Sebelum membaca novel ini disarankan membaca novel Di Ujung Jalan. Karena ada keterkaitan dengan novel tersebut. Tidak membaca di Ujung Jalan pun tidak apa-apa. Walaupun begitu kalian masih bisa mengikuti cerita di novel ini. Maaf bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian. Semua tidak ada unsur kesengajaan. Happy Reading ❤️❤️❤️❤️❤️
🍄🍄🍄
Gue Ran. Gue gadis yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan yang terletak di kota Surabaya. Kata pemilik panti asuhan, gue ditemukan di pintu panti. Tergeletak begitu saja di dalam kardus mie instan dalam keadaan kedinginan.
Entah orang tua mana yang telah tega membuang bayi seimut gue. Bukan gue kepedean, tapi memang pas waktu kecil gue sangat imut dan menggemaskan. Kulit putih, rambut ikal berwarna merah pirang. Catat ya merah pirang , tapi bukan merah yang terkena sengatan matahari. Hidung kecil dan sedikit mancung. Pokoknya menggemaskan gitu deh. Dan sekarang pun gue masih menggemaskan ya. Ekhm....
Makanya gue sangat disayang oleh pemilik panti. Di saat gue balita, Gue juga selalu tenang dan tidak pernah rewel. Mungkin karena gue memang harus tau diri. Karena gue menumpang hidup makanya gue ditakdirkan untuk menjadi anak yang tidak merepotkan.
Oh iya, saat ini gue berumur 22 tahun. Gue hanya sekolah sampai jenjang SMA. Ya gue menyadari banyak anak panti lain yang butuh biaya, jadinya gue tidak mungkin memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah.
Gue memilih bekerja untuk membantu ibu panti yang sudah sangat baik pada gue. Kasian adik-adik panti yang tentu memerlukan biaya besar untuk makan dan juga pendidikan.
Walaupun banyak donatur yang menyumbang, tetap saja itu semua belum bisa mencukupi semua kebutuhan di panti .
Contohnya saat ini, gue mendapat tugas dari pemilik panti untuk mencari dana. Karena ada kebutuhan mendesak yang harus segera didapat demi kehidupan anak-anak panti. Namun gue malah terjebak dalam keluarga yang sedang mengalami musibah.
Sebenarnya gue datang jauh-jauh ke Jakarta untuk menemui saudara Ustadz Yusuf, sang pemilik panti. Gue mendapatkan tugas untuk meminta bantuan dana karena panti asuhan sedang dalam masalah besar.
Tanah panti asuhan ada yang mengakui.Dan panti akan digusur. Padahal setahu gue tanah tersebut sudah diwakafkan. Biasalah ada ahli waris yang tidak bisa menerima hal tersebut. Dan terjadilah perebutan tanah.
Di jakarta ini gue harus menemui bapak Suparyanto, namun ketika sampai di sini keluarga beliau sedang dalam musibah. Anak gadisnya yang bernama Arin meninggal dunia karena kecelakaan.
Arin ditabrak oleh temannya sendiri, teman yang katanya sangat menyukai Arin namun sayangnya teman tersebut tega membunuhnya.
Dan sekarang di sinilah gue dalam tiga hari ini. Di rumah Arin. Menghibur sang bunda yang terlihat sangat terpukul atas kepergian putri kesayangan nya tersebut.
Dan malam ini malam ketiga atas kepergian Arin. Suasana masih terlihat sendu. Semua orang terlihat masih bersedih.
🍄🍄🍄
Ran bingung harus bagaimana. Seharusnya dia sudah menyampaikan maksud kedatangannya itu. Namun dia tidak tega melihat keluarga yang sedang berduka.
Ran ingin pulang saja ke Surabaya. Dia harus mencari jalan keluar atas apa yang menimpa panti asuhan. Dia merasa benar-benar bingung dan juga bimbang.
Dan malam ini setelah acara tahlilan mengirim doa buat arwah Arin selesai, mereka masih duduk di ruang tamu. Sekedar berbincang untuk saling menghibur.
Malam ini Ran berniat pamit pulang ke Surabaya. Dia akan mencari jalan lain saja. Dirinya sungguh tidak tega untuk menyampaikan amanat dari ustadz Yusuf.
"Ayah, bunda. Ran mau pamit. Besok Ran mau pulang ke Surabaya."
Ran memberanikan diri mengungkapkan keinginannya. Karena dia tidak boleh berlama-lama diam seperti ini. Nasib anak-anak panti menunggunya.
"Kenapa harus pulang Ran. Disini saja ya. Temani bunda." Ayah sedikit terkejut mendengar apa yang Ran katakan.
"Ran, tinggal di sini saja ya. Temani bunda. Gantiin Arin menjadi anak bunda ya."
Bunda Ida, bundanya Arin terlihat memelas memohon pada Ran. Bunda menggenggam erat tangan Ran penuh harap.
Ran semakin menunduk. Kebimbangan semakin menderanya. Dia sungguh sangat menyayangi keluarga tersebut. Karena sudah beberapa kali Ran bertemu dengan mereka saat mereka berkunjung ke Surabaya. Namun karena dia harus bergerak cepat mencari pemecahan masalah panti. Dia harus segera mengambil keputusan. Sebelum waktu yang ditentukan semakin dekat.
"Ran.. Kenapa diam saja. Mau ya.. Nanti bunda yang akan bilang sama ustadz Yusuf."
