Tengah malam.
Seorang ibu muda tengah berusaha menenangkan bayinya yang berusia tiga bulan dari tangisan, serta rewel akibat demam sehabis imunisasi.
"Sssh ... Ssshh ..." Alin berusaha menenangkan sang bayi, dengan terus menimang-nimangnya didalam gendongan.
Namun ayunan maupun indung-indung sayang, nyatanya tidak mampu menenangkan bayi mungil tersebut. Hingga pada akhirnya tangisan sang bayi kecil itu pun membangunkan salah satu penghuni rumah didalamnya.
"Mama, dede Marlina kenapa?" tanya Yuan, anak pertama Alin berusia 6 tahun.
"Dede demam sayang, kokoh Yuan tidur lagi ya. Besok kan kokoh sekolah," ucap Alin menggiring putranya kembali ke dalam kamar agar melanjutkan tidurnya.
"Tapi kokoh tidak bisa tidur kalau dede masih nangis," balas Yuan tidak dapat tidur, sesekali mengucek kedua mata lelahnya.
"Ya kokoh tutup matanya saja ya," ucap Alin mengelus dahi Yuan, sesekali menimang bayi Marlina yang masih rewel dalam dekapannya.
"Mama, dedenya sudah minum obat belum?" tanya Yuan peduli.
"Sudah, sebentar lagi juga panas dede Marlina bakalan turun kok. Kokoh bobo ya," pinta Alin sabar.
Namun Yuan malah pergi ke dapur, lalu kembali ke dalam kamar tidur, sambil membawakan segelas air minum untuk sang ibu. "Mama ini air diminum, mama pasti capek gendong dede."
Alin bergetar mendengarnya, ia segera mengambil air dari kedua tangan mungil Yuan dan meminum air pemberiannya itu. "Terima kasih, sayang."
"Sama-sama," jawab Yuan lalu merangkak naik keatas ranjang dan berusaha tidur sendiri. "Mama jaga dede Marlina saja, kokoh bisa tidur sendiri."
"Ya sudah selamat malam, mimpi indah kokoh." Kecup Alin sesudahnya, lalu menatap ke sebelah sisi Yuan yang kosong tanpa seseorang dan tersenyum getir.
"Dia masih belum pulang," gumam Alin lalu menatap jam dinding.
Melihat Yuan telah tertidur lelap dan panas pada bayinya semakin mereda, Alin mencoba merebahkan kedua kakinya diatas meja kecil. Sesekali menatap pintu masuk dan berharap sang suami pulang ke rumah dengan segera.
Hingga rasa lelah dan kantuk membuat kedua netranya terlelap sendiri, akan tetapi ia harus terus terjaga demi menjaga pintu rumah, demi menunggu sang suami yang sedang asyik bermain judi di rumah temannya.
Alin mengambil sebotol minyak gosok berwarna hitam beserta kapas putih untuk luka, lalu membalurkan perlahan disekitar lebam pada bagian tubuhnya.
Terutama luka lebam dekat pipinya itu, akibat sebuah tamparan keras melayang tadi pagi. Sewaktu ia melarang suaminya untuk tidak pergi berjudi dan ingatannya kembali terlempar pada pagi hari tadi.
Lu jadi bini jangan cerewet, gua pergi main ke rumah si Ah Chin cuma sebentar!
Tapi koh, sudah berapa kali Alin bilang jangan berjudi. Jangan begadang saja! Punya waktu harusnya habiskan bersama anak kita, bukan dengan orang lain. Belum lagi toko sembako kita harus dijaga, Alin enggak sanggup sendirian mengurus rumah!"
Plakk!!
Alin menutup kedua matanya dan meraba wajahnya yang sedikit membiru. Sampai kapan ia akan menerima nasib seperti ini, akan tetapi itu lebih baik daripada dia hidup luntang lantung dijalan tanpa keluarga diluar sana.
Beberapa saat kemudian, penantian Alin pun akhirnya usai. Disaat Yudi dengan jalan terhuyung-huyung melangkah masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil namanya.
"Alin!" pekik Yudi seperti biasa.
"Ya koh," sahut Alin malas dan segera menghampiri.
