NovelToon NovelToon

Mozaik Kenangan

MK - 01

Nabastala yang gelap berpadu sejuknya embusan angin laut, serta suara alunan musik romantis dari dalam ruangan yang telah dihias bak istana, turut menghiasi malam yang istimewa nan indah itu.

Sebuah acara pernikahan dalam beberapa menit lagi akan digelar. Para tamu pun mulai berdatangan satu per satu mengisi ruangan tersebut. Namun, di atas panggung yang megah itu, seorang pria tampan dengan setelan tuxedo hitam berpadu cokelat berjalan cepat dengan pandangan yang diselimuti kabut amarah sekaligus luka.

Pria itu melepas jas dan melonggarkan kerah kemeja putihnya, lalu berbicara dengan menggunakan mikrofon. "Saya, Zean Rafael Abdillah, memohon maaf yang sebesar-besarnya karena dengan sangat terpaksa, acara pernikahan ini saya batalkan. Terima kasih."

Ruangan itu seketika menjadi riuh dengan pertanyaan tak terjawab dari para tamu. Zean tak acuh dan langsung melangkahkan kakinya ke luar dari tempat acara menuju mobilnya yang berada di area parkir hotel. Indahnya pemandangan di pinggir pantai sama sekali tidak bisa membuat hatinya membaik.

Pikiran pria berusia 34 tahun itu benar-benar kacau, hatinya pun sangat hancur. Dengan kecepatan tinggi, ia melajukan kendaraan roda empatnya membelah jalan yang semakin gelap tanpa tujuan sama sekali.

Alih-alih menjalani malam pernikahan bahagia bersama wanita yang ia cintai, Zean justru jatuh dalam kubangan nestapa. Sebuah fakta menyakitkan baru saja ia dapatkan, dan hal itu sukses membuat dunianya runtuh bersama dengan angan-angan yang sudah berada di depan mata.

Beberapa panggilan di ponselnya sama sekali tidak ia hiraukan. Ia merasa begitu jijik berinteraksi dengan mereka. Orang-orang yang lebih pantas disebut sebagai musuh dalam selimut.

"Akkh, s!al!" teriak Zean frustrasi seraya memukuli stir mobilnya beberapa kali demi meluapkan amarah.

"Tunggu! Ada apa ini?" Pria itu mulai panik ketika menyadari rem mobilnya ternyata tidak berfungsi.

Dengan susah payah dan penuh ketegangan, Zean berusaha mengendalikan mobilnya yang melaju dengan kecepatan tinggi melewati beberapa belokan di jalan yang tampak sangat asing. Apalagi ketika berada di puncak sebuah jalan yang curam, pria itu semakin kelabakan. Usahanya untuk keluar dari mobil pun sungguh tak membuahkan hasil.

"Aaaakk tidak ..., tidak ....!" teriak Zean di ujung asanya.

Bagai sebuah atraksi, mobil itu meluncur dengan cepat lalu menabrak pembatas jalan dan menimbulkan suara tubrukan yang cukup keras. Nasib nahas pria itu rupanya belum selesai, beberapa detik kemudian, mobil yang kehilangan kendali tersebut terjun ke dalam jurang yang sangat gelap.

...

"Astaghfirullah, apa Paman melihat itu? Ada mobil yang jatuh dari atas sana!" pekik seorang wanita muda yang kebetulan melihat kejadian mengerikan tersebut dari kejauhan.

Ya, dia adalah Syifaul Qalby, wanita berusia 25 tahun yang kebetulan baru saja pulang bersama sang paman dari dalam hutan guna mencari beberapa tumbuhan obat.

"Astaghfirullah, iya, Fa. Ayo, kita ke sana!" ujar Hadi lalu berlari menuju tempat di mana sebuah mobil kini dalam keadaan terbalik dan sudah berasap.

"Syifa, dia masih hidup!" teriak Hadi setelah memeriksa napas pria di dalam mobil itu.

"Ayo cepat kita keluarkan, Paman. Bensin mobil ini sepertinya bocor. Jika tidak segera pergi, kita bisa terbakar di sini," ujar Syifa begitu khawatir.

"Iya, kemarilah! Bantu paman mengeluarkannya."