Ran masih menunduk. Dia memperhatikan tangannya yang sedang di genggam dan juga di usap oleh Bunda. Ada perasaan bahagia. Ran merasakan kasih sayang Bunda sudah seperti kepada anak kandung nya sendiri.
Ran masih saja menunduk. Matanya berkaca-kaca. Dia bingung harus bagaimana. Kalau boleh jujur Ran sangat senang tinggal di rumah Arin yang penuh dengan kehangatan ini. Tapi di Surabaya masih ada adik-adiknya yang membutuhkan nya.
"Bunda.. Maafkan Ran, bukan Ran menolak. Namun ada sesuatu hal yang harus Ran lakukan yang mengharuskan Ran pulang ke Surabaya."
Ran menarik tangannya. Kemudian dia memeluk bunda. Ran bisa merasakan betapa dia membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Walaupun di panti dia juga mendapatkan kasih sayang yang banyak. Namun di dalam pelukan Bundanya Arin, terasa sangat nyaman dan berbeda.
"Ran, katakan saja. Siapa tahu bunda bisa membantu."
Bunda memeluk pundak Ran. Tangan yang satunya mengusap lengan Ran dengan penuh kasih sayang.
Ran memandang bunda dengan berkaca-kaca. Ran benar- benar bingung.
"Iya Ran. Tidak usah sungkan. Katakan saja." Ayah Yanto juga ikut menimpali. Ayah merasa Ran sangat mirip dengan Arin. Ayah belum rela dengan kepergian Arin yang mendadak tersebut. Dan Ran sedikit banyak bisa membantu mengurangi rasa kehilangan itu.
Ran memandang ayah dan bunda bergantian. Dia sedang menimbang apakah akan mengatakan permasalahan yang dia hadapi pada Ayah serta bunda atau tidak.
"Ayah, Bunda... "
Ran diam sejenak. Dia menghela nafas panjang. Dadanya terasa sangat sesak. Kedatangannya ke jakarta yang seharusnya bisa membantu menyelesaikan masalah panti, namun malah terjebak dalam situasi yang sangat membuatnya serba salah.
"Ran, gue tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu."
Ran terkejut mendengar apa yang Fian katakan. Dari tadi Fian hanya menyimak pembicaraan antara ayah dan Ran. Ran memandang Fian dengan seksama. Ada rasa takut jika Fian benar-benar tau yang sebenarnya.
"Ran, temani bunda di sini. Biar gue yang menyelesaikan masalah loe."
"Maaf permisi sebentar."
Ran bangkit dan menarik Fian ke luar rumah. Dia takut Fian benar-benar mengatakan yang sebenarnya dalam suasana yang sedang berduka seperti ini.
"Ran.. Ada apa?" Bunda dan Ayah terlihat bingung melihat apa yang dilakukan Ran pada Fian. Mereka berdua merasa curiga ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ran.
"Sebentar Ayah, bunda. Ran mau bicara sama Fian dulu di luar."
Ran kembali menarik Fian ke luar rumah. Mereka memilih berbincang di balai di bawah pohon jambu.
Sesampainya di luar. Ran memandang tajam ke arah Fian.
"Apa yang loe tahu."
Fian menghela nafas.
"Ran.. Gue tahu semuanya . Gue tahu kalau panti asuhan tempat Lo tinggal dalam masalah."
Ran terkejut. Dia masih memandang tajam ke arah Fian.
"Gue tahu panti asuhan akan digusur."
Ran menarik tangan Fian untuk semakin menjauh dari rumah Arin.
"Dari mana loe tahu semua itu?"
"Tidak sengaja gue mendengar itu dari om Adam. Semalam om Adam berbicara di telepon dan gue secara tidak sengaja mendengar semuanya dengan jelas."
Ran terdiam. Dia menghela nafas berat. Dadanya sungguh sesak. Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana nasib anak-anak panti jika tanah itu benar-benar akan diambil.
"Ran..."
Fian menepuk pundak Ran pelan.
"Duduk dulu sini.. "
Ran menoleh, dia memandang Fian dengan muka yang terlihat begitu sedih. Kemudian Ran ikut duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon jambu.
"Boleh gue bantu masalah loe?"
Ran hanya diam saja. Dia merasa tidak nyaman bila merepotkan orang lain. Ran masih bimbang. Di satu sisi dia memang membutuhkan bantuan Fian. Namun disisi lain dia tidak ingin melibatkan banyak orang dalam masalah ini.
"Tidak usah banyak berpikir. Terima saja. Bukannya ini sangat mendesak. Bagaimana dengan nasib anak-anak panti kalau loe kelamaan mikir."
"Anak panti. Panti mana Ran."
Fian dan Ran terkejut. Ayah sudah ada di belakang mereka. Rencananya Ayah mau menyuruh mereka masuk rumah karena hari telah malam. Namun tidak di sangka malah mendengar hal yang tidak mengenakkan.
"Tidak ayah. Bukan apa-apa juga."
Ran menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia terlihat kebingungan.
"Katakan Ran. Jangan bilang panti asuhan milik Yusuf dalam masalah."
Ran hanya tersenyum kikuk. Dia merasa tidak enak ayah mendengar ini semua.
"Maaf yah.. Hehehe.."
"Kenapa minta maaf. Pasti kedatangan kamu ke Jakarta ingin memberitahu tentang hal ini. Katakan Ran. Katakan.. Ayah ingin mendengar semuanya."
Ran memandang ke arah Fian. Dan Fian mengangguk. Fian tahu Ran minta pendapatnya untuk memberi tahu apa tidak tentang masalah di panti.
