NovelToon NovelToon

Pelangi Di Awan Seseorang

PdAS1. Selebaran

...INFORMASI ORANG HILANG...

Nama : Chandani Aqsa

Usia : 22 tahun

Ciri-ciri

Tinggi badan seratus lima puluh delapan. Berkulit putih, bola mata coklat tua. Bercadar, bergamis hitam panjang. Terakhir pergi membawa motor Honda Scoopy putih.

Hubungi.

Givan : 081×××××××××

Chandra : 081×××××××××

Alamat : Gampong Blang Ara Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah.

Aku menyimpan kembali selebaran yang aku dapatkan dua minggu yang lalu. Entah kemana lagi penjahat ini membawaku pergi, aku diam karena aku takut dengan ancamannya. Ia selalu mengancam, akan menodaiku. Aku benar-benar takut hal itu terjadi, aku benar-benar takut dinodai oleh laki-laki yang ingin dicap penjahat ini.

Dua puluh hari yang lalu, aku mendapat musibah. Saat KKN di desa yang tidak jauh dari alamat orang tuaku, aku dibegal di jalanan yang cukup sepi. Karena panik massa datang, pembegal tersebut membawaku pergi dan juga motor temanku yang aku kendarai. Ia tidak bisa mendapatkan motor yang aku kendarai selama lima menit, karena aku terus melawan dan ia tidak membawa senjata tajam.

Sekarang, aku tidak tahu aku berada di daerah mana dan dengan laki-laki yang tidak aku ketahui identitasnya ini. Aku ingin pulang secepatnya, tapi aku tidak tahu harus pergi ke arah mana.

"Makan nih, Dek." Pembegal yang penuh dengan tato ini, memberiku buah-buahan kembali.

Selama ini aku tidak pernah makan berat, karena memang kita jauh dari pemukiman warga. Ia pergi dan kembali dengan beberapa buah, yang mungkin itu hasilnya mengambil buah di pohonnya.

"Kenapa aku tak dipulangkan aja? Atau dibunuh sekalian?" Aku sudah lelah hidup, jika begini ceritanya.

"Pulang ke mana? Aku aja tak tau kita di mana. Kalau kau mati, aku ditemani siapa?" Ia melirikku, kemudian tertawa kecil.

Ia tidak begitu jahat meski dirinya penjahat, mungkin karena ini novel. Tapi selama ini, ia tidak pernah menurunkan cadarku.

"Ini hutan?" Aku tak kunjung mengambil hasil buah yang ia dapatkan.

"Tak tau." Ia menarik kupluk di kepalanya, kemudian menggaruk kepalanya.

Motor yang ia begal dariku, ditinggalkan di jalan karena kehabisan bahan bakar. Bodohnya ia, kenapa ia malah membawaku pergi?

"Apa masih Sumatera?" tanyaku kembali.

"Masih keknya, kan kita tak nyebrang laut. Kau pulangnya ke mana sih? Tapi kalau kau pulang, aku kaburnya sama siapa?" Bibir hitam itu, terlihat kering dan pecah-pecah.

"Kenapa harus kabur? Yang penting aku pulang, aku tak akan buka cerita ketemu begal oon." Aku mulai mengambil sebuah pisang yang ia bawa satu tandan besar.

Terlihat dari ujungnya yang kotor dan tidak rapi, aku yakin ia memotongnya dengan alat seadanya. Ya mungkin memakai kayu, atau batu yang tajam.

Ia tertawa lepas. "Aku panik," akunya dan tawanya mereda.

Hanya ia teman ngobrolku, meski kami tidak selalu mengobrol.

"Aku DPO di Payakumbuh. Aku waktu begal kau, itu daerah mana?" akunya kemudian.

Dia ternyata orang yang dicari polisi.

"Di Aceh Tengah, Bener Meriah," jawabku cepat, dengan mengusahakan mengenyangkan perut dengan pisang kembali.

