak tawa.
Apa lagi disaat sore telah menjelang, binatang hutan semakin ramai bersenandung ditingkahi salak dan geraman anj*ng yang sedang menikmati hasil buruan.
Perpaduan suara mereka seakan menjelma menjadi melodi irama yang indah, hal tersebut tentu menjadi bonus tersendiri bagi pemburu yang membuat kegembiraan mereka semakin sempurna.
Dalam kegembiraannya, mata Tarjo bergerilya, bergerak memperhatikan anak buahnya satu persatu.
"Aril mana?" tanyanya kemudian, setelah menyadari ketiadaan Aril bersama mereka.
Seperti dikomando, para lelaki dewasa yang ada di sana mengarahkan pandangan pada Tarjo. Pertanyaan Tarjo membuat mulut mereka terdiam.
Tempat itu sejenak terbebas dari suara manusia, hanya nyanyian binatang hutan dan suara riuh anjing yang terdengar
Setelah saling pandang barulah mulut mereka kembali terbuka, itupun berupa gumamman dan bisikkan.
"Tadi dia bersama Ketua!" Karman membuka suara mengingatkan Tarjo.
"Iya, tadi kami bergerak hampir bersamaan mengejar buruan, saya kira dia telah bergabung dalam kelompok," jawab Tarjo.
Bisikkan kembali terdengar diantara mereka.
"Arilll ... Arilll ... Arilll!?"
Beberapa orang mulai berinisiatif memanggil Aril. Bahkan ada yang mendekatkan kedua telapak tangannya yang telah dibentuk seperti corong ke arah mulut.
Mungkin maksudnya sebagai pengeras suara.
Tapi panggilan mereka hanya menghasilkan pantulan gema yang membuat suara nyanyian binatang hutan berhenti sesaat.
"Mungkin ada buruan yang memisahkan diri dari kelompok dan Aril mengejarnya." Seseorang mencoba memberikan pendapat.
"Tapi anjingnya masih ada di sini," bantah yang lain.
Hampir berbarengan mata mereka mengarah pada kelompok anjing pemburu.
Benar, anjing peliharaan Aril ada di sana, lalu ke mana tuannya? Pertanyaan itu mendatangkan cemas di hati mereka karena sebentar lagi sore akan berganti senja.
"Ayo kita cari dia!" ajak Tarjo yang langsung disetujui rekan-rekannya.
Lalu, mereka membagi kelompok menjadi tiga bagian. Kelompok pertama tetap di tempat menjaga kerumunan anjing peliharaan yang masih asik menikmati santapan.
Mereka berpencar, sebagian ke arah Barat dan yang lainnya ke Utara.
"Arilll ... Arilll ... Arillll!"
Suara teriakkan mereka kembali memecah hutan, mengganggu nyanyian hewan yang sedang bersenandung.
Tidak begitu lama kelompok yang ke arah barat telah menemukan titik terang. Tombak Aril yang masih di tebing sebagai petunjuknya.
"Aril di Baratttt!"
"Aril di Baratttt!"
"Hoiiii, Aril di Baratttt!?"
Mereka berteriak memberi tahu kelompok lain. Tim Utara bergegas menyusul tim Barat ketika pemberitahuan itu sampai ke kuping mereka.
Kini sebagian besar dari mereka telah berkumpul di Barat, sementara yang lain masih di tempat semula.
"Aril dipastikan jatuh ke jurang," kata Tarjo, kecemasan terlihat di wajah ketua kelompok itu.
Apa yang dikatakan Tarjo dibenarkan yang lain. Tombak serta bekas ranting yang patah, dan tumbuhan semak yang porak poranda di dinding tebing menjadi bukti kuat.
Tarjo memutuskan semua kembali ke basis, meninggalkan tombak Aril yang masih menyangkut di sisi tebing.
Setelah musyawarah mereka memutuskan bergerak turun, menyusuri sungai yang ada di
kaki bukit.
