“Seperti ini lebih bagus,” ucap perempuan berkulit putih itu sedikit meluruskan posisi kepala seorang gadis muda berusia dua puluh tahun yang duduk di depannya menghadap kaca. Rambut perempuan itu dibiarkan terikat gulung dengan helai- helai yang mulai berjatuhan karena sudah hampir dua jam ia menata rambut sang Idola yang sebentar lagi akan mempersembahkan penampilan terbaiknya. Tangan kanannya masih menenteng sisir, sementara tangan kirinya menggenggam hair curler yang masih terhubung dengan aliran listrik. Perempuan itu kembali menyibakkan tanda pengenal yang terkalung di lehernya karena benda itu cukup mengganggu kinerjanya. Egalita Sangpa, artist hair stylist. Hanya dengan membaca tulisan yang tersemat pada tanda pengenalnya itu, siapapun yang ada di ruang tata rias pasti tahu bagaimana cara menaruh hormat padanya. Ya, perempuan itu adalah seorang hair stylist profesional yang telah menjadi kepercayaan para artis dan idola kenamaan di Indonesia. Meskipun usianya baru menginjak dua puluh lima tahun, namun pengalaman dan sertifikat profesional di bidang penataan rambut membuatnya dilirik oleh artis dan idola papan atas untuk menjadi penata rambut kepercayaan mereka. Nama perempuan itu mulai naik ketika pertama kali ia terlibat dalam suatu acara reality show yang mengubah penampilan orang biasa menjadi paripurna hanya karena sentuhan tatanan rambut, yang kebetulan dialah yang menjadi penata rambutnya. Sejak acara itu mendulang sukses besar, gaung namanya semakin terdengar di kalangan pelaku dunia hiburan.
“Kak Ega yang paling tahu bagaimana caranya agar pipiku terlihat tirus,” ujar gadis muda itu sembari merapikan ikal rambut yang bergelantung indah menutupi kedua bagian depan bahunya.”Terima kasih, Kak,” ujarnya sembari beranjak dari kursi rias itu dan mendaratkan ciuman pipi pada perempuan yang sedari tadi mengurus rambutnya. Gadis cantik berkulit putih itu tak lain adalah Aluna Kiara, sang pemenang juara satu jebolan ajang pencarian bakat di tanah air. Suara lembutnya yang manis bagaikan madu dan kemampuannya menghantam nada- nada tinggi dengan tak terduga, membuatnya mendapatkan perolehan suara terbesar tahun ini. Namun kemenangannya itu tak diperolehnya sendirian, karena ia tampil sebagai duo, bersama seorang gitaris, vokalis, sekaligus penulis lagu berusia dua puluh lima tahun. Ikatan emosional saat membawakan lagu antara kedua idola itulah yang sebenarnya menjadi inti perbincangan mengapa mereka bisa keluar sebagai juara. Kemesraan saat bernyanyi menjadikan mereka digadang- gadang sebagai pasangan kekasih bukan hanya di depan kamera, melainkan di dunia nyata.
“Aluna, kau siap?” panggil seorang perempuan berperawakan kecil dengan pakaian serba hitam dan topi berwarna biru tua. Pada tanda pengenalnya terlihat jelas bahwa ia adalah bagian dari kru yang menangani penampilan para artis tersebut. Gadis muda itu mengangguk yakin karena ia benar- benar telah siap untuk memberikan penampilan terbaik bagi para penggemarnya.
“Doakan aku ya, Kak Ega,” ujar gadis itu meminta doa kepada penata rambutnya.
“Lakukan yang terbaik, kamu pasti bisa.” Perempuan itu memberi semangat padanya. Mereka berdua terlihat begitu dekat bukan tanpa alasan. Dua perempuan itu sempat satu sekolah pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Aluna kecil yang kala itu baru masuk kelas satu, sering menangis di depan kelas karena wajah cantiknya yang lucu membuatnya kerap diganggu oleh teman laki- lakinya. Pada saat- saat itulah Ega yang sudah duduk di kelas enam selalu menjadi penyelamat gadis kecil itu agar tidak ada yang mengganggunya. Sejak saat itu, Aluna sangat menyukai dan mengidolakan Ega, dan kini takdir kembali mempertemukan mereka.
