NovelToon NovelToon

SENSUM (RASA)

1. Pengubahan Tempat Duduk

..."Jangan menyimpulkan karakter seseorang hanya dengan sekali lihat. Karena bisa saja itu akan berujung fitnah,"...

Suasana kelas XI Ips 03 di SMA Harapan Jaya sangatlah ramai. Semua siswa-siswi protes karena tidak mau tempat duduk mereka dirubah. Bukan apa-apa, mereka hanya tidak ingin mendapatkan tempat duduk yang ada di depan terutama bagi laki-laki dan cewek-cewek yang suka gossip saat pembelajaran dimulai.

Program ini dilakukan wali kelas agar semua siswa-siswi tidak bosan duduk di sana-sana saja. Alasan utamanya Sang wali kelas hanya ingin memisahkan orang-orang malas dengan orang-orang malas lagi. Karena kalau terus dibiarkan mereka tidak akan maju-maju.

Wajah sebagian siswa laki-laki terlihat kusut karena mereka mendapatkan tempat duduk yang berada di depan dan juga langsung berhadapan dengan meja guru.

"Vallesia sama Megan duduk di sana ya," perintah Bu Wiwin, wali kelas XI Ips 03 sambil nunjuk ke arah bangku yang berada di barisan ke 2 deretan ke empat.

Vallesia dan Megan saling lirik. Bukan apa-apa, mereka ditempatkan di depan bangku seorang cowok yang terkenal sangat dingin dan bahkan mereka belum pernah mengobrol dengan laki-laki itu.

"Tapi Bu, di sana kan cowok doang," ujar Vallesia berusaha menolak.

"Justru Ibu sengaja biar kalian bisa ngontrol mereka semua," jawab Bu Wiwin.

"Tapi Bu ..." kata Vallesia terus protes namun gagal karena Bu Wiwin sudah berjalan keluar kelas.

Dengan bibir yang mengerucut, Vallesia berjalan ke arah bangku yang sudah ditetapkan Bu Wiwin dan diikuti Megan yang berjalan di belakangnya.

"Apes banget hidup gue," dumel Vallesia lalu duduk di kursinya.

Tak lama, Megan menyusul duduk di samping Vallesia dengan muka yang sama kusutnya. Bukan apa-apa, kalau mereka duduk dikelilingi cowok, mereka tidak akan bebas ngapa-ngapain pasti rasanya bakalan canggung.

"Udahlah, terimain aja," ujar Megan berusaha menenangkan Vallesia.

"Enggak bisa, Meg. Lihat tuh di belakang lo. Tuh cowok nyeremin tahu gak," kata Vallesia dengan suara yang amat pelan.

Sontak Megan pun langsung menoleh ke belakang. Matanya langsung bertubrukan dengan mata milik cowok yang dikenal sangat dingin. Seketika bulu kuduk Megan berdiri, hawa dingin menyerangnya. Apa yang dikatakan Vallesia memang benar, cowok itu menyeramkan. Walaupun mereka sekelas dari kelas X, namun mereka belum pernah saling sapa dengan cowok itu. Karena auranya yang dingin membuat semua orang takut. Jangankan cewek, cowok saja jarang ada yang bicara dengan dia.

"Lo bener, dia nyeremin," kata Megan.

"Terus gimana?" tanya Vallesia.

Megan mencoba berpikir, namun rasanya otaknya sudah sangat buntu. "Ya, gak tahu," jawab Megan.

Sepertinya Vallesia memang harus menerima kalau dia di tempatkan di sini. Entah apa jadinya Vallesia sekarang karena sepertinya mulai hari ini hari-hari dia di sekolah bakal dikelilingi cowok-cowok. Beruntung, Vallesia memeliki aura garang kalau sudah berhadapan dengan laki-laki alhasil jarang sekali ada laki-laki yang menggodanya. Vallesia bersikap seperti ini karena dia sudah bosan terus-terusan dipermainkan oleh laki-laki. Maka dari itu, dia selalu bersikap ketus pada laki-laki.

Tak lama terdengar suara kursi didorong ke belakang. Karena penasaran, Vallesia pun membalikan kepalanya ke belakang dan mata dia langsung bertubrukan dengan mata laki-laki tadi. Dengan ekspresi datar dan sorot mata yang tajam, laki-laki itu berjalan melewati bangku Vallesia. Setelah laki-laki itu lenyap ditelan pintu, Vallesia langsung mengerjapkan matanya dan menelan saliva dengan susah payah.