Jarak yang akan mereka tempuh tentu menjadi lebih jauh, karena mereka harus turun bukit dengan menempuh jalur yang melingkar, namun cuma itu cara satu-satunya.
Menuruni tebing? Jelas tidak mungkin!
Jalan setapak kembali dipenuhi oleh mereka dan beberapa ekor anjing yang telah dikalungi rantai pengikat.
Setiba di kaki bukit mereka langsung menyusuri daerah aliran sungai dengan mata awas menyapu setiap tempat yang mereka lewati.
Tak sejengkal pun lokasi yang lepas dari pengawasan mereka, tapi sejauh ini Aril belum juga ditemukan.
Bahkan ketika mereka telah sampai di sebuah curug persis di bawah tebing tempat Aril jatuh.
Semua tempat telah diperiksa dengan cermat, namun hasilnya tetap nihil.
"Kemungkinan besar, Aril tenggelam...." kata Tarjo berasumi.
"Tak ada tanda-tanda dia jatuh di darat, dan melihat sisi tebing yang langsung berbatas dengan curug, bisa dipastikan Aril jatuh ke dalam curug."
Mata Tarjo mengarah ke permukaan curug yang alirannya tidak begitu deras, tapi cukup mampu menghanyutkan benda yang mengapung di sana.
"Kita telah menyusuri sepanjang aliran sungai, tapi tidak menemukan apa-apa. Berarti dia tidak hanyut..."
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Ketua?" Karman memotong dengan pertanyaan.
"Kita harus menemukan Aril, seperti apapun keadaannya. Kita akan mencarinya di dasar curug," putus Tarjo, sekaligus membuktikan kalau dia memang layak menjadi ketua tim.
"Tapi, hari telah senja, Ketua! Sebentar lagi gelap, tentu kita akan membutuhkan penerangan, tidak mungkin mencarinya dalam kegelapan."
Seorang yang berambut keriting memberikan ide, yang dibenarkan oleh beberapa temannya.
Sesaat kemudian mereka berembuk dan mencapai kata sepakat.
Kelompok akan dibagi dua. Sebagian kembali ke desa mengantarkan anjing sekaligus menjemput peralatan dan memberi tahu masyarakat dengan apa yang terjadi. Terutama kepala desa, pihak berwajib, dan yang paling penting tentu orang tua Aril.
Mereka yang menunggu di curug terus melakukan pencarian tanpa kenal lelah.
Cuaca semakin dingin, kelembaban udara pun semakin terasa. Salah satu dari mereka mulai membersihkan diri di pinggir curug, yang lain pun mengikuti.
Tarjo orang terakir yang membersihkan diri, sekaligus sebagai orang yang terakir pula berhenti mengitari lokasi, mencari keberadaan Aril.
Mungkin karena cemas atau tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, sehingga membuat usahanya lebih keras dibandingkan yang lain.
Ketika sedang mencuci kaki, ada perasaan tak enak di hati Tarjo, seolah ada sesuatu yang sedang mengawasinya.
Sesuatu itu seakan berada di rumpun bambu yang tumbuh di pinggir curug. Mata Tarjo mengarah ke sana.
Deg!
Dadanya bergetar ketika melihat sosok yang sedang jongkok di antara rumpun bambu. Sosok itu bukan Aril, tapi memang mirip manusia dengan tubuh sangat kerdil.
Tarjo melirik teman-temannya yang sedang duduk secara berkelompok. Sebagian dari mereka sedang asik mengotori paru-paru dengan nikotin lewat sebatang rokok.
Tarjo berusaha untuk tenang, dia tidak ingin yang lain mengetahui keberadaan makluk itu. Karena hal tersebut bisa menimbulkan rasa takut di hati anggotanya.
Mata Tarjo kembali mengarah ke rumpun bambu. Makluk itu masih di sana, malah sekarang matanya melotot ke arah Tarjo. Seakan sedang menguji nyali Tarjo.