...***
...
Sementara di ruang rias artis pria. Pintu ruangan itu masih tertutup rapat. Pada daun pintu itu terbaca jelas siapa yang tengah berada di dalamnya. Iko Bhagaskara. Petugas kru acara yang sebelumnya masuk ke ruang rias dan memanggil Aluna, kini membuka pintu tertutup itu.
“Iko, kau sudah siap?” tanya perempuan itu pada seorang laki- laki yang tengah berdiri di depan cermin memantas wajahnya. Kulitnya bersih, garis rahangnya tegas. Comma hair yang menjadi ciri khas penampilannya, membuat laki- laki itu terlihat seperti tokoh tak nyata dalam novel fantasi. Alisnya yang menyatu alami menjadikan tatapan matanya semakin dingin penuh misteri. Laki- laki itu, benar- benar seperti dua orang yang berbeda di depan dan di belakang kamera. Saat ia sedang berada di atas panggung, raut wajahnya terlihat begitu penuh kehangatan karena ia selalu menyunggingkan senyumnya yang manis. Namun di balik itu, ia tak lain adalah laki- laki dingin yang tak banyak bicara. Entah bagaimana Aluna bisa berpacaran dengan laki- laki semacam itu.
“Satu menit lagi,” seorang penata rambut pria yang menangani Iko, menjawab pertanyaan itu dengan nada yang gemulai. Sekali lagi penata rambut berjemari lentik itu menyemprotkan hair spray pada permukaan rambut sang idola, lantas membetulkan beberapa bagiannya yang kurang rapi. Sementara Iko, sang idola berwajah dua itu hanya terdiam menunggu penata rambutnya selesai dengan tugasnya.
...***
...
Ega membetulkan ikatan rambutnya yang mulai mengendur. Ruang tata rias itu kosong, hanya ada dirinya sendiri dan peralatan penata rambut yang masih berantakan. Seperti biasa, penata rias selalu rampung terlebih dahulu dan penataan rambut selalu mendapatkan bagian paling akhir sehingga ia sudah terbiasa membereskan ruangan rias sendirian. Dengan cekatan perempuan itu mengambil beberapa biji klip rambut yang berantakan di atas meja rias dan memasukkannya kembali pada tempatnya, menggulung kabel pengering rambut, flat iron, dan semua peralatan lain. Di tengah kesibukannya itu, ponsel dalam sakunya bergetar. Dengan cekatan perempuan itu meraih ponselnya dan seketika senyum manisnya tersungging hingga menunjukkan cekungan tajam di kedua sisi pipinya yang halus.
“Iya, Hun. Ada apa?” Sapa perempuan itu penuh bahagia manakala mengetahui siapa yang menghubunginya. Hunny, begitu panggilan sayang yang ia sematkan untuk suaminya.
“Kamu sudah menerima kejutannya?” suara dari seberang menyahutnya dengan pertanyaan. Suara berat dari seorang laki- laki yang tak lain adalah sang suami, Evandy Sjahreza. CEO muda berusia dua puluh tujuh tahun yang tengah berada di puncak karir atas kesukesannya dalam membuka bisnis start up La Lemonada, bisnis ekspor lemon kering yang ia mulai semenjak ia masih mengenyam pendidikan Manajemen Bisnsis di salah satu universitas swasta ternama di tanah air. Bisnis yang ia gagas bersama teman satu timnya dalam sebuah kompetisi wirausaha mahasiswa tahunan yang diadakan oleh pemerintah di seluruh kampus tanah air. Karena kecerdasannya dalam mempelajari strategi bisnis, membuatnya dan teman- teman satu timnya keluar sebagai juara nasional hingga mendapatkan dana hibah dan dukungan langsung dari pemerintah pusat untuk melanjutkan bisnis itu, hingga benar- benar mampu berdiri sendiri seperti saat ini. Dan teman- teman satu timnya dulu, tetap menjadi pengelola utama dan pemegang saham terbesar dalam usaha tersebut. Lima orang yang terlibat dalam tim itu, dahulunya menamai mereka sebagai Five Hunters. Dalam tim itu, Evan dan Ega terlibat di dalamnya. Karena terlalu sering bekerja sama dalam tim, membuat mereka sering bertemu dan jatuh cinta hingga saat ini takdir menjadikan mereka sepasang suami istri.