"Berarti sekarang kita di mana?" tanyanya, dengan mengambil satu buah pisang juga.

"Aku tak tau! Kalau aku tau, udah pulang dari kemarin aku." Aku makan dengan tertutup cadarku.

"Tuh, ya? Pas dapat selembaran itu di mana?" Ia mengusap keringatnya, kemudian lanjut memakan makanannya.

Diri kami sangat terlihat tidak higienis sekali, bahkan aku minum air yang keruh.

"Pas lewatin pasar itu." Sebelum kami benar-benar jauh dari daerah warga, kami sempat melewati pasar yang cukup besar.

"Ke pasar itu, kira-kira ke arah mana dari sini? Apa kita keluar aja? Tapi kalau aku ketangkap duluan, kau pulangnya gimana?"

Ia selalu membuatku berpikir.

"Pas ketangkep itu, bilanglah ke polisi suruh antar aku pulang." Aku mulai menikmati pisang ini.

"Nanti kalau kau dicicipin polisi, gimana?"

Kembali, ia membuatku lebih takut saja.

"Ya masa iya? Kan polisi." Aku mencoba mencari jawaban sendiri dengan keyakinanku.

"Iya sih. Tapi kalau aku dipenjara, nanti adik sama orang tua aku gimana?"

Aku ingin melemparnya dengan kulit pisang.

"Ya kau mikir tak sekarang?! Kita di hutan kemungkinan, tak ada kabar berita, tak hasilin uang juga. Gimana tuh nasib adik dan orang tua kau?" Sebelumnya aku banyak diam, tapi sekarang banyak berbicara dengannya. Bukan karena aku cerewet, tapi ia yang terus mengajakku berbicara.

"Sebenarnya, aku tak niat nyulik kau. Tapi aku takut sendirian lagi. Mau keluar nyari jalan, takut polisi. Di hutan terus, benar kau, kita tak hasilin uang." Ia meluruskan kakinya dan memijat kakinya sendiri, setelah pisang pertama ia habiskan.

"Kau serba takut, kenapa mesti milih jadi pembegal?" Aku tidak habis pikir dengan aksinya.

"Itu pembegalan pertama aku. Sebelumnya, aku calo angkot di depan SMP." Ia mengambil satu pisang lagi.

"Kenapa berurusan sama polisi?" Aku ingat, tadi ia mengatakan bahwa ia menjadi DPO.

"Ikut ngeroyok temen. Padahal ikut-ikutan, tapi tak taunya temen yang dikeroyok itu mati." Ia membuka pisang itu perlahan.

"Ngapain ikut-ikutan?" Aku menghabiskan pisang pertamaku.

"Ya namanya juga seru-seruan." Ia menghela napasnya. "Kalau misalnya pindah ke Jawa, apa aku masih jadi DPO? Aku tak apa tinggal di pedalaman begini, yang penting bisa ngirimin uang ke keluarga aku, tapi apa kau mau nemenin?"

Ia tidak tahu siapa orang tuaku.

Bercerita pun untuk apa? ia penjahat, yang ada ia malah benar-benar ingin menculikku karena menginginkan uang tebusan dari orang tuaku.

"Aku tak paham masalah DPO begitu. Berarti, kau orang Payakumbuh?" Aku mengunyah pisang dengan perlahan.

"Iya, aku orang Sumatera Barat. Kau orang mana berarti? Berapa usia kau?"

Setelah tujuh belas hari bersama, ia baru bertanya tentang usiaku. Ia tahu namaku pun, dari selebaran yang aku dapatkan.

"Ya orang Bener Meriah. Aku baru dua puluh dua tahun. Siapa nama kau? Apa kita seumuran?" Keluargaku menetap di sana, padahal aslinya tidak ada darah Aceh sama sekali di keluargaku.

Baru kali ini aku bertanya tentang dirinya.

"Rai Faza, aku udah dua lima. Aku kelihatan tua betul ya? Maklum, dari usia SMP aku udah jadi buruh angkut di pasar."