"Tuh cowok siapa sih namanya. Lupa gue," kata Vallesia.

"Gue juga lupa siapa dia, abis dia orangnya tertutup gituh," ujar Megan.

******

Jam pelajan terakhir hari ini adalah pelajaran olahraga. Sebisa mungkin Vallesia menahan diri untuk tidak mendumel. Pasalnya Vallesia tidak menyukai hal yang berbaur olahraga. Alasannya sangat simple, dia takut tambah kurus karena katanya olahraga terlalu menguras tenaga. Vallesia tahu diri, kalau dia itu memiliki berat badan yang kecil maka dari itu dia tidak suka olahraga karena ditakutkan berat badannya akan semakin kecil.

"Harus banget ya gue ikutan olahraga, mana gue gak suka voly lagi," ucap Vallesia sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai.

Melihat ekspresi Vallesia yang sangat kusut sebisa mungkin Megan menahan diri untuk tidak tertawa karena Megan sangat tahu kalau Vallesia sangat tidak suka ditertawakan. Tapi ... melihat Vallesia memasang wajah yang menurut Megan sangat kocak alhasil Megan tidak bisa menahan tawanya lagi.

"Whahaha, Valles. Lo bisa gak, gak usah manyun kayak gituh," kata Megan sambil menunjuk-nunjuk muka Vallesia.

Muka Vallesia semakin ditekuk. Dia ini sedang kesal dan Megan, temannya sendiri malah menambah kekesalan dirinya. Ingin rasanya Vallesia mengubur Megan hidup-hidup tapi sayang, dia masih ingat dosa.

"Apa? Lo masih mau ketawa? Silahkan aja kalau lo masih sayang nilai," ujar Vallesia dengan nada mengancam.

Mendengar ancaman Vallesia barusan, Megan dengan cepat menghentikan tawanya. Karena tanpa Vallesia nilai dia tidak akan selamat. Patut kalian ketahui, bahwa Megan itu memiliki sifat pemalas dalam belajar, semua tugas ataupun jawaban ulangan baik itu ulangan harian ataupun ulangan kenaikan kelas, Megan selalu ketergantungan pada Vallesia. Dan anehnya, Vallesia dengan suka rela selalu memberikan jawaban dengan cuma-cuma.

"Ya, maaf deh. Tadi gue kelepasan. Serius," kata Megan sambil mengangkat kedua jarinya sehingga membentuk huruf V.

"Alasan," cibir Vallesia lalu mulai duduk di pinggir lapang untuk melihat anak laki-laki bermain voly.

"Valles, maafin gue ya," rajuk Megan sambil menguncang-guncangkan pundak Vallesia.

"Duduk atau pergi?" tanya Vallesia sebari menatap Megan dengan tatapan tajamnya.

Megan menunduk. Dia takut kalau melihat Vallesia dengan ekspresi seperti itu. Mereka memang sudah berteman semenjak kelas sepuluh jadi Megan sudah sangat mengenal Vallesia. Vallesia kalau sudah memberikan tatapan seperti itu, artinya dia dalam mode garang.

"Iya, gue duduk," jawab Megan lalu mulai duduk di samping Vallesia.

Anak laki-laki sudah bermain kurang lebih 15 menit. Itu artinya sebentar lagi jadwalnya anak perempuan bermain. Wajah Vallesia kembali ditekuk, dia berharap hujan akan turun dengan sangat deras agar pelajaran olahraga segera diakhiri. Vallesia tidak suka olahraga dan tidak akan pernah suka.

"Hujan please hujan!" ujar Vallesia sebari mengangkat kedua tangannya berniat untuk berdoa.

Melihat tingkah aneh dari temannya itu, Megan dengan cepat memperhatikan Vallesia. Dia ingin bertanya namun dia takut kalau Vallesia akan marah terus membentaknya.

"Gue mohon, hujan dong sekarang!" ujar Vallesia lagi.

Dengan perasaan takut yang menyelimuti dirinya, Megan dengan amat pelan menyentuh pundak Vallesia. "Valles!" panggil Megan dengan pelan.

Panggilan pertama tidak ada jawaban dan itu membuat Megan khawatir. Lalu di panggilan kedua Megan mendengar Vallesia membuka suara.

"Aduh sakit," rintih Vallesia.