"Katakan saja Ran. Ayah berhak tahu tentang apa yang terjadi."
"Tapiii...."
"Tapi apa.. Karena ayah lagi berduka kah? Tak apa Ran katakan saja. Masalah panti asuhan juga masalah yang penting juga. Ini menyangkut hidup orang banyak."
Ayah semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ran menghela nafas berat. Dia mengangkat kepalanya dan memandang Ayah.
"Begini Yah..."
"Ayah .. Ada tamu. "
Tiba-tiba terdengar suara bunda memanggil ayah. Ran menghentikan ucapannya dan melihat ke arah ayah.
"Yah temui tamunya dulu..."
"Iya Ran. Ingat.. tunggu Ayah ya. Pokoknya kamu harus segera cerita. Ayah tunggu. Ayah menemui tamu dulu. Sekarang sudah malam, kalian harus masuk rumah dan juga istirahat." Ucap Ayah sambil berlalu.
"Iya Yah.."
Ayah melangkah menjauh dari tempat itu. Ran dan Fian terdiam. Mereka diam dengan berbagai pikiran masing-masing.
Tiba-tiba..
Suuiiiiiinnggggg...
Terdengar suara seperti angin yang mendesing. Ran melompat begitu juga dengan Fian.
"Suara apa itu.."
Bulu kuduk Ran berdiri. Dia merasa ada sesuatu yang ganjil..
Apa itu.......
Fian juga merasakan hal yang aneh. Fian memandang ke sekeliling. Lalu dia mendongak ke atas.Ada sesuatu yang dia rasakan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Namun belum jelas apa yang Fian rasakan, Ran sudah menarik tangan Fian masuk ke rumah.
Dan disinilah misteri itu di mulai...
Bersambung
Ini novel keduaku . Mohon maaf jika merepotkan lagi. Karena aku mau minta like dan komen. Terima kasih ❤️
Hari telah pagi. Ayah dan bunda serta semua penghuni rumah sudah bangun. Mereka akan mengerjakan sholat subuh berjamaah.
Setelah selesai sholat Bunda dan para wanita menuju dapur untuk bersiap membuat sarapan. Walaupun dalam suasana berduka bunda tetap menjalankan rutinitas seperti biasanya. Namun tidak lama kemudian terjadi hal yang tidak biasanya.
"Pak yantooo... Pak yantooo.. "
"Jeng Ida.. Jeng Ida.. "
"Rama..Rama..."
Tiba-tiba dari depan rumah terdengar suara orang memanggil ayah serta bunda. Mereka terdengar begitu berisik.
"Ada apa sih.. Ribut sekali. "
Mereka semua bergegas keluar rumah. Di depan rumah sudah ada beberapa warga yang berkumpul dengan wajah yang panik dan pucat.
"Ada apa ini. Apa yang terjadi. Mengapa kalian berdatangan ke rumah ku."
Ayah berkata dengan suara yang sedikit panik. Tentu saja. Bagaimana tidak . Tiba-tiba rombongan warga berteriak di depan rumah.
"Tarik nafas dulu lalu ceritakan ada apa sebenarnya."
Semua orang saling pandang. Wajah Mereka terlihat pucat. Seperti melihat sesuatu yang menakutkan.
"Begini Pak Yanto dan Ibu Ida.. Kuburan Arin... Kuburan Arin.." Salah satu warga berkata terbata-bata.
"Kenapa dengan kuburan Arin.. Apa yang terjadi.."
Ayah memotong perkataan salah satu warga. Ayah merasa takut dan juga panik mendengar penjelasan warga, tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan kuburan Arin. Karena Ayah ingat , Arin meninggal pada hari Selasa Kliwon.
"Itu.. Itu..."
"Katakan dengan benar.. Jangan bikin orang penasaran."
Ayah membentak warga yang akan memberitahu. Ayah sudah tidak sabar ingin mengetahui yang sebenarnya terjadi.
"Itu.. Itu.. Kuburan Arin ada yang membongkar...." Akhirnya warga yang lain ikut menjawab.
"Apa..."
Ayah, bunda, Rama dan semua yang mendengar terkejut. Mereka saling pandang. Mereka tidak percaya ini terjadi. Ada apa dengan kuburan Arin sehingga orang membongkarnya.
"Tidak mungkin...."
Bunda berteriak histeris. Bunda mulai menitikkan airmata.
"Hiks.. Hiks .. Kenapa harus makam Arin. Arin anak yang baik. Tidak mungkin..."
Ayah memeluk bunda. Semua keluarga tidak menyangka ini bisa terjadi dengan makam Arin. Karena setahu mereka makam dari anak yang baik tidak bisa dijadikan sarana apapun.
"Tenang bunda. Jangan menangis.. Lebih baik ayah membuktikan sendiri ke sana."
Ayah bergegas keluar rumah.
"Ayah .. Aku ikut."
"Gue juga ikut.."
"Ran di rumah saja ya. Temani bunda." Ayah menatap Ran dengan mimik memohon. Dia tidak ingin ada perempuan di makam dalam keadaan seperti ini.
"Baik Ayah..." Jawab Ran akhirnya.
Rama bergegas mengikuti ayah dan beberapa warga menuju pemakaman. Mereka ingin membuktikan dengan kepala sendiri.
Jarak pemakaman tidak jauh dari rumah. Hanya sepuluh menit berjalan kaki mereka sudah sampai di area pemakaman. Apalagi dengan langkah para lelaki yang lebar dan tergesa, pasti akan ditempuh dalam waktu yang lebih cepat.