Ekonomi yang mendesaknya harus bekerja di usia dini dan harus berada di jalanan. Kenapa aku menyebut ia ada di jalanan? Karena ia mengatakan bahwa ia adalah Calo angkutan umum di depan sekolah.

"Maaf, apa kau tak sekolah dulunya?" Aku sampai menjeda sesi mengenyangkan perut ini.

"SMP kelas satu aku berhenti. sebenarnya bukan karena orang tua tak mampu biayai, tapi karena kebawa teman. Terus diajak paman kerja di pasar, daripada bolos tak karuan, buat orang tua kepikiran. Eh keterusan, akhirnya berhenti sekolah." Ia tersenyum manis.

Ia berkulit hitam manis, tidak begitu pekat. Apalagi sekarang, kami selalu berada di tempat yang teduh. Jadi, ia tidak begitu gosong seperti saat awal pertama kali bertemu.

Ia tidak sipit dan tidak belo juga, tapi bulu matanya dan alisnya lebat. Hidungnya tidak begitu mancung dan tubuhnya tidak begitu tinggi, mungkin hanya sekitar seratus enam puluh lima atau lebih satu atau dua senti.

Tubuhnya kurus cungkring, ia sering melepas hoodienya jadi aku mengetahui bahwa ia memiliki tato di punggung, dada sampai seluruh lehernya. Ia pun memiliki anting di telinga kanan dan kirinya, tapi anting itu seperti kancing baju. Rambutnya hitam pekat, karena ia selalu menutupi rambutnya dengan kupluk masa kini, mungkin karena ia kepanasan dalam pekerjaannya dan menjadi kebiasaannya untuk menggunakan kupluk setiap harinya.

"Kenapa lihatin terus?" Ia mengerutkan dahinya.

Aduh, aku ketahuan tengah memperhatikannya.

PdAS2. Keberadaan anting

"Kau jelek." Aku langsung menutup bagian mulutku dari luar cadar. 

"Biarin! Kau pun bau, tak mandi-mandi." Ia malah meninggikan hidungnya dan memasang wajah jelek. 

Aku terkekeh geli karena tingkahnya. 

"Aku tak punya baju ganti." Aku tak mungkin tak berbusana di hadapannya, ia sih santai saja berlapis daun pisang di depanku juga. 

"Mau pakai baju aku dulu? Nanti kalau baju kau udah kering, pakailah lagi." 

Sebetulnya itu opsi yang sering ia tawarkan beberapa hari terakhir. Aku merasa diperhatikan, meski hanya hal seperti itu. 

"Aku bercadar, kau tau sendiri." Auratku pasti tak tertutup rapat. 

"Tapi kau garuk-garuk terus, udah menyerupai sesuatu karena makan pisang terus." Ia tertawa lepas. 

"Coba yuk kita keluar tempat ini, barangkali kita nemu pasar. Aku butuh pakaian." Karena aku khawatir sudah sampai masa periode haidku, sedangkan aku tidak memiliki pakaian ganti. 

"Apa aku harus punya keahlian mencuri? Aku tak pernah mencuri sebelumnya." Ia memutar tandan pisang, seperti mencari yang matang. 

"Ya tak harus mencuri, kita kan bisa minta pakaian bekas." Aku menarik ranselku yang terdapat beberapa buku. Ingin meninggalkan buku-buku ini karena berat, tapi ini untuk keperluan kuliahku. 

"Okelah, yang penting kita keluar dari pepohonan ini dulu ya?" Ia mengumpulkan pisang yang matang di dekatnya. 

Aku selalu ikut di dekatnya, ketika ia mencari stok makanan. Karena aku amat takut dengan binatang apapun, aku tidak pernah bertemu binatang-binatang di alam terbuka seperti ini.