“Aku sudah menerimanya. Ini terlalu cantik,” jawab perempuan itu sembari memandangi cincin berlian bermata biru yang melingkar di jari manisnya. Dari seberang, suara laki laki itu mengungkapkan cinta pada istrinya.
“I love you more,” jawab perempuan itu sembari tersenyum, namun akhirnya senyum itu seketika berubah menjadi raut muka terkejut tatkala ia dapati seorang laki- laki dengan comma hair dan sebuah gitar mengalung di punggungnya, tengah berdiri di depan pintu. Laki- laki itu menatapnya dingin, entah sejak kapan ia mendengarkan percakapan telepon sepasang suami- istri itu.
“Kau?”
"Terkejut, hm?"
...***
...
“Kamu tahu kalau aku berada di ruang itu, 'kan? Mengapa kamu tak menemuiku?” ujar laki- laki itu sembari berjalan mendekat berusaha mengikis jarak dengan perempuan yang baru saja memutus sambungan teleponnya.
“Aku …,” ujar perempuan itu terputus. Perlahan ia berjalan mundur seiring langkah laki- laki itu yang semakin mendekat.
“Kamu benar- benar berubah, Ga. Laki- laki itu telah membuatmu menjadi orang asing,” tutur Iko sembari menatap kedua bola mata cokelat Ega lekat- lekat. Dengan segera Ega mengalihkan pandangannya ke arah lain, sebisa mungkin menghindari kontak mata itu.
“Mengapa kamu tidak berani menatap mataku, hm?” Laki- laki itu kembali mengintimidasi.
“Iko, ayo! Semua penggemar sudah menunggumu! Apa yang kamu lakukan di sini?” suara salah seorang kru kembali memanggil laki- laki itu, yang seketika menyelamatkan Ega dari intimidasi nya. Nadanya setengah tinggi karena sedari tadi mencari sang idola yang ternyata tengah berada di ruang rias wanita bersama Ega.
“Tunggu sebentar. Tatanan rambutnya sedikit berantakan jadi aku memanggilnya,” bela Ega sembari dengan tiba- tiba membetulkan bagian depan rambut laki- laki itu, menyelamatkannya dari kekesalan kru yang sedari tadi mencarinya. Seketika kru acara itu berdecak kesal, mungkin karena Iko terkesan tidak profesional.
“Kembalilah seperti ini. Jadilah seseorang yang selalu menata rambutku, seperti sebelum kamu menikahi laki- laki itu,” pinta Iko sembari menghentikan tangan Ega yang merapikan rambutnya.
“Cobalah untuk mengerti, Ko. Hargai aku yang sudah menikah,” pinta Ega pada laki- laki itu.
“Aku hanya memintamu untuk tetap menjadi sahabatku, itu saja. Seperti waktu dulu. Apa salahnya aku memintamu untuk itu, Ga?” Iko tetap bersikukuh pada pendiriannya. Perkataan Iko seketika mengingatkan Ega ketika ia masih menjadi penata rambut yang khusus menangani Iko, sahabatnya sendiri. Setelah menikah, Ega memilih untuk menjadi penata rambut artis wanita dan sebisa mungkin menghindari kontak dengan artis pria karena menghormati kepercayaan sang suami yang telah memberi kebebasan padanya untuk tetap bekerja.