Mereka segera menuju makam Arin. Dan benar, makam itu sudah berantakan. Tanah sudah kemana-mana. Tidak rapi seperti kemarin saat mereka tinggalkan.
"Kurang ajar.. Siapa yang berani melakukan ini pada makam putriku. Aku tidak akan memaafkan orang itu!!" Ayah terlihat sangat marah. Tentu saja. Orang tua mana yang rela makam anaknya diobrak-abrik.
"Ayah sudah. Jangan emosi dulu. Mari kita rapikan saja makam kak Arin. Setelah itu kita selidiki semua. Apa yang sebenarnya orang itu ambil dari makam ini. Dan punya tujuan apa orang tersebut melakukan ini semua."
"Benar pak Yanto. Kalau dilihat-lihat makan ini baru sedikit di bongkar dan sudah ketahuan terlebih dahulu." Ketua RT mengamati makam tersebut dengan seksama.
"Benar.. Semalem ada petugas ronda yang memergoki dan pelaku langsung kabur." Ucap warga yang lain membenarkan ucapan ketua RT.
Rama berusaha bersikap tenang. Dia harus bisa menenangkannya sang Ayah. Walaupun sebenarnya Dia juga merasa geram. Ingin rasanya menghancurkan orang yang telah melakukan semua ini.
"Kelihatannya benar apa kata Pak RT , yah. Makam ini baru separo dibongkar."
Akhirnya setelah berunding dengan beberapa warga dan juga ketua RT, diambil lah kesepakatan. Mereka akan merapikan saja makam tersebut. Karena melihat keadaan makam yang tidak sepenuhnya rusak. Namun Ayah bersikeras untuk tetap membongkar makam tersebut, agar bisa diketahui yang sebenarnya.
Pagi itu langsung dilakukan pembongkaran. Beberapa warga menyiapkan semua peralatan yang diperlukan. Setelah semua siap, dibongkar lah makam tersebut.
Setelah dibongkar sampai kedalam, ternyata jenazah itu dalam keadaan baik-baik saja. Hanya tercium bau busuk khas mayat yang sudah dikubur selama tiga hari. Namun mereka heran, apa yang sebenarnya terjadi dengan makam Arin tersebut. Jika tidak ada yang diambil , buat apa makam ini dibongkar.
Dengan mengesampingkan bau busuk tersebut, seorang warga mengamati jenazah tersebut. Tidak ada keanehan apapun.
"Tidak ada yang aneh. Semua seperti pertama dikubur." Ucap salah satu warga.
"Mungkin benar karena ketahuan, pelaku tidak meneruskan membongkar makam ini." sambung warga yang lain.
Semua warga saling pandang. Mereka merasa heran. Kenapa kuburan dibongkar kalau tidak ada yang hilang.
"Mungkin tidak dibongkar makamnya, mungkin ada binatang yang merusak atas makam saja." Ucap ketua RT mengambil kesimpulan.
"Sebaiknya bagaimana ini pak RT."
"Ya sudah ditimbun lagi saja. Dirapikan lagi seperti semula."
"Baiklah pak RT."
Semua kembali menimbun makam tersebut dengan tanah dan merapikan seperti semula.
Ayah masih termangu. Ayah tidak memahami yang terjadi sebenarnya. Namun perasaan Ayah merasa ada yang tidak wajar dengan ini semua. Dan ayah merasa ada yang mengawasi apa yang mereka lakukan saat ini.
"Sudah rapi seperti semula. Mari kita pulang."
"Tapi pak RT.." Seorang warga menyela ucapan ketua RT karena dia masih merasa heran dengan yang terjadi.
"Tapi apa..?"
Ketua RT memandang tajam ke arah warga tersebut. Ketua rt ingin segera pulang. Dia merasa hawa di pemakaman itu sudah berbeda.
"Ya udahlah kita semua pulang saja."
Akhirnya ayah menerima usul sang ketua RT, walaupun Ayah merasa janggal dengan semuanya.
Perlahan-lahan semua yang hadir meninggalkan area pemakaman. Satu dua orang masih ada yang menengok ke belakang, memandang area pemakaman yang tiba-tiba terlihat berbeda. Tiba-tiba saja pemakaman tersebut terlihat temaram seperti berkabut. Mereka memegang tengkuk masing-masing yang tiba-tiba merasa merinding. Namun mereka tetap diam. Tidak ada satupun yang berani bersuara dengan keanehan yang terjadi. Dengan langkah cepat mereka buru-buru meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah ayah disambut bunda di depan pintu halaman.
"Ayah.. Apa yang terjadi. Bagaimana keadaan makam Arin," Dengan tidak sabar bunda mencerca ayah dengan berbagai pertanyaan.
Ayah berjalan melewati bunda, berjalan menuju kran air yang ada didepan rumah. Mencuci kaki dan mukanya yang terlihat kotor. Membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel. Diikuti Rama di belakangnya melakukan hal yang sama
"Ayah, Rama kok diam saja. Bagaimana keadaan makam kakak kamu ?" Bunda mengikuti kemanapun mereka berjalan.
"Bunda, tolong ambilkan Ayah teh hangat." Ucap ayah yang kemudian duduk di ruang depan.
Bunda segera menuju dapur. Membuat teh hangat buat sang suami dan anak lelakinya. Bunda tahu sang suami pasti sedang memikirkan sesuatu hal.