Sakit? Perasaan Megan tidak melalukan apapun selain menyentuh pundak Vallesia lalu kenapa Vallesia sampai bilang sakit.

"Bego. Siapa yang lemparin bola ke pinggang gue?" kata Vallesia.

Kening Megan berkerut. Dia tidak paham apa yang dikatakan Vallesia. Karena penasaran, Megan berdiri lalu melihat di samping kanan Vallesia tergelatak sebuah bola voly. Karena Megan duduk di samping kiri Vallesia akhirnya Megan tidak melihat kalau ada bola yang mengenai pinggang Vallesia.

"Sakit ya, Val?" tanya Megan.

"Sakit lah, pake nanya lagi," balas Vallesia ketus.

Tak lama, seorang laki-laki berperawakan tinggi datang. Badannya menunduk lalu tangannya meraih bola voly yang tadi sempat menghantam pinggang Vallesia.

Tanpa mengucapkan permisi ataupun permintaan maaf, laki-laki itu dengan seenak jidat berjalan meninggalkan Vallesia dan juga Megan. Laki-laki itu adalah laki-laki yang sama dengan orang yang duduk di belakang bangku Vallesia.

"Tuh cowok sarap kali ya? Atau dia gak bisa ngomong?" ucap Vallesia seperti bertanya pada diri sendiri.

"Mungkin dia lagi sariawan," sahut Megan.

"Gak mungkin sariawan setahun lebih malah hampir dua tahun. Selama gue sekolah di sini belum pernah gue lihat dia bicara," ujar Vallesia.

Megan diam, apa yang dikatakan Vallesia memang benar. Laki-laki itu terlalu tertutup. Entah memang dia tidak ingin memiliki teman atau memang semua orang tidak ingin berteman dengannya. Ah, yang jelas laki-laki itu menyebalkan menurut Vallesia.

2. Swag Partner

..."Rasa tertarik berubah menjadi rasa suka lalu berkembang menjadi rasa cinta."...

Lima menit lagi bel masuk akan segera berbunyi. Maka dari itu, Vallesia, gadis berkacamata dan Megan, gadis berambut poni itu berlarian untuk segera masuk ke area sekolah. Setelah berhasil melewati gerbang sekolah, mereka menghela napas lega dan berdiam sejenak untuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Selang beberapa detik mereka malnjutkan jalannya untuk memasuki ruang kelas mereka.

Sampai di dalam kelas, mereka tak langsung duduk. Ada rasa kesal dan malas untuk diam di ruang kelas sejak kemarin. Karena mereka baru ingat kalau dari kemarin tempat duduk berpindah. Ekspresi ceria mereka berbah menjadi ekspresi masam, terutama ekspresi Vallesia yang bibirnya sudah maju kurang lebih 2 senti.

"Males," gerutu Vallesia.

"Sama," sahut Megan.

Bel masuk sudah berbunyi. Satu persatu siswa-siswi sudah berlarian masuk ke dalam kelas. Mereka semua sudah duduk di tempat masing-masing kecuali Vallesia dan juga Megan. Karena merasa malu, mau tak mau mereka harus duduk.

"Ya udahlah, mau gimana lagi," kata Vallesia pasrah.

Selama proses pembelajaran, Vallesia tak merasa nyaman karena suasana di sekitar dia sangat bising. Baik di depan maupun di belakang suasana sangat ramai. Anak laki-laki tak henti-hentinya bicara dan dalam pembicaraan mereka tak ada yang bermanfaat sedikitpun. Ada sebagian yang membicarakan tentang ukuran kumis Pak Boni yang saat ini sedang mengajar pelajaran Sejarah. Vallesia ingin sekali menegur mreka namun niat itu dia urungkan ketika dia menoleh ke belakang dan matanya malah langsung bertatapan dengan mata laki-laki dingin itu.

"Sialan," gumam Vallesia.

Mendengar perkataan Vallesia yang menurut Megan kasar itu, dengan cepat Megan melirik Vallesia dengan raut wajah bertanya. "Kenapa?"

Pertama, Vallesia mengatur napasnya yang saat ini sedang gusar. Lalu mulai memejamkan mata untuk menahan emosinya yang sudah menggebu-gebu. Dia tidak suka kalau konsentrasi belajarnya terganggu.

"Gue gak nyaman di sini, berisik," kata Vallesia.