"Tutup pintunya dan kunci! Cepat!" sentak Yudi lalu merebahkan tubuhnya diatas kasur dan terlelap tidur.
Alin menutup dan mengunci pintu rumahnya, lalu menatap sang suami yang telah tertidur dalam kondisi mabuk. Bahkan pakaiannya terlihat masih sama seperti yang pria itu kenakan pagi hari tadi.
Entah karma apa yang telah ia perbuat dikehidupan lampau, sampai mendapat suami dengan sifat tidak terpuji seperti itu.
Padahal yang ia tahu, sewaktu awal mengenalnya, Yudi adalah sesosok pria yang baik lagi penyayang dan dapat diandalkan dengan menunjukkan sikap rajin bekerja dan pandai mencari uang.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Alin melihat wajah asli suaminya itu. Sifat baik sewaktu belum menikah hanyalah topeng belaka.
Alin menghembus nafas panjang ke udara, lalu berjongkok untuk melepas sendal pada kedua kaki suaminya yang masih menempel dan menaruh di rak sendal seperti biasa. Lalu ia pun baru bisa tertidur setelah mengurus suami pemabukannya.
...***...
Keesokan paginya.
Alin terbangun dari tidurnya di jam sebelum waktu subuh, dimana semua orang masih asyik tenggelam dalam mimpi-mimpi mereka. Selain sibuk menyiapkan bekal sekolah untuk putra pertamanya, ia juga harus mengerjakan kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga.
Terlebih ia punya seorang bayi, yang harus diurus secara ekstra. Jadi mau tidak mau, Alin harus terus berusaha sebisa mungkin membagi waktu, walau terkadang masih saja keteteran.
"Koh bangun," bisik Alin membangunkan anak pertamanya.
Yuan mengeliat kecil dan perlahan membuka kelopak mata mungilnya yang masih sulit untuk dibuka. "Sudah pagi ya Ma?" tanyanya polos.
"Iya, kokoh kan harus sekolah. Ayo bangun, minum susu dulu." Alin menuntun putranya yang berjalan sempoyongan ke depan kamar.
Beruntung Yuan anak penurut, diusianya yang masih duduk dibangku taman kanak-kanak, namun Yuan sudah bisa mengurus diri sendiri walau masih terbatas dan harus diawasi.
Hingga tibalah waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit pagi, Alin mengeluarkan sepeda motornya dan mendudukkan Yuan pada kursi rotan.
Sementara sang bayi masih tertidur lelap dalam gendongannya.
Rutinitas sehari-sehari yang sudah menjadi sarapan pagi bagi Alin, yaitu mengantar putranya pergi menuntut ilmu, dengan harapan agar kelak putranya itu dapat menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dan selalu membahagiakan istri maupun keluarganya.
Sedangkan harapan Alin kepada putrinya salah satunya adalah tidak mengalami nasib pahit seperti dirinya.
Yaitu punya suami tidak berguna.
Setelah menempuh waktu selama 10 menit, Alin telah tiba di sekolah Yuan. Ia segera menyerahkan putranya itu kepada guru dan pergi tanpa menungguinya.
"Koh Yuan pintar, Mama pulang dulu ya. Nanti kokoh pulang sekolah Mama jemput," ucap Alin seperti biasanya, lalu menyerahkan kotak bekal dengan lauk seadanya kepada Yuan.
Yuan pun meraih kotak bekal tersebut sambil mengangguk patuh, seakan mengerti kesibukan sang ibu, ia tidak banyak menuntut apapun pada ibunya.
Dengan lambaian kecil Yuan menoleh sekali dan pergi masuk ke dalam kelas bersama dengan gurunya.
Alin menghela nafas lega melihat putranya telah masuk kedalam kelas tanpa menangis, setelah itu ia harus segera kembali pulang ke rumah agar bisa mengurus pekerjaan lainnya.
Akan tetapi apa yang ia lihat pagi ini, suaminya Yudi malah ingin pergi bermain dengan temannya.
"Koh mau kemana?" tanya Alin menaruh bayi Marlina diatas kasur.
"Lu enggak lihat si Ah Chin udah ada di depan?" jawab Yudi ketus.