"Ini Yah, diminum dulu mumpung masih hangat. Rama kamu minum juga biar hangat tubuhmu. Dari pagi belum kemasukan apa-apa bukan? " Bunda meletakkan dua gelas teh hangat dan juga pisang goreng yang telah dipersiapkan sejak tadi.
Ayah dan Rama menikmati apa yang di sediakan bunda. Ayah masih terlihat shock. Wajah ayah terlihat sedikit pucat. Mungkin karena lelah, selama tiga hari ini, sejak kepergian Arin, Ayah tidak bisa tidur yang sebenarnya.
"Ayah, bunda mungkin sebaiknya kita sarapan dulu." Nia masuk ke ruang tamu, Setelah dia selesai menyediakan semua masakan yang tadi telah matang di atas meja makan.
"Benar bunda, wajah ayah terlihat pucat." Ran ikut menimpali.
"Benar Yah, Rama lapar. Ayo makan terlebih dahulu." Rama beranjak dan berjalan menuju ruang makan.
Walaupun enggan Ayah dan bunda menyusul ke ruang makan. Kemudian mereka makan dalam diam. Ayah menyuap sambil sesekali terdiam. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
Mereka menyelesaikan makan dengan cepat. Hanya Ayah yang masih belum menghabiskan makanannya.
"Ayah, Ada apa? Ada yang sedang dipikirkan ya? Ayah tidak mau cerita sama bunda tentang kejadian tadi?" Bunda memandang ayah dengan penuh kelembutan. Ada beribu pertanyaan berkecamuk di benak bunda.
Ayah mengangkat kepalanya memandang ke sekeliling. Kemudian pandangannya berhenti pada bunda. Mereka saling pandang sejenak. Ayah menghela nafas berat dan kemudian berkata dengan pelan.
"Ada yang sengaja bermain-main dengan kita." Ucap ayah penuh penekanan.
"Maksud ayah apa? Bermain-main bagaimana?" Bunda menggeleng tanda tidak mengerti apa yang dimaksud dengan suaminya.
"Ada yang sengaja menggunakan jenazah anak kita untuk hal yang tidak baik." Ucap ayah lagi dengan lirih. Ada rasa suka dalam kalimat tersebut.
Ran, Nia dan Rama saling pandang.
"Tapi ayah.. Tadi tidak ada keanehan sama sekali bukan?"
Ayah hanya diam menunduk. Sekali lagi dia menghela nafas berat.
"Lihat saja berani bermain-main denganku.. Tak akan aku beri ampun!!!" Muka ayah terlihat merah menahan amarah.
"Sabar Yah, kita selidiki dulu ada apa sebenarnya. Rama memangnya tadi ada kejadian apa di pemakaman?" Ucap bunda memandang Rama penuh harap. Bunda penasaran dengan yang sebenarnya terjadi.
Rama diam. Dia terlihat sedang berpikir dan menimbang sesuatu.
"Ceritakan apa yang terjadi di sana Rama. Bunda mohon. Bunda juga cemas." Bunda terisak. Bunda tidak rela jenazah sang putri kesayangan dibuat main-main.
Ayah masih terlihat emosi. Dia benar-benar tidak bisa menerima semua ini. Ada yang mempermainkan jenazah putrinya.
"Sudahlah Bun, kita harus tenang menghadapi ini." Ucap ayah lirih sambil mengepalkan tangan.
"Bagaimana bisa tenang? Ayah saja terlihat menahan emosi juga. Kita harus bagaimana ini?" Bunda semakin merasa takut dan cemas.
Ran bangkit dari duduknya dan mendekati bunda. Mengelus kedua bahu bunda pelan.
"Ayah dan bunda yang sabar ya. Nanti Ran bantu tanyakan sama ustadz Yusuf."
Bunda mengelus tangan Ran yang ada di pundaknya.
"Oh iya Ran, Bunga jadi ingat. Tadi malam kamu mau bicara apa ?"
Ran tertegun. Dia kembali merasa dilema. Apa mungkin dia mengatakan tujuan dia yang sebenarnya datang ke Jakarta.
"Katakan lah Ran. Kami siap mendengarkan. Dan jika bisa kita pasti akan membantu." Ayah menimpali ucapan bunda.Dan juga sengaja ingin mengalihkan perhatian bunda dari masalah pemakaman yang di bongkar tadi.
Ran mengambil satu persatu piring yang kotor, bekas makan mereka.
"Tidak usah mengalihkan pembicaraan Ran. Sudah itu nanti saja dirapikan nya. Sekarang kita duduk dulu." Bunda menghentikan apa yang dilakukan Ran. Bunda tahu Ran ingin menghindar.
"Nanggung bunda, cuma menaruh piring saja di dapur." Ran mengangkat piring kotor ke dapur.
"Taruh saja di dapur, tidak usah di cuci. Bunda tunggu di ruang tamu. Bunda berharap kamu jujur , ceritakan apa yang sebenarnya. Bunda dan Ayah tahu ada yang kamu sembunyikan." Bunda berkata dengan penuh penekanan. Kali ini bunda tidak ingin ada penolakan.
"Iya Ran, nanti saja mencucinya." Nia membantu merapikan meja makan dan bergegas menyusul ayah serta bunda ke ruang tamu. Dan tidak lupa membawa beberapa cemilan ke depan.
Ran tertegun. Dia benar-benar merasa bimbang.
Apa Ran akan menceritakan apa yang sebenarnya. Dan ada misteri apa dibalik kejadian pembongkaran pemakaman Arin???
Bulu kuduk semakin berdiri. Terasa merinding. Jantung berdebar semakin cepat....