Rasanya serba takut jika menunggunya seorang diri. Pernah tinggal dekat sungai, didekati buaya. Pernah tinggal di tanah yang sedikit lapang, aku melihat kucing hitam besar lewat dari jarak yang jauh. Tinggal di pepohonan begini, ya rawan ular. Tinggal di tanah yang basah, malah banyak hewan seperti lintah dan pacet. 

"Nih, dimakan. Kenyangin dulu perutnya, kau makin kurus sejak kesasar begini. Aku kasian sama kau, aku minta maaf ya?" Ia tersenyum manis, tapi di matanya nampak ada kesedihan. 

"Kalau mau nangis, ya nangis aja. Kau pasti capek juga kan karena nyasar begini?" Aku mencoba datar, sayangnya tidak bisa. 

Aku langsung merapatkan bibirku. Bibir yang bergetar ini memang bisa disembunyikan, tapi sayangnya mataku yang cengeng tetap akan terlihat. 

"Kau yang malah nangis." Ia terkekeh geli dengan mengambil ujung kerudung panjangku. 

"Nih, diusap air matanya. Kalau terus di dalam hutan begini, yang ada kita mati dimakan binatang buas. Aku harus berani ngambil resiko. Mungkin tak apa aku kena sama polisi, yang penting kau bisa pulang ke rumah lagi. Mungkin Chandani perlu sedikit jalan-jalan kan? Biar tau tentang dunia luar. Kehidupan kau pasti cuma tau tentang kamar dan sekolah? Mungkin lewat jalur kesasar bersama ini, kau jadi tau caranya bertahan hidup di hutan." Ia tetap mempertahankan senyumnya. 

"Panggil aku Cani." Aku mengusap air mataku dengan ujung kerudungku. 

"Iya, Cani. Unik namanya. Ayo makan dulu, mumpung baru terasa mataharinya. Banyak waktu untuk kita cari jalan, semoga tak malah makin jauh masuk ke dalam hutan." Ia celingukan seperti memperhatikan sekeliling. 

Aku tidak mengerti, kenapa orang ayah tidak ada yang mencariku sampai ke sini? Katanya antingku dilengkapi dengan chip? Apa antingnya tidak bisa menjangkau jaringan karena berada di dalam hutan?

Aku langsung meraba antingku dari dalam kerudungku. Allahuakbar, ternyata kedua antingku tidak ada. 

Aku diam, mencoba mengingat kapan antingku terlepas. Aku tidak boleh langsung menuduhnya, apalagi dalam keadaan begini. Yang ada, ia langsung tersinggung dan menikamku. 

"Ini dimakan dulu, udah nangisnya. Kau udah terlalu banyak nangis di awal-awal." Ia menyodorkan pisang itu di depanku. 

"Kenapa? Kau kehilangan sesuatu?" Dari pertanyaannya, sepertinya ia mengamati gelagatku. 

"Pernah lihat anting aku jatuh? Anting melingkar kecil bermata hitam gitu." Si mata anting itulah yang ada chipnya. 

"Aku tak pernah lihat apapun dari dalam pakaian kau. Apa kau pernah lepas anting itu?" Ia menyatukan alisnya. 

"Bentar, aku ingat dulu." Aku mencoba mengingat aktivitasku jauh-jauh hari. 

Sebelum aku rutin KKN, ayah pernah meminta anting tersebut untuk diganti chipnya. Kemudian, langsung diberikan lagi setelah pemasangan baru. Lalu, kira-kira aku sudah memasangnya belum ya di telingaku? Aku ingin sekali dicari dan ditemukan soalnya, karena pasti tidak amat berjuang untuk pulang ke rumah. 

Ehh, aku baru teringat. Aku pernah melepas anting itu ketika melewati pemeriksaan metal detector. Saat itu aku sedang bersama Kaf dan mama Aca di sebuah tempat perbelanjaan alat-alat kedokteran. 

Huft, ia laki-laki itu yang menggenggam antingku saat aku melewati metal detector.