Pria paruh baya dan wanita muda itu kini berusaha membuka pintu mobil yang sangat sulit terbuka. Tak ada cara lain, mereka terpaksa memecahkan kaca pintu mobil itu untuk membuat jalan lain agar proses evakuasi bisa lebih mudah dan capet.

"Astaghfirullah, pria asing ini berat sekali, Paman!"

"Jangan ngeluh! Cepat tarik!"

"Sulit sekali, Paman," ucap Syifa dengan dahi berkerut dan napas yang tersengal-sengal. Namun, mata wanita itu sontak melotot ketika melihat percikan api mulai muncul dari bagian depan mobil.

"Ya Allah, bagaimana ini, Paman? Ada api! Bagaimana jika kita the end di sini? Syifa belum nikah," teriak wanita itu dalam satu tarikan napas karena panik.

"Huss, tenang dan jaga mulutmu! Kita tarik lebih kuat dalam hitungan mundur. Tiga, dua, satu!" Hadi dan Syifa kembali menarik pria itu bersamaan dengan sekuat tenaga hingga akhirnya usaha mereka berhasil.

"Bantu paman memapahnya, kita harus segera menjauh dari sini. Cepat!" titah Hadi, lalu melingkarkan tangan kiri pria itu di pundaknya.

"Iya, Paman." Syifa langsung masuk ke bawah lengan kanan pria itu dan ikut memapahnya.

Baru beberapa meter melangkah, mobil itu mukai terbakar hingga membuat Hadi dan Syifa semakin mempercepat langkah mereka. Namun, karena tidak hati-hati, Syifa terjatuh ke depan.

"Astaghfirullah, ya Allah, benar-benar hampir the end kita, Paman."

"Syukurlah, Allah masih memberi kita dan pria ini umur panjang."

Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju mobil pick cup yang berada di ujung jalan. Syifa yang mengemudikan mobil dan Hadi yang menjaga pria itu di deck belakang.

🦋🦋🦋

Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an membuat pria yang sudah dua hari tidak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata. Beberapa kali ia mengerjapkan mata untuk menyeimbangkan cahaya yang masuk ke dalam netranya.

Pandangan pria itu kini menelisik ke segala arah dan menyadari dirinya berada di tempat asing. Ia berusaha bangkit dari tidur, tapi tertahan ketika rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuh dan kepalanya. Ia baru menyadari bahwa lengan kanan dan kaki kanannya sedang menggunakan gips.

"Akk ssshh," desis pria itu seraya memegangi kepalanya yang ternyata sudah terlilit perban.

"Jangan banyak gerak dulu, tubuh kamu masih terluka," ujar seorang wanita muda yang datang dari arah luar.

"Kamu siapa?" tanya pria itu menyelidik.

"Aku Syifa, asisten tabib di klinik herbal ini. Kamu Zean, 'kan?"

Zean mengerutkan dahinya mendengar nama itu. Wajahnya tampak menyimpan banyak pertanyaan yang tak bisa ia ungkapkan secara langsung.

"Tenang, aku bukan cenayang atau apalah itu. Aku hanya tidak sengaja melihat ukiran namamu di belakang arloji itu." Syifa menunjuk sebuah arloji yang berada di atas nakas.

Zean mengikuti arah tunjuk Syifa lalu kembali menatap wanita itu dengan dahi yang berkerut. "Apa yang terjadi padaku?"

"Apa kamu lupa? Dua hari lalu kamu terjun bebas bersama mobilmu ke dalam jurang," jelas Syifa, tapi tak mendapat reaksi apa pun kecuali wajah kebingungan dari pria itu.

"Tunggu dulu, apa kamu mengingat siapa dirimu?" tanya Syifa yang mulai curiga akan sesuatu.

"Zean, 'kan?" jawab Zean begitu polos.

"Maksudku asal-usulmu, tempat tinggalmu, dan keluargamu," ujar Syifa menambahkan.

Zean menggelengkan kepalanya perlahan seperti orang yang hilang arah. Tak tahu apa-apa dan tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.

"Aku tidak tahu," jawabnya kemudian dengan nada pelan.

-Bersambung-

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Selamat datang di novel baru Author. Author sengaja membuat novel ini untuk ikut event Dokter Jenius. Mohon dukungannya, yah, dengan cara like, komen, subscribe, dan giftnya.

Insya Allah novel ini akan update dua hari sekali karena Author masih menyelesaikan novel on going yang berjudul "Menggapai Rembulan". Jadi, bacanya pelan-pelan dan tidak tabung bab.