Perlahan, tangan Megan mengusap tangan kanan Vallesia berniat untuk menenangkan temannya itu. Megan tahu kalau Vallesia tidak suka diganggu apalagi kalau belajarnya yang diganggu. Vallesia sangat mempentingkan nilainya beda dengan dirinya.

"Lo yang sabar ya. Nanti kita coba bicarain sama Bu Wiwin," ujar Megan.

"Percuma," balas Vallesia lalu mulai mencoba memfokuskan pikirannya pada penjelasan Pak Boni.

"Nararya, kalau kamu mau tidur mendingan gak usah sekolah,"

Mendengar seruan Pak Boni, semua tatapan anak kelas mengarah pada satu objek, Pak Boni. Tak kalah herannya, Vallesia pun mengalami hal yang sama. Nama itu sedikit asing di telinga Vallesia. Nararya? Siapa dia?

Kaki Pak Boni berjalan menghampiri deretan bangku Vallesia. Mata Vallesia memicing ketika Pak Boni berhenti di belakang bangkunya.

"Nararya!" panggil Pak Boni sambil menggebrak meja.

Vallesia dan Megan saling lirik lalu mata mereka menatap laki-laki yang kini tengah tertidur pulas dengan kepala yang tergeletak di atas meja.

"Jadi ..." kata Vallesia dan Megan bersamaan.

"BANGUN NARARYA!" teriak Pak Boni membat seisi kelas terperanjat kaget sedang Nararya hanya mengangkat kepalanya tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Pergi ke toilet untuk cuci muka lalu balik lagi ke sini!" titah Pak Boni.

Tanpa mengucapkan apa pun, Nararya bangkit dari duduknya lalu mulai melangkah keluar dari kelas. Sedang di tempatnya, Vallesia dan Megan masih setia saling pandang.

"Gue baru ingat," seru Megan.

"Apa?" tanya Vallesia.

Megan diam sejenak. Berniat untuk mengingat sesuatu. Lalu setelah menemukan apa yang dia cari, Megan kembali menatap Vallesia. "Gue baru ingat kalau dia itu Nararya. Gue kan sempat satu kelompok sama dia waktu kelas sepuluh,"

Tatapan mata Vallesia menajam. Tangannya mengepal. Dia kira Megan akan ngasih informasi penting tapi ternyata hasilnya mengecewakan.

"Anjay lo," ujar Vallesia lalu memalingkan wajahnya dari hadapan Megan.

*******

Waktu paling dinantikan seluruh siswa-siswi adalah waktu istirahat dan tempat yang mereka idam-idamkan adalah kantin. Bagi sebagian siswa-siswi kantin adalah surga dunia walau masih ada sebagian yang memilih untuk pergi ke perpustakaan, namun itu khusus untuk siswa-siswi pandai dan memiliki obsesi tinggi untuk memeiliki nilai tinggi.

Namun lain halnya dengan Vallesia, walau dia tergolong pandai namun dia masih bisa menentukan kapan waktunya belajar, kapan waktunya bermain, kapan waktunya makan dan kapan waktunya tidur.

Karena cacing dalam perutnya sudah tidak bisa diajak damai, dengan tega Vallesia menyeret Megan keluar dari kelas berniat untuk membawa dia ke kantin. Selama dalam perjalanan, semua pasang mata tertuju pada meraka namun Vallesia menghiraukannya tapi beda halnya dengan Megan yang dengan susah payah menutup mukanya karena malu.

"Valles, lo gila ya?" tanya Megan di sela-sela perjalanan mereka.

"Gue gak gila. Gue lapar," balas Vallesia dan terus menyeret Megan tanpa memperdulikan protesan Megan.

Setelah sampai di kantin, Vallesia melapaskan Megan dari seretannya lalu matanya mengamati isi kantin berniat untuk mencari penjual yang kosong namun sayang, semua penjual sedang diserbu manusia kelaparan.

"Lo gila. Lo malu-maluin tahu gak," protes Megan sambil memukul pinggang Vallesia.

"Sakit bego. Lo gak tahu apa kalau pinggang gue kemarin abis dicium bola voly," kata Vallesia sebari menahan tangan Megan yang akan terus memukul pinggangnya.

"Gue gak peduli,"

Merasa kesal, Vallesia pun membalikan badannya menjadi menghadap ke arah pintu keluar kantin. Rasa laparnya sudah hilang lagian kantinnya terlalu penuh dan Vallesia tidak suka antri.