Bersambung
Jangan lupa tinggalkan like dan komentar. Terima kasih ❤️❤️❤️
Semua orang sudah duduk di ruang tamu. Ruang tamu yang hanya berukuran 4X3 meter itu jadi penuh hanya diisi oleh semua anggota keluarga. Ayah belum masuk bekerja. Demikian juga dengan Nia. Nanggung juga katanya. Sekalian hari Senin saja mereka masuk kerja.
Sementara Ran masih di dapur. Dia cuci sekalian piring kotor bekas mereka sarapan tadi. Daripada nanti-nanti biar rapi sekalian, pikir Ran.
Ran mencuci piring sambil bersenandung kecil. Mengusir sepi di dapur karena dia sendirian.
wuuuuuussssss........
Tiba-tiba ada angin berhembus kencang di belakang tubuh Ran. Tentu saja Ran terkejut. Dia menoleh ke belakang.
"Suara apa tadi?"
Ran bergumam. Bulu kuduknya berdiri. Ini kedua kalinya angin itu berhembus di sekitar tubuh Ran.
"Raaaannn....."
Ran terdiam. Ada suara lirih memanggil namanya. Ran tidak bergeming.Dia seperti dipaku, tidak bisa bergerak sedikitpun.
"Astaghfirullah Al adzim.." Ran berucap dalam hati. Mulutnya seperti terkunci. Tidak bisa berkata apalagi berteriak.
"Siapa tadi. Ada apa tadi...?" Ran semakin terpaku.
"Raaann.... Hihihii.."
Ran semakin merinding. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ran hanya berpikir, adakah hantu di siang hari.
" Kak Ran.. Lama banget sih. Ditungguin Ayah dan bunda itu."
Ran terkejut. Terdengar suara Rama memanggil namanya. Dia tersadar. Tangannya bisa bergerak lagi.
"Astaghfirullah Al adzim... Astaghfirullah.." Berkali-kali Ran mengucap istighfar. Karena hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
" Kak Ran kenapa?"
Ran hanya mampu menggeleng. Dia tidak mungkin bercerita kepada Rama tentang apa yang barusan dia alami. Selain tidak ingin membuat panik, dia juga berpikir, Bisa-bisa ditertawakan karena siang hari mana mungkin ada hantu keluar.
"Ayo kak, nanti saja nyuci piringnya. Ayah sudah menunggu."
"Iya Ram.. Sedikit lagi .. nanggung."
"Cepetan.. Ayah sudah tidak sabar."
Ran mengelap tangannya yang basah. Piring sudah rapi dia cuci semua l.
"Ayo Ram.."
Mereka berdua berjalan beriringan ke ruang depan. Namun tidak ada percakapan sama sekali. Ran berjalan sambil melamun, memikirkan apa yang baru saja dialaminya.
"Ran sini duduk dekat bunda."
Bunda memanggil Ran yang berjalan pelan di samping Rama. Namun Ran tidak menyahut. Dia sedang melamun.
"Kak Ran.." Rama mencolek bahu Ran pelan.
"Eh.. Ada apa Rama."
"Itu dipanggil bunda. Malah melamun."
Ran menoleh ke arah bunda sambil tersenyum kikuk.
"Maaf bunda.."
"Tidak apa-apa Ran, duduk sini dekat bunda."
Ran berjalan mendekati bunda dan duduk di sampingnya.
"Ran, coba kamu ceritakan yang sebenarnya. Ayah pengen tahu ada apa Yusuf menyuruh kamu ke sini."
Ran menunduk, dia sedang menyusun kalimat yang pas untuk mengungkapkan tujuan nya ke rumah ini. Akhirnya Ran memberanikan diri untuk berkata yang sejujurnya. Daripada dia dalam dilema. Semua terlihat penting di hatinya.
"Begini Ayah...."
Baru mau ngomong, namun malah terdengar orang mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum..."
Ran menghentikan ucapannya. Semua orang melihat ke arah suara itu berasal.
"Wa'alaikumsalam... Eh Yusuf .. Panjang umur.. Baru saja kita bicarakan. udah nongol orang nya di sini. Silahkan masuk... "
Ayah segera menyambut sang tamu. Bunda juga segera berdiri dan menyalami sang tamu. Tak lupa anggota keluarga yang lain ikut juga menyalami.
"Sini duduk dekat saya. Saya rindu kamu Yusuf. Hahaha..." Ayah menepuk kursi di sebelahnya.
Ustadz Yusuf mendekat ke arah ayah dan duduk di samping nya.
Ran merasa lega sekaligus takut. Pasti ada sesuatu yang penting. Sampai seorang Yusuf keluar kandang.
Memang Yusuf tidak pernah pergi jauh kecuali ada sesuatu yang penting dan juga darurat. Beliau selalu memilih di rumah mengurus anak pantinya dari pada bepergian. Biasanya Yusuf menyuruh Ran ataupun pengurus panti yang lain.
"Ada apa ini. Tumben berkunjung kemari. Pasti ada sesuatu yang penting..."
"Sebentar.. Sebentar. Mas Yusuf baru saja datang. Sebaiknya istirahat dulu. Ran tolong buatkan teh hangat untuk ustadz Yusuf ya.." Bunda memotong ucapan ayah. Bunda melihat gurat kelelahan di muka Yusuf.
"Baik Bun.. " Ran bangkit dan berjalan menuju dapur.
"Sebenarnya tidak usah mbakyu. Tadi aku sudah minum di stasiun.."