Jika suka, mohon diberi vote bintang (⭐⭐⭐⭐⭐). Jika tidak suka, mohon ditinggalkan tanpa memberi penilaian buruk. Saling menghargai itu lebih baik.

Terima kasih yang sudah berkenan mampir di karya receh ini, dan mohon maaf bila masih banyak kekurangan.

Salam hangat dari Author 🙏

UQies

MK - 02

"Apa kau pusing, mual, ingin muntah, atau merasa kebingungan?" tanya Hadi usai memeriksa keadaan kepala Zean serta pergerakan pupil matanya.

"Saya hanya merasa bingung, Pak. Bingung karena tidak mengingat apa yang baru saja terjadi," jawab Zean dengan wajah serius.

Lokasi desa mereka yang cukup jauh dari rumah sakit kota, membuat sang paman hanya bisa mengevaluasi kondisi Zean dengan cara konvensional guna mengetahui apakah ada syaraf yang terganggu atau tidak akibat kecelakaan itu. Jika tidak parah, maka ia akan merawatnya di klinik, tapi jika sangat parah, maka ia akan merujuknya ke kota.

Hadi adalah dokter berpengalaman yang memilih tinggal di desa kecil usai kepergian sang istri untuk selama-lamanya. Jiwa kemanusiaan pria itu sungguh tinggi sehingga rela melepaskan pekerjaannya di kota agar bisa membantu warga desa yang tidak mampu menjangkau rumah sakit.

Kemampuannya dalam bidang pengobatan herbal dan modern tidak bisa diragukan lagi. Pengalamannya sudah sangat banyak. Meski begitu, ia tak mematok harga ketika bekerja. Jika warga mampu membayar jasanya, ia akan menerima dengan senang hati, tapi jika warga memang tak mampu, maka ia akan memaklumi. Pemasukannya dari tambak ikan sudah lebih dari cukup, sehingga ia sama sekali tidak memusingkan masalah biaya.

"Dia mengalami amnesia dan fraktur di lengan kanan dan kaki kanan, tapi untuk gangguan lain sepertinya tidak ada yang serius. Insya Allah dia akan pulih setelah melalui tahap pengobatan dan perawatan," ucap Hadi kepada Syifa kemudian membiarkan Zean untuk beristirahat.

Syifa membuang napas lesu setelah berada di luar kamar Zean. Ia merasa kasihan dengan pria itu. Pasalnya semua barang-barang miliknya sudah hangus terbakar, termasuk ponsel atau dompet yang berisi kartu identitas sehingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghubungi keluarganya.

"Kasihan dia. Apa kita akan tetap merawatnya di sini sampai ingatannya pulih, Paman?" tanya Syifa.

"Tentu saja, selama tidak ada keluarganya yang mencari, dan selama dia ingin tetap di sini, paman tidak masalah. Toh, dengan begitu paman tidak sendiri lagi di rumah."

"Yee, Paman. Memangnya Paman anggap Syifa apaan? Hantu? Udah sebulan di sini juga, masih nggak di anggap." Syifa mendengus kesal seraya mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

"Ya, kamu beda, Fa. Kamu itu hanya numpang menyelamatkan diri dari tuntutan keluargamu. Aneh sekali, padahal pekerjaanmu di rumah sakit kota sudah sangat bagus dan menjamin, eh karena sering di tanya 'kapan nikah?' malah kabur ke sini yang sama sekali tak ada jaminan. Ckckck." Hadi menggelengkan kepalanya mengingat betapa absurdnya anak dari kakaknya itu.

"Biar aja, Paman. Hitung-hitung cari pengalaman baru di sini," balas Syifa.

"Lalu kapan kamu mau kembali ke kota tempat tinggalmu? Ayahmu udah nanyain terus, loh!" tanya Hadi.

"Nanti aja, Paman, kalau udah dapat jodoh," jawab Syifa dengan enteng.

"Astaghfirullah." Hadi hanya bisa mengelus dadanya tanpa bisa berkomentar.

🦋🦋🦋

Beberapa hari berlalu, tak terasa sudah hampir satu minggu Zean berada di desa Lambani, desa yang masih sangat jauh dari polusi. Letaknya berada di dekat pantai, sehingga hampir semua penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.