"Ke mana woi?" tanya Megan setengah berteriak.

"Ke mana aja yang penting gak ketemu lo," balas Vallesia lalu mulai melangkah pergi meninggalkan kantin dan membiarkan Megan mematung di tengah padatnya kantin.

"Udah nyeret-nyeret gue ke sini dan sekarang malah ditinggal. Bagus," dumel Megan.

Vallesia berjalan santai menyusuri loridor sekolah. Entah dia mau ke mana, dia sendiri tidak tahu yang jelas dia ingin berjalan-jalan sendiri tanpa ada yang menganggunya. Dia mengikuti saja ke mana kakinya berjalan asal jangan ke kuburan.

Tiba-tiba pikirannya mengarah pada satu orang. Nararya. Ah kenapa juga dia tiba-tiba mengingat orang itu. Kenal saja tidak tapi kenapa orang itu tiba-tiba masuk ke otaknya.

Dengan keras, Vallesia menggeleng-gelengkan kepalanya membuat semua orang yang melihatnya memandang dia aneh. Tapi kalau mereka menilai Vallesia gila, salahkan saja Nararya. Nararya lah penyebabnya.

Tapi tunggu ... kenapa Nararya lagi. Ada apa sebenarnya dengan Vallesia ini. Jelas-jelas dia tidak mengenal Nararya. Pernah bicara saja tidak. Tapi jujur, semenjak Vallesia bertatapan dengan Nararya hatinya mendadak menghangat bayangan wajah Nararya selalu saja berkeliaran di otaknya.

"Ah gila," racau Vallesia lalu mempercepat langkahnya.

Ketika sampai di ambang pintu kelas langkahnya terhenti. Tubuh Vallesia tak sengaja menabrak seseorang. Kepalanya dia angkat dan seketika matanya langsung bertemu dengan mata milik ...

"Sorry, Nararya," ujar Vallesia pelan, sangat pelan.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Nararya melanjutkan jalannya sedang di tempatnya Vallesia hanya bisa menggeretu sebal.

"Itu anak diciptain mulut buat apaan sih?"

Tak ingin membuat hati semakin kesal dan tak ingin mempermalukan dirinya sendiri, Vallesia pun mulai melangkahkah kakinya memasuki kelas namun baru saja dia melangkahkan satu kaki jalannya terhenti karena matanya tak sengaja menemukan headphone warna biru yang tergeletak di atas lantai.

"Bawa gak ya?" tanya Vallesia pada dirinya sendiri.

Karena penasaran, Vallesia pun mengambil headphone tersebut dan di sana terdapat tulisan yang kalau dibaca menjadi "Swag Partner".

"Punya siapa?" gumam Vallesia. "Tanya teman-teman aja mungkin mereka tahu," lanjutnya.

Baru saja Vallesia akan bertanya dengan cara berteriak, namun bel tanda istirahat telah habis berbunyi alhasil Vallesia hanya bisa manyun.

3. Langkah Awal

..."Kau boleh tahu tapi kau tak berhak untuk menyimpulkan."...

Laki-laki dengan tinggi badan yang bisa dibilang standar serta berat badan yang cukup itu berjalan santai menyusuri koridor sekolah. Tak lupa juga dia memasang wajah datarnya. Meskipun begitu, dia tak luput dari perhatian orang-orang yang melihat kehadiran dia. Bukan. Bukan Karena ketampanan dia yang kelewat batas. Wajah dia bisa dibilang cukup. Namun yang membuat dia jadi pusat perhatian adalah warna rambut dia yang beda dari yang lainnya. Warna rambut dia merah transparan, memang tidak mencolok namun siapapun yang melihat dia dengan seksama pasti mereka menyadarinya.

Dia adalah Nararya. Tepatnya Nararya Aditama. Salah satu siswa SMA Harapan Jaya yang menetap di kelas XI Ips 03. Terkenal dengan laki-laki pendiam, tidak memiliki teman namun siapapun yang melihatnya akan merasa takut karena tatapan dia yang kelewat tajam.

Dengan gaya coolnya, Nararya memasukan kedua tangannya ke dalam jaket hoddienya. Suasana sekolah masih sangat sepi karena memang Nararya sengaja berangkat sepagi ini karena ada satu misi yang ingin dia tuntaskan.