"Beda dong. Di sini kan belum. Lagian mas Yusuf juga baru tiba. Istirahat dulu.Baru nanti kita bicarakan banyak hal."
"Baiklah.. Baiklah." Yusuf mengambil gelas yang berisi teh hangat yang baru saja di suguhkan oleh Ran. Dia meminumnya secara perlahan. Memang sungguh nikmat dan melegakan, Meminum teh hangat setelah perjalanan jauh.
Sebenarnya dia tidak bisa berlama-lama. Karena banyak hal yang harus segera dia selesaikan. Dan juga ada hal penting yang harus segera dia sampaikan.
Ustadz Yusuf diam sejenak. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan melihat ke sekeliling ruangan. Kemudian beliau menarik nafas panjang dan berat.
"Sebelumnya saya minta maaf. Mungkin kedatangan saya ini akan membuat kalian semua terkejut.."
Ustadz Yusuf mulai membuka suara.
"Hm.. Ada apa sebenarnya. Jangan bikin aku penasaran. Lekas katakan." Ucap ayah tidak sabar. Melihat gelagat yang terlihat, Ayah yakin ada sesuatu yang tidak beres.
"Begini.." Yusuf berhenti sebentar. Kembali dia memandang satu persatu orang yang ada di ruangan tersebut. Lalu Yusuf melanjutkan ucapannya.
"Ada yang ingin mencelakai keluarga ini.."
"Apa maksudnya.. Mencelakai. Siapa? Dan Apa?"
Ayah dan bunda berkata bersamaan. Semua orang terkejut mendengar perkataan Yusuf.
"Tenang dulu. Aku jelaskan dulu pelan-pelan. Jangan emosi dulu."
Wuusssss....
Suuiiiiiinnggggg.....
Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang di halaman rumah.
"Apa itu...?"
Semua orang berdiri ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka berlarian ke halaman depan. Terlihat daun jambu berjatuhan. Halaman terlihat sangat kotor.
"Eh.. Apa itu angin tornado. Rontok semua daun jambu. Padahal baru saja di sapu. Sudah kotor lagi." Rama menggerutu. Pasalnya dia yang menyapu halaman dan baru saja selesai, tapi sudah banyak daunnya yang terjatuh lagi.
"Angin apa tadi. Kenapa tiba-tiba muncul." Ucap Nia yang celingukan memandang ke sekeliling halaman.
"Apa benar tadi itu angin tornado." Ucap Ran juga. Walaupun sebenarnya dia merasa ada yang ganjil juga.
"Mungkin iya.." Sahut ayah menimpali ucapan Ran dan Rama.
"Sudah.. Sudah . Sini duduk dulu. Ada yang mau aku sampaikan." Yusuf memanggil semua orang yang tadi berada di luar.
"Angin yang aneh. Benarkan mas Yusuf?" Ayah memandang Yusuf dengan beribu pertanyaan. Ayah tahu kalau Yusuf mengetahui kejanggalan dengan apa yang baru saja terjadi.
"Sudah sini. Makannya aku mau menjelaskan sesuatu."
Perasaan bunda mulai terasa tidak nyaman. Bukan hanya bunda sebenarnya. Namun semua anggota keluarga. Mereka merasa ada sesuatu yang tidak lazim akan terjadi.
Sebelum berkata, Yusuf menghela nafas panjang. Dadanya terasa sesak. Sebenarnya dia tidak sanggup berkata. Karena semua yang akan dia sampaikan akan berimbas juga pada dirinya dan keluarganya. Tapi memang ini sangat penting dan harus segera disampaikan. Dan demi kebaikan semuanya dia harus berani mengungkapkan apa yang sebenarnya.
"Begini, kedatangan ku kemari yang pertama mau minta bantuan. Panti Asuhan sedang dalam masalah. Ada ahli waris sang pemilik tanah tidak rela tanah tersebut di wakafkan. Mereka menuntut tanah itu dibayar.Dan kalau tidak kami akan diusir."
Pelan sekali Yusuf berkata. Dia benar-benar merasa malu dengan apa yang dia sampaikan tersebut.
"Tidak usah sungkan Om, kita akan membantu menyelesaikan semuanya."
"Bara....."
Lagi-lagi semua orang terkejut. Benar-benar hari ini penuh kejutan. Tiba-tiba rumah ini kedatangan tamu yang yang tidak di sangka-sangka.
"Iya Om.Ini saya. Ayah .. bunda, Sebelumnya saya minta maaf. Tiba-tiba hadir tanpa mengucapkan salam."
"Iya nak Bara. Sebentar.. Sebentar. Sebenarnya ini ada apa. Kenapa kalian bisa hadir bersamaan begini?"
Yanto memandang satu persatu orang yang hadir. Yanto bingung dengan semua yang terjadi.
"Aku juga datang lho Ayah.." Fian masuk di belakang Bara.
"Ini lagi... Ada apa sebenarnya? Kalian semua datang tiba-tiba." Ayah menggeleng pelan. Dia semakin yakin ada yang tidak beres.
"Begini Ayah , bunda dan Om Yusuf. Untuk masalah panti asuhan yang akan digusur, Om Yusuf tidak perlu khawatir. Papa sudah meluncur kesana untuk menyelesaikan semuanya."
Bara menjelaskan semuanya dengan segera. Tentu saja dia tidak ingin ada membuat para orang tua panik.
"Alhamdulillah.. Syukurlah. Terima kasih nak Bara. Tapi apakah tidak merepotkan ." Yusuf mengangguk takzim.