Pagi ini, mengingat keadaan Zean semakin membaik, Syifa diminta oleh Hadi untuk menemani Zean menikmati matahari pagi di halaman klinik herbalnya. Wanita itu mendorong kursi roda sambil menceritakan sedikit cerita tentang desa itu.

"Kamu percaya, tidak? Kalau desa ini bebas dari asap rokok?" tanya Syifa mencoba mengajak Zean bercerita.

"Bebas asap rokok? Maksudnya warga desa ini tidak ada yang merokok?"

"Iya."

"Aku tidak percaya!" ucap Zean dengan wajah datar yang tak terlihat oleh Syifa di belakangnya.

"Kamu tahu desa Bone-bone yang berada di Enrekang, Sulawasi Selatan? Itu adalah desa pertama yang bebas asap rokok di Sulawesi Selatan, mungkin saja se-Indonesia. Nah, desa ini juga ingin menerapkan prinsip itu demi menjaga kesehatan para warganya. Alhamdulillah, kata Paman Hadi, prinsip itu sudah berjalan dua tahun, semoga saja selalu begitu," jelas Syifa.

Syifa menghentikan kursi roda Zean ketika seorang anak kecil datang menghampiri mereka, sementara ibunya sudah masuk ke dalam klinik untuk berobat.

"Kak Syifa, Om ini siapa? Suami Kakak, yah?" tanya gadis kecil itu seraya menunjuk Zean.

"Oh, bukan, namanya Om Zean, dia pasien Paman Hadi," jawab Syifa.

"Kasian Om, tangan dan kakinya patah, yah? Kata mama, kalau mau tinggi atau tulang patahnya cepat pulih, kita harus rajin berjemur di pagi hari karena matahari pagi itu mengandung vitamin D. Bagus untuk tulang," jelas gadis kecil berusia 8 tahun itu.

Syifa tersenyum ramah ke arah gadis kecil itu, lalu berkata, "Wah, kamu pin-."

"Kamu salah! Faktanya, sinar matahari tidak mengandung vitamin D, tapi ultraviolet. Sinar ultraviolet dari matahari inilah yang memicu sintesis vitamin D dari tubuh, ginjal dan hati mengubahnya menjadi vitamin D aktif yang dapat digunakan tubuh untuk meningkatkan penyerapan kalsium dan kesehatan tulang," jelas Zean dengan mode serius.

Gadis kecil itu termangu beberapa saat dengan mulut yang menganga menatap Zean. "Om tadi bicara apa?" tanyanya karena tidak terlalu paham dengan bahasa Zean yang menurutnya terlalu tinggi.

Zean baru hendak kembali menjelaskan, tapi Syifa dengan cepat memotong pembicaraan mereka, demi menjaga suasana pagi yang kondusif.

"Rere, sebaiknya kamu susul mama kamu ke dalam, yah," bujuk Syifa cepat.

"Oh, oke, Kak. Dada Kak Syifa, Om Zenzen," ucap gadis kecil itu membuat Zean kembali hendak protes karena namanya yang diganti. Namun, karena Rere sudah pergi lebih dulu, pria itu hanya bisa berdecak kesal.

"Sudahlah! Masa perkataan gadis lucu seperti Rere kamu ambil hati, dia hanya anak-anak. Dia akan belajar lebih rinci seiring bertambahnya usia," sela Syifa.

"Aku tidak setuju, justru karena masih kecil, dia harus tahu teori yang sesungguhnya agar besar nanti dia tidak salah paham lagi," sanggah Zean. Entah kenapa, ia begitu tidak suka jika namanya diganti, meski belum cukup satu minggu ia mengetahui nama itu. Baginya, nama adalah identitas diri, mengubah nama sama dengan mengubah identitas seseorang, dan ia tidak menyukainya.

"Astaghfirullah, kenapa orang ini kaku sekali?" Zean bisa mendengar Syifa menggerutu dengan suara pelan dari belakang. Meski begitu, ia memilih diam dan tak ingin ambil pusing.

Puas berjemur, Zean meminta Syifa untuk mendorongnya kembali ke dalam klinik yang juga sekaligus rumah Hadi. Wanita itu membawanya kembali ke dalam kamar lalu hendak pergi karena memang ia hanya bertugas untuk itu dan menyiapkan makanan. Selain itu, Hadi yang mengurus, mulai dari membersihkan tubuh hingga mengganti pakaian,

"Tunggu, Syifa!" panggil Zean kali ini membuat langkah Syifa yang sudah berada di ambang pintu terhenti.