"Tapi Koh, kita belum buka toko, terus siapa nanti yang mau jagain toko kalau kokoh mau pergi? Belum lagi aku harus jemput Yuan di sekolah," tanya Alin mulai cemas.
"Kebiasaan lu jadi bini cerewet banget, gua mau pergi maen sebentar. Sebelum si Yuan pulang juga gua udah pulang kok!" jawab Yudi tidak peduli dan segera pergi bersama dengan teman seperjudiannya.
Meninggalkan sang istri dengan berbagai kesibukan didepan mata, dengan abu bekas rokok yang berserakan dimana-mana, serta gelas sisa kopi yang harus segera dibersihkan agar tidak dikerumuni semut.
Alin mendesaah pasrah, dengan cepat ia membersihkan semua itu dan segera membuka toko sembako demi mengejar waktu agar semuanya bisa terurus dengan baik.
.
.
Bersambung.
Meja judi.
Pertarungan sengit tengah terjadi di atas meja judi, empat orang pria tidak berguna saling melempar kartu andalan mereka masing-masing, sesekali terdengar kata umpatan kasar, jika salah satu diantara mereka hampir kalah dan tertawa riang mengatai sesama temannya jika berhasil menang.
"Bang-sat gua kalah lagi aja!" umpat kesal Yudi melempar kartu sisanya diatas meja. "Lu kalau ngocok kartu yang bener dong! Gua kalah terus nih!" maki Yudi kemudian.
"Ah ba-cot! Elu-nya aja yang enggak bisa maen, orang yang ngocok kartu malah lu omelin! Cepet bayar!" semprot si bandar menagih uang kekalahan Yudi.
Yudi pun berdecak kesal dan melempar uang sisa dalam kantong celananya yang tidak seberapa. "Nih! Kurangnya besok, gua ngutang dulu!" ucapnya begitu mudah.
"Enak bener lu ngutang melulu! Emang lu pikir gua renternir! Bayar!" ucap si bandar tidak mau tahu dan melotot.
"Ya besok! Gua kagak bawa duit! Kalau enggak gua pulang dulu deh, mau ambil duitnya!" balas Yudi memberi tawaran.
"Ya sudah, ambil sono duit elu, gua tungguin. Awas lu kagak balik lagi, gua ambil bini lu!" sentak si bandar judi bernama Herman.
"Ya bawel luh!" balas Yudi lalu pergi.
Sementara itu Alin bersusah payah membuka tokonya, satu persatu papan kayu lumayan berat ia lepaskan dari balok penyangga seorang diri tanpa bantuan lelaki.
Akan tetapi itu bukan saatnya untuk mengeluh, karena ia harus bergegas, mengingat para pembeli telah mengantri untuk membeli berbagai keperluan sembako di tokonya.
"Aduh Cik, emangnya kemana si engkoh? Masa tiap hari buka warung si engkoh nggak pernah bantu sih?" ucap Melan pelanggan setianya.
"Biasa lagi maen Cik," balas Alin.
Melan menghela nafas panjang, melihat kesulitan Alin setiap hari dalam mengurus rumah tangga membuat ia merasa iba.
"Besok-besok titipin saja Marlina ke rumah kalau lagi repot ya, encik bisa ambil Marlina setelah pekerjaan encik selesai," ucap Melan menawarkan diri.
"Ya Cik, terima kasih atas bantuannya. Mau beli apa Cik?" tanya Alin kemudian.
"Beli gula sekilo, beras lima liter sama minyaknya dua liter," balas Melan sambil menunjukkan daftar belanjaannya.
"Ya tunggu ya Cik," balas Alin. Lalu dengan cekatan ia menakar dan menimbang bahan-bahan tersebut. Lalu memberian semuanya kepada Melan tanpa kekurangan satu barang pun.
"Terima kasih ya Alin," balas Melan memberikan uangnya.
"Saya yang harusnya bilang terima kasih Cik," ucap Alin menghitung uang belanjaan tersebut dan memasukkannya ke dalam laci uang.
Melan tersenyum, lalu pergi dari warung sembako itu dengan menenteng belanjaan yang baru saja ia beli.