"Tidak usah sungkan Om. Sebenarnya memang ada orang yang sengaja menghasut ahli waris tanah tersebut. Dan Alhamdulillah, Papa sudah menemukan orangnya. Sekarang papa sedang negosiasi."
"Terima kasih banyak ya Nak Bara. Om tidak bisa membalas kebaikanmu dan keluargamu. Semoga Allah memberi keberkahan buat kalian semua."
"Aamiin..."
Semua orang mengaminkan ucapan Ustadz Yusuf. Wajah Yusuf terlihat lega walaupun masih ada hal yang lebih penting yang akan dia sampaikan.
"Jadi itu juga yang mau Ran sampaikan Ayah dan bunda." Ucap Ran kemudian.
"Kenapa kamu tidak berterus terang Ran. Pasti kami akan membantu." Jawab Ayah.
"Ran tidak sampai hati, melihat keadaan Ayah dan bunda yang sedang berduka."
"Sebenarnya tidak apa-apa Ran. Urusan panti juga penting bagi kami." Bunda mengusap bahu Ran dengan lembut.
"Iya bund, maafkan Ran yang tidak berterus terang."
"Iya Ran..."
" Sudah.. Sudah. Semua sudah diatasi. Sekali lagi Aku mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan kalian." Yusuf menengahi.
"Mas Yusuf istirahat dulu di kamar. Sudah disiapkan di kamar Rama."
"Iya mas. Pasti capek sehabis perjalanan jauh." Ayah menimpali ucapan bunda.
"Aku mau ke rumah pak RT dulu ya mas. Ada yang mau aku bahas di sana. Mas Yusuf istirahat dulu." Lanjut ayah sambil meneguk kopinya yang tersisa seteguk.
"Baiklah. Ternyata lumayan pegal juga. Baru terasa sekarang." Ustadz Yusuf menggerak-gerakkan badannya yang terasa pegal.
"Hahaha.. Itu tandanya memang badanmu lelah mas. Dan juga faktor U itu. Hahaha..."
"Hm.. Memang udah badan orang tua. Aku masuk kamar dulu ya. Di mana kamar Rama ?"
"Mari Om, Rama antar."
Ustadz Yusuf dan Rama meninggalkan ruang tamu. Sambil berjalan Ustadz Yusuf melihat ke atas. Dia merasakan sesuatu yang berbeda. Namun dia masih diam saja.
Ustadz Yusuf baru mau mengatakan yang sebenarnya nanti malam. Dia tidak mungkin menyimpan hal tersebut lama-lama karena pasti akan membahayakan seisi rumah. Namun dia juga tidak mau gegabah. Dia akan memantau juga.
"Ini Om kamarnya. Maaf ya seadanya. Karena memang hanya begini adanya. Selamat beristirahat."
Rama meninggalkan Ustadz Yusuf sendirian di kamar. Dia akan kembali menyapu halaman yang kembali kotor karena angin kencang tadi.
Sementara itu Bara dan Fian masih mengobrol di ruang Tamu. Ran juga ada di sana.
"Ran selanjutnya apa rencana kamu?" Tanya Fian pada Ran.
"Entahlah.. Gue belum tahu. Nanti menunggu keputusan Ustadz Yusuf saja."
"Kamu tidak punya rencana sendiri Ran." Ucap Bara.
"Saya pengen kembali ke Surabaya sebenarnya. Membantu mengelola panti asuhan. Kasihan ibu panti dan ustadz Yusuf."
"Itu juga rencana yang bagus Ran."
"Eh.. Eh.. disini saja Ran. Nanti gue cari lowongan kerja buat loe. Mau ya.." ucap Fian.
"Cie... Cie yang tidak mau ditinggal." Bara menggoda Fian. Muka Fian sudah memerah.
"Apa si bang.. kan ini demi kebaikan bunda. Biar bunda tidak kesepian."
" Bunda apa bunda..."
Bara semakin menggoda Fian. Ran dan Fian mukanya terlihat memerah.
Klontanggg....
Terdengar suara panci jatuh di dapur. Padahal setahu mereka di dapur tidak ada orang, kecuali mereka bertiga yang sedang berbincang di depan ruang tamu.
"Apa itu Ran.."
Ucap Bara dan Fian bersamaan.
" Seperti suara panci jatuh.." Jawab Ran. Kemudian dia bangkit dan berjalan menuju dapur. Fian dan Bara hanya mengiringi dengan pandangan mata.
Ran masuk ke dapur. Ternyata benar ada panci yang jatuh.
"Kok bisa jatuh. Bukannya tadi digantung di paku itu ya.." Gumam Ran pelan.
Wuuussss....
Angin bertiup lagi. Ran tersentak. Kali ini angin tersebut serasa menampar wajahnya.
"Eh..."
Ran terkejut. Bulu kuduknya mulai merinding. Dia melihat sekelebat bayangan hitam di sudut dapur. Ran hanya terpaku. Selalu begitu. Kakinya tidak bisa digerakkan. Mulutnya pun terkunci. Dia tidak bisa berteriak.
"Raaan....."
Suara itu datang lagi.. Suara itu memanggil nama Ran lagi. Ran semakin merinding. Mukanya sudah pucat. Tapi ini siang hari..
Apa dan siapa??? Ini siang hari. Adakah hantu muncul siang hari. Namun perasaan ini berbeda. Namun otak ini terasa membeku.
Apa ....???
Siapa...??
Adakah yang sengaja melakukan ini semua.
Bersambung
Jangan lupa tinggalkan like dan komen. Terima kasih ❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!