Suara riuh tepuk tangan penonton yang meneriakkan nama Iko terdengar jelas sampai ruang tata rias, hingga membuyarkan kekosongan pandangan Ega.
“Pergilah, mereka sudah menunggumu,” ucap Ega berharap laki- laki yang ada di hadapannya segera pergi. Iko menghela napas dalam, menggeleng perlahan seolah masih tak percaya dengan perubahan sikap sahabatnya yang terkesan menjaga jarak denganya. Laki- laki itu lantas beranjak meninggalkan Ega tanpa sepatah katapun. Gitar cokelat yang mengalung di punggungnya, seketika kembali membuka kenangan masa SMA Ega dengan laki- laki itu.
...***...
“Selamat ulang tahun!” ucap Ega pada laki- laki yang tengah sibuk menulis sesuatu di buku catatannya di ruang musik.
“Dari mana kamu tahu aku ada di sini?” ujar laki- laki itu pada gadis yang tengah bediri di hadapannya.
“Di mana lagi keberadaan seorang Iko Bhagaskara, sang vokalis, gitaris, dan pencipta lagu paling diidolakan di sekolah ini kalau bukan di ruang musik, hm?” ujar gadis itu yang seketika membuat Iko menyunggingkan senyum tipisnya.
“Duduklah. Temani aku membuat lagu,” pinta laki- laki itu. Matanya memicing ketika menyadari perempuan yang ada di hadapannya tengah mengalungkan sesuatu di punggungnya.
“Apa yang kamu bawa di punggungmu?” tanya laki- laki itu. Ega tersenyum sembari melepaskan apa yang ia kalungkan di punggungnya. Dari bentuknya, laki- laki itu dengan mudahnya mengetahui apa yang dibawa gadis bermata cokelat itu.
“Gitar?”
“Hm,” gadis itu mengangguk sembari menyerahkan gitar pada laki- laki yang duduk di hadapannya. “Untuk sahabat musisiku yang terhebat di sekolah ini!” lanjutnya. Laki- laki itu dengan senang hati menerima pemberian gadis bermata cokelat yang tak lain adalah sahabatnya. Dengan antusias Iko mengatur setelan melodi pada ujung gitar seraya memetik senarnya dengan seksama, menemukan irama yang sesuai dengan telinganya. Tanpa menunggu waktu lama, laki- laki itu selesai mengatur melodi dengan sempurna.
“Terima kasih!” ujar laki- laki itu sembari tersenyum pada sahabatnya. Perempuan itu hanya tersenyum seraya mengacungkan ibu jarinya pertanda menerima ucapan terima kasih tersebut.
“Sudah sampai berapa baris liriknya?” tanya gadis itu sembari meraih buku catatan yang sedari tadi berada di pangkuan Iko. Kedua bola mata cokelatnya bergerak cepat memindai semua baris syair yang telah ditulis oleh sahabatnya itu. Sesekali lengkung alisnya mengernyit, mencoba mencerna makna dari syair lagu yang ia baca.
“Aku kesulitan menyelesaikan bagian ini,” keluh laki- laki itu pada gadis yang masih sibuk membaca syairnya. Tangan laki- laki itu berusaha merebut kembali buku catatannya, namun gadis itu menahannya. Diraihnya pena yang digenggam oleh laki- laki itu dan ia mulai mengimbuhkan beberapa bait syair untuk menyelesaikan keseluruhan lagu tersebut.
“Bagaimana kalau seperti ini?” ujar gadis itu sembari menyodorkan kembali buku catatan yang sedari tadi di tangannya. Laki- laki itu tampak serius memahami bagian akhir dari lagu yang telah diselesaikan oleh gadis itu lantas senyum cerah tersungging di kedua sudut bibirnya.