Sedangkan Alin kembali ke dalam untuk melihat keadaan bayinya yang masih tertidur lelap, sesekali menatap jam dinding.
"Mana sih si kokoh, sudah mau jam sepuluh. Katanya mau kembali sebelum jam pulang sekolahnya Yuan," gumam Alin mewanti-wanti.
Dan benar saja, Yudi terlihat kembali ke rumah dan Alin segera menyambut suaminya.
"Syukurlah Koh, Kokoh sudah pulang. Tolong jagain Marlina sama jagain toko sebentar ya, aku mau jemput Yuan dulu," ucap Alin bergegas.
"Eh enak aja lu mau pergi, gua masih ada urusan!" balas Yudi dengan tatapan tidak mengenakkannya. Lalu bergegas masuk ke dalam toko dan menguras habis seluruh uang dalam laci.
"Loh Koh! Kenapa uangnya diambil? Itu uang penglaris, sudah begitu uang itu juga buat bayar setoran kita pada pak Marsan nanti!" ucap Alin menahan tangan Yudi sebelum memasukkan uang tersebut ke dalam saku.
Namun larangan Alin membuat Yudi naik pitam, tangannya yang enteng langsung saja melayangkan satu tamparan keras ke wajah Alin, hingga sedikit membiru.
"Bini bang-sat! Duit segini lu pakai perhitungan sama gua! Nanti juga dapat lagi!" maki kesal Yudi dan buru-buru memasukan uang senilai seratus ribu rupiah kedalam saku. "Lumayan sisanya bisa buat beli minum," ucapnya tersenyum senang. Lalu pergi menuju tempat dimana bandar judi telah menunggunya.
Sedangkan Alin berusaha bangun dari duduknya, sambil memegangi pipinya yang sedikit membengkak, sesekali meringis kesakitan.
Wanita itu perlahan mendekati bayinya dan terduduk diatas kursi, sambil memandangi meja abu leluhur kedua orang tuanya yang selalu ia sembahyangi setiap masanya.
Alin menangis dan menyesal karena sewaktu itu ia tidak mendengarkan nasihat kedua orang tuanya, yang melarang ia agar tidak menikah dengan Yudi dan menolak untuk dijodohkan dengan pria pilihan ayahnya.
Yang kabarnya sekarang ini pria pilihan ayahnya itu telah menjadi seorang pengusaha garam sukses, serta memiliki harta berlimpah dimana-mana.
Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, mau menyesal pun dirasa percuma. Itu karena dirinya yang terlalu bodoh dan begitu percaya dengan ucapan-ucapan manis Yudi sewaktu berpacaran dulu.
Kini Alin hanya bisa menguatkan hati dan menyeka setiap air mata yang keluar dari kedua sudut matanya, menyimpan semua rasa sakit seorang diri tanpa sanak keluarga menemani.
Sejenak Alin berpikir, masalah yang selalu ia hadapi itu seperti benang tanpa ujung, tidak memiliki awal baik maupun akhir yang baik.
...***...
Sore harinya.
Seperti biasa disetiap malam bulan purnama, atau orang Tionghoa menyebutnya dengan malam Cap Go, yaitu malam tanggal 15 dalam penanggalan imlek setiap bulannya.
Alin menyembahyangi arwah leluhurnya yang telah tiada, dengan beberapa persembahan seperti buah dan juga kue. Sebagai bentuk bakti mereka kepada para leluhur, serta tidak lupa menancapkan dupa diatas abu pada altar itu, berharap arwah leluhurnya mereka, dapat terlahir dialam bahagia.
Lalu tak lama setelah itu, Yudi pun tiba di rumah, dengan raut wajah kesal karena kalah berjudi. Serta aroma alkohol begitu lekat hingga menusuk indera penciuman Alin.
"Alin ambilin gua minum!" titah Yudi sambil menjatuhkan raganya diatas sofa dan menghela nafas tiada henti.
Alin menurut dan mengambilkan Yudi segelas air minum. "Ini Koh," ucapnya mengulurkan tangan.
Tak mau banyak bertanya, Alin pergi menuju toko dan menutupnya karena hari hampir gelap. Lalu menuju dapur dan menyiapkan makan malam untuk keluarganya.