Bukan Tarjo namanya kalau takut dengan yang begituan, dia malah membalas tatapan makluk itu. Matanya pun tak kalah melotot, malah mulut Tarjo komat-kamit entah apa yang dia rapal.
Seketika makluk itu menyeringai mempertontonkan giginya yang kecil dan runcing.
Tarjo semakin khusuk dengan rapalan, matanya sampai terpejam. Ketika Tarjo membuka mata dan mengarahkan pandangan ke makluk di rumpun bambu, terlihat makluk itu seperti kaget lalu berkelebat dan hilang entah ke mana.
Tarjo menyapu wajah dengan kedua telapak tangan lalu bangkit dan berjalan menuju teman-temannya.
Waktu Maghrib hampir tiba, namun tanda-tanda kedatangan bantuan dari masyarakat desa belum ada.
"Cari tempat yang agak luas! Sekarang kita salat berjama'ah dulu, sebentar lagi Maghrib masuk," kata Tarjo sekaligus perintah.
Mereka segera membersihkan sebuah lokasi yang akan mereka gunakan untuk melaksanakan salat berjama'ah. Sebagian lagi mencari ranting dan kayu kering untuk dibakar.
Tidak lama bagi mereka mengerjakan itu, semuanya kini telah selesai.
Remang-remang senja berhasil diusir oleh cahaya api unggun yang membara di dua titik. Bersamaan dengan itu waktu Maghrib pun masuk, tanpa dikomando mereka kembali ke pinggir curug untuk berwuduk.
"Kamu tidak sholat?" tanya Tarjo ketika melihat Basri yang memilih kembali duduk dekat api unggun sambil menyulut rokok.
"Lagi tidak, Ketua!" jawabnya sambil melepas senyum.
"Lagi tidak? Memang kamu perempuan?"
Basri hanya menjawab dengan cengiraran, dan Tarjo meninggalkan Basri yang mulai asik dengan rokokoknya.
Usia Basri tidak jauh berbeda dengan Aril, tergolong muda, masih bisa dikategorikan sebagai remaja tanggung.
Belum berapa langkah Tarjo meninggalkannya. Tiba-tiba Basri merasa ada sesuatu yang berdiri di belakang. Entah siapa? Tengkuknya terasa dingin seperti ada tiupan angin yang mampir di sana.
Dengan hati berdebar Basri menoleh ke belakang. Seketika dia melompat kaget demi melihat sekelebat bayangan dengan diikuti aroma bunga kantil yang menguar.
"Hiiiiiii..." Basri bergidik dengan bulu kuduk merinding.
"Ketua! Tunggu saya!" teriaknya sambil berlari mengejar Tarjo.
Tarjo dan beberapa orang menoleh ke arah Basri, senyum terkembang di bibir mereka melihat Basri yang lari terbit.
"Dasar bocah!" gumam Tarjo.
Basri baru agak tenang ketika dia telah berada di samping Tarjo. Mukanya pias.
"Kamu takut?" tanya Tarjo.
Basri menggeleng sambil mencuri pandang ke tempat dia duduk tadi. Tidak ada apa-apa di sana, entah ke mana makluk yang berkelebat tadi.
"Makluk apa itu? Kenapa tiba-tiba ada aroma bunga kantil?" batin Basri bertanya.
Selama berwuduk pikiran Basri dipenuhi oleh apa yang dia lihat tadi, sehingga membuat dia lupa cara berwuduk yang memang telah lama tidak dia lakukan.
Ingin menceritakan pada yang lain, jelas tidak mungkin. Itu hanya akan merusak reputasinya sebagai seorang pemburu.
Ketika sholat, Basri sengaja mencari tempat di tengah dan berada persis di belakang Tarjo yang bertindak sebagai imam. Namun, selama sholat hatinya selalu diliputi rasa was-was.
"Sholat cuma satu syaf, bagaimana kalau makluk itu ikutan berdiri di belakangku?" batin Basri.
Pertanyaan itu selalu mengganggu hati Basri, tak ayal dia sering menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan makluk tersebut.