"Iya, ada apa?" tanya wanita itu.

"Bisakah kamu membantuku mencukur bulu-bulu di wajahku? Ini membuatku gatal dan tidak nyaman," pinta Zean seraya menunjuk sisi wajah yang mulai ditumbuhi bulu-bulu.

"Kenapa harus aku? Tangan kirimu, 'kan baik-baik saja, kamu bisa menggunakannya."

"Aku bukan kidal, aku tidak pandai menggunakan tangan kiriku. Bagaimana jika nanti pisau cukur itu melukai wajahku yang mulus ini?" Nyatanya, wajah pria itu memang sangat bersih dan mulus, entah bagaimana ia merawatnya dulu, yang jelas ia sangat bersyukur akan hal itu.

"Aku juga tidak bisa! Biar Paman Hadi saja nanti," tolak Syifa segera pergi.

"Ya ampun, kenapa dia galak sekali," lirih Zean seraya memandangi pintu yang kini tertutup dengan sendirinya.

🦋🦋🦋

"Sudah satu minggu sejak Dokter Rafael yang merupakan satu-satunya ahli waris dari rumah sakit Platinum Medisentra dinyatakan hilang. Pencarian terus dilakukan, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Hal itu membuat kondisi kesehatan Dokter Abdillah selaku ayahnya semakin menurun ...."

Seorang pria berusia 38 tahun tampak tersenyum menyaksikan berita di TV. Ia bahkan tidak sadar jika ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu ruang kerjanya.

"Kenapa kamu tersenyum, Sayang?" tanya seorang wanita sambil memasuki ruangan itu.

"Ah, tidak, Sayang. Aku hanya bahagia karena sebentar lagi impianku terwujud. Semoga saja dia tidak pernah kembali lagi," ujar pria itu lalu menarik sang wanita ke atas pangkuannya.

"Apa kamu yakin dia tidak akan kembali? Aku belum mendengar kabar apa pun mengenai dia sampai hari ini," ujar wanita itu sedikit khawatir.

"Mungkin dia sudah tiada, mobilnya masuk jurang atau tenggelam di laut dan tak ada yang menyelamatkannya," ujar pria itu santai. Namun, berbeda dengan wajah sang kekasih yang sedikit resah.

"Oh, ayolah Viona sayang. Tenanglah, tak usah pikirkan dia. Cukup nikmati kebersamaan kita. Dulu, jangankan bersama seperti ini, melihatmu dari jauh saja sangat sulit." Pria itu memainkan ujung rambut panjang sang kekasih yang berwarna sedikit kemerahan. Sesekali ia menghirup aroma bunganya yang cukup menenangkan.

Tok tok tok

Sepasang kekasih itu terkesiap ketika seseorang mengetuk pintu dari luar. Viona refleks turun dari pangkuan prianya seraya merapikan baju.

"Masuk!" titah pria itu setelah memastikan semuanya terlihat baik-baik saja.

"Maaf, Dokter Alvin, Anda dipanggil Dokter Abdillah ke dalam kamar rawatnya," ujar seorang perawat di ambang pintu.

"Oh, baiklah. Aku akan segera ke sana." Alvin segera beranjak dari duduknya dan mengecup dahi Viona.

"Aku menemui kakakku dulu, yah!" ucap pria itu lalu segera pergi meninggalkan Viona di dalam ruang kerjanya.

...

"Alvin, apa kau belum mendengar kabar tentang Rafael?" tanya Abdillah yang terbaring lemah di atas tempat tidur.

"Belum, Kak. Aku sudah mengerahkan orang-orangku sejak minggu lalu, tapi sampai saat ini mereka belum menemukan Rafael," jawab Alvin.

"Astaghfirullah, apa yang terjadi pada anak itu? Tiba-tiba membatalkan pernikahan, dan sekarang hilang entah kemana."

-Bersambung-

MK - 03

Syifa berjalan cepat keluar dan berdiri di depan klinik. Wajahnya memerah bak kepiting rebus, jantungnya bertalu-talu bagaikan sebuah gendang yang membuat wanita itu sulit mengontrol gestur tubuh jika tetap berada di dalam kamar pasien bernama Zean.