Tepat di depan pintu kelas XI Ips 03, Nararya melangkahkan kakinya memasuki kelas. Seperti dugaannya kelas masih sepi. Tak banyak berpikir, Nararya pun langsung berjalan di mana bangkunya berada. Ketika dia sudah sampai di bangkunya, matanya mendapati sebuah tas yang tergeletak di atas meja. Tepatnya di meja yang berada di depan bangku dirinya.

Tak ingin membuang-buang waktunya lagi, Nararya dengan cepat menyimpan tasnya di atas mejanya lalu kakinya melangkah keluar kelas berniat untuk mencari sesuatu namun di tengah jalan dia melihat seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Bukan orang itu yang dia teliti namun benda yang orang itu pegang.

Dengan cepat, Nararya membalikan badannya lalu berjalan kembali memasuki kelas.

*****

Vallesia berjalan sebari memegangi perutnya, akhirnya setelah menempuh perjuangan yang sangat panjang dia bisa menuntaskan masalah alamnya. Hari ini Vallesia berangkat sekolah agak pagian karena hari ini dia piket. Setelah memastikan kelasnya bersih dan terbebas dari segala debu, tiba-tiba saja perutnya sakit dan terasa melilit akhirnya dengan malas, Vallesia pun pergi untuk menuntaskan masalahnya.

Pikiran Vallesia kembali mengarah pada benda yang kemarin dia temukan. Dia masih belum menemukan siapa pemilik headphone ini namun dia bertekad untuk mencari tahu hari ini. Dia tidak mau terus bermasalah dengan barang yang tidak dia ketahui dari mana asalnya. Sebenarnya ini salah dia juga, siapa suruh mengambil barang yang tergeletak. Jujur saja, selama semalam Vallesia tidak bisa tidur karena dia takut kalau di dalam headphone tersebut terdapat ilmu-ilmu aneh, pellet misalnya.

Awalnya Vallesia ingin membuang headphone tersebut namun dia masih penasaran. Lagian Vallesia tidak terlalu percaya dengan hal-hal mistis tersebut hanya saja dia merasa takut.

"Dilihat-lihat ini headphone bagus juga. Kalau gue gak tahu sopan santun udah gue kurungin di kamar, kalau beli kan lumayan duitnya," ujarnya sebari meneliti headphone tersebut.

Saking fokusnya meneliti headphone, sampai Vallesia tidak menyadari kalau dia sudah sampai di kelasnya. Sebelum memasuki kelas, terlebih dahulu dia menepuk jidatnya sendiri karena merasa kalau dirinya aneh hari ini.

Betapa terkejutnya Vallesia tatkala matanya mendapati sosok Nararya yang sedang duduk di bangkunya. Lebih tepatnya dia terkejut dengan sorot mata tajam Nararya yang mengarah pada dirinya.

Perasaan Vallesia tiba-tiba campur aduk, antara takut dan heran. Karena seingat Vallesia, dia tidak memiliki urusan apa pun dengan Nararya. Ah iya, Vallesia sampai lupa kalau kemarin dia sempat menabrak Nararya ketika memasuki kelas. Tapi bukannya dia sudah meminta maaf dan Nararya pun langsung pergi begituh saja.

Dengan sisa keberaniannya, Vallesia berjalan kaku menuju bangkunya. Kalau diberi pilihan antara menghadapi sebuah anjing atau menghadapi Nararya, Vallesia akan memilih menghadapi anjing.

Setelah sampai di bangkunya, Vallesia melirik Nararya sekilas, hanya sekilas dan tatapan mata tajam Nararya masih mengarah pada Vallesia.

Ingin sekali Vallesia bertanya 'kenapa?' tapi keberanian Vallesia belum sejauh itu. Patut diketahui, bahwa sifat asli Vallesia adalah kasar terhadap laki-laki tapi tak tahu kenapa setelah berhadapan dengan Nararya sifat itu hilang. Vallesia sendiripun bingung mengapa dia bisa seperti ini karena biasanya dia selalu menjambak rambut laki-laki, memukul serta mencubit sampai laki-laki tersebut meminta ampun.

"Permisi," kata Vallesia lalu duduk di tempatnya.

Selama beberapa detik tidak ada masalah apa pun sampai semuanya sirna ketika Nararya beranjak dari duduknya lalu tiba-tiba duduk di meja Vallesia tepatnya di hadapan Vallesia.