Namanya Kafi Teuku Dhafir. Ia seorang dokter bergelar spesialis bedah umum dengan usia yang cukup muda, yakni di usia dua puluh enam tahun. Ia lulusan Malaysia semua, bisa dibilang pendidikannya sangat mulus karena ada tangan khusus yang menuntunnya. Sedangkan mama Aca adalah ibu sambungnya, karena ibu kandung Kaf sudah wafat.

Ketahuilah, aku sudah dikhitbah olehnya. Mungkin istilah dalam bahasa Indonesianya itu lamaran, sudah dijanjikan pernikahan juga, tapi kami tidak berpacaran. 

Jika kalian tahu ayahku, mungkin rasanya sulit untuk mendapatkan restu beliau. Namun, karena Kaf itu keponakannya. Ayah hanya membutuhkan beberapa dokumen saja untuk mengurus perjanjian pra nikah dan perjanjian keluarga, karena ayah sudah tahu semua sifat baik dan buruknya laki-laki itu. 

Ya sudahlah, jangan dibahas. Jodoh ya menikah bersama, tak jodoh ya kita menikah sendiri-sendiri. Aku tak pernah ambil pusing, toh yang sudah seranjang saja belum tentu menikah, apalagi yang hanya dikhitbah. 

Tapi yang menjadi janjinya adalah, ketika ia berusia dua puluh delapan tahun ia akan melangsungkan pernikahan denganku. Ia tengah repot membangun rumah sakit milik keluarga, yang berada tak jauh dari jalan utama depan gang rumah kami. Rumah sakit itu partner besar rumah sakit pakdenya Kaf yang berdiri di Malaysia. Kaf pun satu-satunya kandidat yang akan meneruskan rumah sakit pakdenya itu, karena ia yang dipercaya oleh pakdenya. 

Biasanya kami memanggil pakde tersebut dengan sebutan pakwa Ken. Namanya Kenandra, ia pun seorang dokter spesialis bedah umum juga. Ia pemilik rumah sakit bedah umum di Malaysia, sekaligus pakdenya Kaf. 

Ya sudah, segitu saja tentang Kaf. 

"Aku baru ingat, anting aku di sepupu aku," ungkapku kemudian. 

"Jadi, kita pergi ambil anting itu dulu kah? Atau gimana?" Ia mengerutkan dahinya. 

Gimana ya baiknya? 

Tepok jidat. 

"Heh, baiknya kita cari jalan keluar dari sini dulu lah. Baru kita langsung ke rumah orang tua aku aja, tak usah cari anting itu, anting itu ada di sebelah rumah orang tua aku." Aku reflek menepuk kakinya. 

"Tuh, nanti dari rumah orang tua kau lanjut ambil anting ke rumah tetangga kau. Aku temenin deh." Ia bangkit dan bersiap mengangkat satu tandan pisang tersebut. 

Ia tidak salah juga sih. Tapi kan sudah di rumah ayah, kenapa aku harus mencari anting agar dicari ayah? 

Aku jadi berpikir. 

...****************...

PdAS3. Kekhawatiran

Aku cekikikan sendiri, bukan karena lucu melihatnya mengangkat satu tandan pisang. Hanya saja, aku merasa lucu sendiri karena arah pikirannya. Ia ingin menemaniku mengambil antingku di sebelah rumah orang tuaku. Andai saja ia paham jika sudah di rumah ayahku, aku tidak memerlukan anting itu lagi. 

"Jalan di depan, Can. Biar aku jagain." Ia menoleh ke arahku. 

Ia tidak sadar dengan kalimatnya yang membuatku cekikikan. 

"Siapa Can?" Aku bangkit dan memakai ranselku.

"Kau, Cani kan? Can, Cantik." Ia menaik turunkan alisnya. 

"Hmm, macam tau aja kalau aku ini cantik?" Aku melewatinya dan berjalan di depannya. 

"Berarti jelek," celetuknya ringan sekali. 