Permintaan pria itu untuk membantu mencukur brewoknya berhasil membuat gadis itu salah tingkah. Terang saja, seumur hidup ia tak pernah dekat dengan pria lain, apalagi sampai melakukan sesuatu yang seharusnya menjadi hal yang menyenangkan jika dilakukan oleh pasangan suami istri.

"Kamu kenapa kayak gitu?" Suara bariton Hadi membuat wanita itu terlonjak kaget.

"Sampai segitunya, yah reaksi kamu, padahal paman hanya berbicara pelan." Hadi mengamati wajah sang keponakan yang masih terlihat merah merona. "Itu muka kenapa? Kayak habis makan cabe 50 biji," lanjut pria paruh baya itu menyelidik.

"Eh, nggak, kok, Paman. Syifa hanya kepanasan," kilah Syifa sekenanya.

"Beneran?"

"Iya, Paman. Mending Paman bantuin Mas Zean cukur brewoknya. Tadi dia minta Syifa melakukannya, ih ogahlah!"

Hadi memicingkan matanya menatap tiap lekuk wajah gadis di hadapannya yang coba disembunyikan.

"Paman kenapa liatin Syifa kayak gitu, sih?" tanya Syifa semakin salah tingkah.

"Jadi ini yang buat kamu menyendiri seperti ini dengan wajah memerah." Hadi menganggukkan kepalanya pelan.

"Maksud Paman apa?" tanya Syifa tapi tak dijawab oleh Hadi. Pria itu malah berbalik dan berjalan pelan kembali ke dalam klinik.

"Huft, hampir saja," lirih Syifa bernapas lega seraya mengusap dadanya pelan.

"Kamu suka, 'kan sama Zean?"

"Allahu akbar kabiira walhamdulillahi katsiira wa subhaanallahi bukratawwa asila ...." latah Syifa ketika sang paman tiba-tiba kembali menyembulkan kepalanya di balik pintu. "Astaghfirullah, Paman apa-apaan, sih? Mau buat Syifa jantungan?" lanjutnya mendesis penuh penekanan.

"Ya, habisnya paman penasaran sama sikap kamu yang baru pertama kali paman lihat ini. Jawab dengan jujur, kamu suka, 'kan sama Ze ...." Perkataan Hadi terputus ketika Syifa langsung meletakkan jari telunjuk mungilnya di dekat bibir pria itu.

"Sssst, jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Mas Zeannya dengar," bisik Syifa.

"Ya memangnya kenapa? Wajar, kok, kalau kamu jatuh cinta, wong hampir setiap waktu kalian bertemu dan saling berinteraksi. Paman curiga, apa kamu juga bersikap seperti ini ketika memeriksa pasien pria di rumah sakit," tebak Hadi menatap lurus ke depan, tapi sesekali melirik sang keponakan untuk melihat reaksinya.

"Ya, nggaklah, Paman! Syifa nggak pernah seperti ini sebelumnya," elak wanita itu.

"Oke, berarti fix kamu menyukainya!" kata Hadi menyimpulkan, lalu kembali masuk ke klinik meninggalkan Syifa yang masih mencerna apa yang baru saja ia bicarakan.

Akan tetapi, ketika Hadi berbalik masuk, lutut pria itu seketika terasa lemas karena Zean kini berada di hadapannya dengan kursi roda.

"Maaf, Pak. Saya mau minta tolong untuk ini," ucap Zean pelan sambil mengangkat pisau cukur dengan tangan kirinya.

"Apa kamu mendengar semuanya?" tanya Hadi tanpa merespon perkataan Zean sebelumnya.

Belum juga Zean menjawab pertanyaan Hadi, suara wanita dari luar kembali menarik perhatiannya.

"Paman, jangan menyimpul ...." Syifa menghentikan perkataan bersamaan dengan langkah kakinya ketika melihat Zean berada di hadapannya, lebih tepatnya tidak jauh dari pintu di mana Hadi juga ada di sana dengan ekspresi serba salah.

Suasana terasa canggung dan hening seketika. Tak ada yang berani berbicara apalagi menjelaskan apa yang sedang terjadi.

"Sepertinya saya salah waktu. Maaf, saya kembali dulu ke kamar." Zean kembali meletakkan pisau cukur itu di pangkuannya lalu menjalankan kursi roda dengan tangan kiri.