Ketika berdiri menoleh ke belakang, ketika rukuk juga menoleh ke belakang.
Bahkan ketika sujud dan duduk antara dua sujud dia masih tetap saja menoleh ke belakang.
Entah sholat macam apa yang dilakukan Basri itu.
BERSAMBUNG.
Tarjo menyapu wajah dengan kedua telapak tangan, kemudian bangkit dan berjalan menuju teman-temannya.
Waktu Maghrib hampir tiba, tapi tanda-tanda kedatangan bantuan dari masyarakat desa belum terlihat.
"Cari tempat yang agak luas! Sekarang kita salat berjama'ah dulu! Sebentar lagi waktu Maghrib masuk," kata Tarjo sekaligus bertitah.
Mereka segera membersihkan sebuah lokasi, yang akan mereka gunakan untuk melaksanakan salat berjama'ah. Sebagian dari mereka mencari ranting dan kayu kering untuk dibakar. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengerjakan itu, semuanya kini telah selesai.
Remang-remang senja berhasil diusir oleh cahaya api unggun yang menjulang di dua titik. Bersamaan dengan itu, waktu Maghrib pun tiba, tanpa dikomando mereka kembali ke pinggir curug untuk berwudhuk.
"Kamu tidak salat?" tanya Tarjo, ketika melihat Basri yang memilih kembali duduk dekat api unggun, sambil menyulut sebatang rokok.
"Lagi tidak, Ketua!" jawabnya dengan melepas senyum.
"Lagi tidak? Memang kamu perempuan?"
Basri hanya menjawab dengan cengiraran, dan Tarjo meninggalkan Basri yang mulai asyik dengan rokokoknya. Usia Basri tidak jauh berbeda dengan Aril, tergolong muda, masih bisa dikategorikan sebagai remaja tanggung.
Belum berapa langkah Tarjo meninggalkannya. Tiba-tiba Basri merasa ada sesuatu yang berdiri di belakangnya. Entah siapa? Tengkuknya terasa dingin, seperti ada tiupan angin yang mampir di sana.
Dengan hati berdebar, Basri menoleh ke belakang. Seketika dia melompat kaget, demi melihat sekelebat bayangan, disertai dengan aroma bunga kantil yang menguar.
"Hyiiiiiii ...!"
Basri bergidik dengan bulu kuduk merinding.
"Ketua ...! Tunggu saya!" teriaknya, sambil berlari mengejar Tarjo.
Tarjo dan beberapa orang menoleh ke arah Basri, senyum mengembang di bibir mereka, ketika melihat Basri yang lari terbirit.
"Dasar bocah!" gumam Tarjo.
Basri baru agak tenang, ketika dia telah berada di samping Tarjo, meski mukanya terlihat pucat.
"Kamu takut?" tanya Tarjo.
Basri menggeleng, sambil melirik ke tempat dia duduk tadi. Tidak ada apa-apa di sana, entah ke mana makhluk yang berkelebat tadi.
Makluk apa itu? Kenapa tiba-tiba ada aroma bunga kantil? batin Basri bertanya.
Basri tidak mau jauh-jauh dari Tarjo, bahkan ketika berwudhuk pun, dia masih memepet Tarjo. Selama berwudhuk, pikiran Basri dipenuhi oleh apa yang dia lihat tadi, sehingga membuat dia lupa dengan tata cara berwudhuk, yang memang telah lama tidak dia lakukan.
Basri ingin menceritakan apa yang dia lihat tadi pada teman-temannya yang lain. Tapi rasanya tidak mungkin. Itu hanya akan merusak reputasinya sebagai seorang pemburu.
Ketika salat, Basri sengaja mencari tempat di tengah, dan berada persis di belakang Tarjo yang bertindak sebagai imam. Namun, selama salat hatinya selalu diliputi rasa was-was.
"Salat cuma satu syaf, bagaimana kalau makhluk itu ikutan berdiri di belakangku?" batin Basri. Pertanyaan itu selalu mengganggu hatinya. Tak ayal, dia sering menoleh ke belakang, untuk memastikan keberadaan makluk tersebut.