“Ini hebat!” ujar laki- laki itu sembari dengan sigap meraih gitar yang baru saja ia terima sebagai hadiah ulang tahunnya, lantas jemari panjangnya dengan lincah mulai memetikkan melodi- melodi yang mengiringi syair tesebut. Gadis itu mulai memejamkan mata manakala mendengar petikan melodi indah yang tercipta dari jemari lincah itu, meresapi setiap alunan melodi yang membelai telinganya. Dua sahabat itu kemudian melantunkan syair yang baru saja mereka selesaikan secara bersamaan.
Bahkan bila pada akhirnya takdir tak berpihak kepadaku,
ingatlah aku sebagai kenangan terindahmu.
Dan apabila suatu saat takdir membawa kita bertemu,
kau harus tahu, ku masih mencintaimu.
Gadis itu memberikan tepuk tangan kecil atas lantunan melodi yang baru saja mereka nyanyikan bersama. Laki- laki itu tersenyum manis hingga terlihat barisan gigi putihnya yang rapi dan indah.
“Tulis sesuatu di sini,” ujar laki- laki itu pada sahabatnya sembari menyerahkan sebuah spidol berwarna hitam. Laki- laki itu lantas menunjuk pada bagian bawah gitar, meminta agar sahabatnya menuliskan sesuatu untuknya. Gadis itu tampak berpikir keras menemukan kata-kata apa yang akan ia tuliskan untuk sahabatnya.
Bersinarlah, musisi hebatku!! Begitu kata- kata yang ditulis oleh sang gadis sembari membubuhkan gambar senyum kecil pada akhir kalimatnya.
“Kelak jika kita bertemu lagi, aku harap kamu sudah menjadi seperti apa yang tertulis pada gitar ini. Berjanjilah padaku,” pinta perempuan itu sembari mengacungkan jari kelingkingnya meminta janji pada laki- laki itu. Iko mengangguk penuh keyakinan sembari mengaitkan kelingkingnya menyambut janji sahabatnya.
...***...
Riuh suara tepukan para penggemar yang menggema sampai ke ruang rias membuyarkan lamunan Ega yang baru saja terlempar pada kenangan masa lalu. Tepuk tangan itu adalah penanda bahwa dua idola yang tengah membawakan lagu sudah hampir pada bagian akhir liriknya. Suara lembut Aluna dan petikan gitar Iko menyanyikan bagian terakhir dari syair itu seketika membuat darah Ega berdesir. Bibir tipisnya turut bergumam kecil mengikuti bagian syair yang begitu ia ingat semua liriknya, karena dia sendirilah yang menulis bagian akhir tersebut.
Bahkan bila pada akhirnya takdir tak berpihak kepadaku,
Ingatlah aku sebagai kenangan terindahmu.
Dan apabila suatu saat takdir membawa kita bertemu,
Kau harus tahu, ku masih mencintaimu.
Tanpa sengaja perempuan itu menitikkan air mata yang segera ia usap dengan punggung tangannya. Semuanya sudah berlalu, persahabatan itu telah berakhir karena semuanya sudah tak sama lagi. Ega sudah memiliki suami, dan Iko sudah memiliki Aluna sebagai pasangan hidupnya. Menjaga jarak dengan laki- laki itu untuk menghargai pasangan masing- masing adalah cara terbaik yang Ega pilih agar tak saling melukai. Dengan bergegas perempuan itu pergi meninggalkan ruang rias untuk menghindari pertemuannya kembali dengan sang idola. Langkahnya lebar ke luar ruangan, namun perempuan itu justru kembali bertemu dengan Iko dan Ega di sana, tengah berfoto bersama beberapa penggemar yang mencuri masuk melalui pintu belakang.
“Kak Ega, sini!” teriak Aluna memanggil perempuan itu. Merasa tak ada pilihan lain, Ega segera berjalan menghampirinya.