...

Pria itu menutup pintu lalu kembali terdiam. Ingatannya kembali berputar kala ia tak sengaja mendengar percakapan paman dan keponakan itu di luar klinik tadi. Ya, Zean mendengar sebagian pembicaraan mereka terutama mengenai pengakuan secara tidak langsung dari Syifa. Tanpa sadar, kedua ujung bibirnya tertarik hingga membentuk lengkungan tipis.

Entah kenapa, ia merasa bahagia mendengar pengakuan Syifa. Bahkan, beberapa detik ia lalui dengan hanya tersenyum dalam renungan. Tak ada gerakan dan tak ada suara, hingga tiba-tiba embusan angin yang masuk dari jendela menerpa wajahnya dan berhasil menyadarkan pria itu.

"Ekhem, ekhem, sebaiknya aku tidur saja sambil menunggu waktu makan siang," ucapnya mencoba menepis ingatan itu dan bersikap biasa-biasa saja.

Zean berdiri dengan satu kaki, lalu sedikit melompat untuk mencapai tempat tidur. Pria itu membaringkan tubuhnya terlentang, lengan kirinya terangkat menutupi mata. Perlahan, tapi pasti, pria itu mulai memejamkan mata. Sayangnya, semakin ia memejamkan mata, semakin jelas pula suara Syifa menggema dalam pikirannya.

"Ya, ampun, ada apa denganku?" Zean mengusap wajahnya kasar. Ada senang yang ia rasakan saat ini, tapi di sisi lain hatinya juga sedih pada waktu yang sama, entah karena apa.

Akibat tak sengaja mendengar pembicaraan yang mungkin tidak seharusnya ia dengar, sejak saat itu sikap Syifa jadi canggung di hadapan Zean. Jika dulu wanita itu mampu bercerita panjang lebar di hadapannya, kini keadaannya berbeda.

Jangankan bercerita, tertawa lepas dan bersikap apa adanya saja Syifa terlihat begitu kesulitan, bahkan cenderung menahan diri.

Apakah ia memiliki salah? Atau apakah sikap wanita yang sedang jatuh cinta memang seperti itu? Entahlah, Zean tak bisa memikirkan hal itu sebab setiap kali mencoba berpikir tentang cinta, kepalanya akan terasa sakit dan hatinya pun terasa perih.

Hari ini menandakan tepat satu bulan Zean tinggal di Desa Lambani, desa yang sangat asri, bebas polusi, dan masyarakat yang ramah dan peduli. Desa yang belum lama ia tempati, tapi sudah mampu mengambil tempat di hati.

Akan tetapi, wanita yang diam-diam telah mengisi relung hati justru seolah menjaga jarak, membuat Zean kembali meragukan dugaannya selama ini. Apakah dia memang jatuh hati atau hanya sekadar bersimpati.

Ya, Zean tak bisa menapikkan perasaannya pada Syifa saat ini. Meskipun dari luar ia terlihat kaku dan tak acuh, tapi diam-diam ia mulai menyadari perasaannya pada wanita itu. Bukan satu dua kali saja ia menyadari, tapi hampir setiap hari hatinya dibuat kembang-kempis akibat melihat Syifa yang sering di goda oleh beberapa pria muda di desa itu.

Bahkan, ia sering merasa kesal sendiri karena banyak pria yang rela berpura-pura sakit demi bisa bertemu Syifa. Bukannya ingin berpikiran negatif, tapi mendengar gejala dan keluhan mereka dari dalam kamarnya saja, membuat Zean menyadari kepalsuan itu. Ia juga tidak tahu dari mana ia mendapatkan ilmu dalam membedakan mana orang yang benar-benar sakit dan mana yang hanya mencari perhatian.

Jika saja Zean bukan pendatang di desa itu, dan keadaan tubuhnya sedang bagus dan kuat, mungkin sudah ia usir satu per satu para pria genit itu agar tidak menganggu Syifa dan membuatnya tersiksa akibat kobaran api cemburu yang hanya bisa ia pendam sendiri.

"Syifa, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Zean sedikit gugup setelah sejak tadi menimang dalam pikiran sambil memperhatikan wanita itu menyiapkan makan malam di meja makan.