"Yuan, sudah selesai ngerjain PR nya?" tanya Alin.
"Sudah," jawab Yuan dengan anggukan kecil.
Alin tersenyum, lalu membantu Yuan membereskan peralatan sekolah dan menaruhnya kedalam tas.
"Makan dulu yuk," ucap Alin mengajak Yuan dan menuntunnya ke ruang makan.
Nampak Yudi menatap sinis kearah mereka berdua, entah apa sebabnya. Namun pria penjudi dan pemabukan itu tidak suka jika keberadaan dirinya diabaikan.
"Yuan!" pekik Yudi melempar gelas yang ia genggam ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
Yuan berlari ketakutan menghampiri sang ayah. "Iya papa," ucapnya gemetar.
"Kamu itu anak laki-laki, tidak pantas jika terus berada dibalik ketiak Mamamu! Sini main sama Papa dan kita main seperti lelaki," ucap Yudi menakuti Yuan dengan serpihan kaca ditangan.
Alin menarik Yuan agar tidak menuruti keinginan ayahnya yang sedang mabuk itu. "Jangan takuti Yuan seperti itu, dia masih kecil."
"Siapa yang mau menakutinya? Apa gua salah bicara heh! Anak lelaki mainnya yang bahaya seperti ini nih!" ucap Yudi memperagakan aksi kasar dan juga kekerasan kepada sebuah bantal sofa disana dan merobeknya dengan sebuah pecahan kaca tajam.
Alin meneguk ludahnya kasar, sambil menutupi kedua mata Yuan agar tidak melihat tindakan ayahnya yang bertingkah anarkis. Walau terhadap sebuah benda, namun Alin takut kalau sikap seperti itu akan membuat mental Yuan terganggu.
.
.
Bersambung.
Malam harinya.
Alin bersyukur hari ini Yudi tidak pergi ke meja judi, karena suaminya itu telah tertidur pulas setelah mabuk tadi sore, sehingga Alin bisa tidur cepat malam ini tanpa harus begadang menunggu Yudi pulang seperti malam-malam sebelumnya.
Akan tetapi masalah tidak berakhir sampai disitu saja, karena Yudi membuka kedua matanya yang sempat terpejam cukup lama. Karena secara tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang bangkit dalam tubuhnya.
Ya, itu adalah hasratnya sebagai seorang lelaki. Dimana Yudi ingin menghabiskan malam itu bersama dengan sang istri dan ia tak akan menunda, walau apapun alasannya.
Malam ini begitu panas bagi Yudi dan ia sangat menginginkan penyatuan agar suhu badannya dapat kembali normal, dengan menyalurkan hasratnya yang sudah beberapa hari ini terpendam.
Yudi menoleh ke samping, dimana Alin sedang tertidur. Lalu perlahan-lahan ia menarik selimut yang menutupi tubuh Alin dan dengan tatapan lapar, Yudi mulai mencumbuiinya.
Alin yang baru saja tidur sontak terbangun. "Koh, Alin capek. Apa boleh mainnya besok pagi saja?" ucapnya menolak sehalus mungkin, agar tidak menyinggung perasaan suaminya.
Karena bukan tanpa sebab, hari-hari wanita itu sudah sangat melelahkan dan Alin butuh mengistirahatkan badan, agar dapat menjalani aktifitas berat di keesokkan harinya.
Namun penolakan Alin rupanya menjadi bumerang sendiri baginya dan Yudi tentu tidak menyukai penolakan tersebut, apalagi hasrat pria itu saat ini tengah berada di puncak ubun-ubun.
Yudi yang tidak terima penolakan tersebut segera menatap bengis Alin, yang telah berani menolak keinginan bercintanya.
"Apa lu bilang? Capek? Seharian kerja di rumah lu bilang capek!" sergah Yudi marah.
"Iya Alin capek! Sudah capek ngurus anak, ngurus warung kita, terus ngurus kelakuan suami yang suka judi dan mabuk-mabukkan!" sahut Alin berani.
"Oh jadi sekarang lu udah berani ngelawan gua, yah!" geram Yudi.