“Kak bisa minta tolong fotokan kami?” pinta Aluna karena penggemarnya ingin berfoto bersama setelah bergantian berfoto dengan pasangan duo itu.
“Tentu saja. Berikan ponselnya padaku,” tawar Ega pada Aluna sembari meraih salah satu ponsel penggemarnya. Semuanya bersiap untuk berfoto, tak terkecuali pasangan duo yang berada di tengah. Terlihat jelas dari kamera ponsel itu, Iko menatap Ega dengan tatapan yang tajam lantas kemudian laki- laki itu melingkarkan lengannya ke pinggang Aluna. Seolah ia tengah berusaha membakar api cemburu dalam dada Ega, namun perempuan itu sebisa mungkin terlihat biasa saja.
“Sudah,” tutur perempuan itu sembari menyerahkan ponsel kembali pada salah satu penggemar sang idola. Mereka lantas mengucapkan terima kasih dan berpamitan untuk pergi, hingga hanya tertinggal mereka bertiga.
“Aku pulang dulu, pamit Ega.
“Tunggu! Fotokan kami berdua dulu, bisa ‘kan?” pinta Iko secara tiba- tiba seolah sengaja kembali membakar api cemburu itu. Laki- laki itu menyerahkan ponselnya lantas berpose mesra dengan gadis yang berdiri di sampingnya. Setelah beberapa kali mengambil gambar, Ega lantas mengembalikan ponsel itu.
“Wah, apa ini Kak? Cincin kakak baru? Pasti dari suami kakak, 'kan?” Gadis itu mencerca Ega dengan beberapa pertanyaan hingga membuat Ega sedikit gelagapan.
“Uhm, ini …,” Ega terbata menjawab pertanyaan itu karena Iko menatapnya dengan tatapan yang tidak suka. Laki-laki itu lantas bergegas pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kak Iko!" panggil Aluna, namun Iko tak menggubrisnya.
"Ada apa dengannya?" tanya Aluna penuh keingintahuan.
...****************...
Perempuan itu bergegas pulang, namun lagi- lagi Aluna menahannya.
“Tunggu dulu, Kak Ega! Boleh aku minta tolong?” tanya Aluna pada perempuan itu.
“Ya?” jawab Ega singkat.
“Bisakah kakak membenahi tatanan rambutku lagi? Aku mau mengisi acara ulang tahun temanku,” pinta gadis cantik berkulit putih itu pada Ega. Penata rambut itu melongok ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, dan waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“Selarut ini?” tanya Ega sedikit tak tega karena gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu masih harus bernyanyi setelah selesai acara.
“Ini ulang tahun temanku kak, aku nggak enak kalau sampai nggak datang,” pungkas gadis itu. Mereka berdua lantas kembali memasuki ruang rias, dan Ega harus kembali mengeluarkan beberapa peralatan yang sudah ia simpan untuk menata rambut gadis cantik itu.
“Aku ingin tatanan rambut seperti punya kak Ega yang ini,” ujar gadis itu sembari menunjukkan foto Ega bersama sang suami yang ia unggah di media sosial. Foto itu adalah foto saat pertunangan mereka. Gadis itu benar- benar mengidolakan sosok Ega, kakak kelas yang selalu melindunginya sewaktu ia diganggu oleh teman- temannya.
“Kamu aneh,” ujar Ega sembari terkekeh kecil.
“Aneh? Kenapa?” tanya Aluna tak mengerti. Ega mulai membelai rambut indah gadis itu, dan menatanya seperti yang diinginkan oleh Aluna.
“Kamu yang jadi idola, tapi malah mengidolakan aku,” lanjut Ega sembari menarik perlahan geraian rambut Aluna dengan hair curler yang telah memanas. Gadis cantik itu tersenyum tipis seraya melirik Ega dari cermin yang ada di hadapannya.