"Tanya apa?" Syifa sedikit melirik ke arahnya lalu kembali melanjutkan aktivitasnya secepat mungkin.

"Apa aku punya salah sama kamu? Akhir-akhir ini kamu selalu mencoba menghindariku, bukan hanya itu, kamu bahkan tak berani menatapku ketika berbicara," tanya Zean dengan wajah datarnya.

Aktivitas Syifa terhenti sejenak mendengar pertanyaannya. "Tidak apa-apa, kok," jawabnya singkat lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

"Tidak, aku merasa sikapmu padaku berubah, menatapku sekilas, tersenyum tapi tak tulus, hingga bercerita pun tak pernah lagi." Zean mengungkapkan semua kejanggalan sikap Syifa terhadapnya malam itu juga. Kali ini ia tak ingin memendamnya lagi, sungguh tidak nyaman berada dalam posisi dan suasana seperti itu.

"Kamu nanya alasanku? Apa kamu tidak sadar sejak kapan sikapku berubah? Haruskah aku mengatakan alasanku yang sebenarnya agar kamu paham?" cecar Syifa yang kini benar-benar menghentikan kegiatannya. Wanita itu menatap ke arah Zean dengan tatapan yang sulit diartikan, ada harapan, ada kesedihan, dan ada kebimbangan dalam sorot matanya.

"Ya, bukankah seseorang perlu mengungkapkan keadaan yang sebenarnya jika ingin hatinya lega? Memendam kegundahan hati seorang diri itu tidak enak, apalagi sampai orang lain terkena imbasnya," jelas Zean datar membuat Syifa tersenyum kecut.

"Oke, baiklah, aku akan mengatakan apa yang selama ini kusimpan dalam hatiku, tapi setelah ini, anggap saja kamu tidak pernah mendengar apa pun.

Zean hanya diam, ia tak bisa berjanji akan hal itu. Satu yang pasti, jantungnya berdegup kencang menanti kejujuran Syifa kali ini. Ada harapan yang muncul dalam hatinya tanpa bisa ia enyahkan.

"Aku ..., aku menyukaimu. Mungkin aku terlalu naif hingga begitu mudahnya jatuh hati pada pria asing sepertimu." Syifa tertawan nanar sambil mengusap matanya yang mulai berair, lalu kembali berkata, "Tolong lupakan apa yang baru saja aku katakan, sungguh aku begitu malu mengungkapkan perasaan ini lebih dulu pada pria sepertimu."

Zean terdiam menatap ke arah Syifa. Ya, sesuai harapannya, inilah yang ingin didengarnya sejak kemarin.

"Maafkan aku jika pengakuanku ini telah membuatmu tidak nyaman. Tolong lupakan apa yang aku katakan. Seperti katamu tadi aku hanya ingin membuat hatiku lega dengan mengeluarkan apa yang mengganggu hati dan pikiranku selama ini," kata Syifa kembali.

Suasana di meja makan itu seketika terasa hening dan canggung hingga beberapa saat kemudian.

"Aku tidak ingin melupakannya," ucap Zean kemudian membuat Syifa langsung menatapnya bingung.

"Kenapa?" tanya wanita itu.

"Ya ... karena aku suka mendengarnya," jawab Zaen menatap ke arah lain dengan wajah tanpa ekspresi. Sungguh, bukannya idiot, ia hanya gugup dengan tatapan Syifa yang semakin dalam kepadanya.

"Ap-apa maksud kamu?"

Zean tergugu, lidahnya terasa kelu dan berat untuk digerakkan. Jantungnya pun semakin terasa berdebar dan membuatnya bingung harus bersikap apa agar tidak terlihat bod0h di hadapan wanita itu.

"Sepertinya ...." Zean menghentikan perkataannya sejenak sambil sesekali melirik Syifa. 'Ah, kenapa rasanya begitu sulit untuk mengungkapkan perasaan ini?' batin pria itu kesal dengan dirinya yang sangat kaku.

"Sebenarnya ..., sebenarnya ..., aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu," ucap Zean lega lalu segera menenggak segelas air yang ada di hadapannya. Suasana yang begitu canggung dan ungkapan perasaan yang benar-benar sulit itu telah membuat tenggorokannya terasa kering.

"Benarkah? Kalau begitu, nikahi aku!" pinta Syifa tiba-tiba.

"Uhuk uhuk."

-Bersambung-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!