Ketika berdiri menoleh ke belakang, ketika rukuk juga menoleh ke belakang. Bahkan ketika sujud, dia masih tetap saja menengok ke belakang, dengan cara mengintip dari celah kakinya. Apalagi, ketika posisi duduk antara dua sujud, kepalanya malah bolak-balik menoleh, seperti capung.
Entah salat macam apa yang dilakukan Basri itu!
Cerita berpindah pada Aril.
****
Aril membuka mata perlahan, pandangannya yang kabur membuat dia mengucek matanya beberapa kali.
Langit-langit kamar berlapis triplek masuk ke kornea mata lelaki itu. Walau agak buram, tapi dia dapat menebak, bawah itu adalah langit-langit sebuah kamar. Berarti saat ini, dia sedang terbaring. Aril mengarahkan pandangan ke samping.
Ternyata benar, dia sekarang terbaring di atas ranjang berkasur empuk, yang beralaskan seprai berwarna biru. Aroma wangi menguar dari sana, membuat napas Aril terasa lega.
Mata lelaki itu beralih menyapu seluruh ruangan. Dari bentuk dinding, dia bisa memahami, jika saat ini dia sedang berada di sebuah rumah semi permanen.
Rumah siapakah ini?
Pertanyaan itu muncul di hatinya, Aril coba mengingat kejadian sebelum dia terbaring di sini.
Namun, sia-sia.
Tak satu pun memori yang bisa diputar oleh otaknya. Aril berusaha keras, memaksa isi kepalanya untuk menggambarkan apa saja yang mungkin dia ingat.
Tapi, tetap sia-sia.
Ketika dia paksakan, malah ada yang berdenyut dalam kepalanya. Semakin lama semakin sakit. Akirnya Aril menyerah, membiarkan otaknya kembali kosong. Rasa sakit itu pun menghilang.
Aril menggerakan badan berusaha untuk bangkit.
"Uhhhhh ...!"
Dia melenguh, dengan wajah berkerenyit menahan sakit.
Tubuhnya terasa kaku dengan rasa sakit hampir di seluruh persendian. Beberapa bagian kulitnya terasa perih.
Aril mengangkat tangan kanan. Wajahnya kembali mengernyit, melihat kulit tangannya yang terkelupas, seperti habis diseret di atas aspal.
"Syukurlah! Ternyata Mas sudah bangun."
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Aril, matanya refleks mengarah ke pintu, dari mana sumber suara itu berasal. Terlihat seorang gadis berkebaya, sedang memasuki kamar yang ditempatinya. Ternyata dialah si pemilik suara. Bekas senyum masih tersisa di bibirnya.
Kulitnya yang putih, dengan rambut tebal hitam bergerai menyentuh pinggang. Membuat pemilik suara itu terlihat begitu cantik. Suasana kamar semakin segar, karena aroma parfum yang menguar dari tubuhnya yang ramping.
Gadis itu tidak bisa menahan senyum melihat sikap Aril, walau senyum itu hanya seperti tersipu ... malu.
Aril terpana dengan mulut terbuka, bengong menatap sang gadis. Mungkin karena kecantikan gadis itu, atau karena masih bingung dengan apa yang terjadi menimpa dirinya. Entahlah.
"Di-dimana saya?" tanya Aril sedikit gagap
"Mas sekarang berada di rumah saya," jawab gadis itu lembut.
"Siapa kamu? Kenapa saya berada di sini?"
Aril tidak tergagap lagi, itu menandakan bahwa dia telah dapat menguasai diri. Mungkin karena senyum yang lepas dari bibir gadis berparas cantik tersebut, atau entah karena apa.
"Nama saya, Dara," jawab gadis itu, sambil melangkah ke arah Aril, tanpa mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Dara? Seperti nama burung merpati." Aril bergumam.