"Sudah ah Alin bosan berantem terus sama Kokoh, lagian malu sama tetangga kita tiap hari berantem melulu!" balas Alin lalu kembali memejamkan mata dan membelakangi suaminya yang emosinya sudah naik dipuncak ubun-ubun.
Yudi tentulah naik pitam mendengar hal tersebut, apalagi melihat Alin berani membelakangi dirinya. Lalu tanpa membalas perkataan Alin yang menurutnya sudah kelewatan itu.
Yudi tidak segan-segan merobek baju tidur yang dikenakan Alin hingga terburai berantakan dan melemparnya ke sembarang arah, sesekali melayangkan tamparan keras di wajah Alin dan memaki Alin dengan alasan sebagai hukuman karena telah berani menolak keinginannya.
Lalu tanpa berpikir panjang ia menampar pipi Alin. "Dasar bini tidak berbakti! Berani-beraninya lu nolak keinginan laki lu hah! Nih rasain!"
"Sakit Koh ... " lirih Alin akan tetapi ia tidak berani berteriak, karena takut membangunkan kedua anaknya yang sedang tertidur lelap, terutama Yuan.
Ia tidak ingin sampai putranya itu melihat kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah kepada ibunya, karena takut berimbas akan psikis dan juga emosional si anak dimasa mendatang.
Hingga pada malam itu, Yudi akhirnya berhasil menguasai raga Alin dan menyalurkan hasratnya. Sedangkan Alin hanya bisa mendesaah pasrah, terlebih Yudi tidak hanya memberikannya kekerasan secara fisik, tetapi juga melakukan kekerasan secara sekksual.
Kekerasan yang berulang kali kerap Yudi lakukan, apabila ia berani menolak permintaan apalagi melawan.
...***...
Keesokan harinya.
Alin duduk didepan cermin, sambil mengolesi luka lebam sedikit berwarna kebiruan dengan salep untuk luka.
Dan bukan hanya luka diwajah saja yang ia rasakan, akan tetapi pada sekujur tubuhnya juga banyak sekali luka membiru, akibat pemukulan yang ia dapatkan dari Yudi tadi malam. Hingga Alin kesulitan bangun saat pagi tadi, mengingat rasa sakit yang ia alami.
Alin mendesis setelahnya, lalu berusaha menutupi luka diwajahnya itu dengan bedak cair yang ia punya, agar lebam diwajahnya itu sedikit tersamarkan dan tidak menjadi pusat perhatian orang lain termasuk tetangganya sendiri. Dan tidak ada lagi orang yang bertanya-tanya mengenai urusan rumah tangganya dengan Yudi.
Walau semua orang tahu kekerasan yang dilakukan Yudi pada Alin kerap dilakukan, namun mereka hanya bisa diam membisu dan tidak mampu membantu banyak menolong Alin.
Karena Yudi sendiri akan berbuat semakin agresif pada Alin, apabila ada orang lain yang ikut campur menasehatinya atau membela Alin saat ia memberi pelajaran kepada istrinya itu.
Mereka seakan tutup mata dan menganggap kekerasan didalam rumah tangga Alin adalah tindakan yang sudah menjadi makanan sehari-hari, bagai suatu kebiasaan yang telah mendarah daging dan tidak dapat dihentikan oleh tindakan biasa.
Pernah satu hari, ketua Rukun Tetangga setempat mengadukan kasus kekerasan yang dialami oleh Alin. Namun tidak butuh waktu lama, ketua RT itu didatangi oleh banyak orang yang tidak lain adalah teman-temannya Yudi, lalu mengancam keselamatan nyawanya, dan meminta agar tidak banyak ikut campur masalah keluarganya lagi.
Hingga mau tidak mau, ia harus membatalkan keinginannya untuk membantu Alin dalam memanggil pihak berwajib demi keselamatan banyak orang, termasuk dirinya sendiri.
"Mama, ayo kita pergi sekolah." Yuan berbicara berbisik agar tidak membangunkan Yudi ayahnya.
Alin mengangguk dan menuntun Yuan ke depan. "Tunggu didepan Mama keluarin motornya dulu."
"Ya Mah," patuh Yuan lalu menunggu sang ibu mengeluarkan motor jadul pemberian dari almarhum kakeknya.