"Heh! Sembarangan! Aku cantik lah." Aku menoleh ke belakang memberinya tatapan tajam. 

Ia tertawa geli. "Iya itu juga keknya, orang matanya aja kek sedih aja, kek ngantuk aja." 

Kok ia suka meledek sih? Baru kali ini ada yang mengatakan mataku sedih dan ngantuk. Padahal, jika sudah rebahan di tak jauh darinya aku langsung terlelap. Aku tidak kurang tidur kok meskipun kesasar begini, tetap bisa tidur lelap karena merasa ada yang menjagaku dan merasa aku aman terus. 

"Mataku bagus! MasyaAllah tabarakallah." Aku memuji diriku sendiri dengan mengedipkan mataku beberapa kali. 

"Masa? Ya udah deh bagus betul, masyaAllah tabarakallah." Ia memamerkan giginya, kemudian membenahi beban di pundaknya itu. "Ayo lanjut jalan, lihat ke depan. Ati-ati melangkah," lanjutnya kemudian. 

Aku tahu alasan pisang itu dibawa, karena itu persediaan makanan kami. Mencari makanan di rindangnya pepohonan tentu tidak mudah, karena semua daun belum tentu bisa dimakan. Lagi pula, aku tidak bisa makan daun juga. 

"Aku kangen pengen makan nasi." Aku mengoceh agar tidak terasa sudah berjalan jauh. 

"Iya, nanti aku belikan rendang juga. Aku usahain pakaian ganti untuk kau juga, tapi sabar ya? Aku harus kerja dulu, dapat uang, baru bisa kasih yang kau mau." Ia meladeni celotehan mulutku. 

"Sama air putih kemasan botol yang dingin juga," tambahku kemudian. 

"Iya siap, Can." Napasnya terdengar ngos-ngosan. 

"Kau nanti ikut pulang aja ke rumah, kau kerja di sana aja. Nanti aku tak akan bilang kau culik aku, aku bakal bilang kau seseorang yang antar aku pulang." Aku menoleh dan kembali melihat ke depan. 

Namun, tiba-tiba aku bersimpuh di tanah. 

"Aduhhhhh…." Aku merasa sakit pada bagian pergelangan kaki kau. 

"Ya ampun, Can. Udah dibilang suruh lihat jalan, masih aja tengak-tengok." Ia membanting satu tandan pisang tersebut dan bergerak untuk meluruskan kakiku. 

"Sakit." Aku merengek saat kakiku diluruskan olehnya. 

"Maaf ya? Maaf nih aku pegang kaki kau." Ia memegang pergelangan kakiku yang sakit. 

"Ayo ke rumah sakit aja." Aku takut kakiku kenapa-kenapa. 

"Ayo, tapi ke arah mana?" Ia menarik-narik kakiku. 

Rengekanku hilang, aku tersadar kembali bahwa kami berada jauh di dalam ladang entah hutan. Intinya pepohonan rindang tak beraturan. 

"Apa boleh kaos kakinya dibuka dulu? Bukan masalah baunya, tapi takut ada yang luka. Banyak ranting tajam soalnya ini." Ia menunjuk beberapa batang ranting di dekat kakiku. 

Aku mengangguk mengiyakan. 

"Maaf ya?" Ia menarik kaos kaki hitamku. 

"Utuh, tak apa-apa." Ia menaikan lagi kaos kakiku. 

"Coba bangun." Ia bangkit dan mengulurkan kedua tangannya. 

Aku langsung meraih tangannya, kemudian mengangkat tubuhku. Aku bisa berdiri, tapi kakiku amat linu sekali. 

"Sakit jalannya." Aku merasa seperti pincang. 

"Hmmm…." Ia melirik tandan pisang itu. 

"Aku coba gendong ya? Tapi cuma sampai sakit di kakinya hilang." Ia meraih tandan pisang tersebut. 