“Kak Iko …” ujarnya terputus, “Aku merasa Kak Iko melihat kakak dengan cara berbeda,” lanjut gadis itu yang seketika membuat Ega menghentikan tangannya. Aluna tertunduk kemudian Ega perlahan mengangkat dagu gadis cantik itu hingga ia melihat bayangan dirinya di dalam cermin.
“Jadi karena itu kamu selalu ingin berpenampilan sepertiku?” tanya Ega pada gadis itu. Aluna terdiam sembari kembali menatap Ega dari cermin.
“Lihat dirimu di sana, Al. Kamu cantik. Kamu bersinar. Kamulah sang idola. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri,” tutur Ega pada gadis itu.
“Tapi …,” sanggah gadis itu berusaha membantah, yang seketika membuat Ega memutar kursi Aluna perlahan menghadapnya.
“Dengar aku. Iko, dia sangat mencintaimu. Aku yakin itu. Mungkin kamu menganggap dia melihatku secara berbeda, karena aku sempat bekerja padanya sehingga hubungan kami cukup dekat. Tapi percayalah, semua itu hanya hubungan kerja semata, tidak lebih. Mungkin dia belum terbiasa karena sekarang aku sudah tidak menanganinya lagi. Jangan berpikir berlebihan,okey?” pinta Ega berusaha menenangkan gadis yang mulai kehilangan kepercayaan diri itu. Gadis itu hanya terdiam, tak bergeming.
“Aku tak masalah jika kamu ingin meniru apapun sepertiku, asalkan itu membuatmu nyaman. Karena aku tahu pada akhirnya kamulah sang bintang. Kamu yang bersinar di antara ribuan cahaya. Kamu harus selalu percaya diri, mengerti?” Ega kembali berusaha memupuk kepercayaan diri gadis itu. Aluna hanya mengangguk kecil sembari tersenyum tipis dan memeluk Ega.
“Sekarang pergilah, sebelum terlalu larut. Iko mengantarmu, kan?” tanya Ega pada gadis itu.
“Kak Iko? Ah tidak, malam ini temanku akan menjemputku,” tutup Aluna sembari mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada Ega.
...***...
Perempuan itu membenamkan tubuhnya di balik selimut tebal. Pekerjaan hari ini membuat seluruh tubuhnya terasa berat. Ditengoknya penanda waktu yang ada di ponselnya, dan angka menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ega mulai khawatir karena sang suami tak kunjung pulang. Segera perempuan itu mencari nomor sang suami dan menghubunginya.
“Hun, masih lembur?” tanya perempuan itu pada sang suami setelah panggilannya terjawab.
“Iya, Sayang. Aku pulang terlambat. Mungkin satu jam lagi karena semua laporan harus dikirim sebelum jam dua belas . Kamu istirahat saja dulu, okey?” pinta suara di seberang.
“Hm,” jawab Ega singkat sebelum mengakhiri panggilan itu. Perempuan itu kembali meletakkan ponsel dan memiringkan tubuhnya ke kanan. Tatapan matanya terfokus pada lampu tidur yang bersinar meremang. Pikirannya kembali dikuasai oleh bayang- bayang kenangannya bersama Iko, sahabat putih abu- abu nya. Pertemuannya dengan Iko hari ini cukup menggagalkan usahanya untuk menjauh dari laki- laki itu.
“Maafkan aku, Ko,” lirih Ega sembari berusaha memejamkan matanya yang mulai berat.
Tak berapa lama ia tertidur lelap, suara langkah kaki perlahan memasuki kamar luas dengan cahaya lampu temaram itu. Seorang laki- laki dengan setelan kemeja putih dan celana khaki berjalan mendekati Ega yang tengah tertidur. Jas yang mengalung di lengan kanannya ia letakkan begitu saja di atas sofa yang terletak di salah satu sisi kamar itu. Laki- laki itu membelai lembut kening perempuan yang tengah terbaring pulas di atas ranjang, lantas perlahan mengecup keningnya. Kecupan yang justru membuat Ega kembali terbangun.