Ketika dia bergumam, ada sejumput kegembiraan di hati Aril. Dia merasa otaknya telah pulih. Setidaknya, dia telah bisa mengingat bahwa Dara itu adalah nama lain dari burung merpati.
Gadis itu duduk di kursi kayu yang berada di sebelah ranjang. Posisinya persis dekat kepala Aril.
Ketika gadis itu duduk, aroma wangi dari tubuhnya kembali menguar, dan masuk ke rongga hidung Aril.
Aroma itu mendatangkan kesegaran yang menyenjukan bagi Aril. Aril mengangkat wajah, menatap muka Dara. Mata mereka bertemu.
Dara menunduk, mengalihkan pandangan ke telapak tangannya yang bertaut. Jemari lentik gadis itu saling berkait dan bergerak seperti menari. Hal itu dilakukan Dara untuk menyembunyikan debar di dadanya yang datang tiba-tiba. Mungkin debaran itu datang karena tatapan Aril.
"Kenapa saya sampai berada di sini?" Aril mengulang pertanyaannya tadi.
"Mas terjatuh dari tebing. Untung jatuhnya ke dalam curug, sehingga Mas selamat. Kebetulan Bapak saya menemukan Mas, lalu beliau membawa Mas ke sini. Sudah hampir dua hari, Mas tidak sadarkan diri--"
"Dua hari?" tanya Aril memotong kalimat Dara. Jelas raut keheranan tergambar di wajahnya.
Dara mengangguk, untuk meyakinkan Aril.
Aril memegang perutnya yang tiba-tiba terasa lapar. Itu wajar, karena hampir dua hari dia terkapar. Melihat Aril memegang perut. Dara segera bangkit, dan aroma wangi kembali menguar dari tubuh gadis itu.
"Ternyata perkiraan Bapak saya tepat! Kata beliau, hari ini Mas akan sadar. Karena itu saya sudah menyiapkan makanan untuk Mas," katanya, sambil berlalu ke luar kamar.
Setelah Dara lenyap dari pandangannya, mata Aril kembali menyapu seluruh ruangan itu. Di sebelah kursi yang diduduki Dara tadi, ada meja yang tidak begitu besar. Di atas meja itu bertengger beberapa guci berwarna coklat berukuran sedang. Sepertinya guci itu terbuat dari keramik. Di sampingnya ada termos air dan beberapa cangkir dan mangkuk. Kedua perabot itu juga terbuat dari keramik.
Sangat antik!
Tidak berapa lama kemudian, Dara masuk dengan membawa dua piring di tangannya, yang satu berisi nasi dan yang satunya berisi lauk.
Bau ikan bakar dipadu aroma parfum kembali memasuki hidung Aril, yang membuat rasa laparnya semakin bertambah.
"Mas makan dulu?" ucap Dara, sambil menuangkan air dari termos yang berada di atas meja. Senyum kembali bermain di bibir gadis itu. Senyum tersebut mampu mengusir kecanggungan yang tadi bercokol di hati Aril.
"Aughhh ...!"
Aril melenguh menahan sakit, ketika dia mencoba untuk bangun. Wajah lelaki itu meringis menahan ngilu yang dia rasakan hampir dari seluruh badannya.
"Jangan bangun dulu! Tubuh Mas belum kuat," cegah Dara, dengan satu tangan menahan pundak Aril.
Aril kembali membenamkan tubuhnya ke dalam kasur empuk itu, sementara tangan Dara masih menempel di pundaknya.
Aril merasakan sesuatu yang aneh dari telapak tangan Dara. Telapak tangan itu terasa dingin. Tak ada hawa hangat sedikit pun, seperti layaknya makhluk hidup.
Mata Aril mengarah ke pundaknya yang masih dalam genggaman Dara. Gadis itu seperti tersadar, dan dengan cepat menarik tangannya. Wajah Dara bersemu merah.
Semakin cantik!
Kecantikkan Dara membuat Aril melupakan sesuatu yang aneh tadi. Keanehan yang berasal dari tangan Dara.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!