"Pisangnya diambil satu-satu, dimasukin ke tas aja. Tasnya aku gendong depan, kau gendong belakang." Ia langsung bekerja untuk memetik satu persatu pisang tersebut. 

"Apa tak berat?" Aku mencoba duduk kembali. 

"Kau kurus, cuma keberatan pakaian aja." Ia suka sekali meledek. 

"Biarin." Aku langsung manyun, meski aku tahu ia tidak akan melihatnya. 

"Kalau lihat pohon pinus, bilang ya? Biasanya pohon pinus bergerombol dan biasanya dijadikan tempat wisata atau camping. Barangkali kita bisa keluar dari jalur itu." Ia mengumpulkan pisang yang sudah ia petik di dekat kakiku. 

Kami belum ada sepuluh langkah dari tempat awal. 

"Iya." Aku memberikan ranselku dan membuka resletingnya. 

"Keadaan kau kek gini, aku makin mikir untuk cepat sampai keluar hutan aja. Udahlah dipenjara seberapa lamanya, yang penting perut kau bisa kenyang dikasih makan orang tua kau, orang tua aku pun biar tak suudzon tentang aku aja. Aku berjuang ngilang dari polisi, nanti dikiranya udah dipenjara. Aku sebenarnya tak mau dipenjara, aku mikirin nafkah untuk mereka." Ia langsung memasukkan pisang yang sudah dipetik itu ke dalam ranselku. 

"Memang kau tak punya orang tua, sampai kau yang nyari nafkah?" Aku terus melanjutkan pekerjaan untuk memetik pisang. 

Ada air minum juga di ranselku. Ini air minum yang didapat dari pohon, ia katanya tahu bahwa air itu aman. Aku sudah pasrah, entah aman tidaknya aku tetap meminumnya. Untungnya, aku punya botol plastik air mineral kemasan besar di dalam ransel saat tragedi begal terjadi. Tadinya botol air itu aku isi dengan buah ciplukan dan kersen, buah itu banyak di tempat KKN dan aku suka dengan buah itu. 

Saat aku kecil, aku selalu mencari buah ciplukan dan kersen bersama kakekku. Sayangnya kakekku sudah lama wafat dan aku baru merasakan makan buah itu lagi saat di tempat KKN, makanya aku sampai memungutnya. 

"Aku punya ibu, dia satu-satunya orang tua aku sekarang. Ayah wafat sejak aku kecil, ibu pedagang gado-gado di rumah. Aku punya adik perempuan juga, dia masih SMP kelas tiga sekarang. Dia lagi butuh banyak biaya menjelang kelulusannya." 

Jadi dia anak yatim? Masih disebut yatim tidak ya meski ia sudah dewasa? Aku tidak pesantren sih, jadi tidak tahu ilmunya. Saat SMP, aku pernah merasakan tembok pesantren juga. Sayangnya aku tidak betah, rasanya sibuk sekali, banyak kegiatan, tidak seperti di rumah. 

"Kau bisa kerja di ayah." Aku memperhatikan wajahnya. 

Ia sepertinya seseorang yang tulus. Ia tulus bekerja untuk keluarganya. 

"Ayah kau? Memang ayah kau punya apa? Dia pedagang di pasar?"

Aduh, apa ya ayahku itu? Bukan pedagang juga sih. 

"Ya maksudnya, kerja di sana." Aku lebih memilih tidak menerangkan, karena malah jadi lama lagi mengobrolnya. 

"Ayo bangun." Ia memakai ranselku di dadanya, setelah kami sudah memilih pisang yang siap makan. 

Pisangnya kecil-kecil dan semuanya tidak matang rata, bahkan ada yang masih sangat kecil dan hijau.

"Aku beneran gendong?" Aku berusaha berdiri dengan kakiku kembali. 

"Iya, sampai nyeri kakinya mendingan. Kau tak boleh sakit ya? Aku bingung harus gimana, aku bingung mau bawa kau berobat ke mana-mana." Aku melihat kekhawatiran di matanya. 

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!