Tidak bisa dijelaskan raut wajah Vallesia sekarang, yang jelas sekarang dia sedang khawatir dan takut.

"Lo .. lo?" ujar Vallesia sebari gemeteran.

Di saat Vallesia memasang wajah takut lain halnya dengan Nararya yang sedang memasang wajah datar. Dia tidak berniat untuk membuat Vallesia takut dan bahkan dia tidak berniat untuk membunuhnya. Dia hanya ingin mengambil apa yang menjadi miliknya.

"Balikin barang gue!" ujar Nararya dengan nada bicara yang terdengar tegas di telinga Vallesia.

Aura yang tadi menakutkan berubah menjadi semakin takut. Vallesia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Nararya.

"Baa ... rang aaa ... ppaaa?" tanya Vallesia sebari menggigit bibir bawahnya.

Terdengar helaan napas gusar dari Nararya dan itu membuat Vallesia semakin takut. Dia ingin lari dari situasi ini namun dia takut kalau Nararya akan memutilasinya. Karena bukannya orang pendiam itu rata-rata ... pysicopath.

"Bacot," kata Nararya sebari merampas headphone yang ada di tangan Vallesia.

Setelah membuat Vallesia semakin bingung, Nararya tanpa merasa dosa langsung bergegas pergi keluar kelas. Di tempatnya, Vallesia masih diam terpaku sebari memegang dadanya yang berdetak tak karuhan karena menahan takut.

"Tuh anak nyeremin amat, gak sopan lagi," gerutu Vallesia setelah dia merasa rileks.

Tak lama, suasana kelas menjadi ramai karena hari sudah siang. Dan tiba-tiba saja Vallesia dikagetkan dengan kehadiran Megan yang langsung duduk di sampingnya.

"Anjay gue capek, tuh anjing gak tahu sopan santun apa udah tahu gue mau sekolah malah ngejar," celoteh Megan namun tak ditanggapi oleh Vallesia.

"Valles, teman lo ini lagi kena musibah malah lo kacangin lagi,"

Merasa masih tak ada tanggapan dari Vallesia, Megan pun merasa kesal lalu tanpa belas kasihan dia memukul kepala Vallesia menggunakan tasnya.

"Anjir, sakit bego," ringis Vallesia sebari memgelus-ngelus kepalanya.

Bukannya meminta maaf, yang dilakukan Megan adalah mengacuhkan Vallesia sebari memasang wajah cemberut.

"Lo apa-apaan sih?" tanya Vallesia dengan nada bicara ketus.

"Lo yang apa-apaan?" Megan balik bertanya dengan nada bicara yang tak kalah ketus.

Kening Vallesia berkerut. Dia ini lagi bingung dan Megan, temannya ini malah membuat dia semakin bingung. Tak ingin memperkeruh suasana, Vallesia pun menghela napasnya lalu mulai merangkul pundak Megan.

"Ya udah, gue minta maaf. Lo mau ngomong apa?" tanya Vallesia sambil tersenyum simpul.

Megan yang sudah terlanjur kesal langsung menepis tangan Vallesia dari pundaknya. "Enggak jadi. Terlanjur kesel gue,"

"Ya udah kalau lo gak mau ngomong. Biarin gue aja yang ngomong," ujar Vallesia. "Barusan Nararya nyamperin gue," lanjutnya.

Mata Megan seketika langsung melotot. Sedikit laget, ralat bukan sedikit tapi sangat kaget dengan apa yang dibicarakan Vallesia barusan.

"Jangan ngarang cerita deh," ucap Megan.

"Yey, siapa yang ngarang. Lo masih ingat kan soal headphone yang kemarin gue temuin?" kata Vallesia sebari membayangkan tingkah Nararya barusan yang dengan kasar mengambil headphone dari tangannya.

"Ingat. Kenapa?" jawab Megan.

"Ya itu punya dia. Dia nyamperin gue untuk ngambil headphone itu walau cara dia kasar sih. Takut gue sama dia, ogah banget punya urusan sama dia, kasar,"

Megan diam sejenak. Dia merasa penasaran dengan Nararya. Sekasar apakah dia. Ya walaupun dia sendiri takut tapi tetap saja dia penasaran.

"Gue jadi penasaran sama dia. Gue mau nyoba cari masalah ah sama dia," tutur Megan membuat Vallesia terbelalak kaget.

"Sarap lo," kata Vallesia sambil menabok jidat Megan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!