“Kamu sudah pulang?” tanya Ega dengan suara yang sudah mulai serak. Laki- laki itu mengangguk sembari tersenyum simpul menatap wajah mengantuk yang ada di hadapannya.
“Tidurlah, Sayang.” Pinta laki- laki itu seraya mengecup tipis bibir istrinya.
“Mau kubuatkan sesuatu?” tawar Ega pada suaminya. Laki- laki itu menggeleng.
“Tidak usah, lanjutkan tidurmu. Aku akan mandi dan beristirahat,” jawab laki- laki itu lembut sembari beranjak ke kama mandi. Ega yang setengah tersadar akhirnya memilih untuk kembali terlelap karena kantuk yang tak tertahan. Namun baru beberapa saat ia kembali terlelap, dering ponsel pintarnya membuat perempuan itu kembali terjaga. Dengan malas ia raih ponsel itu untuk memastikan siapa yang tengah menghubunginya malam- malam begini. Beberapa saat ia mengerjapkan mata karena rasa pedih terkena terpaan sinar layar, namun seketika matanya terbelalak begitu mengetahui siapa yang menghubunginya.
“Iko?” bisiknya terkejut. “Berani sekali dia menghubungiku malam- malam begini?” batin Ega sembari celingukan memastikan suaminya tak mendengarkan dering ponsel tersebut.
“Siapa yang telepon malam- malam begini, Yang?” tanya Evan yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Ah, ini … ehm,” Ega seketika terbata berusaha menjawab. Evan menatap lembut menunggu jawaban dari sang istri yang terlihat panik.
“Sarah, make up artist. Pasti ada barangnya yang tertinggal karena aku yang terakhir membereskannya,” Ega membohongi sang suami untuk menghindari perselisihan yang tak ia inginkan. Laki- laki itu tersenyum hangat, “Kenapa nggak diangkat?” pertanyaan yang muncul justru membuat Ega terlihat semakin kebingungan, sementara ponselnya masih terus saja berdering. Tanpa diduga Evan meraih ponsel itu dan seketika raut wajahnya berubah begitu mengetahui siapa yang tengah menghubungi istrinya. Laki- laki itu menatap Ega dengan tatapan yang sedikit kecewa. Diangkatnya panggilan itu, namun terputus sebelum ia sempat menyapa.
“Hun, aku bisa jelasin,” ujar perempuan itu sembari beranjak dari rebahnya dan berjalan menghampiri sang suami yang masih memegang ponselnya. Sorot mata laki- laki itu mengisyaratkan kekecewaan yang seketika membuat Ega diliputi rasa bersalah.
“Aku, aku tidak tahu kenapa dia menghubungiku malam- malam begini. Aku-
“Kenapa kamu harus berbohong, Yang?” tanya Evan dengan nada tegas. Seketika Ega meraih lengan laki- laki yang masih mematung di hadapannya itu.
“Hun aku minta maaf. Aku salah karena terpakasa berbohong. Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita tengah malam begini,” tutur Ega penuh penyesalan. Belum selesai pasangan suami- istri itu berselisih paham, ponsel Ega yang masih ada dalam genggaman Evan kembali berdering, dari penelepon yang sama. Ega menghela napas, berusaha membebaskan sesaknya. Sementara sang suami menatapnya tajam, sembari menyodorkan ponsel itu padanya.
“Angkat. Aku ingin dengar apa yang kalian bicarakan,” pinta Evan mencoba menahan emosi. Ega menggelengkan kepala perlahan menolak permintaan sang suami.
“Nggak, Hun. Kamu saja yang bicara padanya agar tak menghubungiku lagi,” tolaknya halus, meyakinkan sang suami bahwa memang tidak ada apa- apa antara dirinya dan Iko. Laki- laki itu lantas mengusap ke atas tombol penerima panggilan dalam layar tersebut dan mengencangkan pengeras suaranya.
“Halo?”
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!