"Ayo kita berangkat," ucap Alin setelah motor siap dan telah dipanasi.
"Dede Marlinanya tidak ikut?" tanya Yuan.
"Dede masih tidur, lagian ada Papa di rumah." Alin berpikir ada Yudi yang menjaga putrinya yang masih terlelap.
Namun pikiran hanyalah pikiran, karena fakta sesungguhnya tidak berjalan sesuai dengan keinginan Alin.
Yudi terbangun, saat bayi Marlina menangis karena popoknya yang basah. Namun Yudi mengabaikan tangisan itu dan menutupi telinganya dengan bantal, lalu melanjutkan kembali tidurnya, karena rasa kantuk masih mendera di kedua matanya.
Hampir setengah jam bayi Marlina menangis, tapi Yudi masih enggan menengok bayinya. Ia hanya mengumpat kesal, sesekali membentak putri kecilnya itu.
"Berisik! Mana sih si Alin?"
"Alin!" panggilnya.
"Diam!"
Namun bukannya diam, bayi Marlina justru menangis semakin kencang karena terkejut dengan bentakan ayahnya sendiri. Dan lagi-lagi itu membuat Yudi naik pitam.
"Dasar anak si-allan! Gua matiin juga luh!" makinya.
Tak berselang lama kemudian akhirnya Alin pulang juga sehabis mengantar Yuan ke sekolah, ia bergegas menghampiri putrinya yang menangis dan segera menggendongnya agar diam. Lalu menukar popok Marlina yang basah agar kembali nyaman.
"Kemana aja lu? Anak nangis daritadi bukannya cepet disamperin, gara-gara dia gua jadi kebangun!" semprot Yudi mengusak-ngusak rambutnya hingga berantakan.
"Habis anter Yuan ke sekolah," balas Alin biasa.
"Lama amat lu nganterin anak sekolah? Oh gua tau, lu pasti ngobrol di sekolahan sama ibu-ibu disana, ya kan? Ngaku aja luh!" tuduh Yudi.
Alin menghembus nafas kasar. "Kenapa sih pikiran Kokoh selalu seperti itu? Sekolah Yuan cukup jauh, belum lagi kena macet diperjalanan. Sudah begitu motor kita sudah tua dan harus di servis. Minimal diganti oli biar enggak mogok!" jawabnya kesal.
Sekaligus menyindir suaminya yang tidak pernah mengurus motor peninggalan almarhum ayahnya.
"Motor motor Lu, jadi elu lah yang ngurus! Lagian udah gua bilangin tuh motor udah enggak layak dipake, udah tua cuma bisa makan duit doang. Mendingan tuh motor dijual ajah, lumayan kan duitnya bisa buat beli motor baru!" balas Yudi.
"Itu motor satu-satunya peninggalan Papa Alin, mana bisa dijual begitu saja. Harusnya kokoh bantu Alin, setidaknya bawa ke bengkel buat di servis ringan," ucap Alin.
Yudi berdecak kesal, "Aargggh!! Lu jadi bini bisa enggak sih, satu hari aja jangan ngoceh. Kepala gua pusing dengerin ba-cot lu!"
"Alin ngoceh juga gara-gara kokoh kurang peduli sama keluarga," sahut Alin.
Yudi mendesaah kesal dan membuka lemari pakaian untuk mengambil baju ganti.
"Mau kemana Koh?" tanya Alin.
"Pergi main!" balas Yudi. "Daripada gua pusing di rumah, mending nongkrong sama si Ah Chin!" sentaknya kemudian.
"Pergi? Terus siapa yang mau jaga toko?" tanya Alin mencegah.
"Ya elu lah! Biasanya juga bisa lu sendiri," balas Yudi lalu pergi dari rumah.
Alin mengurut dadanya yang kurus, karena capek hati melihat kelakukan suaminya. Jika bukan karena membalas budi keluarga Yudi saat menyelamatkan dirinya sewaktu kerusuhan mei tahun 1998 lalu, hingga mertuanya itu merenggang nyawa.
Alin sudah pasti tidak akan peduli dengan warung sembako peninggalan mertua lelakinya itu.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!